Selasa, 31 Januari 2012

AUFKLARUNG: IBN ARABI

AUFKLARUNG: IBN ARABI: TASAWUF IBNU ‘ARA>BI> A. PENDAHULUAN Ibnu ‘Ara>bi> oleh ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal ...

IBN ARABI


 
TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>

A.   PENDAHULUAN
Ibnu ‘Ara>bi> oleh ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Ara>bi> telah mengompromikan dalam pemikirannya antara tawasuf dengan filsafat. Beliau termasuk ulama sufi yang produktif dan berhasil mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam ajarannya wihda>t al-wuju>d. Ajarannya itu sempat menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar syaikh al-akbar, di samping juga karena beliau telah mengurai secara detail, luas dan mendalam pemikirannya itu dan tidak ditemui sosok demikian pada zamannya.
Ajaran wihda>t al-wuju>d dalam tasawuf Ibnu ‘Ara>bi> merupakan ajaran yang melihat masalh wujud (dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia) sebagai satu kesatuan yang utuh, namun berada dalam dimensinya masing-masing. Tuhan menurutnya meliputi segala yang ada, sehingga yang ada bersifat nisbi dan tidak mutlak sedangkan yang Mengadakan bersifat mutlak dan tidak terbatas. Sebab, yang ada merupakan ‘penampakan’ bagi diri-Nya dan bersumber dari-Nya serta Dialah yang menjadi esensinya.
Terkait dengan alam, Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa alam termasuk salah satu ciptaan-Nya yang paling agung. Alam adalah manifestasi dari asma>’ dan sifa>t Allah. Tujuan penciptaan alam sendiri adalah supaya Allah dapat dikenali melalui asma>’ dan sifa>t-Nya itu. Pendapatnya itu didasarkan pada hadis Qudsi: aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.[1]
Begitulah sekelumit pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> yang membuat namanya menjadi masyhur sepanjang masa. Makalah ini akan membahas tentang sosok Ibnu ‘Ara>bi>, mulai dari sejarah hidupnya, karyanya, pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan pemikiran Islam.


B.    RIWAYAT HIDUP DAN KARYA IBNU ‘ARA>BI>
  1. Kelahiran dan Pendidikan
Nama lengkap Ibnu ‘Ara>bi> yaitu Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad al-Haitami al-Tha’i al-Andalusi. Dia lahir di Murcia pada tanggal 17 Ramadan 560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.[2] pada masa pemerintahan Muhammad bin Sa’id bin Mardaniah.[3] Secara ras, dia keturunan suku Arab Tayy.[4] Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, kelahirannya jelas menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.[5]
Dalam sejarah, terdapat banyak gelar yang diberkan kepada Ibnu ‘Ara>bi> yang di antaranya syaikhu al-akbar, khatimu al-anbiya’ al-muhammadiyah, syaikhu al-a’dham, quthbu al-‘arifin, rahibu al-‘alam, dan masih ada gelar lainnya.[6] Orang-orang yang sezaman dengannya memanggil Ibnu ‘Ara>bi> dengan Abu Abdullah, sedangkan para penulis dalam buku-bukunya lebih banyak menyebutnya Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu sekaligus sebagai pembeda dengan Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Ara>bi> yang merupakan Qadi Sevilla, dan Ibnul ‘Ara>bi> tokoh hadis yang juga terkenal.
Pada masa kecilnya, Ibnu ‘Ara>bi> menghabiskan hidupnya dengan keluarga tercinta. Dia berada dalam keluarga yang terhormat, ayahnya[7] adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad Ibn Said Mardanish, penguasa Murcia. Sedangkan pamannya dari pihak ibu adalah penguasa Tlemcem, Algeria. Di samping ayahnya menjabat di pemerintahan, dia juga terkenal dengan kedalaman ilmunya sekaligus kesalehannya. Ibnu ‘Ara>bi> kecil semenjak kecil telah menerima bimbingan keagamaan dari keluarganya secara langsung.
Menginjak usia yang ke 8 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> bersama keluarganya meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, sebuah kota kecil di daerah Sevilla. Di kota kecil inilah dia mendapatkan pendidikan agama islam seperti membaca al-Quran dan mempelajari hukum islam dari Shekh Abu Bakar bin Khalaf.[8] Selanjutnya, ia bersama keluarganya berpindah ke kota Sevilla dimana kota ini ramai dan makmur sekaligus sebagai ibukota kerajaan al-Muwahidun di Spanyol. Selain itu, kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur dimana penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof, teolog, dan para wali berdampingan. Otomatis, Ibnu ‘Ara>bi> tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide brilian para pemikir, ilmu pengetahuan dan filsafat yang sedang berkembang dengan pesat.
Di Sevilla ini, Ibnu ‘Ara>bi> mudah menjalani hidupnya seperti lazimnya anak muda yang baru tumbuh. Walaupun dia tidak mendapatkan pendidikan di tempat resmi, dia mendapat pendidikan privat dari seorang tetangganya yaitu Abu Abdullah Muhammad al-Khayyat; seorang tokoh yang terkenal dengan ilmu al-Quran, yang kemudian pada masa berikutnya menjadi guru sekaligus teman bermainnya selama beberapa tahun.[9] Dalam penjelasan lain, pada waktu itu pula Ibnu ‘Ara>bi> telah belajar hadis, fiqih, dan ilmu agama lainnya kepada muritd Ibnu Hazm, salah seorang Imam madzhab yang cukup terkenal.
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Ara>bi> muda sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Spanyol dan Afrika, Utara khususnya. Dalam perjalanan itulah, dia menjadikan sebagai kesempatan untuk menemui para sufi dan pemikir terkemuka. Salah satu kunjungannya yang mengesankan adalah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd (w 595 H/1198 M) di Kordova, tepatnya pada tahun 575 H/1179 M.[10] Ibnu Rusyd sendiri adalah teman ayahanda Ibnu ‘Ara>bi>.
Menginjak umurnya yang ke 16 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan diri untuk menjalani pengasingan diri (khalawat). Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa setelah dia berfoya-foya dengan makanan bersama teman-temannya, dia secara tiba-tiba mendengar seruan ‘Wahai Muhammad, bukan untuk itu engkau diciptakan’. Karena takut dengan mendengar suara tada, kemudian dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Di tempat itu, dia menjumpai lubang seperti gua dan masuk ke dalamnya. Selama empat hari dia tinggal di sana sendirian dan berdzikir dengan khusyu’.[11] Di sinilah tanda-tanda kebatinan Ibnu ‘Ara>bi> mulai tampak.
Beberapa tahun kemudian, dia diberi kepercayaan oleh penguasa al-Muwahhidin (Abu Bakar bin Abd. Al-Mu’min) untuk menjadi sekretaris gubernur. Pernah terlintas dalam benaknya bahwa jabatan itu akan dia fungsikan sebagai media pengabdiannya kepada Negara sebagaimana telah dilakukan oleh ayahnya. Namun selama pengabdiannya justru sebaliknya. Pekerjaan yang semakin banyak dan ruwet justru membuatnya merasa semakin jauh dari Tuhan. Begitu juga, harta dunia yang dimilikinya selalu menjadi ganjalan fikiran dan kegelisahan batinnya. Oleh sebab itulah, pada satu waktu Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan untuk melepaskan rutinitasnya yang ia sendiri menyebutnya sebagai period ke-jahilan. Disebut kejahiran menurutnya karena tidak peduli kepada Tuhan dan lebih tertarik pada kehidupan duniawi.
Pada tahun 590 H/1193 M., ketika pemikiran spiritualitas Ibnu ‘Ara>bi> telah mengkristal, dia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama, dia menuju kota Murur untuk menemui Syekh Abu Muhammad al-Mururi yang dikabarkan sebagai ahli spiritual. Selanjutnya dia meneruskan ke Kordova dan Granada. Setelah merasa puas berkelana di berbagai kota Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) al-Jazair untuk mengunjungi Syekh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf di sana[12] dan merupakan syekh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang juga turut berpengaruh pada kehidupan spiritual Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu terbukti dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri khususnya ruh al-qudus dan al-Durrah al-Fakhirah di mana di dalamnya Ibnu ‘Ara>bi> sering menyebut nama Abu Madyan. Walau demikian, dalam sejarah lain disebutkan bahwa Ibnu ‘Ara>bi> secara fisik tidak pernah bertemu dengan Abu Madyan akan tetapi keduanya telah bertemu di alam spiritualnya, bahkan menurutnya telah berkali-kali.[13] Di samping Abu Madyan, dia juga belajar pada murid-muridnya di antaranya al-Maururi, al-Kumi, dan al-Sadrani, Abd. Aziz al-Mahdawi, dan Muhammad Abdullah al-Kinani.
Dari Bugia, Ibnu ‘Ara>bi> meneruskan pernalanannya ke Tunisia. Di kota itu dia mengkaji karya seorang sufi Abu al-Qasim Ibn Qushai, khal’an na’lain. Di kota ini pula, dia mengatakan pernah bertemu dengan nabi Khidir untuk kali pertama. Dalam pertemuannya, dia diberikan wejangan untuk lebih mengedepankan spiritualitas dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Pertemuan kemudian terjadi dua kali lagi pada akhir tahun 1194 M., ketika Ibnu ‘Ara>bi> kembali ke Andalusia. Pertemuannya dengan nabi Khidir berlangsung dalam kondisi yang berbeda. Pertama, berlangsung di daratan tepatnya di jalan kota pada siang hari. Kedua, bertemu di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Ketiga, Khidir menampakkan diri di atas udara.[14] Dari tiga pertemuan tersebut, tampak bahwa ada tahapan ajaran Khidir dalam menuntun Ibnu ‘Ara>bi> ke dalam pengetahuan misteri ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dirinya.
Pasca pertemuannya dengan nabi Khidir, Ibnu ‘Ara>bi> terus berulangkali bertemu dengan para nabi yang juga membimbingnya pada jalan spiritual, termasuk nabi Hud, Isa, Musa hingga nabi Muhammad. Pertemuaannya dengan nabi Muhammad berlangsung beberapa kali dalam situasi yang berbeda pula dan dianggapnya sebagai ajaran penyempurna dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Ketika ayahandanya meninggal dunia, Ibnu Arabai kembali ke Sevilla dan otomatis menjadi tulang punggung keluarganya, utamanya dia harus mengasuh kedua saudara perempuannya. Pada waktu itu pula disebutkan bahwa dia sempat putus asa dan ingin kembali pada kehidupan dunia namun niatan itu tidak terjadi. Setelah pergolakan politik di Sevilla mulai bergolak, pada tahun 594/1198 dia bersama saudaranya pindah menuju Fez[15] dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Di kota inilah kebahagiaan Ibnu ‘Ara>bi> dalam spiritualitasnya dapat dikatakan telah terpenuhi, karena dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh pada Tuhan.
Bukan hanya itu, Ibnu ‘Ara>bi> juga pernah berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan lainnya. Di akhir perjalanannya yang panjang, pada tahun 598 M Ibnu ‘Ara>bi> tiba di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Dia menetap di Makkah selama tiga tahun dan tidak pernah kembali ke Maroko maupun Andalus. Di sana dia mengenal imam masjid Haram yang terkenal dengan nama Abu Khasyah dan menikahi putrinya, Nidzam dan menulis buku khusus yang diberi judul ‘tarjuman al-ashwaq’. Buku itu merupakan kumpulan syair indah bertema cinta dan dibumbui dengan kisah sufistik. Di Makkah pulalah dia dapat melahirkan beberapa karya terkenalnya.
Negara Timur pada saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ayyubiyah keluarga Shalahuddin atau Saladin. Aturan negara tersebut diterapkan hingga Mesir dan Syam serta Hijaz. Ibnu ‘Ara>bi> telah melakukan perjalanan panjang mengunjungi kota-kota di Timur. Tentara Salib masih menempati bagian dari tanah-tanah Muslim di Syam dan masih berada dalam Emirat Antakya dan Tripoli. Hal inilah yang dapat menjelaskan kepada kita tentang pandangan keras Ibnu ‘Ara>bi> terhadap tentara Salib.
 Di Mosul, Ibnu ‘Ara>bi> bertemu Syaikh Ibnu ‘Ara>bi> Sufi Ali bin Jami' dan di hadapannya ia mengenakan baju wol sufi. Di Kairo, ia mencetuskan Pantheisme (wihdat al-wujud). Lalu ia ditolak oleh para ulama fikih dan mereka mempengaruhi khalayak umum. Akan tetapi, pengadilan Ayyubi pemegang kekuasaan Mesir pada saat itu memberikan toleransi kepadanya sehingga tidak memberikan hukuman.
Dari Mosul pindah ke Konya. Di sana, raja Konya memberikan sebuah rumah bernilai 100.000 dirham untuk ditempatinya. Pada suatu hari, seorang pengemis datang mengetuk pintu. Ibnu ‘Ara>bi> berkata: Saya tidak memiliki apa-apa selain rumah ini. Ambillah untukmu.
Hanya berapa waktu lamanya, dia pergi ke Baghdad. Di kota ini sekelompok aliran sufi berkumpul bersamanya. Lalu ia kembali ke Konya dan kemudian ke Malta. Kemudian pergi ke kota Aleppo. Ibnu ‘Ara>bi> tinggal di Aleppo hingga sampai 620 H. Setelah itu ia meninggalkan Aleppo pindah ke Damaskus hingga ia meninggal dunia dan dimakamkan di sana pada 28 Rabi'ul Awal 638 H / 16 Nopember 1240 M.[16]

  1. Karya-karya Ibnu ‘Ara>bi>
Ibnu ‘Ara>bi> di samping dikenal sebagai ulama sufi yang besar, dia juga mashur dengan penuli\\\\\\\\\\\\\\\\\s yang produktif. Hal itu dibuktikan dengan karya-karyanya yang sangat banyak dan multi bidang. Berikut penulis sajikan beberapa kitab yang ditulis oleh beliau:
1.      \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\Futuhat al-Makkiyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Buku ini juga katanya dibimbing langsung oleh malaikat inspiratif, bahkan Tuhan.
2.      Fusus al-Hikam, menurutnya buku ini ditulis dengan bimbingan dari Nabi.
3.      Tarjuman al-Ashwaq
4.      Insha al-Dawair
5.      Uqlat al-mustawfiz
6.      al-Tadbirat al-Ilahiah
7.      Mashahid al-Asrar al-Qudsiyyah
8.      Kitab Al-Isrâ’
9.      Mawaqi al-Nujûm
10.  ‘Anqa` Mughrib
11.  Mishkat al-Anwâr
12.  Hilyat al-Abdal
13.  Rûh al-Quds
14.  Taj al-Rasâil
15.  Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya.
16.  Tanazzulat al-Mawsiliyyah
17.  Kitab al-Jalal wa al-Jamâl
18.  Kitab Kunh ma la budda lil Murid Minhu
Menurut Osman Yahya, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn ‘Arabi, tulisan Ibn ‘Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 dari tulisan itu masih ada tetapi sekitar 450 yang dinilai benar-benar asli.[17]

C.    PEMIKIRAN  IBNU ‘ARA>BI>
Secara tipikal, Ibnu ‘Ara>bi> diklasifikasikan sebagai penganut tasawuf falsafi oleh beberapa tokoh. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ibnu ‘Ara>bi> telah memadukan antara intuisi dan akal dalam mendekatkan diri pada Tuhannya sekaligus dalam mengkaji ayat-ayat Nya yang ada di dunia ini.[18] Namun demikian, tidak berlebihan juga jika kemudian Afifi memandangnya sebagai seorang filosof karena Ibnu ‘Ara>bi> sering berangkat dari pemikiran-pemikiran spekulatif.
Terlepas dari itu, dalam tulisan ini akan dibahas secara fokus pada pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> dari sudut pandang tasawuf. Sebagaimana yang telah mafhum, bahwa Ibnu ‘Ara>bi> merupakan sosok ‘pertama’ yang melahirkan ajaran wahdat al-wujud, penyatuan antara Tuhan, manusia dan alam.
Wahdat al-wujud adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[19] Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’ terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dan yang bathin. Adapun pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud tidak pernah terlontar dari Ibnu ‘Ara>bi> maupun dalam tulisan-tulisannya.[20]
Menurut Ibnu ‘Ara>bi>, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya, wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat. Paham ini merujuk kepada timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagaimana yang diterangkan dalam al-hulul yang berarti suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud  ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Untuk lebih spesifik, berikut penulis paparkan secara rinci terkait dengan pemikirannya tentang Tuhan, alam maupun manusia:
1.      Pemikirannya tentang Ketuhanan
Pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> tentang Tuhan tidak lepas dari istilah wujud. Wujud dalam pandangannya adalah sesuatu yang ada secara mutlak (wujud al-mutlaq) atau realitas puncak dari segala sesuatu (al-wujud al-kulli). pendeknya, istilah wujud Ibnu ‘Ara>bi> hakikatnya berkonotasi pada Tuhan pencipta yang Maha Segalanya. Namun kemudian, karena Ibnu ‘Ara>bi> memiliki pandangan bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan maka istilah wujud sendiri diartikan sebagai realitas, baik realitas konkret (yang Mutlak/Tuhan) maupun realitas abstrak; alam dan manusia.
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, Tuhan bukanlah Allah sebagaimana yang dipersepsikan oleh kebanyakan masyarakat bahwa Dia yang memberi pahala, memberi siksa, mengasihi dan menolong. Hal demikian tidak bisa dikonsepsikan sebagai Tuhan karena hanya bagian kecil dari Nya. Tuhan secara hakiki, menurutnya, hanya bisa diketahui oleh orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. Orang yang berada dalam dunia sadar tidak bisa mempersepsikan Tuhan.[21]
Dengan pendapatnya itu bukan lantas Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa orang awam tidak bisa ‘melihat’ Tuhan. Menurutnya, ada tingkatan-tingkatan khusus yaitu ketika Tuhan bertajalli melalui tiga tahap:
a)      Martabah Aha>di>yah (dhati>yah). Dalam tahapan ini wujud Allah merupakan dhat mutlak dan mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Oleh karena itu, Dia tidak dapat difahami atau dikhayalkan.
b)      Martabah Wahi>di>yah, dalam tahapan ini wujud Tuhan berupa wujud potensial yang bersatu dengan sifat dan asma’-Nya. Tahapan ini bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya.
c)      Martabah Tajalli Shuhudi atau faid} al-muqaddas, pada tahapan ini Tuhan bertajalli melalui sifat dan asma’Nya dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual dan dapat difahami oleh semua mahluk-Nya.[22]
2.      Pemikirannya tentang Alam
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, alam adalah ciptaan Tuhan yang sangat agung, karena alam merupakan maz}har atau manifestasi dari sifat dan asma’-Nya. Allah menciptakan alam sebagai tajalli Nya sehingga Dia dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya oleh mahluk. Pendapat Ibnu ‘Ara>bi> itu didasarkan pada hadis Qudsi yang artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk dan melalui Aku merekapun kenal pada-Ku.[23]
Dengan hadis tersebut, jelas bahwa tanpa adanya alam maka asma’ dan sifat Allah akan kehilangan makna dalam arti hanya berada dalam kemujarradannya. Oleh karenanya, Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam kesendirian-Nya sehingga Dia bertajalli pada mahluknya melalui asma’ dan sifat-Nya sehingga Dia memiliki ‘rival’ dalam martabat shuhudiah-Nya.[24]
Terkait dengan alam ini, Ibnu ‘Ara>bi> membaginya menjadi empat macam yaitu: 1) Alam jabarut, dimana alam ini ditempati oleh sabda ilahi dan daya rohani. 2) alam misal, alam ini menjadi tempat himmah dan doa-doa para wali. 3) alam malakut, yaitu dunia para malaikat, dan 4) alam nasut atau alam manusia yang juga merupakan tajalli Tuhan. Namun demikian, menurut Ibnu ‘Ara>bi>, keempat alam tersebut hakikatnya bermuara dari satu esensi yang disebutnya sebagai haqiqah Muhammadiyah atau akal pertama menurut al-Farabi.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, maka  tajalli asma’ dan sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy, alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh, sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia, sebab manusialah yang dapat menampung sifat-sifat Jamal dan Jalal-Nya.[25]
Dengan demikian, keberadaan alam empirik memberi makna terhadap perwujudan asma’ dan sifat-Nya, sebab tanpa adanya alam yang bersifat empirik maka Dzat yang Mutlak akan tetap tinggal dalam kemujarradannya yang tidak dapat dikenal oleh siapapun, serta akan tetap dalam bentuk citra akali. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai manifestasi dari kehendak ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak yang terjelma dalam berbagai bentuk emprik yang terbatas. Namun, semua yang tampak dalam wujud empirik tidak lain adalah sifat dan asma’-Nya yang merupakan perwujudan bagi diri-Nya, bukanlah dzat-Nya. Sebab dzat Tuhan tidak ada yang dapat menggambarkan dan membandingkannya. Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan: setiap yang maujud memiliki bentuk sedangkan Dzat Tuhan tidak memiliki bentuk.[26]
3.      Pemikirannya tentang Manusia
Mengenai manusia, Ibnu ‘Ara>bi> berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi tempat  tajalli Allah bukanlah sembarang manusia melainkan insan kamil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu ‘Ara>bi>, nur Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang paling sempurna, ia diciptakan sebelum alam dan manusia diciptakan. Bahkan, melalui nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan alam dan manusia.
Dengan kesempurnaan itulah, manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi oleh Tuhan. Bahkan menurutnya, yang menyandang predikat khalifah di muka bumi hanya manusia tidak mahluk yang lainnya. Allah berfirman: sungguh Aku telah menjadikan khalifah (Manusia) di muka bumi.[27]
4.      Pemikirannya tentang Penciptaan
Pandangan Ibnu ‘Ara>bi> terkait dengan penciptaan tidak lepas dari pemikirannya tentang hakikat wujud yang bertajalli pada realitas alam, sebab realitas alam merupakan penampakan bagi diri-Nya, sekaligus menjadi eksistensi diri Ilahi yang bersifat immanen. Dengan kata lain, bahwa realitas alam selurhnya tidak lepas dari keberadaan yang Maha Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada. Namun demikian tidaklah berarti sebaliknya, dengan tidak adanya alam semesta bukan berarti ketiadaan-Nya, sebab Dia ada dengan Dirinya sendiri. Sedangkan alam semesta menjadi ada sebab tajalli-Nya. Dengan demikian, alam semesta adalah sesuatu yang ada di luar diri-Nya, dengan melalui proses penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman-Nya.[28]
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, masalah penciptaan tidak hanya terkait dengan kemahatinggian sang Pencipta sebagai hakikat dari segala sesuatu, akan tetapi terkait dengan sifat imanensi-Nya. Jika hanya dilihat dari ketinggian-Nya maka Dia dibatasi oleh apa yang nampak dan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri; yang Maha d{a>hir. Demikian juga sebaliknya, jika sang Pencipta hanya dilihat dari aspek batiniyahnya berarti pembatasan terhadap Wujud Tuhan yang meliputi segala yang ada. Dia adalah yang Lahir dan yang Batin sekaligus.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah penciptaan alam oleh Tuhan terkait dengan waktu dan masa?, apakah penciptaan berawal dari ketiadaan?, atau dari berawal dari keberadaan dan dan kemudian menjadi sesuatu yang ada dan empirik?. Terkait dengan pertanyaan demikian, Ibnu ‘Ara>bi> menjawab bahwa peciptaan alam tidak terikat pada tempat dan waktu, karena adanya waktu setelah adanya alam itu sendiri. Toh walaupun dikatakan terkait dengan masa, tapi masa itu tidak sama dengan masa yang ada dalam dunia empirik saat ini. Begitu juga dikatakan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (al-‘adam) menuju ada. Terkait hal ini, Ibnu ‘Ara>bi> menyatakan: alhamdu lillahi alladzi awjada al-ashya>’ ‘an ‘adamin wa ‘adamihi.[29]
Yang dimaksud dengan ‘adam dalam pernyataan Ibnu ‘Ara>bi> tersebut adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya, sebab segala yang ada bersumber dari-Nya. Sehingga, ‘adam di sini berarti tidak ada dalam wujud empirik namun ada secara hakikat dan kekal dalam Ilmu Tuhan. Kemudian, melalui kehendak-Nya hakikat tersebut dijadikan sebagai alam yang nyata secara empirik. Intinya, proses penciptaan menurut Ibnu ‘Ara>bi> berawal dari yang ada secara hakikat yang disebutnya sebagai wujud potensial atau al-a’ya>n al-thabitah.
D.   PENGARUH TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>
Di samping Ibnu ‘Ara>bi> menjadi tokoh yang terkenal, juga pemikiran tasawuf Ibn Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Muhyid al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (w. 730/1330), Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah 787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî (w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.[30]
Tidak ketinggalan, di Indonesia juga menjadi lahan empuk bagi tumbuh suburnya pemikiran Ibnu ‘Ara>bi>. Secara historis, pemikirannya melalui para sufi dari Gujarat, India. Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029) adalah tokoh yang menyebarkan ajaran tasawuf Ibn’Arabî di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syamsu al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya.[31] Dari penjelasan di muka, jelas bahwa Ibnu ‘Ara>bi> menjadi sosok inspiratif yang memunculkan ide-ide sufistik di belahan dunia,  khususnya Islam. Tidak salah jika kemudian Chittick mengatakan bahwa tampaknya tidak ada seorang tokohpun yang begitu memiliki pengaruh yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu sekitar 700 tahun.[32]
E.    KESIMPULAN
Sebagai simpulan dapat diketahui bahwa Ibnu ‘Ara>bi> adalah salah satu sosok sufi atau failasuf yang sangat terkenal dengan pemikiran tasawufnya, khususnya tentang wahdat al-wujud. Di samping itu, beliau adalah sosok yang produktif dalam menelorkan karya-karya. Hal itu terlihat dari banyaknya ide yang dikonkretkan menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh halayak luas. Bukan hanya di tempat kelahirannya, tapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tulisan-tulisannya juga telah turut serta dalam pengembangan pemikiran islam, utamanya terkait dengan tasawuf.


DAFTAR RUJUKAN

Addas, Claude, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004.
Afifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999.
Arabi, Ibnu, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, 1989.
___________, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005.
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994.
Chittick, Wiliam C., Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000..
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/html.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Siregar, Rivay, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Usman,i A. Rofi’, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998.



[1] Hadis Qudsi ini juga sering dikutip oleh para pemikir misalnya Harun Nasution dalam Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, hal: 58, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998, hal: 61
[2] Ada yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya adalah 1164 M. dalam makalah ini penulis menggunakan tahun 1165 karena beberapa literatur menyebutkan tahun itu sebagai tahun kelahirannya.
[3] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu Arabi, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000, hal: 43.
[4] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995, hal: 02.
[5] Dalam berbagai tulisannya, Ibnu Arabi menceritakan ayah, ibu dan dua saudara perempuannya tapi tidak pernah ditemui ceritanya tentang saudara laki-lakinya. Begitu juga ketika ayahandanya menjelang detik akhir hidupnya semua anggota keluarga berkumpul dan lelaki satu-satunya hanya Ibnu Arabi.
[6] Lihat selengkapnya di Ibnu Arabi, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005, hal: 35.
[7] Penulis mendapatkan keterangan dari internet bahwa yahnya bernama Ali bin Muhammad. Sedangkan ibuny belum penulis temukan riwayatnya.
[8] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu…..hal: 01
[9] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud….hal: 51
[10] Keterangan lebih lanjut terkait dengan pertemuan dan percakapan Ibnu Arabi dengan Ibnu Rusyd dapat dilihat di Claude Addas, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu Arabi, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004, hal: 59-60
[11] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan….hal: 67
[12] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998, hal: 30
[13] Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994, hal: 148-149
[14] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman…hal: 118
[15] Kota FEZ merupakan kota warisan terkemuka dari dinasti idrisiyah islam (788-974 M) di maroko bagian utara. Fez merupakan ibukota pertama dan pusat spiritual islam yang di dirikan oleh idris ibn abdullah. Sedangkan  Idris ibn abdullah adalah keturunan Nabi saw yang lari ke maroko untuk menghidari penganiayaan Abbasiyah.
[16] Addas dalam bukunya menyebutkan bahwa Ibnu Arabi meninggal dunia pada tanggal 22 Rabiul Awal 638. Mencari Belerang Merah….hal: 409
[17] Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Ahmad Zainudin ‘Tasawuf Ibnu Arabi’ di  http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-engaruhnya/
[18] Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999, hal: 55
[19] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006, hal: 247
[20] Ada yang mengatakan bahwa yang mengistilahkan wihdat al-wujud pada pemikiran Ibnu Arabi adalah Ibnu Taymiyah.
[21] CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal: 109
[22] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, hal: 74-75.
[23]  Hadis ini dikenal dengan hadis ‘khazanah tersembunyi’ dan banyak dikutip oleh para tokoh, seperti Harun Nasution dalam filsafat dan Mistisme dalam Islam, Sachiko Murata dalam The Tao of Islam dan yang lainnya.
[24] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal: 277
[25] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…hal: 74-75
[26] Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, hal: 433
[27] Surat al-Baqarah: 30
[28] Lihat surat al-Hijr ayat 21, al-An’am ayat 102, dan ayat-ayat lain yang terkait dengan penciptaan.
[29] Futuhat al-Makkiyah, Jil I, hal: 5
[30] Penulis kutidari tulisan Amuli ‘Ibnu Arabi, Kehidupan, Karya dan Pengaruhnya’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ setelah mendapat izin dari penulisnya. Menurutnya, tulisan itu dipresentasikan dalam acara seminar Tasawuf di Solo Jawa Tengah.
[31] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999, hal: 201
[32] Wiliam C. Chittick, Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001, hal: 04

AUFKLARUNG: Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah al-Qushairiyah

AUFKLARUNG: Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah al-Qushairiyah

AUFKLARUNG: BIOGRAFI AL-QUSHAYRI (Inspirator Al-Ghazali Dalam ...

AUFKLARUNG: BIOGRAFI AL-QUSHAYRI (Inspirator Al-Ghazali Dalam ...: A. Sejarah Kehidupan al-Qushayri > Melacak latar belakang kehidupan seorang intelektual, baik secara pribadi atau dalam kont...

Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah al-Qushairiyah


Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah al-Qushairiyah

A.    Latar Belakang
Setiap agama mempunyai potensi untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistis. Kenyataan ini setidaknya dapat ditelusuri pada beberapa agama seperti Kristen, Budha, Hindu, dan Islam. Dalam Islam model keagamaan yang bersifat mistis ini (Mistisme) dikenal dengan istilah tas}awu>f atau zuhd pada awal Islam, sedangkan kaum orientalis menyebutnya sufisme[1], yang biasanya menempelkan kata sifat Islam di depannya yang mengindikasikan bahwa sufisme hanya dipakai oleh orang Islam. Label seperti ini biasanya memang bisa memberikan orientasi, tetapi sayangnya masih belum memadai untuk  mencerminkan keragaman ajaran dan fenomena tas}awu>f di sepanjang sejarah.[2]
Dalam pengertian umum, tas}awu>f bisa digambarkan sebagai interiorisasi dan intensifikasi keimanan. Derivasi, atau asal usul sufi sering kali diperdebatkan, baik itu dalam Islam atau di luar agama Islam.  
Sufisme atau tas}awu>f dalam agama selain Islam, bertujuan memperoleh kehidupan yang hakiki melalui hubungan langsung dengan Tuhan. Sedangkan dalam agama Islam, tujuan tas}awuf hampir sama dengan agama lain, tapi harus melalui beberapa proses atau tingkatan yang dalam hal ini dikenal dengan Maqa>ma>t (terminal-terminal spritual) atau Ah}wa>l, yaitu kondisi-kondisi yang dialami oleh seorang sufi dalam setiap tingkatan. Seorang sufi mengalami keadaan yang berbeda-beda, sesuai dengan Maqa>m-nya, dan dengan Maqa>m inilah seorang sufi akan dapat berhubungan langsung dengan Tuhan.
Secara harfiyah Maqa>ma>t berarti tempat berdiri atau pangkal mulia[3] yang kemudian diartikan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk menuju Alla>h.[4]
Jumlah Maqa>ma>t yang ditawarkan oleh kaun sufi berbeda-beda jumlahnya, Muhammad al-Kalabazi> dalam kitabnya al-Ta’aruf li Madhab Ahl Tas}awu>f seperti yang dikutib oleh Harun Nasution, membagi Maqa>ma>t dalam sembilan tingkatan yaitu: al-Zuhd, al-Taubat, al-Sabr, al-Faqr, al-Tawad}u’, al-Tawakkal, al-Rid}a>, al-Mah}abbah, al-Ma’rifah.[5]
Sementara al-Sarraj membagi Maqa>ma>t dalam kitab al-Luma>hanya pada enam tingkat yaitu: al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-Tawakkal, dan al-Rid}a>.[6]
Perbedaan jumlah dan istilah dalam merumuskan konsep Maqa>ma>t ini tentunya tidak lepas dari cara pandang dan pengalaman-pengalaman yang terjadi pada setiap kaum sufi, sehingga setiap pengalaman mereka, ditafsirkan sesuai dengan keadaan batinnya. 
Salah satu Maqa>m yang akan dikupas dalam tulisan ini adalah zuhd  yang dalam posisi ini berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak bertemu dengan Tuhan. Dunia bagi orang zuhd (zuhha>d) merupakan sebuah penghalang bertemunya seorang hamba dengan Tuhan dan karena itu dunia dianggap sesuatu yang berlawanan arah (dikotomi) dengan Tuhan, dalam kaitan ini zuhd bersifat doctrinal a historis.[7]
Zuhd pada saat tertentu bisa diartikan sebagai Maqa>m, yaitu sebuah terminal dalam tas}awu>f. Dalam ini seoang sufi harus selalu mendekatkan diri pada Alla>h sehingga tidak ada ruang sedikitpun untuk dunia, sehingga seseorang tidak boleh merancang masa depannya, dan harus menjauhi dunia, sebab dunia bisa dianggap penghalang. Inti zuhd adalah kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia, harta hanya sebagai upaya umtuk mendekati Tuhan.
Namun di sisi lain terdapat fenomena menarik, bahwa zuhd secara umum bisa diartikan sebagai akhla>q, yaitu sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam.
Wujud zuhd sebagai akhla>q adalah kehidupan yang sederhana, wajar, integratif, inklusif, dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia sebagaimana dicontohkan oleh Rasululla>h.[8]         
Dalam konteks sejarah Isla>m, zuhd dalam pengertian yang kedua pernah manjadi gerakan protes sosial, sehingga zuhd wujudnya adalah historis sosiologis. Sebagaimana praktek yang dilakukan oleh banyak tokoh-tokoh yang terkenal mempraktikan zuhd dalam kehidupannya, misal Hasan al-Bas}ri (110 H. /728 M.), Ibrahi>m bin Adham (161 H./ 777 M.), dan secara sosiologis berupaya memprotes ketimpangan sosial pada masanya.[9] 
 Intisari dari sufisme atau tas}awu>f adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengasingan diri.[10] Kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat dilalui dengan berbagai jalan dan cara seperti konsep zuhd yang termasuk salah satu jalan tas}awu>f, dalam hal ini zuhd adalah fase yang mendahului tas}awu>f, zuhd dijalankan oleh umat Islam yang mulai merasa tidak nyaman dengan kehidupan mewah dan foya-foya karena dianggap menyimpang dari Islam sejati.
B.     Definisi Zuhud\
Secara etimologi, zuhd berarti Raqaba 'An Shay’in wa> Tara>kahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi> al-Dun’ya>, berarti mengosongkan diri dari dunia.[11] Orang yang melakukan zuhd disebut Zahid, Zuhha>d, atau Zahidu>n, Zahidah, jama’nya Zuhdan, yang artinya kecil atau sedikit.[12] 
Adapun arti zuhd secara terminologi, maka akan dibahas berbagai definisi yang diungkapkan oleh para sufi. Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan.[13] Karena hasrat, keinginan, dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan kehidupan, sehingga memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu maka seorang sufi dituntut untuk terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitasnya baik jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa yang dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri pada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi disebut zuhd.[14] Meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh tokoh sufi tentang zuhd, tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di atas.
Dalam tradisi tas}awu>f, zuhd merupakan Maqa>m yang sangat menentukan kelanjutan ibadah seorang sufi. Sehingga hampir seluruh ahli tas}awu>f meletakkan zuhd dalam setiap konsep tas}awu>f-nya.[15] Hanya saja dengan konsep yang berbeda.
Al-Junaid al-Baghdadi> menyatakan bahwa zuhd adalah kekosongann hati dari pencarian.[16] Sufya>n al-Thauri> mengatakan, zuhd terhadap dunia adalah membatasi keinginanya untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan yang kasar atau memakai jubah yang jelek.[17] Dalam kitab Miza>n al-H}ikmah, sebagaimana yang dikutib oleh Jala>luddi>n Rah}mat, bahwa jika merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti yang dirasakan oleh Rasululla>h dan para S}ahabat, maka para Mala>ikat akan turun menyertainya. Tirai kegaiban akan disingkap, mereka akan menyalami sambil mengucapkan “Kami akan melindunggi kalian di dunia dan akhirat” (Q.S.41: 31).[18] Sebagai makhluk gaib yang wajib diimani keberadaannya, seringkali tidak disadari keberadaannya, karena jiwa terlalu terbuai dengan hiruk pikuk realitas material yang ada di sekitar manusia, sehingga tidak dapat merasakan dan keindahan yang datang dari realitas lain yang bersifat spritual. Lingkup manusia hanya terbatas pada sesuatu yang dapat diamati sihingga melalaikan sifat-sifat abstrak.[19]
Ali> bin Abi> T}alib, mengatakan kepada Abu> Dhar al-Ghifari> sebagaimana dikutip oleh al-Ghaza>li> “ Barang siapa yang zuhd pada dunia, tidak sedih karena kehinaan (dunia), tidak berambisi untuk memperoleh kemulyaan, maka Alla>h akan memberinya petunjuk tanpa melewati petunjuk makhlukNya. Dia akan mengetahui sesuatu tanpa mempelajarinya, Alla>h akan mengokohkan hikmah dalam hatinya dan mengeluarkan hikmah melalui lidahnya”.[20]
Sulayman al-Dara>ni>, mengatakan zuhd adalah menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan kamu dari Allah.[21] Fud}ail bin Iyad}, mengatakan, “ Alla>h menempatkan seluruh kejahatan manusia dalam satu rumah, dan menjadikan kecintaan pada dunia sebagai kuncinya, serta meletakan segala macam kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan zuhd sebagai kuncinya.[22]

C.    Sejarah Munculnya Zuhd
Zuhd merupakan salah satu maqa>m yang sangat penting dalam tas}awu>f. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tas}awu>f yang senantiasa mencantumkan zuhd dalam pembahasan tentang maqa>ma>t, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghaza>li> menempatkan zuhd dalam sistematika : al-Tauwbah, al-S}abr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mah}abbah, al-Ma’rifah dan al-Rid}a>. Sedangkan al-Tusi menempatkan zuhd dalam sistematika : al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-S}abr, al-Rid}a>, al-Tawakkul, dan al-Ma’rifah.[23] Sedangkan al-Qushayri> menempatkan zuhd dalam urutan maqa>m yang ke enam dari empat puluh sembilan maqa>m yang dibahas: al-Tawbah, al-Mujahadah, al-Uzlah, al-Taqwa, al-Wara>’, al-Zuhd.[24]
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari maqa>m satu ke maqa>m yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqa>m.
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Isla>m sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhd. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhd muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir.[25]
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhd. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham Nirwana-nya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[26]
Sementara itu Abu> A’la> Afi>fi> mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal–usul zuhd. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh Askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara>, taqwa> dan zuhd.[27]
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi–konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali> bin Abi> T}alib dengan Mu’a>wiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra> yang menimpa khali>fah ketiga, Uthman bin Affa>n (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.[28]
Ketiga, reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani>, pendapat Afi>fi> yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhd bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqh dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhd maupun gerakan zuhd. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya Mu'tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyah, lebih akhir lagi ilmu fiqh, yakni setelah tampilnya Ima>m-Ima>m Madzhab, sementara zuhd dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.[29]
Al-Nashsha>r, mengatakan bahwa zuhd dipengaruhi oleh sekelompok masyarakat yang menganut Risa>lah H}ani>f Ibrahi>m, yang sering mempraktekan hidup zuhd dan memakai baju dari bulu domba, mengharamkan makanan yang halal. Mereka banyak mengetahui tentang nabi Muhammad.[30]
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, disebutkan bahwa munculnya zuhd yaitu pada abad pertama Hijriyah, sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta beberapa pejabat pemerintahan, yang merupakan dampak kaum muslim dalam penaklukan Suriyah, Mesir, dan Persia.[31]
Jika sebelumnya kaum muslimin hidup sederhana, corak kehidupan mereka mulai berubah setelah sepeninggal Rasululla>h dan sahabat yang empat. Para Khalifah mulai hidup dengan kemewahan, sehingga jurang pemisah dengan rakyat sangat lebar.[32]
Realitas inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Islam rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang dicontohkan Rasululla>h. Mereka mulai mengisolasi diri sehingga pada gilirannya mucul orang-orang yang inten dalam bidang tas}awu>f  atau orang-orang yang berusaha menjauhi gemerlap dunia.
  

D.      Aliran dan Pemikiran Ulama tentang Zuhd
a.      Aliran dalam Zuhd
Benih-benih tas}awu>f sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW., hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari–hari beliau ber-khalwa>t di Gua Hira> terutama pada bulan Ramad}a>n. Di Gua ini Nabi banyak berdzikir ber-Tafaku>r dalam rangka mendekatkan diri kepada Alla>h. Pengasingan diri Nabi di Gua Hira> ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwa>t. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan ima>n, ketaqwaan, ke-zuhd-an dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya.
Setelah periode Sahabat berlalu, muncul pula periode tabi’i>n (sekitar abad ke I H. dan ke II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affa>n berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok dalam tubuh Islam baik yang berasal dari suku, aliran dan keluarga seperti, Bani> Umayyah, Shiah, Khawa>rij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani> Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein ibn Ali> bin Abi> T}alib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani> Umayyah yang tak henti-hentinya terjadi membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein ibn Ali> dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawabu>n (kaum yang bertaubat). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawabu>n itu dipimpin oleh Mukhta>r bin Ubaid al-Saqa>fi> yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.[33]
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi, hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Isla>m. Pada masa Rasululla>h SAW., dan para sahabat, secara umum kaum muslimi>n hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani> Umayyah memegang tampuk kekuasaan hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana Mu'a>wiyah bin Abi> Sufya>n sebagai khali>fah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW., serta sahabat, dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H. / 680 M – 64 H. / 683M., dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhd, sederhana, saleh, dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu> Dhar al-Ghifa>ri>. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani> Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.[34]
Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW., dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhd menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhd itu disebut Zahid (jamak : Zuhha>d) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut 'A>bid (jamak : Abidi>n atau Ubba>d) atau Nasik (jamak : Nussa>k).[35] Dan akhirnya praktek zuhd terealisasi secara menyeluruh dalam kaum Islam, zuhd yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :

a.       Aliran Madi>nah

Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para Zahi>d. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’a>n dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasululla>h sebagai panutan ke-zuhd-annya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu> Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu> Dhar al-Ghiffa>ri> (w. 22H.), Salma>n al-Fari>si> (w. 32 H.), Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 33 H.), Hud}aifah bin Yama>n (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’i>n diantaranya adalah Sa’id bin al-Musayya>b (w. 91 H.) dan Sali>m bin Abdulla>h (w. 106 H.).[36]
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimi>n (salaf), dan berpegang teguh pada zuhd serta kerendahan hati Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani> Umayyah. Dengan begitu, zuhd aliran ini tetap bercorak murni Isla>m dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.

 

b. Aliran Bas}rah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tas}awu>f, dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme", bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhd yang menonjol, salah satunya di Bas}rah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bas}rah berasal dari Bani> Tami>m. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil.[37] Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam gramatika dan logika, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal al-Hadi>th. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran Mu’tazilah dan Qada>riyah. Tokoh mereka dalam zuhd adalah H}asan al-Bas}hri, Malik bin Dina>r, Fad}l al-Raqqa>shi, Rabbah bin 'Amru al-Qishi>, S}alih al-Murni> atau Abdul Wahi>d bin Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.[38]
Ciri yang menonjol dari para Za>hid Bas}rah ialah zuhd dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama muncul dari Basrah, yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abd. Al-Wahid bin Zaid, salah seorang teman H}asan al-Bas}hri. Para sufi di Bas}rah terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhd, ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota-kota lain”.[39] Menurut Ibn Taymiyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para Zahid Kufah.

 

c. Aliran Kufah        

Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yama>n. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan harfiah dalam hal Hadith. Dalam aqi>dah mereka cenderung pada aliran Shi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Shi’ah pertama kali muncul di Kufah.[40]
Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ bin Kha>thim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu'a>wiyah, Sa’id bin Juba>ir (w. 95 H.), T}awus bin Kisa>n (w. 106 H.), Sufya>n al-Thawri> (w. 161 H.).

 

2. Pemikiran Ulama tentang Zuhd 

A.    Pemikiran Ulama tentang Zuhd Sebagai Maqa>m Tas}awu>f

      Sebagaimana dikemukakan di awal bahwa zuhd termasuk salah satu maqa>m yang sangat penting dalam tas}awu>f. Hal in dapat dilihat dari beberpa pendapat ulama tas}awu>f yang senantiasa meletakan zuhd dalam konsep maqa>matnya, namun ada juga ulama yang meletakan zuhd sebagai suatu etika moral atau akhlaq.

      Al-Kalabazi>, meletakan zuhd dalam tataran maqa>m setelah al-Tawbah, al-Zuhd, al- Sabr, al-Faqr, al-Tawad}u’, al-Taqwa>, al-Tawakkal, al-Rid}a, al-Mah}abbah, dan al-Ma’rifah. Al-T}usi> meletakan zuhd dalam tataran maqa>m, pada urutan yang ketiga yaitu, al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-Sab}r, al-Rid}a, al-Ta’akkal, al-Ma’rifah. Dan al-Ghazali meletakan zuhd dalam sistematika maqa>m yaitu, al-Tawbah, al-Sabr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma’rifah dan al-Rid}a.[41]

            Maqa>m-maqa>m yang telah dikonsepkan ini harus dilalui oleh para murid sebelum pindah ke maqa>m yang lain, adalah suatu keniscayaan pindah kesatu maqa>m tanpa menyesaikan maqa>m yang sebelumnya. Sedangkan zuhd adalah salah satu maqa>m yang sangat penting yang harus dilalui, konsep zuhd yang ditawarkan oleh para ulama berbeda-beda, hal ini terjadi karena perbedaan keadaan yang dilami oleh salik ketika mengalaminya, selain itu kondisi masyarakat juga banyak berpengaruh terhadap pengalaman salik.

1.      Pemikiran Ulama Abad klasik                      

             Menurut Harun Nasution Periode klasik ialah mulai tahun, 30-648 H/650-1250 M. Periode ini di bagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama ialah sekitar tahun 30-391 H/650-1000 M. Yang ditandai dengan ekspansi, integrasi (daerah-daerah tunduk pada Khalifah), dan puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Sedangkan ciri tahun 391-648 H/1000-1250 M., ialah daerah-daerah pecah dan kekuasaan Khalifah menurun, sehingga Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan (656 H/ 1258 M.), dan lambang kekuatan politik hilang.[42] 

            Uraian berikut adalah beberapa pemikiran para ulama sebagai sebuah maqa>m dalam tas}awu>f:

            a). Hasan al-Bas}ri

            Abd. al-Hakim Hasan dalam al-Tas}awu>f fi> Shi’ri al-Arabi> mengatakan bahwa H}asan al-Bas}ri adalah Qassas yang mempunyai kedudukan penting.[43] Dia dilahirkan pada tahun 21 H/641 M.di Madi>nah, ayahnya bernama Yassa>r keturunan Persia beragama Nasrani, sedangkan ibunya bernama Khairah.[44]

            Hasan al-Bas}ri dapat dikatakan sebagai ulama pendiri zuhd Aliran Bas}rah, ia semasa dengan para sahabat besar.[45]

            Abd. Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan al-Bas}ri, pernah mengatakan “ Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhd terhadap barang yang halal dari pada kamu, dari barang haram”.[46] Dari ucapannya ini dapat diambil kesimpulan bahwa ia membagi zuhd pada dua tingkatan, yaitu, zuhd terhadap barang haram, ini adalah tingkatan dasar zuhd, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhd terhadap barang yang halal. Hasan al-Bas}ri mengatakan bahwa dirinya telah sampai pada tingkatan zuhd yang kedua ini, ia mengatakan, ”aku senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan air selamanya”[47]

     

            b). Al-Ghaza>li>

            Al-Ghaza>li> adalah seorang sufi yang lahir di Tus (Khurasan) nama lengkapnya adalah Abu> Hami>d Muhammad bin Ahmad al-Ghaza>li>, hidup pada tahun 450-505 H. /1058-1111 M.[48] Sejak kecil sudah tampak kecemerlangan pikirannya berkat kemampuan intelegensinya yang diasuh oleh ulama-ulama kenamaan seperti Abu> al-Ma' a>li> al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Ima>m al-Haramain, seorang ulama yang brhaluan Ash’ariyah.[49] Setelah gurunya meninggal (478- H. /1091 M.), al-Ghaza>li> meninggalkan Naisabur menuju ke al- Askar. Di negara inilah ia bertemu dengan menteri terkenal Niza>m al-Mulk, dan ia mendapat tempat khusus di hatinya, karena kelebihan yang dimilikinya, sehingga ia kemudian ditawari untuk mengajar di Universitas Niz}a>miyah, di Baghdad, ia berangkat ke Baghdad (484 H./ 1091 M.) dan mengajar di sana

            Konsep zuhd al-Ghaza>li> termaktub dalam kitab monumentalnuya Ihya>’ al-Ulu>m al-Di>n Juz IV, salah satu bagian dari zuhd adalah seperempat hal yang menyelamatkan (al-Rub’u al-Munjiya>t) dan dunia masuk dalam mencelakakan dan menghancurkan (al-Rub’u al-Muhlikat), pada bab III.[50]

            Hakekat zuhd ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci pada dunia dan mencintai akhirat. al-Ghaza>li> mengatakan, “Sesungguhnya benci pada dunia merupakan kendaraan menuju Alla>h”.[51]

            Menurut al-Ghaza>li> ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam zuhd, yakni, al-Ha>l (keadaan jiwa), al-Ilmu, dan al-Amal. Perwujudan al-Ha>l ialah keadaan batin atau jiwa seseorang meninggalkan dunia, karena nilainya lebih rendah dari akhirat, sehingga jiwanya mencintai akhirat sepenuhnya. Perwujudan al-Ilmu seseorang betul-betul mengetahui dunia ini lebih rendah nilainya dibanding akhirat. Dan implementasi dua unsur ini diaktualisasikan melalui al-amal.[52]

            Pemikiran Ulama Abad Pertengahan 

Abad pertengahan adalah abad kemunduran Islam. Menurut Harun Nasution abad ini dimulai sejak tahun 1250 M. / 1800 M, atau sekitar abad VII-XIII H./XIII-XIX M. Abad ini mempunyai karakter tersendiri, yang berbeda dengan abad sebelum dan sesudahnya. Pada masa ini dikatakan ahli sejarah sebagai abad kemunduran Islam, yang mempunyai dampak kreativitas dan dinamika umat membeku, pintu ijtihad tertutup, dan ini membawa pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan sikap orang-orang Islam, seperti masa bodoh dengan lingkungannya, karena frustasi dan sebagainya.[53]
Sudah barang tentu situasi dan kondisi yang demikian ini akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia dan `ulama', termasuk dalam memandang kehidupan dunia ini. Tas}awu>f pada abad VII/XII H. telah mengkristal, menjadi sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip dan sistem khusus. Tas}awu>f pada saat ini telah menjelma menjadi t}ari>qah. Ciri ini berbeda dengan masa sebelumnya, tas}awu>f hanya dilakukan secara perorangan, tanpa ada ikatan satu sama lain. Salah satu ulama yang banyak memberikan kontribusi pemikiran pada abad ini adalah Ibn At}a’illa>h.


  1. a). Ibn `At}>a'illah

            Di antara ulama' yang hidup pada abad ini ialah Ibn `At>}a'illa>h al-Sakandari, yaitu seorang ulama besar, yang zahid, murid Saikh Yaqu>t dan al-`Abba>s al-Mursi>. Dia wafat tahun 707 H/1307 M. Karya-karyanya ialah al-Hika>m, Lata>'if al Minan, dan Ma`rifat al-Fala>h.[54]
            Abu> al-Wafa> menjelaskan bahwa Ibn `At}>a illa>h adalah penerus t}ari>qah al-Sha>zili> (Shadiliyah) yang menghimpun ajaran-ajaran gurunya, Abu> al-Hasan al-Sha>dili>,[55]. dan al-Mursi.[56] Bahkan dapat dikatakan sebagai penghimpun biografi mereka dan menyusun berbagai karya peripurna tentang aturan-aturan t}ari>qah tersebut, pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya bagi pengikut t}ari>qah ini. Dengan demikian t}ari>qah ini mempunyai pengaruh besar terhadap dunia Islam, termasuk di Indonesia.[57]
            Kitab al-H}ika>m adalah salah satu di antara sekian banyak kitab tas}awu>f yang dikaji di pondok pesantren di Indonesia. Begitu besar nilai kitab ini, sehingga ada dua ulama> yang men-Sharah-i (memberikan intrepretasi), yakni Ibn Abba>s al-Runda> (w 790 H./1388 M.), seorang tokoh t}ari>qah Shaziliyah di Andalusia; dan Shaikh Abdulla>h al-Sharqa>wi>.
            Karya Ibn `At}>a'illa>h ini berisi kata-kata mutiara, karena itulah diberi judul al-H}ika>m. Tentu dapat diduga bahwa kandungan kitab ini mengandung makna yang dalam, membaca untuk mengerti membutuhkan pikiran ekstra. Namun berkat kedua sharah tersebut, dapat dipahami dengan mudah.
            Pandangan (Ibn ‘At>}a'illah) terhadap dunia dapat dilihat dari doktrin t}ariqah ini yakni peniadaan rencana masa depan, sebab masa depan adalah otoritas Tuhan.[58] Manusia dalam hidupnya harus menyerah penuh terhadap kehendak Alla>h SWT dalam keadaan bagaimanapun. Dicontohkan oleh Ibn 'At}>a'illa>h, barang siapa yang berkeinginan berpaling dari dunia (tajrid),[59] tetapi Alla>h menempatkannya dalam posisi "sebab," dianggapnya sebagai dorongan dari hawa nafsu yang tersembunyi (s}ahwah al-khafiy), dan sebaliknya bagi yang dikehendaki Alla>h dalam keadaan tajrid, tetapi berkeinginan dalam "sebab," dianggap sebagai penurunan dari cita-cita yang tinggi.[60]
            Lebih jauh dinyatakan dalam al-H}ika>m, hati seseorang harus terbebas dari pikiran yang berkaitan dengan masalah keduniaan, sebab dunia merupakan sesuatu yang dapat menutup hati: "Bagaimana mungkin hati akan bersinar, bila gambaran-gambaran alam terpatri pada cerminnya (hati), atau bagaimana mungkin dia bangkit menuju Alla>h SWT., sedangkan dia dalam keadaan terbelenggu dengan shahwatnya, atau bagaimana mungkin dia akan masuk ke hadirat-Nya, sedangkan dia dalam keadaan tidak membersihkan diri dari kelalaian yang menodainya, bagaimana mungkin dia dapat mengharapkan memahami rahasia-rahasia yang rumit (Daqa>'iq al-Asra>r), sedangkan dia dalam keadaan belum bertaubat dari kesalahannya.[61]     

            Pemikiran Ulama Tentang Zuhd Sebagai Akhla>q
            Akhla>k ialah sikap jiwa yang tertanam dalam hati, yang mendorong perbuatan seseorang, dilakukannya dengan mudah. tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu.[62] Pengertian akhla>k yang demikian itu mengandung arti bahwa akhla>k ialah perbuatan yang telah mendarah daging dan telah menjadi adat kebiasaan, sehingga menjadi otomatis dalam melakukannya. Di sisi lain penilaian terhadap suatu perbuatan itu dititik beratkan pada motifnya. zuhd dalam kaitannya dengan akhla>k ialah sikap batin seseorang dalam menghadapi dunia ini.
            Zuhd termasuk akhla>k mahmu>dah yang seharusnya dimiliki seseorang dalam hidup dan kehidupan ini. Dalam kategori Al-Ghaza>li> termasuk sifat-sifat yang bisa menyelamatkan (al-Munjiya>t) manusia dari segala sesuatu yang menghancurkan (al-Muhlikat) kehidupan ini.[63]
            Pemaknaan zuhd dalam kehidupan sosial bisa berarti sikap seseorang terhadap dunia sebagai sikap protes terhadap ketimpangan sosial, politik dan ekonomi. Pada suatu saat dipergunakan oleh pihak tertentu untuk memobilisasi gerakan massa. Formulasi pemikiran zuhd ini bisa berbeda-beda, dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, politik dan ekonomi setempat.
            Pemikiran ulama sufi, baik ulama klasik maupun pertengahan tentang zuhd tersebut bila dipahami sebagai akhla>k Islam dan gerakan sosial maka formulasinya akan nampak berbeda-beda sesuai dengan konteks sosialnya sebagaimana dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
            Kezuhdan Abu> Dha>r tidak hanya sebagai maqa>>m, tetapi dipandang sebagai moral yang harus dimiliki oleh setiap umat Islam, bahkan zuhd dijadikan sebagai gerakan protes sosial atas berbagai ketimpangan yang terjadi. Ketika Nabi SAW., wafat jabatan khalifah dipegang oleh Abu> Bakr al-S}iddi>q, Abu> Dha>r tetap berjuang bersamanya, demikian pula ketika khalifah dipegang oleh Umar bin Khatta>b, sikapnya sebagaimana pada masa sebelumnya. Namun ketika kekhalifahan dipegang oleh Uthman bin `Affa>n, situasi sosial ekonomi berubah, orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin yang membutuhkan uluran tangan yang tidak tertolong, maka Abu> Dha>r, berupaya untuk memecahkan problema ini, meskipun khalifah tidak berkenan terhadap tindakannya, karena itu, dia diusir ke Sham.[64]
            Ketika dia telah berada di Sham, kondisi setempat sama dengan yang ada di Madinah, terjadi jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin, dia tergerak kembali untuk mengajak umat Islam hidup sebagaimana diajarkan oleh Rasululla>h SAW., dan sahabat-sahabatnya, dia membuat majlis ta'li>m di Masjid.
            Melalui lembaga ini dia berpidato, dan mengecam orang-orang kaya yang menimbun hartanya, dan tidak mau menginfakkan kekayaannya, mereka akan mendapat siksa yang pedih dari Tuhan, sambil menyitir surah al-Tawbah ayat: 34, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnyasebagian besar dari orang-orang alim Yahudi da Rahib-Rahib Nasrani bener-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.[65]
             Ayat ini berlaku untuk kaum muslimin. Dia berkata: "Setiap emas dan perak yang disimpan, adalah bagaikan bara api bagi pemiliknya, sehingga dia menginfakkan di jalan Allah".[66]
            Tujuan dari agitasinya itu ialah agar orang-orang kaya menyadari bahwa harta itu mempunyai fungsi sosial, bukan untuk mengharamkan harta bagi mereka.
            Ajakannya ini sangat berpengaruh terhadap orang-orang miskin maupun yang kaya, yang miskin timbul kebencian terhadap yang kaya dan sebagian yang kaya mau memberikan sebagian kekayaannya bagi kepentingan sosial. Mu'a>wiyah cemas dengan kegiatan ini, maka dia melaporkan aktifitas Abu> Dha>r kepada khalifah `Uthma>n bin `Affa>n, sehingga Abu> Dha>r dipanggil ke istana, dan setelah tiba, terjadi dialog panjang yang akhirnya mengakibatkan khalifa 'Uthma>n tersinggung dan terpojok, hal ini membuat khalifah marah dan menyuruhnya untuk pergi.[67]
            Karena agitasinya tetap berjalan bahkan berkembang maka atas desakan orang kaya setempat, Mu'awi>yah melakukan berbagai upaya pencegahan, namun hal itu tetap saja tidak berhasil, sehingga solusi terakhir diserahkan kepada Khalifah. Akhirnya dia diusir ke suatu daerah terpencil, yang jauh dari keramaian, yaitu Rabazah, dan hidup di tempat ini sampai wafat (65 H./630 M.).[68]
            Zuhud Menurut al-Qusyairi
Dalam memulai tulisannya tentang konsep zuhd al-Qushayri> memulai dengan Hadi>th Nabi yang berbunyi:
إِذاَ رَأيْتُمُ الرَّجُلَ قَدْ أوْتِىَ زُهْدًا فىِ الدُّنيْاَ وَمَنْطِقاً فاَقْتَرِبُوْا مِنْهُ فَإنَِّهُ يُلَقَّنُ الْحِكْمَةَ
Artinya: “Jika di antara kamu sekalian melihat seorang laki-laki yang selalu zuhd dan berbicara benar, maka dekatilah dia, sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan.”[69]

Dilihat dari konteks Hadi>th ini al-Qushayri> ingin mengindikasikan bahwa seorang za>hid adalah orang yang selalu mengajarkan kebijaksanaan, selalu menjaga perkataannya, dan tingkah lakunya  .
Hadi>th ini juga seakan mengambarkan bahwa za>hid adalah orang yang mempunyai akhla>q yang mulia, sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep zuhd yang pertama akan dibahas oleh al-Qushayri> adalah honsep zuhd dalam tataran akhla>q. 
Konsep zuhd dalam perspektif al-Qushayri> tidak jauh berbeda dengan beberapa ulama yang lain hal ini dapat dilihat dari uraiannya  yang menukil pendapat ulama pendahulunya yang menempatkan konsep zuhd dalam tataran maqa>>m namun begitu al-Qushayri> juga mengambil pendapat para ulama yang menempatkan zuhd sebagai akhla>q, sehingga dapat dipetakan bahwa pemikiran al-Qushayri> tentang zuhd bertumpu pada maqa>m dan akhlaq, dengan argumentasi ayat al-Qur'a>n, al-Hadi>th dan beberapa pendapat ulama tas}awu>f.
Al-Qushayri> membagi zuhd dalam tiga tingkatan hampir sama dengan al-Ghaza>li>, pertama,  zuhd dari barang yang haram. Kedua meninggalkan barang yang halal. Ketiga, hanya pasrah terhadap pemberian Alla>h dan tidak berkehendak selain dari Alla>h.[70] Dalam hal ini al-Qushayri> menukil sebuah ayat al-Qur'a>n Surat al-Nisa>’ ayat 77 yang berbunyi:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْياَ قَلِيْلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لمَِنِ اتَّقَى 
Artinya: “ Katakan Muhammad, kesenangan dunia hanya sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa.”[71]        

Menurut al-Qushayri> kata zuhd diambil dari ayat al-Qura>n surah al-Hadi>d ayat 23 yang berbunyi:
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوْا بِماَ آتاَكُم ْ
Artinya: “ (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya.” [72]

Konsep yang ditawarkan oleh al-Qushayri> mempunyai wujud kesederhanaan, wajar, inklusif, dan aktif dalam berbagai kehidupan.

1.      Zuhd sebagai Maqa>m
            Dalam tataran maqa>m konsep zuhd al-Qushayri> diawali dengan ayat al-Qur'a>n surat al-Nisa>’ ayat 77 yang artinya:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْياَ قَلِيْلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لمَِنِ اتَّقَى 
Artinya; "Katakanlah Muhammad, ksesenangan dunia adalah sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang bertaqwa".
  
Ayat ini lebih menekankan pada lelaku batin dari pada sosial. Konsep ini mempunyai arti bahwa harta hanyalah sebuah penghalang bagi kehidupan bahagia di akhirat. Seorang sufi harus meninggalkan kesenangannya apabila dia ingin mendapatkan kesenangan di akhirat dan kesenangan hanya akan dicapai apabila dia bisa mengekang hawa nafsunya dan mendekatkan diri pada Alla>h.
Konsep zuhd al-Qushayri> ini terlihat sangat ekstrim, ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang diambil oleh al-Qushayri> dalam merumuskan konsep zuhd-nya, pertama ia menukil pendapat gurunya sendiri yaitu Abu> Ali> al-Daqa>q, yang mengatakan, seorang yang zuhd mempunyai sifat anti kemewahaan dunia, dan tidak berkeinginan membanggun pondok dan Majlis Ta’lim.[73] karena hal itu hanya akan mengakibatkan sibuk sehingga akan melupakan Alla>h.
Lebih jauh al-Qushayri> mengatakan bahwa zuhd membawa implikasi mendermakan harta benda sedangkan cinta membawa implikasi mendermakan diri sendiri, sehingga seseorang yang hatinya sudah dipenuhi cinta pada dunia maka ia seperti orang yang tidak mempunyai harga diri, begitu juga sebaliknya apabila hatinya diliputi cinta pada Alla>h maka ia akan mengabdikan dirinya hanya pada Alla>h semata.[74]
Ibn al-Jalla>’ sebagaimana dikutip oleh al-Qushayri> mengatakan bahwa zuhd adalah memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai arti dalam pandangan, oleh karenya ia akan mudah sirna, tanda-tanda dari zuhd adalah merasa sangat senang meninggalkan segala bentuk kehidupan dan harta benda tanpa ada keterpaksaan.[75]
Zuhd adalah orang yang terisolir dalam kehidupan dunia sedangkan ma’rifat adalah orang yang terisolir dalam kehidupan akhirat, dan Alla>h tidak rela jika mereka menikmati dunia. Pendapat ini seperti yang diucapkan oleh al-Sirri dan Nashr Aba>di yang dinukil oleh al-Qushayri> dalam al-Risa>lah.
Senada dengan pendapat di atas berkata Abd. Wahi>d bin Zaid bahwa arti zuhd adalah meninggalkan Dina>r dan Dirha>m sekaligus meninggalkan semua aktivitas yang akan mengakibatkan lupa pada Alla>h.
Al-Qushayri> juga mengatakan bahwa Yahya> bin Mu'a>d berkata, seseorang tidak akan sampai pada tingkatan zuhd kecuali karena tiga hal. Pertama, berbuat tanpa ketergantungan (pamrih). Kedua, ucapan tanpa keingginan hawa nafsu. Ketiga, kemulyaan tanpa kekuasaan.
Dari pendapat ini al-Qushayri> berharap bahwa zuhd tidak akan bisa dicapai kecuali mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, melepaskan diri sepenuhnya dari keterikatan harta benda, baik yang halal apalagi yang haram, tujuan dari konsep zuhd ini hanya Alla>h semata, apabila seorang zahid lupa pada Alla>h karena dunia, maka hal itu adalah niscaya dan suatu kesalahan besar. Seorang zahid harus menyerahkan hidupnya hanya pada Alla>h. Karena kebersamaan dengan Alla>h adalah tujuan hidupnya.
Zuhd adalah meninggalkan kepentingan-kepentingan nafsu dari seluruh bagian yang ada di dunia, sehingga za>hid bisa mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki hanya pada Alla>h.

2.      Zuhd Sebagai Akhla>q
Dalam menguraikan konsep zuhd sebagai akhlaq al-Qushayri> menulis sebuah ayat al-Qura>n surah al-Hashr ayat 9 yang berbunyi:
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Artinya: “ Mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sangat butuh (apa yang mereka berikan).”[76]

Ayat ini menyiratkan bahwa orang yang mempunyai jiwa zuhd tidak akan merasa kehilangan walaupun harus menafkahkan hartanya yang tersisa untuk orang lain, dan mengutamakan kepentingan orang lain adalah utama. Ia tidak diperbudak oleh harta dan tidak terikat padanya. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Qushayri> dengan mengatakan hendaknya bagi seorang hamba jangan memilih meninggalkan barang yang halal karena terpaksa, jangan memilih hal yang tidak bermanfaat, dan hendaknya selalu memperhatikan pembagian rezekinya. Apabila Alla>h memberikan rezeki yang halal, hendaknya dia bersyukur, apabila Alla>h memberikan rezeki yang cukup, maka jangan memaksakan diri mencari harta yang tidak bermanfaat dengan menghalalkan bermacam cara, oleh karena itu sabar lebih baik untuk orang fakir, sedangkan syukur lebih relevan untuk orang yang mempunyai harta yang halal.[77]
Ayat di atas sarat dengan kehidupan sosial dan gotong royong dan lebih menekankan pada keberlangsungan hidup yang penuh dengan relasi-relasi sosial dan kepentingan masyarakat secara umum, karena pada dasarnya arti zuhd dalam hal ini adalah lebih memperhatikan keseimbangan dan keserasian dalam menjalani kehidupan, dan manusia akan selalu saling membutuhkan agar tercipta kehidupan yang dinamis dan harmonis.
Konsep ini mengajak manusia untuk menatap masa depan bahwa hanya dengan saling melengkapi dan membantu sesamanya keberlangsungan hidup akan terus berjalan.
Al-Qushayri> berusaha medekontruksi konsep zuhd yang terlihat ekstrim dan menolak dunia, menjadi sebuah konsep yang dinamis, dalam tataran akhla>q al-Qushayri> tidak malah menganjurkan untuk meninggalkan dunia, tapi ia menekankan bagaimana orang yang kaya bisa memanfaatkan hartanya untuk orang lain, dan tidak ada rasa kehilangan apabila harta tersebut bermanfaat bagi orang lain, karena harta yang dimiliki adalah titipan dari Alla>h, dan dia tidak tergantung pada harta atau dunia, kalau dilihat dari ayat di atas pastilah maklum bagaimana orang-orang Ans}or membantu kaum Muhajirin dari Makkah yang datang hanya membawa keperluan seadanya.      
Al-Qushayri> menukil pendapat Sufya>n al-Thawri> bahwa seorang za>hid bukan memakan sesuatu yang keras dan memakai baju yang kasar, tapi lebih bersikap rela terhadap pemberian Alla>h dan selalu bersyukur, seorang zahid sejati adalah orang yang rendah hati di dunia ini, bersikap mengasihi pada orang lain dan memperhatikan kebutuhan umat muslim.[78]
Menurut Ahmad bin Hamba>l arti zuhd adalah memperkecil cita-cita dan kehendak dari dunia, zuhd terbagi menjadi tiga, pertama, meninggalkan hal yang haram. Ini adalah zuhd orang yang awam. Kedua, meninggalkan yang halal. Ini adalah zuhd orang yang istimewa. Ketiga, meninggalkan segala hal yang menyibukkan sehingga jauh dari Alla>h. Zuhd model terakhir ini hanya bagi orang yang Ma’rifat.[79]
Al-Qushayri> mengatakan bahwa seseorang akan bisa menempati kedudukan tawakal dan memakai selendang zuhd apabila ia mampu melatih jiwanya dengan samar. Seandainya Alla>h tidak memberinya rezeki selama tiga hari, jiwanya tidak akan menjadi lemah. Jika hal ini tidak dapat dilalui, maka ia tidak berhak untuk duduk di tempat orang zahid.
Dari konsep yang ditawarkan oleh al-Qushayri> ini dapat dianalisa bahwa konsep zuhd dalam lingkup akhlaq mempunyai makna mendahulukan sikap yang baik, salah satunya mementingkan urusan orang lain. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan membutuhkan, maka ia harus mendahulukan kepentingan orang lain dari pada  kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada orang lain (yang membutuhkan). Ia tidak akan makan sebelum memberi makan orang lain. Ia tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. Ia juga tidak mau istirahat dengan enak sampai orang lain bisa beristirahat dan merasa tenang. Ia tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk îtsâr (sikap lebih mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr.[80]
Ke-zuhd-an semacam ini merupakan kezuhdan yang hakiki, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Ke-zuhd-an semacam inilah yang dimiliki Ima>m Ali> bin Abi> T}alib. Beliau tidak makan, namun juga tidak membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian (bagus-bagus) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain.[81] Dalam al-Qura>n surat al-Insa>n ayat 8-9 Alla>h berfirman:

وَيُطْعِمُوْنَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْناً وَيَتِيْماً وَأَسِيْرًا  إنَِّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرًا
Artinya: "Dan mereka memberi makan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang. Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih."[82]

Madhab akhlak yang tidak menganjurkan ke-zuhd-an semacam ini adalah madhab yang tidak memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang paling tinggi, untuk itulah tujuan zuhd dalam lingkup akhlaq adalah mempunyai sikap yang peduli pada orang lain. Hal ini juga sesuai dengan ayat al-Qur'a>n yang dinukil oleh al-Qushayri> ketika memulai pembahasan ini.
Dalam konsep yang ditawarkan al-Qushayri> lebih menekankan konsepnya berdasarkan pada ayat al-Qur'a>n dan al-Hadi>th Nabi, seakan menunjukan bahwa konsep zuhd yang ditawarkan bukan hanya sebuah konsep yang dijalankan oleh para tokoh sufi sebelumnya, tapi lebih kepada bagaimana seorang muslim bisa mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur'a>n sesuai dengan realitas kehidupan yang diaplikasikan oleh Rasu>lulla>h. Untuk mendukung konsepnya al-Qushayri> kemudian mengambil beberapa pendapat ulama sufi aliran Sunni terutama ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh gurunya Ali> al-Daqa>q.






[1] Edward Said,Orientalisme (Bandung: Pustaka Salman 1985), 135.
[2] Willian C Chittick, Sufism A Short Introduction, terj. Zainul Am. (Bandung: Mizan), 18.
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), 71.
[4] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), 62.
[5] Ibid,, 62.
[6] Abu> Nashr al-Sarra>j, al-Luma>  (Kairo: Maktabah al- Thaqa>fah, t.t.),189. 
[7] Amin Syukur,  Zuhd di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), vi.
[8]  Ibid., vii.
[9]  Ibid., vii.
[10] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Islam, 10.
[11] Lois Ma’luf al-Yasu’I, al-Munjid fi> al-Lugha>h wa> al-Adab (Beirut: Katulikiyah, t.t. ), 308.
[12] A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. al-Munawir, 1984), 626.
[13] Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 35.
[14] A. Mun’in al-Jifni, Must}alaha>t al-S}ufiyyah (Beirut: Da>r al Masirah, t.t..), 121.
[15] Karena setiap tokoh sufi memiliki pengalam pribadi masing-masing dalam menguraikan konsep zuhd, maka penempatan zuhd dalam struktur maqa>ma>t-nya berbeda-beda pula, dan diuraikan sesuai kondisi pengalaman mereka.
[16] A. Hakim Hasan, al-Tas}awu>f fi> Shi’r al-Arabi> (Mesir: al-Anja>lu al-Mis}riyah, 1954 ), 42. 
[17] Al-Qushayri>, al-Risa>lah., 115.
[18] Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik (Bandung: Mizan,1997), 261.
[19] Ibid., 116.
[20] Abu> Hami>d al-Ghaza>li>, Muka>shafah al-Qulu>b ( Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),107.
[21] Abd. Karim al-Qushayri>, al-Risa>lah, 116.
[22] Ibid., 117.
[23] Abu> Nahsr al T}usi, al-Luma>, 65.
[24] Al-Qushayri>, al-Risa>lah, 115.
[25] Abu> al-Ghafa> al-Taftazani, Madkha>l, 56-57.
[26] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, 56-57.
[27] Abu> al-A’la> Afifi>, dalam kata pengantar edisi bahasa Arab buku Nicholson, fi> al-Tas}awu>f  al-Isla>m wa Tari>khihi> (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa> al-Tarjamah wa> al-Nasr, 1969),123.
[28] Ibrahim Madzku>r, fi> al-Fala>sifah al-Islamiyah Manha>j wa Tadbiq, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 68 
[29]Abu> al-Ghafa> al-Taftazani>, Madkha>l, 58 dan 250, lihat juga, Amin Syukur, Zuhd di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5-6.
[30] al-Sami>’ al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi> al-Islamyi> Jilid III (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1977), 74.
[31] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Bakhtiar Baru Van Houve, 2000), 241. 
[32] Ibid., 242.
[33] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve, 1993), 80-81.
[35] Ibid., 82.
[36]  Ibid.
[37] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme, Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari 2008), 3.
[38] Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi> al-Taftazani>, Madkha>l, 72-75.
[39] Ibn Taimiyyah,al-S}ufiyah wa> al-Fuqara> (Kairo : Matba’ah al-Mana>r 1348 H.), 3-4.
[40] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme,Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari 2008), 3-4.
[41] Yayasan al-Mutahari, Pengantar Kepada Irfan,  dalam al-Hikmah, jurnal studi-studi Islam, no. 5, Maret-Juni (Bandung: Yayasan al-Mutahari, 1992), 17.
[42] Harun Nasution,  Mistisme dalam Islam, 13.
[43]Abd. Al-Hakim Hasan , al-Tas}awu>f fi> Shi’ri al-Araby (Mesir: Anjalu al-Misriyah, 1954), 38.
                [44] Kisah atau biografi yang mendetail tentang Hasan tidak banyak ditulis oleh para ulama, yang banyak dijumpai adalah tentang kata-kata mutiaranya. Ibid.
[45] Al-Nasysyar, Nash'at al-Fikr, 130.
[46] Abd. Al-Hakim Hasan,  al-Tasawuf, 38.
[47] Ibid.
[48] Abu> Hami>d al-Ghazali> , al-Munqiz min al-D}ala>l (Mesir: Da>r al-Kutb al-Hadithah, t.t.), 5.
[49] Aliran Ash’ariyah adalah aliran teolog Islam yang menginduk kepada Abu> Hasan al-Ash’a>ri yang hidup dimasa Mutawakkil khalifah dawlah Abbashiyah.
[50] Abu> Hami>d al-Ghazali>, Ihya>’ al-Ulu>l al-Di>n  Juz IV, 211.
[51] Ibid., 211-212.
[52] Ibid., 219.
[53] Harun Nasution, Pembaharuan Pemikira dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 12.
[54] Ibn At}a’illah, al-Hika>m (Surabaya: al-Hidayah, 1872), 11. 
[55] Abu al-Hasan al-Shadzili>, adalah seorang ulama sufi yang beraliran sunni berasal dari Shadzilah Tunisia. Bersama beberapa muridnya hijrah ke Mesir dan tinggal di Iskandariyah (640), mereka membuat suatu aliran sufi  yang nantinya terkenal sebagai sebuah t}ari>qah, ajarannya berkisar pada lima perinsip yaitu Taqwa, Konsisten dengan al-Sunnah, Menghormati makhluk, Rid}a pada Allah, Kembali kepada Alla>h. Lihat al-Taftazani, Madkhal, 241.  
[56] al-Mursi> adalah penerus t}ari>qah Shadziliyah, wafat tahun 686 H. Lihat Ibid., 241-242.
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Tajrid dalam ilmu tas}awu>f berarti menghilangkan sifat-sifat dan sebab-sebab keterikatan dengan dunia, menghadap pada Allah secara psikis namun fisiknya tetap bergumul dengan relitas sosial.
[60] Ibnu At}}a’illa>h, al-Hikam, 4. 
[61] Ibid., 17.
[62] Ibn Maskawih, Tahzib al-Akhla>q wa> Tat}hir al- I’tiqa>d (Mesir: Muhammad Ali> Sabih, 1959), 31.
[63] Abu> Hami>d al-Ghazali>, Ihya>' ulu>m al-di>n Juz III, 52.
[64] Al-Nashshar, Nash'at al-Fikr, 80.
[65] Al-Quran al-Karim, Depag RI.
[66] Ibid., 88.
[67] Ali zainal, Sejarah Sahabat Rasulullah (Yogyakarta: Graphindo persada, 2001), 154.
[68] Ibid., 155.
[69] Diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Naim bersama al-Baihaki, sementara al-Shuyuti menganggapnya lemah. al-Jami’ al-Shaghir, juz I, no. 635  (Beirut: Da>r al-Fikr, tt.), 84. 
[70] Al-Qushayri>, al-Risa>lah al-Qushayr>iyah 111.
[71] Al-Quran al-Karim.
[72] Al-Quran al-Karim.
[73] Al-Qushayri>, Op. Cit., 115 .
[74] Ibid.
[75] Ibid., 117.
[76] Al-Quran al-Karim.
[77] Al-Qushayri>, Op.Cit., 118
[78] ibid
[79] Muhammad ibn Ali, al-Ta’rifat, (kairo: Dar al-Tsaqafah, 1983), 76.
[80] Al-Qushayri>, Op.Cit., 118.
[81] Ibid.
[82] Al-Quran al-Karim.