Selasa, 31 Januari 2012
AUFKLARUNG: IBN ARABI
AUFKLARUNG: IBN ARABI: TASAWUF IBNU ‘ARA>BI> A. PENDAHULUAN Ibnu ‘Ara>bi> oleh ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal ...
IBN ARABI
TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>
A. PENDAHULUAN
Ibnu ‘Ara>bi> oleh
ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal itu
dikarenakan Ibnu ‘Ara>bi> telah mengompromikan dalam pemikirannya antara
tawasuf dengan filsafat. Beliau termasuk ulama sufi yang produktif dan berhasil
mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh
dalam ajarannya wihda>t al-wuju>d. Ajarannya itu sempat
menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar syaikh al-akbar,
di samping juga karena beliau telah mengurai secara detail, luas dan mendalam
pemikirannya itu dan tidak ditemui sosok demikian pada zamannya.
Ajaran wihda>t al-wuju>d
dalam tasawuf Ibnu ‘Ara>bi> merupakan ajaran yang melihat masalh
wujud (dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia) sebagai satu kesatuan yang utuh,
namun berada dalam dimensinya masing-masing. Tuhan menurutnya meliputi segala
yang ada, sehingga yang ada bersifat nisbi dan tidak mutlak sedangkan yang
Mengadakan bersifat mutlak dan tidak terbatas. Sebab, yang ada merupakan
‘penampakan’ bagi diri-Nya dan bersumber dari-Nya serta Dialah yang menjadi
esensinya.
Terkait dengan alam, Ibnu ‘Ara>bi>
mengatakan bahwa alam termasuk salah satu ciptaan-Nya yang paling agung. Alam
adalah manifestasi dari asma>’ dan sifa>t Allah. Tujuan
penciptaan alam sendiri adalah supaya Allah dapat dikenali melalui asma>’
dan sifa>t-Nya itu. Pendapatnya itu didasarkan pada hadis Qudsi: aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.[1]
Begitulah sekelumit
pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> yang membuat namanya menjadi masyhur sepanjang
masa. Makalah ini akan membahas tentang sosok Ibnu ‘Ara>bi>, mulai dari
sejarah hidupnya, karyanya, pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap
perkembangan pemikiran Islam.
B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA
IBNU ‘ARA>BI>
- Kelahiran dan Pendidikan
Nama
lengkap Ibnu ‘Ara>bi> yaitu Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad
al-Haitami al-Tha’i al-Andalusi. Dia lahir di Murcia pada tanggal 17 Ramadan
560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.[2]
pada masa pemerintahan Muhammad bin Sa’id bin Mardaniah.[3]
Secara ras, dia keturunan suku Arab Tayy.[4]
Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, kelahirannya
jelas menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.[5]
Dalam
sejarah, terdapat banyak gelar yang diberkan kepada Ibnu ‘Ara>bi> yang di
antaranya syaikhu al-akbar, khatimu al-anbiya’ al-muhammadiyah, syaikhu
al-a’dham, quthbu al-‘arifin, rahibu al-‘alam, dan masih ada gelar lainnya.[6]
Orang-orang yang sezaman dengannya memanggil Ibnu ‘Ara>bi> dengan Abu
Abdullah, sedangkan para penulis dalam buku-bukunya lebih banyak menyebutnya
Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu sekaligus sebagai pembeda dengan Abu Bakar
Muhammad Ibnu ‘Ara>bi> yang merupakan Qadi Sevilla, dan Ibnul ‘Ara>bi>
tokoh hadis yang juga terkenal.
Pada masa
kecilnya, Ibnu ‘Ara>bi> menghabiskan hidupnya dengan keluarga tercinta.
Dia berada dalam keluarga yang terhormat, ayahnya[7]
adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad Ibn Said Mardanish,
penguasa Murcia. Sedangkan pamannya dari pihak ibu adalah penguasa Tlemcem,
Algeria. Di samping ayahnya menjabat di pemerintahan, dia juga terkenal dengan
kedalaman ilmunya sekaligus kesalehannya. Ibnu ‘Ara>bi> kecil semenjak
kecil telah menerima bimbingan keagamaan dari keluarganya secara langsung.
Menginjak
usia yang ke 8 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> bersama keluarganya meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, sebuah kota kecil di daerah Sevilla. Di
kota kecil inilah dia mendapatkan pendidikan agama islam seperti membaca
al-Quran dan mempelajari hukum islam dari Shekh Abu Bakar bin Khalaf.[8]
Selanjutnya, ia bersama keluarganya berpindah ke kota Sevilla dimana kota ini
ramai dan makmur sekaligus sebagai ibukota kerajaan al-Muwahidun di Spanyol.
Selain itu, kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur dimana
penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof, teolog, dan para wali berdampingan.
Otomatis, Ibnu ‘Ara>bi> tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide
brilian para pemikir, ilmu pengetahuan dan filsafat yang sedang berkembang
dengan pesat.
Di
Sevilla ini, Ibnu ‘Ara>bi> mudah menjalani hidupnya seperti lazimnya anak
muda yang baru tumbuh. Walaupun dia tidak mendapatkan pendidikan di tempat
resmi, dia mendapat pendidikan privat dari seorang tetangganya yaitu Abu
Abdullah Muhammad al-Khayyat; seorang tokoh yang terkenal dengan ilmu al-Quran,
yang kemudian pada masa berikutnya menjadi guru sekaligus teman bermainnya
selama beberapa tahun.[9]
Dalam penjelasan lain, pada waktu itu pula Ibnu ‘Ara>bi> telah belajar hadis,
fiqih, dan ilmu agama lainnya kepada muritd Ibnu Hazm, salah seorang Imam madzhab
yang cukup terkenal.
Selama
menetap di Sevilla, Ibnu ‘Ara>bi> muda sering melakukan perjalanan ke
berbagai daerah di Spanyol dan Afrika, Utara khususnya. Dalam perjalanan
itulah, dia menjadikan sebagai kesempatan untuk menemui para sufi dan pemikir
terkemuka. Salah satu kunjungannya yang mengesankan adalah pertemuannya dengan
Ibnu Rusyd (w 595 H/1198 M) di Kordova, tepatnya pada tahun 575 H/1179 M.[10]
Ibnu Rusyd sendiri adalah teman ayahanda Ibnu ‘Ara>bi>.
Menginjak
umurnya yang ke 16 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan diri untuk menjalani
pengasingan diri (khalawat). Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa setelah
dia berfoya-foya dengan makanan bersama teman-temannya, dia secara tiba-tiba
mendengar seruan ‘Wahai Muhammad, bukan untuk itu engkau diciptakan’. Karena
takut dengan mendengar suara tada, kemudian dia lari ke sebuah pemakaman di
luar kota Sevilla. Di tempat itu, dia menjumpai lubang seperti gua dan masuk ke
dalamnya. Selama empat hari dia tinggal di sana sendirian dan berdzikir dengan
khusyu’.[11]
Di sinilah tanda-tanda kebatinan Ibnu ‘Ara>bi> mulai tampak.
Beberapa
tahun kemudian, dia diberi kepercayaan oleh penguasa al-Muwahhidin (Abu Bakar
bin Abd. Al-Mu’min) untuk menjadi sekretaris gubernur. Pernah terlintas dalam
benaknya bahwa jabatan itu akan dia fungsikan sebagai media pengabdiannya
kepada Negara sebagaimana telah dilakukan oleh ayahnya. Namun selama
pengabdiannya justru sebaliknya. Pekerjaan yang semakin banyak dan ruwet justru
membuatnya merasa semakin jauh dari Tuhan. Begitu juga, harta dunia yang
dimilikinya selalu menjadi ganjalan fikiran dan kegelisahan batinnya. Oleh
sebab itulah, pada satu waktu Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan untuk melepaskan
rutinitasnya yang ia sendiri menyebutnya sebagai period ke-jahilan.
Disebut kejahiran menurutnya karena tidak peduli kepada Tuhan dan lebih
tertarik pada kehidupan duniawi.
Pada
tahun 590 H/1193 M., ketika pemikiran spiritualitas Ibnu ‘Ara>bi> telah
mengkristal, dia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama, dia menuju kota
Murur untuk menemui Syekh Abu Muhammad al-Mururi yang dikabarkan sebagai ahli
spiritual. Selanjutnya dia meneruskan ke Kordova dan Granada. Setelah merasa
puas berkelana di berbagai kota Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan
menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) al-Jazair untuk
mengunjungi Syekh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf di sana[12]
dan merupakan syekh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang
yang juga turut berpengaruh pada kehidupan spiritual Ibnu ‘Ara>bi>. Hal
itu terbukti dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri khususnya ruh al-qudus
dan al-Durrah al-Fakhirah di mana di dalamnya Ibnu ‘Ara>bi>
sering menyebut nama Abu Madyan. Walau demikian, dalam sejarah lain disebutkan
bahwa Ibnu ‘Ara>bi> secara fisik tidak pernah bertemu dengan Abu Madyan
akan tetapi keduanya telah bertemu di alam spiritualnya, bahkan menurutnya telah
berkali-kali.[13]
Di samping Abu Madyan, dia juga belajar pada murid-muridnya di antaranya al-Maururi,
al-Kumi, dan al-Sadrani, Abd. Aziz al-Mahdawi, dan Muhammad Abdullah al-Kinani.
Dari
Bugia, Ibnu ‘Ara>bi> meneruskan pernalanannya ke Tunisia. Di kota itu dia
mengkaji karya seorang sufi Abu al-Qasim Ibn Qushai, khal’an na’lain. Di
kota ini pula, dia mengatakan pernah bertemu dengan nabi Khidir untuk kali
pertama. Dalam pertemuannya, dia diberikan wejangan untuk lebih mengedepankan
spiritualitas dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Pertemuan kemudian
terjadi dua kali lagi pada akhir tahun 1194 M., ketika Ibnu ‘Ara>bi>
kembali ke Andalusia. Pertemuannya dengan nabi Khidir berlangsung dalam kondisi
yang berbeda. Pertama, berlangsung di daratan tepatnya di jalan kota pada siang
hari. Kedua, bertemu di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan
purnama. Ketiga, Khidir menampakkan diri di atas udara.[14]
Dari tiga pertemuan tersebut, tampak bahwa ada tahapan ajaran Khidir dalam
menuntun Ibnu ‘Ara>bi> ke dalam pengetahuan misteri ilahi dan
mendorongnya untuk merenungkan kualitas dirinya.
Pasca
pertemuannya dengan nabi Khidir, Ibnu ‘Ara>bi> terus berulangkali bertemu
dengan para nabi yang juga membimbingnya pada jalan spiritual, termasuk nabi
Hud, Isa, Musa hingga nabi Muhammad. Pertemuaannya dengan nabi Muhammad
berlangsung beberapa kali dalam situasi yang berbeda pula dan dianggapnya
sebagai ajaran penyempurna dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Ketika
ayahandanya meninggal dunia, Ibnu Arabai kembali ke Sevilla dan otomatis
menjadi tulang punggung keluarganya, utamanya dia harus mengasuh kedua saudara
perempuannya. Pada waktu itu pula disebutkan bahwa dia sempat putus asa dan
ingin kembali pada kehidupan dunia namun niatan itu tidak terjadi. Setelah
pergolakan politik di Sevilla mulai bergolak, pada tahun 594/1198 dia bersama
saudaranya pindah menuju Fez[15]
dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Di kota inilah kebahagiaan Ibnu
‘Ara>bi> dalam spiritualitasnya dapat dikatakan telah terpenuhi, karena
dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh pada Tuhan.
Bukan
hanya itu, Ibnu ‘Ara>bi> juga pernah berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir
dan lainnya. Di akhir perjalanannya yang panjang, pada tahun 598 M Ibnu
‘Ara>bi> tiba di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Dia menetap di
Makkah selama tiga tahun dan tidak pernah kembali ke Maroko maupun Andalus. Di
sana dia mengenal imam masjid Haram yang terkenal dengan nama Abu Khasyah dan
menikahi putrinya, Nidzam dan menulis buku khusus yang diberi judul ‘tarjuman
al-ashwaq’. Buku itu merupakan kumpulan syair indah bertema cinta dan
dibumbui dengan kisah sufistik. Di Makkah pulalah dia dapat melahirkan beberapa
karya terkenalnya.
Negara
Timur pada saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ayyubiyah keluarga
Shalahuddin atau Saladin. Aturan negara tersebut diterapkan hingga Mesir dan
Syam serta Hijaz. Ibnu ‘Ara>bi> telah melakukan perjalanan panjang
mengunjungi kota-kota di Timur. Tentara Salib masih menempati bagian dari
tanah-tanah Muslim di Syam dan masih berada dalam Emirat Antakya dan Tripoli.
Hal inilah yang dapat menjelaskan kepada kita tentang pandangan keras Ibnu
‘Ara>bi> terhadap tentara Salib.
Di
Mosul, Ibnu ‘Ara>bi> bertemu Syaikh Ibnu ‘Ara>bi> Sufi Ali bin
Jami' dan di hadapannya ia mengenakan baju wol sufi. Di Kairo, ia mencetuskan
Pantheisme (wihdat al-wujud). Lalu ia ditolak oleh para ulama fikih dan
mereka mempengaruhi khalayak umum. Akan tetapi, pengadilan Ayyubi pemegang
kekuasaan Mesir pada saat itu memberikan toleransi kepadanya sehingga tidak
memberikan hukuman.
Dari
Mosul pindah ke Konya. Di sana, raja Konya memberikan sebuah rumah bernilai
100.000 dirham untuk ditempatinya. Pada suatu hari, seorang pengemis datang
mengetuk pintu. Ibnu ‘Ara>bi> berkata: Saya tidak memiliki apa-apa selain
rumah ini. Ambillah untukmu.
Hanya
berapa waktu lamanya, dia pergi ke Baghdad. Di kota ini sekelompok aliran sufi
berkumpul bersamanya. Lalu ia kembali ke Konya dan kemudian ke Malta. Kemudian
pergi ke kota Aleppo. Ibnu ‘Ara>bi> tinggal di Aleppo hingga sampai 620
H. Setelah itu ia meninggalkan Aleppo pindah ke Damaskus hingga ia meninggal
dunia dan dimakamkan di sana pada 28 Rabi'ul Awal 638 H / 16 Nopember 1240 M.[16]
- Karya-karya Ibnu ‘Ara>bi>
Ibnu
‘Ara>bi> di samping dikenal sebagai ulama sufi yang besar, dia juga
mashur dengan penuli\\\\\\\\\\\\\\\\\s yang produktif. Hal itu dibuktikan
dengan karya-karyanya yang sangat banyak dan multi bidang. Berikut penulis
sajikan beberapa kitab yang ditulis oleh beliau:
1. \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\Futuhat
al-Makkiyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan
prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di
dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Buku ini juga katanya
dibimbing langsung oleh malaikat inspiratif, bahkan Tuhan.
2. Fusus al-Hikam, menurutnya buku ini ditulis dengan bimbingan dari
Nabi.
3. Tarjuman al-Ashwaq
4. Insha al-Dawair
5. Uqlat al-mustawfiz
6. al-Tadbirat al-Ilahiah
7. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyyah
8. Kitab Al-Isrâ’
9. Mawaqi al-Nujûm
10. ‘Anqa` Mughrib
11. Mishkat al-Anwâr
12. Hilyat al-Abdal
13. Rûh al-Quds
14. Taj al-Rasâil
15. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya.
16. Tanazzulat al-Mawsiliyyah
17. Kitab al-Jalal wa al-Jamâl
18. Kitab Kunh ma la budda lil Murid Minhu
Menurut
Osman Yahya, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn ‘Arabi, tulisan
Ibn ‘Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 dari tulisan
itu masih ada tetapi sekitar 450 yang dinilai benar-benar asli.[17]
C. PEMIKIRAN IBNU ‘ARA>BI>
Secara
tipikal, Ibnu ‘Ara>bi> diklasifikasikan sebagai penganut tasawuf falsafi
oleh beberapa tokoh. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ibnu
‘Ara>bi> telah memadukan antara intuisi dan akal dalam mendekatkan diri
pada Tuhannya sekaligus dalam mengkaji ayat-ayat Nya yang ada di dunia
ini.[18]
Namun demikian, tidak berlebihan juga jika kemudian Afifi memandangnya sebagai
seorang filosof karena Ibnu ‘Ara>bi> sering berangkat dari
pemikiran-pemikiran spekulatif.
Terlepas
dari itu, dalam tulisan ini akan dibahas secara fokus pada pemikiran Ibnu
‘Ara>bi> dari sudut pandang tasawuf. Sebagaimana yang telah mafhum, bahwa
Ibnu ‘Ara>bi> merupakan sosok ‘pertama’ yang melahirkan ajaran wahdat
al-wujud, penyatuan antara Tuhan, manusia dan alam.
Wahdat
al-wujud adalah istilah
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[19]
Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata
wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’
terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi
lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk),
antara yang lahir dan yang bathin. Adapun pemahaman yang digunakan oleh para
sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki
satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud tidak pernah terlontar dari
Ibnu ‘Ara>bi> maupun dalam tulisan-tulisannya.[20]
Menurut Ibnu
‘Ara>bi>, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya,
wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya
(makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat. Paham ini merujuk kepada
timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan)
sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud
Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan
paham ini dibangun berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagaimana yang
diterangkan dalam al-hulul yang berarti suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan
dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri
manusia terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan.
Paham wahdat al-wujud ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam
alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya
dimiliki oleh Allah SWT.
Untuk
lebih spesifik, berikut penulis paparkan secara rinci terkait dengan
pemikirannya tentang Tuhan, alam maupun manusia:
1. Pemikirannya tentang Ketuhanan
Pemikiran
Ibnu ‘Ara>bi> tentang Tuhan tidak lepas dari istilah wujud. Wujud
dalam pandangannya adalah sesuatu yang ada secara mutlak (wujud al-mutlaq)
atau realitas puncak dari segala sesuatu (al-wujud al-kulli). pendeknya,
istilah wujud Ibnu ‘Ara>bi> hakikatnya berkonotasi pada Tuhan
pencipta yang Maha Segalanya. Namun kemudian, karena Ibnu ‘Ara>bi>
memiliki pandangan bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dilepaskan maka istilah wujud sendiri diartikan sebagai
realitas, baik realitas konkret (yang Mutlak/Tuhan) maupun realitas abstrak;
alam dan manusia.
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, Tuhan bukanlah Allah sebagaimana yang dipersepsikan oleh
kebanyakan masyarakat bahwa Dia yang memberi pahala, memberi siksa, mengasihi
dan menolong. Hal demikian tidak bisa dikonsepsikan sebagai Tuhan karena hanya
bagian kecil dari Nya. Tuhan secara hakiki, menurutnya, hanya bisa diketahui
oleh orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. Orang yang berada dalam
dunia sadar tidak bisa mempersepsikan Tuhan.[21]
Dengan
pendapatnya itu bukan lantas Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa orang awam
tidak bisa ‘melihat’ Tuhan. Menurutnya, ada tingkatan-tingkatan khusus yaitu
ketika Tuhan bertajalli melalui tiga tahap:
a) Martabah
Aha>di>yah (dhati>yah).
Dalam tahapan ini wujud Allah merupakan dhat mutlak dan mujarrad, tidak
bernama dan tidak bersifat. Oleh karena itu, Dia tidak dapat difahami atau
dikhayalkan.
b) Martabah
Wahi>di>yah, dalam
tahapan ini wujud Tuhan berupa wujud potensial yang bersatu dengan sifat dan
asma’-Nya. Tahapan ini bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dalam puncak
spiritualitasnya.
c) Martabah Tajalli
Shuhudi atau faid}
al-muqaddas, pada tahapan ini Tuhan bertajalli melalui sifat dan asma’Nya
dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual dan dapat difahami oleh semua
mahluk-Nya.[22]
2. Pemikirannya tentang Alam
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, alam adalah ciptaan Tuhan yang sangat agung, karena alam
merupakan maz}har atau manifestasi dari sifat dan asma’-Nya. Allah
menciptakan alam sebagai tajalli Nya sehingga Dia dapat dikenali lewat asma’
dan sifat-sifat-Nya oleh mahluk. Pendapat Ibnu ‘Ara>bi> itu didasarkan
pada hadis Qudsi yang artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk dan melalui Aku
merekapun kenal pada-Ku.[23]
Dengan
hadis tersebut, jelas bahwa tanpa adanya alam maka asma’ dan sifat Allah akan
kehilangan makna dalam arti hanya berada dalam kemujarradannya. Oleh karenanya,
Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam
kesendirian-Nya sehingga Dia bertajalli pada mahluknya melalui asma’ dan
sifat-Nya sehingga Dia memiliki ‘rival’ dalam martabat shuhudiah-Nya.[24]
Terkait
dengan alam ini, Ibnu ‘Ara>bi> membaginya menjadi empat macam yaitu: 1)
Alam jabarut, dimana alam ini ditempati oleh sabda ilahi dan daya
rohani. 2) alam misal, alam ini menjadi tempat himmah dan doa-doa para
wali. 3) alam malakut, yaitu dunia para malaikat, dan 4) alam nasut atau
alam manusia yang juga merupakan tajalli Tuhan. Namun demikian, menurut Ibnu
‘Ara>bi>, keempat alam tersebut hakikatnya bermuara dari satu esensi yang
disebutnya sebagai haqiqah Muhammadiyah atau akal pertama menurut
al-Farabi.
Seperti
sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi
yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang
terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata
Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang
terpecah-pecah, maka tajalli asma’ dan
sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy,
alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh,
sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan
menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah
itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia, sebab manusialah
yang dapat menampung sifat-sifat Jamal dan Jalal-Nya.[25]
Dengan demikian,
keberadaan alam empirik memberi makna terhadap perwujudan asma’ dan sifat-Nya,
sebab tanpa adanya alam yang bersifat empirik maka Dzat yang Mutlak akan tetap
tinggal dalam kemujarradannya yang tidak dapat dikenal oleh siapapun, serta
akan tetap dalam bentuk citra akali. Di sinilah letak urgensi wujud alam
sebagai manifestasi dari kehendak ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak
yang terjelma dalam berbagai bentuk emprik yang terbatas. Namun, semua yang
tampak dalam wujud empirik tidak lain adalah sifat dan asma’-Nya yang merupakan
perwujudan bagi diri-Nya, bukanlah dzat-Nya. Sebab dzat Tuhan tidak ada yang
dapat menggambarkan dan membandingkannya. Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan: setiap
yang maujud memiliki bentuk sedangkan Dzat Tuhan tidak memiliki bentuk.[26]
3. Pemikirannya tentang
Manusia
Mengenai
manusia, Ibnu ‘Ara>bi> berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi
tempat tajalli Allah bukanlah sembarang
manusia melainkan insan kamil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang
telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam
dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu
‘Ara>bi>, nur Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang paling
sempurna, ia diciptakan sebelum alam dan manusia diciptakan. Bahkan, melalui
nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan alam dan manusia.
Dengan
kesempurnaan itulah, manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi oleh
Tuhan. Bahkan menurutnya, yang menyandang predikat khalifah di muka bumi hanya
manusia tidak mahluk yang lainnya. Allah berfirman: sungguh Aku telah
menjadikan khalifah (Manusia) di muka bumi.[27]
4. Pemikirannya tentang
Penciptaan
Pandangan
Ibnu ‘Ara>bi> terkait dengan penciptaan tidak lepas dari pemikirannya
tentang hakikat wujud yang bertajalli pada realitas alam, sebab realitas alam
merupakan penampakan bagi diri-Nya, sekaligus menjadi eksistensi diri Ilahi
yang bersifat immanen. Dengan kata lain, bahwa realitas alam selurhnya tidak
lepas dari keberadaan yang Maha Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada.
Namun demikian tidaklah berarti sebaliknya, dengan tidak adanya alam semesta
bukan berarti ketiadaan-Nya, sebab Dia ada dengan Dirinya sendiri. Sedangkan
alam semesta menjadi ada sebab tajalli-Nya. Dengan demikian, alam semesta
adalah sesuatu yang ada di luar diri-Nya, dengan melalui proses penciptaan
sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman-Nya.[28]
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, masalah penciptaan tidak hanya terkait dengan kemahatinggian
sang Pencipta sebagai hakikat dari segala sesuatu, akan tetapi terkait dengan
sifat imanensi-Nya. Jika hanya dilihat dari ketinggian-Nya maka Dia dibatasi
oleh apa yang nampak dan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri; yang Maha
d{a>hir. Demikian juga sebaliknya, jika sang Pencipta hanya dilihat dari
aspek batiniyahnya berarti pembatasan terhadap Wujud Tuhan yang meliputi segala
yang ada. Dia adalah yang Lahir dan yang Batin sekaligus.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, apakah penciptaan alam oleh Tuhan terkait dengan waktu
dan masa?, apakah penciptaan berawal dari ketiadaan?, atau dari berawal dari
keberadaan dan dan kemudian menjadi sesuatu yang ada dan empirik?. Terkait
dengan pertanyaan demikian, Ibnu ‘Ara>bi> menjawab bahwa peciptaan alam
tidak terikat pada tempat dan waktu, karena adanya waktu setelah adanya alam
itu sendiri. Toh walaupun dikatakan terkait dengan masa, tapi masa itu
tidak sama dengan masa yang ada dalam dunia empirik saat ini. Begitu juga
dikatakan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (al-‘adam) menuju ada. Terkait
hal ini, Ibnu ‘Ara>bi> menyatakan: alhamdu lillahi alladzi awjada
al-ashya>’ ‘an ‘adamin wa ‘adamihi.[29]
Yang
dimaksud dengan ‘adam dalam pernyataan Ibnu ‘Ara>bi> tersebut adalah
ketiadaan wujud di luar diri-Nya, sebab segala yang ada bersumber dari-Nya.
Sehingga, ‘adam di sini berarti tidak ada dalam wujud empirik namun ada secara
hakikat dan kekal dalam Ilmu Tuhan. Kemudian, melalui kehendak-Nya hakikat
tersebut dijadikan sebagai alam yang nyata secara empirik. Intinya, proses
penciptaan menurut Ibnu ‘Ara>bi> berawal dari yang ada secara hakikat
yang disebutnya sebagai wujud potensial atau al-a’ya>n al-thabitah.
D. PENGARUH TASAWUF IBNU
‘ARA>BI>
Di samping Ibnu
‘Ara>bi> menjadi tokoh yang terkenal, juga pemikiran tasawuf Ibn Arabi
menarik antusiasme para sufi dan salik di dunia Islam, terutama melalui para
muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya
telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di
antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Muhyid
al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (w. 730/1330), Syaraf
al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah
787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî
(w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî
al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.[30]
Tidak
ketinggalan, di Indonesia juga menjadi lahan empuk bagi tumbuh suburnya
pemikiran Ibnu ‘Ara>bi>. Secara historis, pemikirannya melalui para sufi
dari Gujarat, India. Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh
al-Burhanpûrî (w. 1029) adalah tokoh yang menyebarkan ajaran tasawuf Ibn’Arabî
di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh
sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syamsu al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd
al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang
lainnya.[31]
Dari penjelasan di muka, jelas bahwa Ibnu ‘Ara>bi> menjadi sosok
inspiratif yang memunculkan ide-ide sufistik di belahan dunia, khususnya Islam. Tidak salah jika kemudian
Chittick mengatakan bahwa tampaknya tidak ada seorang tokohpun yang begitu
memiliki pengaruh yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan intelektual
masyarakatnya dalam kurun waktu sekitar 700 tahun.[32]
E. KESIMPULAN
Sebagai simpulan
dapat diketahui bahwa Ibnu ‘Ara>bi> adalah salah satu sosok sufi atau
failasuf yang sangat terkenal dengan pemikiran tasawufnya, khususnya tentang wahdat
al-wujud. Di samping itu, beliau adalah sosok yang produktif dalam
menelorkan karya-karya. Hal itu terlihat dari banyaknya ide yang dikonkretkan
menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh halayak luas. Bukan hanya di
tempat kelahirannya, tapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Tulisan-tulisannya juga telah turut serta dalam pengembangan
pemikiran islam, utamanya terkait dengan tasawuf.
DAFTAR RUJUKAN
Addas, Claude, Mencari Belerang Merah;
Kisah Hidup Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004.
Afifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu
‘Ara>bi>, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi:
Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999.
Arabi, Ibnu, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut:
Daru al-Shadr, 1989.
___________, Risalah Kemesraan,
(terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005.
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan
dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994.
Chittick, Wiliam C., Pengetahuan
Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke
Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu ‘Ara>bi>, (terj.
Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000..
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/html.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung:
Mizan, 1998.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme
dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo,
2006.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik
dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Siregar, Rivay, Tasawuf: dari Sufisme
Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Usman,i A. Rofi’, Tokoh-tokoh Muslim
Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998.
[1]
Hadis Qudsi ini juga sering dikutip oleh para pemikir misalnya Harun Nasution
dalam Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999,
hal: 58, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998, hal: 61
[2]
Ada yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya adalah 1164 M. dalam makalah ini
penulis menggunakan tahun 1165 karena beberapa literatur menyebutkan tahun itu
sebagai tahun kelahirannya.
[3]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Ibnu Arabi, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000,
hal: 43.
[4]
A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (terj. Sjahrir dan Nandi. R),
Jakarta: GMP, 1995, hal: 02.
[5]
Dalam berbagai tulisannya, Ibnu Arabi menceritakan ayah, ibu dan dua saudara
perempuannya tapi tidak pernah ditemui ceritanya tentang saudara laki-lakinya.
Begitu juga ketika ayahandanya menjelang detik akhir hidupnya semua anggota
keluarga berkumpul dan lelaki satu-satunya hanya Ibnu Arabi.
[6]
Lihat selengkapnya di Ibnu Arabi, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri
Arief), Jakarta: Serambi, 2005, hal: 35.
[7]
Penulis mendapatkan keterangan dari internet bahwa yahnya bernama Ali bin
Muhammad. Sedangkan ibuny belum penulis temukan riwayatnya.
[8]
A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu…..hal: 01
[9]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud….hal: 51
[10]
Keterangan lebih lanjut terkait dengan pertemuan dan percakapan Ibnu Arabi
dengan Ibnu Rusyd dapat dilihat di Claude Addas, Mencari Belerang Merah;
Kisah Hidup Ibnu Arabi, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004, hal: 59-60
[11]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan….hal: 67
[12]
A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka
Media, 1998, hal: 30
[13]
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj.
Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994, hal: 148-149
[14]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman…hal: 118
[15]
Kota FEZ merupakan kota warisan terkemuka
dari dinasti idrisiyah islam (788-974 M) di maroko bagian utara. Fez merupakan
ibukota pertama dan pusat spiritual islam yang di dirikan oleh idris ibn
abdullah. Sedangkan Idris ibn abdullah
adalah keturunan Nabi saw yang lari ke maroko untuk menghidari penganiayaan
Abbasiyah.
[16]
Addas dalam bukunya menyebutkan bahwa Ibnu Arabi meninggal dunia pada tanggal
22 Rabiul Awal 638. Mencari Belerang Merah….hal: 409
[17]
Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Ahmad Zainudin ‘Tasawuf Ibnu
Arabi’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-engaruhnya/
[18]
Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta:
Rajawali Press, 1999, hal: 55
[19]
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006, hal: 247
[20]
Ada yang mengatakan bahwa yang mengistilahkan wihdat al-wujud pada
pemikiran Ibnu Arabi adalah Ibnu Taymiyah.
[21]
CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal: 109
[22]
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta:
Bulan Bintang, 2002, hal: 74-75.
[23] Hadis ini dikenal dengan hadis ‘khazanah
tersembunyi’ dan banyak dikutip oleh para tokoh, seperti Harun Nasution dalam filsafat
dan Mistisme dalam Islam, Sachiko Murata dalam The Tao of Islam dan
yang lainnya.
[24]
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko
Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal: 277
[25]
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…hal: 74-75
[26]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, hal: 433
[27]
Surat al-Baqarah: 30
[28]
Lihat surat al-Hijr ayat 21, al-An’am ayat 102, dan ayat-ayat lain yang terkait
dengan penciptaan.
[29]
Futuhat al-Makkiyah, Jil I, hal: 5
[30]
Penulis kutidari tulisan Amuli ‘Ibnu Arabi, Kehidupan, Karya dan
Pengaruhnya’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ setelah mendapat
izin dari penulisnya. Menurutnya, tulisan itu dipresentasikan dalam acara
seminar Tasawuf di Solo Jawa Tengah.
[31]
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi,
Jakarta: Paramadina, 1999, hal: 201
[32] Wiliam
C. Chittick, Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam,
2001, hal: 04
AUFKLARUNG: BIOGRAFI AL-QUSHAYRI (Inspirator Al-Ghazali Dalam ...
AUFKLARUNG: BIOGRAFI AL-QUSHAYRI (Inspirator Al-Ghazali Dalam ...: A. Sejarah Kehidupan al-Qushayri > Melacak latar belakang kehidupan seorang intelektual, baik secara pribadi atau dalam kont...
Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah al-Qushairiyah
Konsep Zuhud Menurut al-Qushairy dalam Kitab Al-Risalah
al-Qushairiyah
A.
Latar Belakang
Setiap agama mempunyai potensi
untuk melahirkan bentuk keagamaan yang bersifat mistis. Kenyataan ini
setidaknya dapat ditelusuri pada beberapa agama seperti Kristen, Budha, Hindu,
dan Islam. Dalam Islam model keagamaan yang bersifat mistis ini (Mistisme)
dikenal dengan istilah tas}awu>f atau zuhd pada awal Islam, sedangkan kaum
orientalis menyebutnya sufisme[1],
yang biasanya menempelkan kata sifat Islam di depannya yang mengindikasikan
bahwa sufisme hanya dipakai oleh
orang Islam. Label seperti ini biasanya memang bisa memberikan orientasi,
tetapi sayangnya masih belum memadai untuk mencerminkan keragaman ajaran dan fenomena tas}awu>f di sepanjang sejarah.[2]
Dalam pengertian umum, tas}awu>f bisa digambarkan sebagai interiorisasi dan
intensifikasi keimanan. Derivasi, atau asal usul sufi sering kali diperdebatkan,
baik itu dalam Islam atau di luar agama Islam.
Sufisme atau tas}awu>f dalam agama selain Islam, bertujuan memperoleh
kehidupan yang hakiki melalui hubungan langsung dengan Tuhan. Sedangkan dalam
agama Islam, tujuan tas}awuf hampir sama
dengan agama lain, tapi harus melalui beberapa proses atau tingkatan yang dalam
hal ini dikenal dengan Maqa>ma>t (terminal-terminal spritual) atau Ah}wa>l, yaitu kondisi-kondisi yang dialami oleh seorang
sufi dalam setiap tingkatan. Seorang sufi mengalami keadaan yang berbeda-beda,
sesuai dengan Maqa>m-nya, dan dengan
Maqa>m inilah seorang sufi
akan dapat berhubungan langsung dengan Tuhan.
Secara harfiyah Maqa>ma>t berarti tempat berdiri atau pangkal mulia[3]
yang kemudian diartikan sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk menuju Alla>h.[4]
Jumlah Maqa>ma>t yang ditawarkan oleh kaun sufi berbeda-beda
jumlahnya, Muhammad al-Kalabazi>
dalam kitabnya al-Ta’aruf li Madhab Ahl Tas}awu>f seperti yang dikutib oleh Harun Nasution, membagi
Maqa>ma>t dalam sembilan
tingkatan yaitu: al-Zuhd, al-Taubat, al-Sabr, al-Faqr, al-Tawad}u’, al-Tawakkal, al-Rid}a>, al-Mah}abbah, al-Ma’rifah.[5]
Sementara al-Sarraj membagi Maqa>ma>t dalam kitab al-Luma>’ hanya pada enam tingkat yaitu: al-Tawbah,
al-Wara>’, al-Zuhd,
al-Faqr, al-Tawakkal, dan al-Rid}a>.[6]
Perbedaan jumlah dan istilah
dalam merumuskan konsep Maqa>ma>t ini tentunya tidak lepas dari cara pandang dan
pengalaman-pengalaman yang terjadi pada setiap kaum sufi, sehingga setiap
pengalaman mereka, ditafsirkan sesuai dengan keadaan batinnya.
Salah satu Maqa>m yang akan dikupas dalam tulisan ini adalah zuhd
yang dalam posisi ini berarti
hilangnya kehendak, kecuali berkehendak bertemu dengan Tuhan. Dunia bagi orang zuhd
(zuhha>d) merupakan sebuah
penghalang bertemunya seorang hamba dengan Tuhan dan karena itu dunia dianggap
sesuatu yang berlawanan arah (dikotomi) dengan Tuhan, dalam kaitan ini zuhd
bersifat doctrinal a historis.[7]
Zuhd pada saat tertentu bisa diartikan sebagai
Maqa>m, yaitu sebuah
terminal dalam tas}awu>f. Dalam ini seoang
sufi harus selalu mendekatkan diri pada Alla>h sehingga tidak ada ruang sedikitpun
untuk dunia, sehingga seseorang tidak boleh merancang masa depannya, dan harus
menjauhi dunia, sebab dunia bisa dianggap penghalang. Inti zuhd adalah
kesadaran jiwa akan rendahnya nilai dunia, harta hanya sebagai upaya umtuk
mendekati Tuhan.
Namun di sisi lain terdapat
fenomena menarik, bahwa zuhd secara umum bisa diartikan sebagai akhla>q, yaitu sikap yang harus dimiliki oleh setiap umat
Islam.
Wujud zuhd sebagai akhla>q adalah kehidupan yang sederhana, wajar, integratif,
inklusif, dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia sebagaimana dicontohkan
oleh Rasululla>h.[8]
Dalam konteks sejarah Isla>m, zuhd dalam pengertian yang kedua
pernah manjadi gerakan protes sosial, sehingga zuhd wujudnya adalah
historis sosiologis. Sebagaimana praktek yang dilakukan oleh banyak
tokoh-tokoh yang terkenal mempraktikan zuhd dalam kehidupannya, misal
Hasan al-Bas}ri
(110 H. /728 M.), Ibrahi>m
bin Adham (161 H./ 777 M.), dan secara sosiologis berupaya memprotes
ketimpangan sosial pada masanya.[9]
Intisari dari sufisme atau tas}awu>f adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan melalui kontemplasi atau pengasingan
diri.[10]
Kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat dilalui dengan berbagai jalan dan
cara seperti konsep zuhd yang termasuk salah satu jalan tas}awu>f, dalam hal ini zuhd adalah fase yang
mendahului tas}awu>f, zuhd dijalankan
oleh umat Islam yang mulai merasa tidak nyaman dengan kehidupan mewah dan
foya-foya karena dianggap menyimpang dari Islam sejati.
B.
Definisi Zuhud\
Secara etimologi, zuhd
berarti Raqaba 'An Shay’in wa> Tara>kahu, artinya tidak tertarik pada sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi> al-Dun’ya>, berarti mengosongkan diri dari dunia.[11]
Orang yang melakukan zuhd disebut Zahid, Zuhha>d, atau Zahidu>n, Zahidah, jama’nya Zuhdan, yang
artinya kecil atau sedikit.[12]
Adapun arti zuhd secara
terminologi, maka akan dibahas berbagai definisi yang diungkapkan oleh para
sufi. Dalam pandangan kaum sufi, dunia dan segala isinya merupakan sumber
kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkannya dari Tuhan.[13]
Karena hasrat, keinginan, dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk
menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan kehidupan, sehingga
memalingkannya dari Tuhan. Oleh karena itu maka seorang sufi dituntut untuk
terlebih dahulu memalingkan seluruh aktifitasnya baik jasmani dan rohaninya
dari hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian segala apa yang
dilakukannya dalam kehidupan tidak lain hanyalah dalam rangka mendekatkan diri
pada Tuhan. Perilaku inilah yang dalam terminologi sufi disebut zuhd.[14]
Meskipun banyak pengertian yang diberikan oleh tokoh sufi tentang zuhd,
tapi ungkapan para sufi mengarah pada arti deskriptif di atas.
Dalam tradisi tas}awu>f, zuhd merupakan Maqa>m yang sangat
menentukan kelanjutan ibadah seorang sufi. Sehingga hampir seluruh ahli tas}awu>f meletakkan zuhd dalam setiap konsep
tas}awu>f-nya.[15]
Hanya saja dengan konsep yang berbeda.
Al-Junaid
al-Baghdadi> menyatakan bahwa zuhd
adalah kekosongann hati dari pencarian.[16]
Sufya>n al-Thauri> mengatakan, zuhd terhadap dunia adalah
membatasi keinginanya untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan yang kasar
atau memakai jubah yang jelek.[17]
Dalam kitab Miza>n
al-H}ikmah, sebagaimana
yang dikutib oleh Jala>luddi>n Rah}mat, bahwa jika
merasakan kehidupan akhirat dan tidak terpukau dengan kehidupan dunia, seperti
yang dirasakan oleh Rasululla>h dan para S}ahabat, maka para Mala>ikat akan turun menyertainya. Tirai kegaiban akan disingkap, mereka
akan menyalami sambil mengucapkan “Kami akan melindunggi kalian di dunia dan
akhirat” (Q.S.41: 31).[18]
Sebagai makhluk gaib yang wajib diimani keberadaannya, seringkali tidak
disadari keberadaannya, karena jiwa terlalu terbuai dengan hiruk pikuk realitas
material yang ada di sekitar manusia, sehingga tidak dapat merasakan dan keindahan
yang datang dari realitas lain yang bersifat spritual. Lingkup manusia hanya
terbatas pada sesuatu yang dapat diamati sihingga melalaikan sifat-sifat
abstrak.[19]
Ali> bin Abi> T}alib, mengatakan kepada Abu> Dhar al-Ghifari> sebagaimana dikutip
oleh al-Ghaza>li> “ Barang siapa yang zuhd pada dunia, tidak sedih karena
kehinaan (dunia), tidak berambisi untuk memperoleh kemulyaan, maka Alla>h akan memberinya petunjuk tanpa melewati
petunjuk makhlukNya. Dia akan mengetahui sesuatu tanpa mempelajarinya, Alla>h akan mengokohkan hikmah dalam hatinya dan
mengeluarkan hikmah melalui lidahnya”.[20]
Sulayman
al-Dara>ni>, mengatakan zuhd adalah menjauhkan diri dari apapun yang
memalingkan kamu dari Allah.[21]
Fud}ail bin Iyad}, mengatakan, “ Alla>h menempatkan seluruh kejahatan manusia dalam satu rumah, dan
menjadikan kecintaan pada dunia sebagai kuncinya, serta meletakan segala macam
kebaikan dalam satu rumah dan menjadikan zuhd sebagai kuncinya.[22]
C. Sejarah Munculnya Zuhd
Zuhd merupakan salah satu maqa>m yang sangat penting dalam tas}awu>f. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tas}awu>f yang senantiasa mencantumkan zuhd dalam
pembahasan tentang maqa>ma>t, meskipun dengan
sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghaza>li>
menempatkan zuhd dalam sistematika : al-Tauwbah, al-S}abr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mah}abbah, al-Ma’rifah dan al-Rid}a>. Sedangkan al-Tusi menempatkan zuhd dalam
sistematika : al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-S}abr, al-Rid}a>, al-Tawakkul, dan al-Ma’rifah.[23]
Sedangkan al-Qushayri>
menempatkan zuhd dalam urutan maqa>m yang ke enam dari empat puluh sembilan maqa>m yang dibahas: al-Tawbah, al-Mujahadah,
al-Uzlah, al-Taqwa, al-Wara>’, al-Zuhd.[24]
Jalan yang harus
dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu
sulit, dan untuk pindah dari maqa>m satu ke maqa>m yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu
yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun
tinggal dalam satu maqa>m.
Para peneliti baik
dari kalangan orientalis maupun Isla>m sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor
yang mempengaruhi zuhd. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhd
muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu : Islam itu sendiri dan
kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana
dampak faktor yang terakhir.[25]
Harun Nasution
mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhd. Pertama,
dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh
Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka
membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang
mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam. Ketiga,
dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian
roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan
dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham Nirwana-nya bahwa untuk
mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima,
pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan
mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[26]
Sementara itu Abu> A’la> Afi>fi>
mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal–usul zuhd.
Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua,
berasal dari atau dipengaruhi oleh Askestisme Nasrani. Ketiga, berasal
atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma
menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor
yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama,
faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Kedua sumber ini
mendorong untuk hidup wara>’, taqwa> dan zuhd.[27]
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap
sistem sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam
telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi–konsekuensi
tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak
dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang
saudara antara Ali>
bin Abi> T}alib dengan Mu’a>wiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra> yang menimpa khali>fah ketiga, Uthman bin Affa>n (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena
sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin
terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap
pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam
pertikaian tersebut.[28]
Ketiga, reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam,
sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut
at-Taftazani>,
pendapat Afi>fi> yang terakhir ini perlu diteliti lebih
jauh, zuhd bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam,
karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqh dan ilmu kalam
dan sebaginya muncul setelah praktek zuhd maupun gerakan zuhd.
Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya Mu'tazilah
kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyah, lebih akhir lagi ilmu fiqh, yakni
setelah tampilnya Ima>m-Ima>m Madzhab, sementara zuhd
dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.[29]
Al-Nashsha>r, mengatakan bahwa zuhd
dipengaruhi oleh sekelompok masyarakat yang menganut Risa>lah H}ani>f Ibrahi>m, yang sering mempraktekan hidup zuhd dan
memakai baju dari bulu domba, mengharamkan makanan yang halal. Mereka banyak
mengetahui tentang nabi Muhammad.[30]
Sedangkan dalam Ensiklopedi
Islam, disebutkan bahwa munculnya zuhd yaitu pada abad pertama
Hijriyah, sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan
keluarganya serta beberapa pejabat pemerintahan, yang merupakan dampak kaum
muslim dalam penaklukan Suriyah, Mesir, dan Persia.[31]
Jika sebelumnya
kaum muslimin hidup sederhana, corak kehidupan mereka mulai berubah setelah
sepeninggal Rasululla>h
dan sahabat yang empat. Para Khalifah mulai hidup dengan kemewahan, sehingga
jurang pemisah dengan rakyat sangat lebar.[32]
Realitas inilah
yang kemudian menjadikan masyarakat Islam rindu untuk kembali pada kehidupan
sederhana yang dicontohkan Rasululla>h. Mereka mulai mengisolasi diri sehingga pada
gilirannya mucul orang-orang yang inten dalam bidang tas}awu>f atau
orang-orang yang berusaha menjauhi gemerlap dunia.
D. Aliran dan Pemikiran Ulama tentang Zuhd
a. Aliran dalam Zuhd
Benih-benih tas}awu>f sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW., hal
ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi
Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari–hari beliau ber-khalwa>t di Gua Hira> terutama pada bulan Ramad}a>n. Di Gua ini Nabi banyak berdzikir ber-Tafaku>r dalam rangka mendekatkan diri kepada Alla>h. Pengasingan diri Nabi di Gua Hira> ini merupakan acuan utama para sufi dalam
melakukan khalwa>t. Sumber lain yang
diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan
keteduhan ima>n,
ketaqwaan, ke-zuhd-an dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap
orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan
kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad
sesudahnya.
Setelah periode
Sahabat berlalu, muncul pula periode tabi’i>n (sekitar abad ke I H. dan ke II H). Pada masa itu
kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya.
konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affa>n berkepanjangan sampai masa-masa
sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan
beragama, yakni munculnya kelompok kelompok dalam tubuh Islam baik yang berasal
dari suku, aliran dan keluarga seperti, Bani> Umayyah, Shiah, Khawa>rij, dan Murjiah.
Pada masa
kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan
monarki, khalifah-khalifah Bani>
Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shiah,
yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak
kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein ibn Ali> bin Abi> T}alib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata
mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani> Umayyah yang tak henti-hentinya terjadi
membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah
mengkhianati Husein ibn Ali>
dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut
kelompoknya itu dengan Tawabu>n (kaum yang bertaubat). Untuk membersihkan diri
dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan
beribadah. Gerakan kaum Tawabu>n itu dipimpin oleh Mukhta>r bin Ubaid al-Saqa>fi> yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.[33]
Disamping gejolak
politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi, hal ini
mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat
Isla>m.
Pada masa Rasululla>h
SAW., dan para sahabat, secara umum kaum muslimi>n hidup dalam keadaan sederhana. Ketika
Bani>
Umayyah memegang tampuk kekuasaan hidup mewah mulai meracuni masyarakat,
terutama terjadi di kalangan istana Mu'a>wiyah bin Abi> Sufya>n sebagai khali>fah tampak semakin jauh dari tradisi
kehidupan Nabi SAW., serta sahabat, dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan
raja-raja Romawi. Kemudian anaknya, Yazid (memerintah 61 H. / 680 M – 64 H. /
683M., dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum muslimin
yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhd,
sederhana, saleh, dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para
penyeru tersebut ialah Abu>
Dhar al-Ghifa>ri>. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani> Umayyah yang sedang tenggelam dalam
kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.[34]
Dari perubahan-perubahan
kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada
kesederhanaan kehidupan Nabi SAW., dan para sahabatnya. Mereka mulai
merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhd
menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhd itu disebut Zahid
(jamak : Zuhha>d) atau karena
ketekunan mereka beribadah, maka disebut 'A>bid (jamak : Abidi>n atau Ubba>d) atau Nasik (jamak : Nussa>k).[35]
Dan akhirnya praktek zuhd terealisasi secara menyeluruh dalam kaum
Islam, zuhd yang tersebar luas pada abad –abad pertama dan kedua
Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :
a. Aliran Madi>nah
Sejak masa yang
dini, di Madinah telah muncul para Zahi>d. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’a>n dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan
Rasululla>h
sebagai panutan ke-zuhd-annya. Di antara mereka dari kalangan sahabat
adalah Abu>
Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu> Dhar
al-Ghiffa>ri> (w. 22H.), Salma>n al-Fari>si> (w. 32 H.), Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 33 H.), Hud}aifah bin Yama>n (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’i>n diantaranya adalah Sa’id bin al-Musayya>b (w. 91 H.) dan Sali>m bin Abdulla>h (w. 106 H.).[36]
Aliran Madinah ini
lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimi>n (salaf), dan berpegang teguh pada
zuhd serta kerendahan hati Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu
terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti
Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari
Bani>
Umayyah. Dengan begitu, zuhd aliran ini tetap bercorak murni Isla>m dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
b. Aliran Bas}rah
Louis Massignon mengemukakan
dalam artikelnya, Tas}awu>f, dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme", bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah
terdapat dua aliran zuhd yang menonjol, salah satunya di Bas}rah dan yang lainnya di Kufah. Menurut
Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bas}rah berasal dari Bani> Tami>m. Mereka terkenal dengan sikapnya yang
kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil.[37]
Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam gramatika dan logika, hal-hal
nyata dalam puisi dan kritis dalam hal al-Hadi>th. Mereka adalah penganut aliran Ahl
al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran Mu’tazilah dan Qada>riyah. Tokoh mereka dalam zuhd
adalah H}asan
al-Bas}hri,
Malik bin Dina>r,
Fad}l
al-Raqqa>shi,
Rabbah bin 'Amru al-Qishi>, S}alih al-Murni> atau Abdul Wahi>d bin Zaid, seorang pendiri kelompok
asketis di Abadan.[38]
Ciri yang menonjol
dari para Za>hid Bas}rah ialah zuhd dan rasa takut yang
berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama
muncul dari Basrah, yang pertama mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian
teman Abd. Al-Wahid bin Zaid, salah seorang teman H}asan al-Bas}hri. Para sufi di Bas}rah terkenal berlebih-lebihan dalam hal zuhd,
ibadah, rasa takut mereka dan lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di
kota-kota lain”.[39]
Menurut Ibn Taymiyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka
dengan para Zahid Kufah.
c. Aliran Kufah
Aliran Kufah
menurut Louis Massignon, berasal dari Yama>n. Aliran ini bercorak idealistis,
menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi, dan harfiah
dalam hal Hadith. Dalam aqi>dah mereka cenderung pada aliran Shi’ah dan Raja’iyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Shi’ah
pertama kali muncul di Kufah.[40]
Para tokoh zahid
Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ bin Kha>thim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan Mu'a>wiyah, Sa’id bin Juba>ir (w. 95 H.), T}awus bin Kisa>n (w. 106 H.), Sufya>n al-Thawri> (w. 161 H.).
2. Pemikiran Ulama tentang Zuhd
A. Pemikiran Ulama tentang Zuhd Sebagai Maqa>m Tas}awu>f
Sebagaimana dikemukakan di awal bahwa zuhd termasuk salah satu maqa>m yang sangat penting dalam tas}awu>f. Hal in dapat dilihat dari beberpa pendapat ulama tas}awu>f yang senantiasa meletakan zuhd dalam konsep maqa>matnya, namun ada juga ulama yang meletakan zuhd sebagai suatu etika moral atau akhlaq.
Al-Kalabazi>, meletakan zuhd dalam tataran maqa>m setelah al-Tawbah, al-Zuhd, al- Sabr, al-Faqr, al-Tawad}u’, al-Taqwa>, al-Tawakkal, al-Rid}a, al-Mah}abbah, dan al-Ma’rifah. Al-T}usi> meletakan zuhd dalam tataran maqa>m, pada urutan yang ketiga yaitu, al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-Sab}r, al-Rid}a, al-Ta’akkal, al-Ma’rifah. Dan al-Ghazali meletakan zuhd dalam sistematika maqa>m yaitu, al-Tawbah, al-Sabr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mahabbah, al-Ma’rifah dan al-Rid}a.[41]
Maqa>m-maqa>m yang telah dikonsepkan ini harus dilalui oleh para murid sebelum pindah ke maqa>m yang lain, adalah suatu keniscayaan pindah kesatu maqa>m tanpa menyesaikan maqa>m yang sebelumnya. Sedangkan zuhd adalah salah satu maqa>m yang sangat penting yang harus dilalui, konsep zuhd yang ditawarkan oleh para ulama berbeda-beda, hal ini terjadi karena perbedaan keadaan yang dilami oleh salik ketika mengalaminya, selain itu kondisi masyarakat juga banyak berpengaruh terhadap pengalaman salik.
1. Pemikiran Ulama Abad klasik
Menurut Harun Nasution Periode klasik ialah mulai tahun, 30-648 H/650-1250 M. Periode ini di bagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama ialah sekitar tahun 30-391 H/650-1000 M. Yang ditandai dengan ekspansi, integrasi (daerah-daerah tunduk pada Khalifah), dan puncak kemajuan ilmu pengetahuan. Sedangkan ciri tahun 391-648 H/1000-1250 M., ialah daerah-daerah pecah dan kekuasaan Khalifah menurun, sehingga Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan (656 H/ 1258 M.), dan lambang kekuatan politik hilang.[42]
Uraian berikut adalah beberapa pemikiran para ulama sebagai sebuah maqa>m dalam tas}awu>f:
a). Hasan al-Bas}ri
Abd. al-Hakim Hasan dalam al-Tas}awu>f fi> Shi’ri al-Arabi> mengatakan bahwa H}asan al-Bas}ri adalah Qassas yang mempunyai kedudukan penting.[43] Dia dilahirkan pada tahun 21 H/641 M.di Madi>nah, ayahnya bernama Yassa>r keturunan Persia beragama Nasrani, sedangkan ibunya bernama Khairah.[44]
Hasan al-Bas}ri dapat dikatakan sebagai ulama pendiri zuhd Aliran Bas}rah, ia semasa dengan para sahabat besar.[45]
Abd. Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan al-Bas}ri, pernah mengatakan “ Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhd terhadap barang yang halal dari pada kamu, dari barang haram”.[46] Dari ucapannya ini dapat diambil kesimpulan bahwa ia membagi zuhd pada dua tingkatan, yaitu, zuhd terhadap barang haram, ini adalah tingkatan dasar zuhd, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhd terhadap barang yang halal. Hasan al-Bas}ri mengatakan bahwa dirinya telah sampai pada tingkatan zuhd yang kedua ini, ia mengatakan, ”aku senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan air selamanya”[47]
b). Al-Ghaza>li>
Al-Ghaza>li> adalah seorang sufi yang lahir di Tus (Khurasan) nama lengkapnya adalah Abu> Hami>d Muhammad bin Ahmad al-Ghaza>li>, hidup pada tahun 450-505 H. /1058-1111 M.[48] Sejak kecil sudah tampak kecemerlangan pikirannya berkat kemampuan intelegensinya yang diasuh oleh ulama-ulama kenamaan seperti Abu> al-Ma' a>li> al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Ima>m al-Haramain, seorang ulama yang brhaluan Ash’ariyah.[49] Setelah gurunya meninggal (478- H. /1091 M.), al-Ghaza>li> meninggalkan Naisabur menuju ke al- Askar. Di negara inilah ia bertemu dengan menteri terkenal Niza>m al-Mulk, dan ia mendapat tempat khusus di hatinya, karena kelebihan yang dimilikinya, sehingga ia kemudian ditawari untuk mengajar di Universitas Niz}a>miyah, di Baghdad, ia berangkat ke Baghdad (484 H./ 1091 M.) dan mengajar di sana
Konsep zuhd al-Ghaza>li> termaktub dalam kitab monumentalnuya Ihya>’ al-Ulu>m al-Di>n Juz IV, salah satu bagian dari zuhd adalah seperempat hal yang menyelamatkan (al-Rub’u al-Munjiya>t) dan dunia masuk dalam mencelakakan dan menghancurkan (al-Rub’u al-Muhlikat), pada bab III.[50]
Hakekat zuhd ialah berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik, benci pada dunia dan mencintai akhirat. al-Ghaza>li> mengatakan, “Sesungguhnya benci pada dunia merupakan kendaraan menuju Alla>h”.[51]
Menurut al-Ghaza>li> ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam zuhd, yakni, al-Ha>l (keadaan jiwa), al-Ilmu, dan al-Amal. Perwujudan al-Ha>l ialah keadaan batin atau jiwa seseorang meninggalkan dunia, karena nilainya lebih rendah dari akhirat, sehingga jiwanya mencintai akhirat sepenuhnya. Perwujudan al-Ilmu seseorang betul-betul mengetahui dunia ini lebih rendah nilainya dibanding akhirat. Dan implementasi dua unsur ini diaktualisasikan melalui al-amal.[52]
Pemikiran Ulama Abad Pertengahan
Abad pertengahan adalah abad
kemunduran Islam. Menurut Harun Nasution abad ini dimulai sejak tahun 1250 M. /
1800 M, atau sekitar abad VII-XIII H./XIII-XIX M. Abad ini mempunyai karakter tersendiri,
yang berbeda dengan abad sebelum dan sesudahnya. Pada masa ini dikatakan ahli
sejarah sebagai abad kemunduran Islam, yang mempunyai dampak kreativitas dan
dinamika umat membeku, pintu ijtihad tertutup, dan ini membawa pengaruh besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan sikap orang-orang Islam, seperti
masa bodoh dengan lingkungannya, karena frustasi dan sebagainya.[53]
Sudah barang tentu situasi dan
kondisi yang demikian ini akan sangat berpengaruh terhadap pola pikir manusia
dan `ulama', termasuk dalam memandang kehidupan dunia ini. Tas}awu>f pada abad VII/XII H. telah mengkristal, menjadi
sebuah organisasi yang memiliki aturan, prinsip dan sistem khusus. Tas}awu>f pada saat ini telah menjelma menjadi t}ari>qah. Ciri ini berbeda dengan masa sebelumnya, tas}awu>f hanya dilakukan secara perorangan, tanpa ada
ikatan satu sama lain. Salah satu ulama yang banyak memberikan kontribusi
pemikiran pada abad ini adalah Ibn At}a’illa>h.
- a). Ibn `At}>a'illah
Di
antara ulama' yang hidup pada abad ini ialah Ibn `At>}a'illa>h al-Sakandari, yaitu seorang ulama besar,
yang zahid, murid Saikh Yaqu>t dan al-`Abba>s al-Mursi>. Dia wafat tahun 707 H/1307 M.
Karya-karyanya ialah al-Hika>m, Lata>'if al Minan, dan Ma`rifat al-Fala>h.[54]
Abu> al-Wafa> menjelaskan bahwa Ibn `At}>a illa>h
adalah penerus t}ari>qah al-Sha>zili> (Shadiliyah) yang menghimpun ajaran-ajaran
gurunya, Abu> al-Hasan
al-Sha>dili>,[55].
dan al-Mursi.[56]
Bahkan dapat dikatakan sebagai penghimpun biografi mereka dan menyusun berbagai
karya peripurna tentang aturan-aturan t}ari>qah tersebut, pokok-pokok dan prinsip-prinsipnya bagi
pengikut t}ari>qah ini. Dengan
demikian t}ari>qah ini mempunyai
pengaruh besar terhadap dunia Islam, termasuk di Indonesia.[57]
Kitab al-H}ika>m adalah salah satu di antara sekian banyak kitab
tas}awu>f yang dikaji di pondok pesantren di
Indonesia. Begitu besar nilai kitab ini, sehingga ada dua ulama> yang men-Sharah-i (memberikan intrepretasi),
yakni Ibn Abba>s
al-Runda> (w
790 H./1388 M.), seorang tokoh t}ari>qah Shaziliyah di Andalusia; dan Shaikh Abdulla>h al-Sharqa>wi>.
Karya Ibn `At}>a'illa>h ini berisi kata-kata mutiara, karena
itulah diberi judul al-H}ika>m. Tentu dapat diduga
bahwa kandungan kitab ini mengandung makna yang dalam, membaca untuk mengerti
membutuhkan pikiran ekstra. Namun berkat kedua sharah tersebut, dapat
dipahami dengan mudah.
Pandangan (Ibn ‘At>}a'illah) terhadap dunia dapat dilihat dari
doktrin t}ariqah ini yakni
peniadaan rencana masa depan, sebab masa depan adalah otoritas Tuhan.[58]
Manusia dalam hidupnya harus menyerah penuh terhadap kehendak Alla>h SWT dalam keadaan bagaimanapun.
Dicontohkan oleh Ibn 'At}>a'illa>h, barang siapa yang berkeinginan berpaling
dari dunia (tajrid),[59]
tetapi Alla>h
menempatkannya dalam posisi "sebab," dianggapnya sebagai dorongan
dari hawa nafsu yang tersembunyi (s}ahwah al-khafiy), dan sebaliknya bagi
yang dikehendaki Alla>h
dalam keadaan tajrid, tetapi berkeinginan dalam "sebab,"
dianggap sebagai penurunan dari cita-cita yang tinggi.[60]
Lebih jauh dinyatakan dalam al-H}ika>m, hati seseorang harus terbebas dari pikiran yang
berkaitan dengan masalah keduniaan, sebab dunia merupakan sesuatu yang dapat
menutup hati: "Bagaimana mungkin hati akan bersinar, bila
gambaran-gambaran alam terpatri pada cerminnya (hati), atau bagaimana mungkin
dia bangkit menuju Alla>h
SWT., sedangkan dia dalam keadaan terbelenggu dengan shahwatnya, atau bagaimana
mungkin dia akan masuk ke hadirat-Nya, sedangkan dia dalam keadaan tidak
membersihkan diri dari kelalaian yang menodainya, bagaimana mungkin dia dapat
mengharapkan memahami rahasia-rahasia yang rumit (Daqa>'iq al-Asra>r), sedangkan dia dalam keadaan belum bertaubat
dari kesalahannya.[61]
Pemikiran Ulama Tentang Zuhd Sebagai Akhla>q
Akhla>k ialah sikap jiwa yang tertanam dalam
hati, yang mendorong perbuatan seseorang, dilakukannya dengan mudah. tanpa
dipikir dan direnungkan terlebih dahulu.[62]
Pengertian akhla>k
yang demikian itu mengandung arti bahwa akhla>k ialah perbuatan yang telah mendarah
daging dan telah menjadi adat kebiasaan, sehingga menjadi otomatis dalam
melakukannya. Di sisi lain penilaian terhadap suatu perbuatan itu dititik
beratkan pada motifnya. zuhd dalam kaitannya dengan akhla>k ialah sikap batin seseorang dalam
menghadapi dunia ini.
Zuhd termasuk akhla>k mahmu>dah yang seharusnya dimiliki seseorang dalam hidup
dan kehidupan ini. Dalam kategori Al-Ghaza>li> termasuk sifat-sifat yang bisa menyelamatkan (al-Munjiya>t) manusia dari segala sesuatu yang menghancurkan (al-Muhlikat)
kehidupan ini.[63]
Pemaknaan zuhd dalam kehidupan
sosial bisa berarti sikap seseorang terhadap dunia sebagai sikap protes
terhadap ketimpangan sosial, politik dan ekonomi. Pada suatu saat dipergunakan
oleh pihak tertentu untuk memobilisasi gerakan massa. Formulasi pemikiran zuhd
ini bisa berbeda-beda, dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial, politik dan
ekonomi setempat.
Pemikiran ulama sufi, baik ulama klasik
maupun pertengahan tentang zuhd tersebut bila dipahami sebagai akhla>k Islam dan gerakan sosial maka
formulasinya akan nampak berbeda-beda sesuai dengan konteks sosialnya
sebagaimana dapat dilihat dalam uraian berikut ini.
Kezuhdan Abu> Dha>r tidak hanya sebagai maqa>>m, tetapi dipandang sebagai moral yang harus
dimiliki oleh setiap umat Islam, bahkan zuhd dijadikan sebagai gerakan
protes sosial atas berbagai ketimpangan yang terjadi. Ketika Nabi SAW., wafat
jabatan khalifah dipegang oleh Abu>
Bakr al-S}iddi>q, Abu> Dha>r tetap berjuang bersamanya, demikian pula ketika
khalifah dipegang oleh Umar bin Khatta>b, sikapnya sebagaimana pada masa sebelumnya.
Namun ketika kekhalifahan dipegang oleh Uthman bin `Affa>n, situasi sosial ekonomi berubah,
orang-orang kaya hidup berfoya-foya, sementara banyak orang miskin yang membutuhkan
uluran tangan yang tidak tertolong, maka Abu> Dha>r, berupaya untuk memecahkan problema ini,
meskipun khalifah tidak berkenan terhadap tindakannya, karena itu, dia diusir ke
Sham.[64]
Ketika dia telah berada di Sham, kondisi
setempat sama dengan yang ada di Madinah, terjadi jurang pemisah antara orang
kaya dan orang miskin, dia tergerak kembali untuk mengajak umat Islam hidup
sebagaimana diajarkan oleh Rasululla>h SAW., dan sahabat-sahabatnya, dia membuat majlis
ta'li>m di Masjid.
Melalui lembaga ini dia berpidato, dan
mengecam orang-orang kaya yang menimbun hartanya, dan tidak mau menginfakkan
kekayaannya, mereka akan mendapat siksa yang pedih dari Tuhan, sambil menyitir
surah al-Tawbah ayat: 34, yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnyasebagian besar dari orang-orang alim
Yahudi da Rahib-Rahib Nasrani bener-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.[65]
Ayat ini berlaku untuk kaum muslimin. Dia
berkata: "Setiap emas dan perak yang disimpan, adalah bagaikan bara api
bagi pemiliknya, sehingga dia menginfakkan di jalan Allah".[66]
Tujuan dari agitasinya itu ialah agar
orang-orang kaya menyadari bahwa harta itu mempunyai fungsi sosial, bukan untuk
mengharamkan harta bagi mereka.
Ajakannya ini sangat berpengaruh terhadap
orang-orang miskin maupun yang kaya, yang miskin timbul kebencian terhadap yang
kaya dan sebagian yang kaya mau memberikan sebagian kekayaannya bagi
kepentingan sosial. Mu'a>wiyah
cemas dengan kegiatan ini, maka dia melaporkan aktifitas Abu> Dha>r kepada khalifah `Uthma>n bin `Affa>n, sehingga Abu> Dha>r dipanggil ke istana, dan setelah tiba, terjadi
dialog panjang yang akhirnya mengakibatkan khalifa 'Uthma>n tersinggung dan terpojok, hal ini
membuat khalifah marah dan menyuruhnya untuk pergi.[67]
Karena agitasinya tetap berjalan bahkan
berkembang maka atas desakan orang kaya setempat, Mu'awi>yah melakukan berbagai upaya pencegahan,
namun hal itu tetap saja tidak berhasil, sehingga solusi terakhir diserahkan
kepada Khalifah. Akhirnya dia diusir ke suatu daerah terpencil, yang jauh dari
keramaian, yaitu Rabazah, dan hidup di tempat ini sampai wafat (65 H./630 M.).[68]
Zuhud
Menurut al-Qusyairi
Dalam memulai tulisannya
tentang konsep zuhd al-Qushayri> memulai dengan Hadi>th Nabi yang berbunyi:
إِذاَ رَأيْتُمُ الرَّجُلَ قَدْ أوْتِىَ زُهْدًا فىِ الدُّنيْاَ وَمَنْطِقاً
فاَقْتَرِبُوْا مِنْهُ فَإنَِّهُ يُلَقَّنُ الْحِكْمَةَ
Artinya: “Jika di antara
kamu sekalian melihat seorang laki-laki yang selalu zuhd dan berbicara benar,
maka dekatilah dia, sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan
kebijaksanaan.”[69]
Dilihat dari konteks Hadi>th ini al-Qushayri> ingin mengindikasikan bahwa seorang za>hid adalah orang yang selalu mengajarkan
kebijaksanaan, selalu menjaga perkataannya, dan tingkah lakunya .
Hadi>th ini juga seakan mengambarkan bahwa za>hid adalah orang yang mempunyai akhla>q yang mulia, sehingga dapat disimpulkan
bahwa konsep zuhd yang pertama akan dibahas oleh al-Qushayri> adalah honsep zuhd dalam tataran akhla>q.
Konsep zuhd dalam
perspektif al-Qushayri>
tidak jauh berbeda dengan beberapa ulama yang lain hal ini dapat dilihat dari
uraiannya yang menukil pendapat ulama
pendahulunya yang menempatkan konsep zuhd dalam tataran maqa>>m namun begitu al-Qushayri> juga mengambil pendapat para ulama yang
menempatkan zuhd sebagai akhla>q, sehingga dapat dipetakan bahwa pemikiran al-Qushayri> tentang zuhd bertumpu pada maqa>m dan akhlaq, dengan argumentasi ayat al-Qur'a>n, al-Hadi>th dan beberapa pendapat ulama tas}awu>f.
Al-Qushayri> membagi zuhd dalam tiga tingkatan
hampir sama dengan al-Ghaza>li>, pertama, zuhd dari barang yang haram. Kedua
meninggalkan barang yang halal. Ketiga, hanya pasrah terhadap pemberian
Alla>h
dan tidak berkehendak selain dari Alla>h.[70]
Dalam hal ini al-Qushayri>
menukil sebuah ayat al-Qur'a>n
Surat al-Nisa>’
ayat 77 yang berbunyi:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْياَ قَلِيْلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لمَِنِ اتَّقَى
Artinya: “ Katakan
Muhammad, kesenangan dunia hanya sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang
yang bertaqwa.”[71]
Menurut al-Qushayri> kata zuhd diambil dari ayat
al-Qura>n
surah al-Hadi>d
ayat 23 yang berbunyi:
لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوْا بِماَ آتاَكُم ْ
Artinya: “ (Kami jelaskan
yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikannya.” [72]
Konsep yang ditawarkan oleh
al-Qushayri>
mempunyai wujud kesederhanaan, wajar, inklusif, dan aktif dalam berbagai
kehidupan.
1. Zuhd sebagai Maqa>m
Dalam
tataran maqa>m konsep zuhd
al-Qushayri>
diawali dengan ayat al-Qur'a>n
surat al-Nisa>’
ayat 77 yang artinya:
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْياَ قَلِيْلٌ وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ لمَِنِ اتَّقَى
Artinya; "Katakanlah Muhammad,
ksesenangan dunia adalah sebentar dan akhirat lebih baik bagi orang yang
bertaqwa".
Ayat ini lebih menekankan pada
lelaku batin dari pada sosial. Konsep ini mempunyai arti bahwa harta hanyalah
sebuah penghalang bagi kehidupan bahagia di akhirat. Seorang sufi harus
meninggalkan kesenangannya apabila dia ingin mendapatkan kesenangan di akhirat
dan kesenangan hanya akan dicapai apabila dia bisa mengekang hawa nafsunya dan
mendekatkan diri pada Alla>h.
Konsep zuhd al-Qushayri> ini terlihat sangat ekstrim, ini bisa
dilihat dari beberapa pendapat yang diambil oleh al-Qushayri> dalam merumuskan konsep zuhd-nya,
pertama ia menukil pendapat gurunya sendiri yaitu Abu> Ali> al-Daqa>q, yang mengatakan, seorang yang zuhd
mempunyai sifat anti kemewahaan dunia, dan tidak berkeinginan membanggun pondok
dan Majlis Ta’lim.[73]
karena hal itu hanya akan mengakibatkan sibuk sehingga akan melupakan Alla>h.
Lebih jauh al-Qushayri> mengatakan bahwa zuhd membawa
implikasi mendermakan harta benda sedangkan cinta membawa implikasi mendermakan
diri sendiri, sehingga seseorang yang hatinya sudah dipenuhi cinta pada dunia
maka ia seperti orang yang tidak mempunyai harga diri, begitu juga sebaliknya
apabila hatinya diliputi cinta pada Alla>h maka ia akan mengabdikan dirinya hanya pada Alla>h semata.[74]
Ibn al-Jalla>’ sebagaimana dikutip oleh al-Qushayri> mengatakan bahwa zuhd adalah
memandang kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai
arti dalam pandangan, oleh karenya ia akan mudah sirna, tanda-tanda dari zuhd
adalah merasa sangat senang meninggalkan segala bentuk kehidupan dan harta
benda tanpa ada keterpaksaan.[75]
Zuhd adalah orang yang terisolir dalam
kehidupan dunia sedangkan ma’rifat adalah orang yang terisolir dalam
kehidupan akhirat, dan Alla>h
tidak rela jika mereka menikmati dunia. Pendapat ini seperti yang diucapkan
oleh al-Sirri dan Nashr Aba>di yang
dinukil oleh al-Qushayri>
dalam al-Risa>lah.
Senada dengan pendapat di atas
berkata Abd. Wahi>d bin
Zaid bahwa arti zuhd adalah meninggalkan Dina>r dan Dirha>m sekaligus meninggalkan semua aktivitas
yang akan mengakibatkan lupa pada Alla>h.
Al-Qushayri> juga mengatakan bahwa Yahya> bin Mu'a>d berkata, seseorang tidak akan sampai
pada tingkatan zuhd kecuali karena tiga hal. Pertama, berbuat
tanpa ketergantungan (pamrih). Kedua, ucapan tanpa keingginan hawa
nafsu. Ketiga, kemulyaan tanpa kekuasaan.
Dari pendapat ini al-Qushayri> berharap bahwa zuhd tidak akan
bisa dicapai kecuali mengasingkan diri dari hiruk pikuk dunia, melepaskan diri
sepenuhnya dari keterikatan harta benda, baik yang halal apalagi yang haram,
tujuan dari konsep zuhd ini hanya Alla>h semata, apabila seorang zahid
lupa pada Alla>h karena
dunia, maka hal itu adalah niscaya dan suatu kesalahan besar. Seorang zahid
harus menyerahkan hidupnya hanya pada Alla>h. Karena kebersamaan dengan Alla>h adalah tujuan hidupnya.
Zuhd adalah meninggalkan
kepentingan-kepentingan nafsu dari seluruh bagian yang ada di dunia, sehingga za>hid bisa mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki
hanya pada Alla>h.
2. Zuhd Sebagai Akhla>q
Dalam menguraikan konsep zuhd
sebagai akhlaq al-Qushayri>
menulis sebuah ayat al-Qura>n
surah al-Hashr ayat 9 yang berbunyi:
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Artinya: “ Mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka
sangat butuh (apa yang mereka berikan).”[76]
Ayat ini menyiratkan bahwa
orang yang mempunyai jiwa zuhd tidak akan merasa kehilangan walaupun
harus menafkahkan hartanya yang tersisa untuk orang lain, dan mengutamakan
kepentingan orang lain adalah utama. Ia tidak diperbudak oleh harta dan tidak
terikat padanya. Hal inilah yang diisyaratkan oleh al-Qushayri> dengan mengatakan hendaknya bagi seorang
hamba jangan memilih meninggalkan barang yang halal karena terpaksa, jangan
memilih hal yang tidak bermanfaat, dan hendaknya selalu memperhatikan pembagian
rezekinya. Apabila Alla>h
memberikan rezeki yang halal, hendaknya dia bersyukur, apabila Alla>h memberikan rezeki yang cukup, maka
jangan memaksakan diri mencari harta yang tidak bermanfaat dengan menghalalkan
bermacam cara, oleh karena itu sabar lebih baik untuk orang fakir, sedangkan
syukur lebih relevan untuk orang yang mempunyai harta yang halal.[77]
Ayat di atas sarat dengan
kehidupan sosial dan gotong royong dan lebih menekankan pada keberlangsungan
hidup yang penuh dengan relasi-relasi sosial dan kepentingan masyarakat secara
umum, karena pada dasarnya arti zuhd dalam hal ini adalah lebih
memperhatikan keseimbangan dan keserasian dalam menjalani kehidupan, dan
manusia akan selalu saling membutuhkan agar tercipta kehidupan yang dinamis dan
harmonis.
Konsep ini mengajak manusia
untuk menatap masa depan bahwa hanya dengan saling melengkapi dan membantu sesamanya
keberlangsungan hidup akan terus berjalan.
Al-Qushayri> berusaha medekontruksi konsep zuhd
yang terlihat ekstrim dan menolak dunia, menjadi sebuah konsep yang dinamis,
dalam tataran akhla>q
al-Qushayri>
tidak malah menganjurkan untuk meninggalkan dunia, tapi ia menekankan bagaimana
orang yang kaya bisa memanfaatkan hartanya untuk orang lain, dan tidak ada rasa
kehilangan apabila harta tersebut bermanfaat bagi orang lain, karena harta yang
dimiliki adalah titipan dari Alla>h,
dan dia tidak tergantung pada harta atau dunia, kalau dilihat dari ayat di atas
pastilah maklum bagaimana orang-orang Ans}or membantu kaum Muhajirin dari Makkah yang datang
hanya membawa keperluan seadanya.
Al-Qushayri> menukil pendapat Sufya>n al-Thawri> bahwa seorang za>hid bukan memakan sesuatu yang keras dan memakai baju
yang kasar, tapi lebih bersikap rela terhadap pemberian Alla>h dan selalu bersyukur, seorang zahid
sejati adalah orang yang rendah hati di dunia ini, bersikap mengasihi pada
orang lain dan memperhatikan kebutuhan umat muslim.[78]
Menurut Ahmad bin Hamba>l arti zuhd adalah memperkecil
cita-cita dan kehendak dari dunia, zuhd terbagi menjadi tiga, pertama,
meninggalkan hal yang haram. Ini adalah zuhd orang yang awam. Kedua,
meninggalkan yang halal. Ini adalah zuhd orang yang istimewa. Ketiga,
meninggalkan segala hal yang menyibukkan sehingga jauh dari Alla>h. Zuhd model terakhir ini hanya
bagi orang yang Ma’rifat.[79]
Al-Qushayri> mengatakan bahwa seseorang akan bisa
menempati kedudukan tawakal dan memakai selendang zuhd apabila ia mampu
melatih jiwanya dengan samar. Seandainya Alla>h tidak memberinya rezeki selama tiga hari,
jiwanya tidak akan menjadi lemah. Jika hal ini tidak dapat dilalui, maka ia
tidak berhak untuk duduk di tempat orang zahid.
Dari konsep yang ditawarkan
oleh al-Qushayri>
ini dapat dianalisa bahwa konsep zuhd dalam lingkup akhlaq mempunyai
makna mendahulukan sikap yang baik, salah satunya mementingkan urusan orang
lain. Tatkala seseorang berhadapan dengan orang yang lebih memerlukan dan
membutuhkan, maka ia harus mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan dirinya sendiri, serta harus bersikap
dermawan. Kenikmatan halal yang diperbolehkan baginya, harus diberikan kepada
orang lain (yang membutuhkan). Ia tidak akan makan sebelum memberi makan orang
lain. Ia tidak akan mengenakan pakaian sebelum memberinya kepada orang lain. Ia
juga tidak mau istirahat dengan enak sampai orang lain bisa beristirahat dan
merasa tenang. Ia tidak mau merasakan kenikmatan duniawi dikarenakan ingin
memberikannya kepada orang lain. Inilah bentuk îtsâr (sikap lebih
mementingkan orang lain dari diri sendiri) yang merupakan sifat manusiawi yang
sangat tinggi dan agung. Salah satu sikap yang manusiawi adalah îtsâr.[80]
Ke-zuhd-an semacam ini
merupakan kezuhdan yang hakiki, bersifat manusiawi, dan bernilai tinggi. Ke-zuhd-an
semacam inilah yang dimiliki Ima>m
Ali>
bin Abi> T}alib. Beliau tidak makan, namun juga tidak
membuangnya. Beliau bekerja keras, tetapi tidak memakan upahnya lantaran
dibelikan makanan untuk diberikan kepada orang lain. Beliau tidak berpakaian
(bagus-bagus) agar bisa memberi pakaian kepada orang lain.[81]
Dalam al-Qura>n
surat al-Insa>n
ayat 8-9 Alla>h
berfirman:
وَيُطْعِمُوْنَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيْناً وَيَتِيْماً وَأَسِيْرًا إنَِّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللهِ لاَ
نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلاَ شُكُوْرًا
Artinya: "Dan mereka memberi makan
yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan perang.
Sesungguhnya kami memberi makan semata-mata mengharap ridha Allah, serta tidak
mengharapkan balasan dan juga rasa terima kasih."[82]
Madhab akhlak yang
tidak menganjurkan ke-zuhd-an semacam ini adalah madhab yang tidak
memahami ajaran serta nilai-nilai kemanusian yang paling tinggi, untuk itulah
tujuan zuhd dalam lingkup akhlaq adalah mempunyai sikap yang peduli pada
orang lain. Hal ini juga sesuai dengan ayat al-Qur'a>n yang dinukil oleh al-Qushayri> ketika memulai pembahasan ini.
Dalam konsep yang ditawarkan
al-Qushayri>
lebih menekankan konsepnya berdasarkan pada ayat al-Qur'a>n dan al-Hadi>th Nabi, seakan menunjukan bahwa konsep zuhd
yang ditawarkan bukan hanya sebuah konsep yang dijalankan oleh para tokoh sufi
sebelumnya, tapi lebih kepada bagaimana seorang muslim bisa mengaplikasikan
nilai-nilai al-Qur'a>n
sesuai dengan realitas kehidupan yang diaplikasikan oleh Rasu>lulla>h. Untuk mendukung konsepnya al-Qushayri> kemudian mengambil beberapa pendapat
ulama sufi aliran Sunni terutama ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh gurunya
Ali> al-Daqa>q.
[1]
Edward Said,Orientalisme (Bandung: Pustaka Salman 1985), 135.
[2]
Willian C Chittick, Sufism A Short Introduction, terj. Zainul Am. (Bandung: Mizan), 18.
[3]
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), 71.
[4]
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), 62.
[5]
Ibid,, 62.
[7]
Amin Syukur, Zuhd di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), vi.
[8] Ibid., vii.
[9] Ibid., vii.
[10]
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Islam, 10.
[12]
A. Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP.
al-Munawir, 1984), 626.
[13]
Hasyim Muhammad, Dialog antara tasawuf dan psikologi (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), 35.
[15]
Karena setiap tokoh sufi memiliki pengalam pribadi masing-masing dalam
menguraikan konsep zuhd, maka penempatan zuhd dalam struktur maqa>ma>t-nya
berbeda-beda pula, dan diuraikan sesuai kondisi pengalaman mereka.
[18]
Jalaluddin Rahmat, Renungan-Renungan Sufistik (Bandung:
Mizan,1997), 261.
[19]
Ibid., 116.
[22]
Ibid., 117.
[26]
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, 56-57.
[27]
Abu> al-A’la> Afifi>, dalam kata
pengantar edisi bahasa Arab buku Nicholson, fi> al-Tas}awu>f
al-Isla>m
wa Tari>khihi> (Kairo: Lajnah
al-Ta’lif wa>
al-Tarjamah wa>
al-Nasr, 1969),123.
[28]
Ibrahim Madzku>r,
fi>
al-Fala>sifah
al-Islamiyah Manha>j
wa Tadbiq, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 68
[29]Abu> al-Ghafa> al-Taftazani>, Madkha>l, 58 dan 250,
lihat juga, Amin Syukur, Zuhd di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 5-6.
[30]
al-Sami>’
al-Nashsha>r, Nash’at
al-Fikr al-Falsafi>
al-Islamyi>
Jilid III (Beirut: Da>r
al-Ma’rifah, 1977), 74.
[31]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT.
Bakhtiar Baru Van Houve, 2000), 241.
[32]
Ibid., 242.
[33]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Joeve, 1993), 80-81.
[35]
Ibid., 82.
[36] Ibid.
[37] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme, Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari 2008),
3.
[40] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme,Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari
2008), 3-4.
[41] Yayasan al-Mutahari, Pengantar Kepada
Irfan, dalam al-Hikmah, jurnal
studi-studi Islam, no. 5, Maret-Juni (Bandung: Yayasan al-Mutahari, 1992),
17.
[42]
Harun Nasution, Mistisme dalam Islam,
13.
[45] Al-Nasysyar, Nash'at al-Fikr, 130.
[46] Abd. Al-Hakim Hasan, al-Tasawuf, 38.
[47] Ibid.
[49] Aliran Ash’ariyah adalah aliran teolog
Islam yang menginduk kepada Abu>
Hasan al-Ash’a>ri
yang hidup dimasa Mutawakkil khalifah dawlah Abbashiyah.
[51]
Ibid., 211-212.
[52] Ibid., 219.
[53] Harun Nasution, Pembaharuan Pemikira
dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 12.
[55] Abu al-Hasan al-Shadzili>, adalah seorang ulama sufi yang beraliran
sunni berasal dari Shadzilah Tunisia. Bersama beberapa muridnya hijrah ke Mesir
dan tinggal di Iskandariyah (640), mereka membuat suatu aliran sufi yang nantinya terkenal sebagai sebuah t}ari>qah, ajarannya berkisar pada lima perinsip yaitu Taqwa,
Konsisten dengan al-Sunnah, Menghormati makhluk, Rid}a pada Allah, Kembali kepada Alla>h. Lihat al-Taftazani, Madkhal,
241.
[57] Ibid.
[58] Ibid.
[59] Tajrid
dalam ilmu tas}awu>f berarti menghilangkan sifat-sifat dan
sebab-sebab keterikatan dengan dunia, menghadap pada Allah secara psikis namun
fisiknya tetap bergumul dengan relitas sosial.
[61]
Ibid., 17.
[62] Ibn Maskawih, Tahzib al-Akhla>q wa> Tat}hir al- I’tiqa>d (Mesir: Muhammad Ali> Sabih, 1959), 31.
[64] Al-Nashshar, Nash'at al-Fikr,
80.
[65]
Al-Quran al-Karim, Depag RI.
[66] Ibid., 88.
[67] Ali zainal, Sejarah Sahabat Rasulullah
(Yogyakarta: Graphindo persada, 2001), 154.
[68] Ibid., 155.
[69]
Diriwayatkan oleh Abu Khalad dan Abu Naim bersama al-Baihaki, sementara
al-Shuyuti menganggapnya lemah. al-Jami’ al-Shaghir, juz I, no. 635 (Beirut:
Da>r al-Fikr,
tt.), 84.
[71]
Al-Quran al-Karim.
[72]
Al-Quran al-Karim.
[73]
Al-Qushayri>,
Op. Cit., 115 .
[74]
Ibid.
[75]
Ibid., 117.
[76] Al-Quran al-Karim.
[78]
ibid
[79] Muhammad ibn Ali, al-Ta’rifat, (kairo:
Dar al-Tsaqafah, 1983), 76.
[81]
Ibid.
[82] Al-Quran al-Karim.
Langganan:
Postingan (Atom)