Rabu, 22 Februari 2012

MAJNUN ABAD XX



Cerita           : DR. MUSTHOFA SHODIQ AR RAFI’I

PENGANTAR
Kali ini ‘Majnun’ karya Musthofa Shodiq Ar Rofi’i diter-jemahkan oleh el-Kafi. Lewat terjemahan ini kita bisa menangkap makna ‘kegilaan’ bagi manusia abad ke XX, saat kemanusiaan, moral dan religi diguncang oleh modernitas dengan semua kegelisahannya. Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i dalam buku ini menampilkan konflik-konflik antar protogonis dan antagonis dengan tekhnik penulisan novel yang tinggi. Bahasanya lancar dan pekat, ucapan-ucapan yang dikeluarkan tokoh-tokohnya selalu mengandung filsafat yang dalam.
Dengan demikian Rofi’i bisa dimasukkan kepada bari-san pengarang muslim yang tajam dalam menyoroti zaman ini. Salah satu contoh kita simak ucapan seorang tokoh yang tertera pada bagian akhir buku ini : Apabila terjadi kecupan pada tubuhmu maka di dalam kecupan itu terdapat dua bibirmu yang merah delima...... Nah, inilah kecupan pada kedua betismu..... dan inilah kecupan pada bajumu..... kemudian inilah kecupan pada..... pada..... pada sakumu!
   Ucapan seperti di atas yang  pada akhirnya mampu me-nyadarkan manusia dari kegilaan dan ketololan. Buku ini se-benarnya bukan untuk sekedar dibaca, tetapi untuk direnung-kan dan dibaca beberapa kali sehingga semakin banyak kita menangkap hikmah-hikmah kehidupan sekaligus untuk melihat ketololan-ketololan kita sendiri pada zaman yang terkenal pe-nuh kegilaan ini.
Buku ini akan besar manfaatnya terutama bagi generasi muda yang ingin mengaca diri agar selamat dari kesia-siaan.
 
Wallahul muwaffiq.
Sumenep, 14 September 1988
D. Zawawi Imron

1)
Pelan-pelan ia berjalan kaki sambil berlagak. Langkah-nya mantap menggeletar. Seolah-olah dengan kesombongan-nya ia hendak memberitahukan kepadaku bahwa bumi ini kecil dan ia leluasa menginjak-injak di atasnya. Setiap kali langkah kakinya berganti, kepalanya digerak-gerakkan sambil menoleh ke atas. Mungkin dalam hal ini ia bermaksud untuk meyakin-kan dirinya sendiri bahwa kepalanya masih melekat, atau ia berkhayal bahwa anggota badan yang paling terhormat itu di-anggapnya seperti bendera negara yang berkibar di angkasa raya. Entahlah, aku sendiri kurang mengerti mengapa ia ber-buat begitu.
Kutatap ia, sedangkan jarak yang memisahkan aku de-ngannya kira-kira sepanjang kamar kecil dan lebarnya saja. Ti-ba-tiba pandangan matanya tajam, seakan-akan ia sedang ber-ada di sebuah gurun sahara. Kulihat biji matanya berputar-putar ke kiri dan ke kanan, kemudian kebawah, dan setelah ke atas ia tercengang seolah-olah di depan matanya terpancang sebuah gunung yang tinggi....
Kemudian aku menyapanya dan kupersilahkan ia duduk di dekatku. Maka mulailah ia memperkenalkan diri dengan me-nyebut nama, marga dan daerah kelahirannya. Tidak lebih dari itu. Karena ia merasa bahwa perkenalannya tidak mendapat sambutan dariku, maka ia segera berkata : “Rupanya anda ini seorang pelupa.” Aku menjawab : “Ya, banyak sekali yang ku-lupakan. Tetapi, tentang namamu itu, rasanya kok belum per-nah kudapati pada deretan nama-nama yang pernah disebut-kan oleh sejarah.”
Ia berkata : “Itulah kesalahan yang telah dilakukan mass media. Tetapi, walaupun anda sudah banyak melupakan se-suatu namun kuingatkan janganlah sampai lupa bahwa anda adalah guru Angkatan Abad XX.”
Dari ucapan itu aku jadi berpikir sejenak. Kalau demikian, kini aku sedang berhadapan dengan seorang pemuda majnun yang tampan lagi cerdik. Aku tahu bahwa ia baru saja menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi, tetapi ia tidak dapat melanjutkan lagi dan terpaksa droup out akibat ganguan fikirannya yang kacau-balau. Wajahnya yang rupawan, tubuh-nya yang ramping, kulitnya yang kuning, gerak-geriknya yang lemah-gemulai, nampak lebih feminim di bandingkan dengan seorang laki-laki, sehingga aku merasa seolah-olah sedang ber-hadapan dengan seorang gadis cantik-jelita. Menurut penga-matanku sendiri ia adalah sebuah pribadi berwatak tenang, pe-nuh menyimpan rahasia, besar harapan tetapi ia dikucilkan oleh teman-temannya dan terisolir ke dalam dunianya sendiri, dunia kepalanya yang bukan seperti dunia manusia lainnya.
Kucoba untuk menganalisa dari sisi yang lain. Rupanya kemajnunannya itu lebih bersifat kekanak-kanakan, dan kepandi-ran yang timbul pada usia remaja, masa yang bukan anak-anak lagi tetapi belum pantas disebut dewasa. Tetapi firasatku ber-kata lain. Ini pasti akibat perang dingin yang berkecamuk di da-danya, di mana pikiran dan perasaan yang lemah menjadi ma-kanan empuknya. Kemudian aku berkesimpulan bahwa laki-laki ini seorang yang relax dan santai, kurang kreatif, tidak energik, bersikap dingin dan berhati cabar, laksana orang yang menguap karena baru bangun tidur sedangkan kantuk masih menguasai matanya, ia bangun hanya untuk menceritakan mimpi-mimpi yang dialaminya.
Akhirnya, kelesuan yang menyelimuti pemuda ini mem-berikan inspirasai bagiku, bahwa udara yang terdapat diatas di-rinya adalah kuapnya. Dan seluruh tempat menguap. Maka aku pun menguap.
Rupanya ia membaca apa yang sedang kubedahten-tang dirinya, maka ia tertawa dan berkata : “Sesungguhnya Angkatan Abad XX itu manusia magnet yang hebat. Oleh ka-rena itulah anda telah terserang kantuk. Seharusnya anda ber-bangga menjadi guru, sebagai saudara dan kepercayaannya. Di punggung abad kedua puluh ini tidak ada pujangga kecuali aku dan anda sendiri.”
Dalam hati aku berbicara : “Masya Allah ! Mengapa ia begitu yakin bahwa di punggung abad kedua puluh ini hanya terdapat orang majnun dan sinting, ia dan aku sendiri ?”
Ia merasa lalu menjawab : “Aku tidak majnun walaupun aku pernah menempati Bimaristan.”
Aku berkata : “Ya, Bimaristan itu kan Rumah Sakit Gila ?”
Ia segera menjawab : “Ah, nama itu anda sendiri yang memberikan, sedangkan aku cukup menyebutnya Rumah Sakit, saja.”
Ketika itulah aku baru sadar bahwa di antara orang maj-nun juga terdapat beberapa cendikiawan yang ditinjau dari su-dut istilah yang umum berlaku, mereka disebut gila, karena fi-kiran mereka telah dirasuki suatu penyakit. Maka kegilaan me-reka sebab faktor ini saja, sedangkan keadaan mereka sehari-hari seperti layaknya orang-orang cerdik dan ahli fikir. Namun demikian pemikiran mereka selalu plin-plan, dangkal dan kurang pertimbangan yang sehat. Apabila salah seorang di antara me-reka membual maka orang lain merasa muak oleh sikap supe-rioritasnya, kesombongan, kedustaan, dan kepandirannya, se-akan-akan memang begitulah watak mereka, satu sifat, satu sikap, satu bahasa, satu dunia dan satu pola berfikir, seolah-olah di antara mereka dengan Allah tersimpan sebuah teka-     teki. Kemudian mereka memproklamirkan diri sebagai manusia paling brilliant. Dari segi itulah tampak kegilaanya.
Berkenaan dengan itu maka seharusnya ada orang yang menanggapi igauannya agar pemikiran-pemikiran invalid itu ti-dak berkembang biak. Di samping itu juga harus ada orang yang menyanggah imajinasi-imajinasi fiktif  yang muncul dari akal  bu-suk itu. Sebab apabila ia bisa unggul dan menguasai generasi muda yang kagum dan simpati kepadanya, maka mereka di-anggap sebagai pengikut setia atau corongnya. Maka tidak mu-ngkin mereka bisa melepaskan diri lagi dari cengkeramannya yang kuat. Akhirnya mereka tentu akan menggantungkan diri sepenuhnya kepadanya untuk diperbudak dan diperalat.
Dengan demikian ia akan bertindak sesuka hati dan se-wenang-wenang bagaikan seorang raja. Namun demikian me-reka mau mengkultuskannya dan menjilat kepadanya walau-pun nurani mereka berkata lain. Atau sebaliknya, ia yang me-nyanjung mereka, atau menobatkan mereka sebagai gurunya
sekedar untuk dapat mempelajari jalan fikiran nereka. Padahal sebenarnya mereka adalah muridnya, dan ia adalah guru mere-ka.
Aku khawatir kalau gelar yang diberikan kepadaku seba-gai guru Agkatan Abad XX itu hanyalah isapan jempol yang telah ia perhitungkan menurut bahasa orang majnun. Aku kha-watir kalau gelar terhormat itu kemudian dapat meluluhkan pe-rasaanku dan melunakkan pikirannku yang akhirnya aku di-anggap sebagai murid kepercayaannya, kader andalannya in-forman setianya, pelindung atau pembelanya, meskipun gelar guru telah ia berikan kepadaku.
Dalam hati aku berbicara : “Jika ia kutinggalkan tetap di sini, maka tempat ini nantinya akan disukai lalu ia tidak ingin pindah lagi, dan tempat ini kemudian dijadikan “Sanggar Seni”  untuk selamanya. Celaka ! Selanjutnya ia akan selalu berkubang disini dan merasa betah walaupun tanpa tujuan tertentu. Apa-lagi jika ia memang punya maksud yang hendak dicapai. Ma-ka sebagian dari waktuku tersita untuk hal-hal yang tak berguna dan terbuang percuma untuk sesuatu yang sia-sia. Masih berun-tung kalau aku mampu bergaul dengannya dan bisa mengu-bah jalan fikirannya sehingga ia mau menerima pendapat-pen-dapatku dan larut bersama pemikiran-pemikiranku. Dengan ha-rapan ini akan kucoba untuk mempengaruhi fikirannya serta membuang anggapannya karena aku tidak pantas disebut se-bagai guru Angkatan Abad XX, baik menurut perhitungan waktu maupun atas pertimbangan sejarah.”
Aku berkata kepadanya : “Kukira anda lebih baik berguru kepada diri anda sendiri. Sebab, tidak mungkin Angkatan Abad XX mempunyai seorang guru dari tokoh angkatan abad ini ju-ga. Apalagi kulihat anda sudah banyak absen dalam karya sas-tra. Sedangkan aku masih aktif dan produktif, selalu disibuk-kan dengan tugas-tugas dan karirku. Seperti apa yang anda ke-tahui, aku bekerja secara maraton. dan hampir setiap jam dari waktuku tidak kulewatkan begitu saja tanpa.....”
Ia memotong pembicaraanku : “Waktu itu tidak terdapat di dalam jam. Buktinya, setelah aku merusak jam itu ternyata di dalamnya tidak kudapati hari, jam, menit dan detik.”
Aku menjawab : “Meskipun anda sudah merusak jam itu, namun matahari tidak ikut rusak, bukan ? Nah, mataharilah yang menentukan waktu siang, lalu datanglah Zhuhur, di susul dengan Ashar, kemudian.....”
“........datanglah hari esok.” katanya. Tetapi aku bersama anda pada hari ini, kan ? Seharusnya anda merasa puas de-ngan kedudukan anda sebagai guru Angkatan Abad XX. Aku telah banyak membaca karya-karya anda di bidang sastra, dan telah membaca diri anda pula. Maka kulihat setiap pemikiran-pemikiranku telah menjadi pemikiran-pemikiran anda. Dan se-luruh ide yang kulontarkan ternyata telah didahului oleh ide-ide anda. Padahal aku yakin bahwa tidak seorang pujangga pun yang ikut mewarnai Mesir kecuali kita secara bersama. Aku ti-dak ingin menerima alasan dan tidak ada alasan yang patut ku-terima karena memang tidak perlu beralasan dan tidak diper-lukan alasan, bahwa pujangga-pujangga Mesir mencapai se-suatu apa yang telah aku peroleh. Inilah aku. Dan akulah ini. Apabila mereka tidak mau mengagumi Angkatan Abad XX ini, maka ketahuilah bahwa kedudukan mereka di sisiku adalah se-perti seekor semut di padang sahara. Itu satu segi. Dan segi lain-nya aku ingin merokok tapi tidak punya duit untuk membelinya.”
Aku gembira dan mencoba membesarkan hatinya : “Ini uang dan pergilah membeli rokok ! Selamat jalan !”
Ketika aku bersiap-siap untuk berdiri, kulihat ia tidak mau beranjak dari tempat duduknya.

(2)
Aku tidak ingin mengubah sikapnya dan tidak pula hendak meragukan pendiriannya. Tetapi tiba-tiba ia sudah berkata : “Angkatan Abad XX itu adalah seniman yang energik. Jika ia tidak tahan menghisap rokok selama berjam-jam maka ia bu-kan orang yang tangguh. Dan apabila persoalan ini belum bisa diklarifikasi, maka anda tidak akan dapat memberikan haknya.”
Dalam hati aku berbicara, “Aku telah menanam laki-laki majnun ini, padahal aku bermaksud hendak mencabutnya,
karena aku yakin ia termasuk seorang majnun itelektual yang sewaktu-waktu perasaan dan kemauannya berubah-ubah na-mun tanda-tanda kecakapan dan kecerdasannya yang hanya patut dimiliki oleh kalangan ahli logika nampak terlukis pada-nya.”
Lalu aku teringat kepada kisah si Bahlul yang gila itu. Al- kisah si Bahlul sedang duduk makan pudding ketika Ibrahim- Asy Syubbani lewat di depannya. Ibrahim berkata kepadanya : “Aku minta sedikit, hai Bahlul !” Jawabnya, “Ini bukan milikku, tetapi kepunyaan ‘Atikah anak perempuan Kholifah, yang diki-rimkan kepadaku agar aku memakannya atas nama dia.”
Cerita lain menyebutkan bahwa si Bahlul masuk ke dalam   pasar. Kemudian dia melihat orang-orang berkerumun di depan sebuah toko kain yang pintunya telah berlubang. Maka dia ber-gegas datang ke sana, sambil berteriak-teriak : “Tahukah ka-lian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu ?”
“Tidak,” jawab mereka serempak.
Mereka beranggapan : “Mungkin orang gila ini semalam memang melihat pelakunya tetapi dia membiarkan tidak meng-hardiknya. Maka biarkan saja dia, dan bujuklah dia agar mau  memberitahukan siapa pelakunya.”
Mereka bertanya : “Hei Bahlul, beritahukan kepada kami !”
Dia menjawab : “Aku lapar.”
Kemudian mereka membawa si Bahlul ke sebuah warung dan membelikan makanan kecil untuknya. Setelah kenyang dia berdiri, melihat ke arah pintu toko yang berlubang, lalu berkata : “Siapa lagi yang berbuat kalau bukan pencuri.”

(3)
Di tangan laki-laki majnun ada majalah “Ar Risalah”. Ia memberitahukan bahwa ia telah membaca artikel tulisanku, dan katanya ia sudah membaca ini dan itu, dan....
Aku bertanya : “Apa yang paling menarik bagi anda dari
majalah itu ?”
“Bioskop”, jawabnya.
“Kapan waktu akhir anda menonton bioskop ?” tanyaku.
“Kemarin.” katanya.
Aku katakan : “Kemarin aku tidak menulis artikel tentang bioskop, tetapi anda mengagumi apa yang kemarin anda sak-sikan. Jadi, apa yang telah anda saksikan kemarin itu adalah mimpi yang tertulis.”
Ia terkejut mendengar penjelasanku itu, kemudian ia ber-kata, “Itulah kehebatanku, keluarbiasaan Angkatan Abad XX. Aku telah bisa membaca artikel anda di alam ghaib sebelum an-da tuangkan diatas kertas.”
Aku berkata. “Anda terlalu sering menyebut diri anda se-bagai Tokoh Angkatan Abad XX. Kalau saja anda mau mem-buang angka “XX” maka anda tidak terikat pada abad itu saja, sehingga anda berhak pula untuk disebut Tokoh Angkatan be-rapa saja, kesembilan belas kek, kedelapan belas, ketujuh be-las, sebelum maupun sesudah abad kedua puluh tersebut.
Ia tercengang, bengong seolah-olah ia sedang berfikir kemajnunannya. Setelah ia sadar kembali lalu berkata : “Tidak, Tidak ! Ini masalah prinsip. Kalau aku mau menghilangkan ang-ka “XX” (‘Isyrien) dari kata sebelumya Angkatan Abad (An Naa-bighatu Qarnil) maka orang-orang akan bebas menyebut diri-ku sebagai “Angkatan Tanduk Domba,” dan lain sebagai-nya.(*
Aku berbicara di dalam hati : “Kok malah semakin men-jadi-jadi. Pancingan-pancingan yang kulontarkan kepada pemu-da majnun ini tidak dapat melepaskan ikatan yang ia jeratkan kepadaku bahkan semakin memperkuatnya seperti tanah ba-sah yang semakin bertambah luluh tertimpa air hujan.
Pemikiran-pemikiran dialektis di benaknya bertumpuk-tum-puk, dan pembicaraan tautologis di kepalanya berdesak-desa-kan, yang sewaktu-waktu siap dilepaskan. Kupikir lebih baik aku diam dan meneruskan pekerjaanku sendiri dari pada melayani fikiran yang tak bisa dicairkan itu. Aku diam dan berpaling. Sikapku ini mengena dan menjadikan ia terpukul keras. Rupanya sikap diamku ini mengantarkannya masuk ke alam khayal, maka keadaan semakin tegang dan lengang, seolah-olah di kepala-nya t[1]erdengar teriakan-teriakan seperti sekumpulan anak-anak kecil di pinggir jalan sedang meneriakkan kata-kata “gila, gila, !” dan ia marah kepada mereka namun mereka tidak mau pergi dan tidak mau berhenti berteriak hingga ia sendiri yang meng-hardik mereka serta mengusir mereka dari sisinya.
Kulihat si majnun itu hatinya mendongkol, yang ditam-pakkan melalui matanya yang merah menyorot tajam, sedang-kan wajahnya kecut masam. Aku khawatir kemajnunannya mem berontak. Maka kuhadapi ia dengan berpura-pura mengajukan sebuah pertanyaan : “Apakah anda memiliki saudara ? Apakah diantara mereka ada yang muncul sebagai tokoh ?
Jawabnya, “Ya, aku punya saudara.
Dia telah menyiksa diriku dengan sikapnya yang meru-pakan satu pukulan berat, kemudian membelenggu diriku de-ngan rantai, dan mengikatkan badanku kuat-kuat pada kayu balok, lalu aku dilemparkan ke dalam jurang yang kira-kira aku akan berteriak seandainya aku dilempar dengan batu dari atas.”
Aku berkata : “Anda perlu beristirahat dan sebaiknya anda mencari tempat duduk yang aman di sana agar tidak terganggu.”
Ia menjawab : “Baiklah, aku akan pergi untuk duduk-du-duk di warung kopi sana. Ini satu segi. Dari segi lain aku perlu uang buat membeli secangkir kopi.”
Kuberikan uang seharga secangkir kopi kepadanya dan kukatakan : “Pergilah, dan bersenang-senanglah di warung sa-na, minum kopi sambil mengisap rokok sepuas hati anda. Tem-pat ini sangat sempit untuk dihuni dua orang dan kurang me-nyenangkan.”
Akupun bersiap-siap untuk berdiri tetapi ia tetap tidak mau bangkit dari tempat duduknya.

(4)
Kemudian ia berkata : “Sekarang kuperlihatkan dengan jelas kepada anda bahwa aku benar-benar Angkatan di mata Abad XX ini.
Aku berkata : “Tentunya di mata kiri dan di mata kanan se-kaligus, bukan ?”
Ia menjawab : “Bukan begitu, anda sudah lupa tentang Di-lalah Lafzhiyah (Makna kata - Indikator term) dalam ilmu logika yang mempunyai maknalaras. Bahwa yang disebut di mata Abad XX sudah mengandung makna lainnya ; ya matanya, ya kepalanya, ya tubuhnya, dan seterusnya. Yang jelas, pada Abad XX ini tidak ada tokoh selain aku.”
Emosiku hampir meledak jika tidak kusadari bahwa im-piannya itu muncul secara spontanitas. Memang kebanyakan  dari pujangga-pujangga yang gila melapisi kekurangan-kekurangannya dengan karya-karya indah yang menarik hati. Seper-ti bualan ahli sejarah dalam kisah nabi Yusuf, yang berkata  bahwa serigala yang makan nabi Yusuf itu bernama Tsa’lab. Te-tapi ada yang menyangkal bahwa Yusuf tidak dimakan serigala, karena Tsa’lab itu memang serigala yang tidak makan Yusuf.”
Aku membantahnya : “Apa argumentasi anda, mengapa logika memerlukan Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhomuniyah (indikasi yang mempunyai makna kandungan) dalam me-ngungkapkan suatu pengertian, padahal cukup realistis dengan menyebutkan satu persatu ; mata, telinga, kepala, tubuh, dan seterusnya secara definitif ?”
Ia memandang langit-langit, lalu menjawab : “Karena mereka bukan orang-orang gila yang mau mencampur aduk-kan pengertian sedemikian rupa. Ini satu segi. Dan segi lain-nya, aku ingin pulang ke desaku tetapi tidak punya ongkos taksi.”
Aku berkata : “Ini uang buat ongkos pulang, dan selamat jalan.”
Setelah ia menerima uang dariku ternyata ia tetap saja duduk di tempatnya tidak beranjak sedikitpun.
(5)
Kemudian ia berkata, “Anda masih belum kenal siapa aku, yang sebentar lagi akan  membacakan puisi erotik, ama-tori, extol, satire dan gloria. Dalam retorika aku adalah Qies bin Sa’idah atau Aksam bin Shaify. Dan aku laksana batu karang yang tidak akan pecah karena ombak, atau lakasana bumi yang tidak digoncang oleh gempa. Aku tidak serupa Hujjaj te-tapi seperti Umar bin Khatthab.”
Aku berkata : “Itu tidak relevan untuk kita bicarakan di sini, kalau anda hanya ingin membuktikan bahwa anda adalah Tokoh Angkatan Abad XX, karena aku sendiri sudah percaya bahwa anda adalah sastrawan, pujangga, orator dan columnis terkemuka.”
“Dan filosof lagi,” sambungnya.
“Ya, dan filosof, dan pemikir dan ilmuwan dan ulama’ dan tidak ada lagi,” kataku.
Ia berkata : “Tetapi mengapa anda mengira aku majnun atau sinting, seperti yang digosipkan mass media, bahwa aku sudah gila karena terserang penyakit saraf dan kini sedang menempati Bimaristan. Padahal yang benar, karena aku ada-lah seorang genius yang alami. Maka tolong beritahukan hal diberitahukan kepada wartawan bahwa aku sudah sembuh dan siap untuk menerbitkan lagi karya terbaru di bidang sastra.”
Aku menjawab, “Percuma, aku bukan koresponden surat kabar.”
Ia berkata : “Kalau begitu, buatkan surat untukku, lalu aku sendiri yang akan mengirimkannya. Atau aku sendiri yang akan menulis tetapi anda yang mengirimkannya. Sesungguh-nya hanya untuk inilah aku datang kemari, agar anda bisa mem-pertemukan aku dengan redaktur sebuah surat kabar terbesar yang mengenal diriku secara utuh, apalagi yang tahu persis bahwa aku adalah sastrawan, seniman, pujangga, orator, dan banyak lagi. Apakah anda bersedia mempertemukan aku dengannya ?”
Jawabku, “Anda lebih kenal kepada mereka, dan mereka telah banyak tahu siapa anda, maka mereka tentu akan mem-butuhkan anda. Maka untuk apa anda mengajakku bersama pergi kepadanya ?”
Ia menjawab, “Sebab mereka masih meragukan kemam-puan diriku, terbukti bahwa mereka telah menuduhku majnun dan sinting alias gila karena disusupi syetan. Barangkali mereka belum tahu bahwa yang menyusup ke dalam sukmaku adalah syetan sastra budaya, sebagaimana syetan amor yang menyusup ke dalam diri anda. Ini satu segi. Dan segi lain, aku sudah lapar. Tetapi aku tidak mau membebani anda lagi.”
Aku berkata, “Ini uang buat makan siang di restoran rak-yat. Sekarang banyak orang sedang makan siang di sana. Jika anda terlambat, jangan-jangan nasinya dihabiskan mereka. Te-tapi jangan lupa, bahwa sekali makan di sana harus membayar tiga ribu rupiah.”
Ia berkata : “Benar juga anda. Ternyata mereka sudah melahap habis nasinya, dan semua pelayan sudah membersih-kan piring-piringnya yang berarti bahwa sebentar lagi resto-ran itu ditutup. Tapi biarlah uang ini akan kupergunakan untuk makan malam saja. Aku akan menahan laparku hingga nanti.”
Aku berkata : “Di saku anda sudah ada uang buat beli ro-kok, kopi, ongkos pulang dan makan siang. Pada Abad ketiga belas Hijrah, di Kufah terdapat tokoh genius bernama Thoqul Bashal. Dia membutuhkan uang satu ribu, tetapi dia tidak mau pergi tanpa sepuluh ribuan. Nah, ini satu segi. Dan segi lain, ambillah uang diam anda ini, dan pergilah !”

(6)
Hal itu mambuat dirinya gelisah. Ia bangun sambil marah-marah, kemudian menarik nafasnya dalam-dalam, sedangkan aku membuka jendela kamarku untuk menyongsong udara se-gar. Aku mengambil nafas seperti orang baru selesai bersenam pagi, tiba-tiba mataku tertumbuk ke arah pintu masuk. Kulihat di sana ada Angkatan Abad XX sudah bergandengan tangan dengan Angkatan Abad lain.
(7)
Kedua orang majnun dan sinting itu bersama-sama masuk ke dalam kamarku, menutup pintunya lalu menguncinya rapat-rapat, sehingga kurasakan kamarku seperti kubu tanpa pintu, sumpek dan menyesakkan nafasku.
Dalam hati aku berbicara sendiri, “Tentu mereka ini akan saling membantu. Sementara ini mereka akan kubiarkan, baru kemudian kuusir. Jarang terjadi, dua orang gila, sinting dan majnun, bisa berkumpul bersama kalau tidak karena kesama-an jalan fikirannya. Aku khawatir jangan-jangan diriku menjadi orang gila yang ketiga sebab aku masih belum yakin bahwa antara mereka berdua tidak akan terjadi silang pendapat jika fikiran syetan menyusup di kepala mereka masing-masing, yang memaksa aku harus turun tangan, menengahi salah satu di antara mereka atau melerainya. Tak apalah. Jika nanti benar-benar terjadi perkelahian, aku akan minta bantuan seorang te-man terdekatku yang kedatangannya sedang kutunggu-tunggu, yaitu Amien Syarif.”
Si sinting yang digandeng oleh Angkatan Abad XX itu menurut pengamatanku seperti sebuah buku yang lembaran-lembarannya telah rusak, halaman-halamannya tidak teratur menurut tertib nomornya, saling tumpang tindih tak karuan se-hingga pembicaraan yang terdapat di dalamnya campur aduk, dan semrawut, yang pertama ada di tengah dan yang tengah ada di belakang, tidak berkaitan satu sama lain, sulit untuk di-baca dan dimengerti maknanya.
Ternyata dia adalah seorang mahasiswa Al-Azhar University. Cita-citanya tinggi, ingin menjadi seorang hafidz seperti Imam Syafi’i dan seorang perawi seperti Imam Bukhari yang genius itu. Dia sudah banyak menghafal buku, judul demi judul, bagian demi bagian. Apabila waktu menghafal sudah habis, dia gunakan kesempatan untuk menguping pelajaran-pelajaran, mendengarkan berita atau menghadiri majlis orang-orang ‘alim dan cerdik pandai. Memang, dia memiliki keistimewaan pende-ngaran (Sima’ie) sehingga hampir setiap apa yang tertangkap oleh telinganya melekat-kuat dan menetap-setia tak ubahnya se-perti kaset perekam suara, tidak satupun yang dilupakan.
Tetapi kemudian pikirannya yang genius terkena polusi dan otaknya yang brilliant tercemar penyakit, sehingga dia se-ring berbuat salah dan khilaf.
Dua puluh tahun lamanya dia menghafal kitab fiqih Imam Syafi’ie yang terkenal itu. Setelah hampir tamat, hafalannya hilang sama sekali tak satupun yang tersisa di dalam kepala-nya. Demikianlah peristiwa seperti ini datang dan pergi, masuk dan keluar lagi. Walaupun begitu dia tidak mudah berputus asa. Dan kendala itu tidak memudarkan harapannya. Sekali lagi di-coba dan dicobanya lagi, lagi dan lagi.
Sengaja dia meninggalkan kampusnya, menyepi dan me-ngurung diri di rumahnya untuk menghafal. Menurut dia bahwa kampus adalah penghalang utama dari cita-citanya. Kampuslah faktor pertama yang membawa polusi dalam kepalanya se-hingga dia menjadi pelupa.
Padahal, mengurung diri di dalam rumah untuk mengha-fal sama saja seperti orang menimba air di lautan lalu air ter-sebut tertuang lagi ke laut. Dia bermaksud untuk memenuhi lau-tan ini, sedangkan air yang dituangkan berasal dari laut itu juga. Maka dia kini seperti orang yang memutar suatu alat tanpa ta-ngan.
Nah, Amien Syarif datang. Maka segera kutunjukkan ke-padanya tentang pemuda majnun itu, dan kukatakan kepada-nya bahwa ia mengaku dirinya sebagai Angkatan Abad XX.
Amien berkata : “Apakah Angkatan Abad XX sudah bisa dikenal, sedangkan Abad XX masih belum habis ?”
Aku menoleh kepada pemuda majnun dan memberi isya-rat agar ia sendiri mau menjawab pertanyaan temanku itu.
Maka ia berkata : “Apakah Abad XX sudah tiba ?”
Amien manjawab : “Belum.”
Ia berkata : “Nah, pemuda disampingku ini adalah Angka-tan Abad XXI. Dengan perkataan lain, dia adalah Tokoh Angka-tan Abad Yang Belum Tiba. Kalau dia boleh menjadi Angkatan Abad Yang Belum Datang, maka apa salahnya jika aku sendiri menjadi Angkatan Abad Yang Belum Selesai itu ?”
Aku menyela : “Anda telah menambah problema baru, ka-rena anda merasa yakin bahwa anda dapat menyelesaikannya melalui dugaan anda sendiri. Bagaimana dia bisa bersama-sa-ma dengan anda dalam satu ruang dan waktu, padahal antara anda dengan dia terpaut 16 tahun ?”
Seperti biasanya, setiap kali ia dihadapkan pada persoalan yang agak rumit, terlebih dahulu ia menoleh ke atas menembus langit-langit kamar.
Kemudian ia menjawab : “Persoalan itu tidak dapat diana-logikan kecuali oleh ahli logika. Mengapa tidak, sedangkan aku  dapat mengatasi ilmu para ulama lebih dari hanya 16 tahun ?”
Kepada si sinting aku bertanya : “Betulkah demikian ?”
Dia menjawab : “Aku masih ingat kata-kata Al-Hasan, “ka-mi mengenal suatu bangsa, yang apabila anda melihat mere-ka, pasti anda akan menyebut mereka orang-orang gila. Dan apabila mereka mengenal anda, maka pasti mereka akan me-ngatakan anda adalah syetan.”
Majnun tertawa sambil berkata : “Dia adalah muridku.”
Si sinting menjawab : “Betul, ia memang guruku. Tetapi setiapkali ia lupa tidak seorangpun yang bisa mengingatkannya kecuali aku.”
Aku menyambung : “Tidak heran pula kalau Az-Zuhri ju-ga berkata, “Jika kamu mau mencela pikiranmu maka cemooh-lah ahli pikir.”
Majnun marah-marah lalu berkata : “Ah, dasar majnun yang goblok dan tolol, tidak mau mengakui kelebihan orang lain. Brengsek ! Bagaimana mungkin dia mengingatkan aku, se-dangkan menghafal sebuah naskah saja dia tidak mampu. Demi Allah, benar pula apa yang dikatakan orang, “bahwa musuh yang pandai lebih baik dari pada...... lebih baik dari pada... lebih baik.....”
Si sinting melanjutkan : “......lebih baik dari pada teman yang bodoh. Nah, jelas kan, bahwa aku yang mengingatkan apa yang ia lupakan ?”
Ia tertawa, “Ha...ha...ha... ! Aku tidak lupa, tetapi aku akan membuat kalimat lain, “musuh yang pandai lebih baik dari pada, lebih baik dari.... lebih baik dari pada teman yang sin-ting lagi dungu.”

(8)
Sekilas kulihat dalam pertemuan dua orang gila ini ter-dapat aspek lain di samping kesintingan mereka. Benar juga dugaanku bahwa orang gila yang sendirian adalah sinting. Te-tapi berkumpulnya dua orang gila kadang-kadang mengandung unsur seni. Dialog yang berlangsung antara mereka seolah-olah sebuah sandiwara yang saling antagonis, saling tunjuk hi-dung bahkan saling melemparkan guntingan-guntingan men-tal atau melontarkan kepingan-kepingan inspirasi.
Aku belum tahu apakah Angkatan Abad XX ini tergolong majnun yang mempunyai pendengaran selain telinganya, dan penglihatan selain matanya, dan penciuman selain hidungnya, disaat otaknya berhadapan dengan suara, bentuk, rupa dan paras, atau menghadapi aroma dari dalam dirinya yang bukan melalui panca inderanya, sehingga sedikit demi sedikit muncul-lah ide-idenya, dan terlontarlah kata-kata yang mengandung pengertian.
Ia berbicara, berjalan dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya di dalam otaknya. Maka pada saat itu kucoba memutar otak untuk membuat teks drama satu babak dari dialog kedua orang gila ini.
Tiba-tiba Angkatan Abad XX berkata : “Sssst dengarkan, ada dering telepon !”
Amien Syarif berkata : “Dimana ada telepon berdering, aku tidak mendengarnya, sebab disini tidak ada telepon.”
Si sinting membentak-bentak sambil berkata : “Tentu saja anda tidak mendengarnya, sebab tingkatan anda di bawah taraf kegeniusan Angkatan Abad XX. Kerja anda hanya me-ngingkari kenyataan. Tidak percaya memang pekerjaan paling mudah baik di kalangan orang-orang gila, setengah gila, mau-pun di kalangan orang-orang awam bahkan anak-anak kecil se-kalipun. Tadi anda telah mengingkari kenyataan bahwa ia ada-lah Angkatan Abad XX, dan kini anda tidak mempercayai tele-ponnya.”
Amien Syarif menjawab, “Di mana ada telepon ? Bukan-kah mata kita melihat apa yang ada di kamar ini ?”
Majnun tertawa terbahak-bahak dan berkata : “Busyeeet..! Kalian mengganggu konsentrasiku. Nah, coba dengar, telepon sudah berdering lagi. Tapi biarlah aku tidak akan mengangkat-nya, agar si dia menunggu agak lama dan membunyikan bel untuk yang ketiga kalinya. Diam ! Mungkin bel yang ketiga su- dah dibunyikan tetapi aku tidak mendengarnya sebab kegadu-han suara kalian !”
Si sinting menyambung : “Itu pasti dari seorang wanita. Dia adalah isterinya yang paling dicintai dan disayangi, tetapi ia sen-diri telah menyia-nyiakan cintanya dan mengecewakan hatinya. Barangkali dia sudah tidak sabar menunggu maka dia meletak-kan telepon di kepalanya.
Kemudian majnun melanjutkan pembicaraannya : “Dan telepon ini tidak hanya memperdengarkan suaranya kepada-ku, tetapi juga mengirimkan aromanya kedalam hidungku. Ka-dang-kadang Malaikat berbicara denganku melalui telepon ini.
Aku benci kepada wanita itu karena dia telah menyakiti hatiku. Maka dia melarikan diri dan kabur dari sisiku karena takut ke-pada amukan Malaikat atas kaum wanita yang memusuhi sua-minya. Kadang, salah seorang bidadari juga berbicara dengan-ku melalui telepon ini.”
Aku dan Amien bertanya : “Apakah bidadari merasa cemburu pada wanita itu ?”
Si sinting yang menjawab : “Bahkan lebih dari itu. Bidadari akan mengutuk dan melaknatnya. Aku masih hafal be-tul kata-kata di dalam sebuah hadits bahwa seorang wanita yang menyakiti suaminya di dunia, bidadari akan berkata kepadanya ; “Jangan kau sakiti ia wahai perempuan laknat ! Ia hanyalah sebagai orang asing yang tak lama lagi akan berpisah denganmu dan berkumpul denganku.”
Majnun berkata : “Wah, rupanya orang sinting ini berba-haya bagiku. Dia menginginkan kedudukanku, maka dia ber-harap agar aku segera mati atau secepatnya pindah dari du-nia ini untuk menjumpai bidadari. Kemudian dia memprokla-mirkan diri sebagai Angkatan Abad XX. Apa yang dia lontar-kan sejak tadi tidak rasional, karena bersumber dari kegilaan yang bodoh dan kebodohan yang gila. Dia menuduh isteriku menyakiti aku. Kalau memang betul demikian tentu aku sudah didamprat lebih dahulu. Dan kalau isteriku marah-marah pasti dia akan meneleponku. Eh, diam ! Bel berbunyi lagi.”

(9)
Temanku Amien Syarif berkata : “Watak orang-orang genius itu kadang aneh-aneh. Di Madrid ada seorang laki-laki genius yang ditinggal mati isterinya. Dia mempunyai seorang anak laki-laki. Kemudian dia kawin lagi sedangkan anaknya berkumpul bersama ibu tirinya. Ketika hari raya ‘Idul Adha tiba, si anak minta uang kepada ayahnya untuk membeli binatang kurban namun tidak diberi. Sang ayah adalah seorang hafidz Alqur’an. Maka dibacakan kepadanya kisah nabi Ibrahim ke-tika bermimpi diperintah Allah menyembelih putranya, Isma’il. Mendengar kisah itu si anak mengira bahwa dirinya juga akan disembelih oleh ayahnya sebagai kurban. Dan ternyata, sang ayah memberitahukan mimpinya bahwa ia diperintah agar me-nyembelih anaknya. Andaikata tidak karena teriakan  anaknya yang mengundang orang banyak berdatangan untuk menolong, tentu ia sudah mampus di tangan ayahnya sendiri.”
Majnun berkata : “Itu bukan genius namanya, tetapi sinting alias gila. Bahkan lebih pantas kalau disebut paling tololnya ora-ng gila. Dan aku memang melihat orang itu berada di Bimaris-tan ketika aku sendiri sedang berada di rumah sakit. Logika-nya begini,  jika dia mengaku menerima wahyu sebagaimana wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi Ibrahim untuk me-nyembelih Ismail sebagai kurban, maka pada saat dia akan me-nyembelih anaknya itu pasti akan digantikan domba dari langit.”
Kemudian ia menunjuk kepada si sinting sambil berkata :
“Aku lebih dahulu terkenal dari orang ini, dalam ilmu yang se-lama 16 tahun telah dimiliki para ulama’.”
Aku berkata : “Bukankah anda sendiri yang berpendapat bahwa orang ini adalah Tokoh Angkatan Abad yang belum da-tang, mengapa kini anda menarik kembali pernyataan dan pe-ngakuan anda ?”
Dengan tenang ia menjawab : “Karena sebabnya beru-bah, pengakuan pun ikut berubah, maka pembicaraan jadi ber-ubah.”
Majnun berkata : “Nampaknya dia memang sangat meng-harapkan kematianku agar dia dapat menduduki posisiku se-bagai Tokoh Angkatan Abad XX. Maka pembicaraan sekarang berarti, walaupun dia sudah menghafalkan beberapa buku se-lama 16 tahun lagi, namun ilmunya belum setara dengan ilmu-ku. Dia, separuh mayat orang sinting dan separuhnya lagi ma-yat orang tolol. Atau seperdua dari tubuhnya adalah kesinti-ngan sedang seperduanya lagi adalah ketololan. Artinya, dia sama dengan orang mati, ada dan tidak adanya sama saja.”
Amien Syarif berkata, “Sebagai murid anda, anggaplah dia itu makmum di belakang imamnya. Dia makmum dan anda imam. Sudahlah, anda tidak perlu lagi memperbincangkan orang ini. Diakui atau tidak, toh dia murid anda juga.”
Si sinting menjawab  : “Ada pepatah yang mengatakan ‘Jika akal dilukiskan niscaya teranglah malam hari dan ji-ka kebodohan dilukiskan niscaya gelaplah siang hari’ dan kulihat Tokoh Angkatan Abad XX ini tidak tahu bagaimana bersembahyang. Akhir-akhir ini ia bersembahyang dengan puisi. Karena aku mengetahui ia sering lupa, maka kutegur untuk me-ngingatkan bahwa sholat tidak boleh dengan puisi. Mendengar teguranku ia menoleh kepadaku dan mencaci maki padahal ia sedang ruku’. Dengan pedas ia berkata : “Apa urusanmu ! Apakah aku sholat demi kamu ?”
Majnun berkata : “Demi Allah, kalian telah menganggapku orang sinting hingga kalian menghendaki agar si sinting tolol yang tidak punya pendirian ini bertaqlid kepadaku. Apakah kalian kira bertaqlid kepadaku itu suatu hal yang mudah ? Keta-huilah, bahwa Angkatan Abad XX tidak bisa bertaqlid kepada Tokoh Angkatan Abad XX itu sendiri.”
Kami berkata : “Aneh ! Mengapa bisa demikian ?”
Sambil tertawa majnun menjawab : “Jika kalian tidak bisa memecahkan hal yang aneh itu, berarti kalian bukan orang-orang cerdik.”
Amien Syarif menjawab : “Hal itu karena belum pernah terjadi. Bagaimana kami bisa mengetahuinya. Dan karena tidak pernah terfikir oleh siapa pun juga maka bagaimana kami dapat memecahkannya ?”
Aku menambahkan : “Kukira hanya anda yang bisa melihat diri anda sendiri.”
Majnun berkata : “Kalau bukan guru Tokoh Angkatan Abad XX, tidak mungkin anda mengerti. Ini menunjukkan se-paruh kebenaran selama anda menjadi guruku. Andaikata kita saling berbeda pendapat, maka pendapat anda menjadi benar bagiku karena anda adalah guruku. Sedangkan yang berlawa-nan dengan pendapat anda adalah benar bagi anda sebab itu pendapat murid anda. Jadi, anda tidak salah dan aku pun be-nar. Jika kata tidak kita buang tinggallah aku yang benar dan anda yang salah.”
Kemudian majnun menunjuk kepada si sinting sambil me-malingkan wajahnya lalu berkata : “Aku sendiri tidak melihat Angkatan Abad XX ini dalam mataku. Tetapi aku pernah meli-hatnya di kaca yang tergantung di rumah tukang cukur. Ia me-ngikuti gerak-gerikku atau bertaqlid kepadaku dalam seluruh gerak-gerik, termasuk dalam cara duduk, berdiri maupun ber-jalan. Kemudian aku berteriak dan mengecamnya, maka mulut-nya menganga dan merasa takut kepadaku lalu dia tidak mau berbicara lagi. Aku lebih dahulu terkenal dari dia selama 16 tahun ilmu yang telah dimiliki para ulama.”
Amien Syarif menanggapi, “Sudah dua kali anda menge-lurkan kata-kata seperti itu. Apalagi maksud ucapan anda yang ketiga kalinya ini ?”
Majnun menjawab : “Si sinting tolol yang hanya membebek ini telah menuduh bersembahyang dengan puisi maka aku mengecamnya ketika aku sedang ruku’. Kalau dia memang manusia normal, tentu dia menyadari bahwa kecamanku kepadanya dalam keadaan aku sedang ruku’ itu adalah pahala bagi dirinya. Dan jika dia benar-benar seorang tokoh tentu dia tahu bahwa puisi yang kubacakan adalah mengandung pujian buat ahli pikir Angkatan Musthafa Nuhhas Basya.”
Kami menyanggah : “Dalam keadaan bagaimanapun juga puisi tidak boleh dibaca didalam sholat, meskipun isinya  berupa pujian untuk orang terkemuka seperti Musthofa Nuhhas Basya.”
Majnun menjawab : “Aku tidak bersembahyang dengan puisi. Tetapi pada saat aku sedang sholat terdetik dalam piki-ranku bahwa aku lupa satu ballada yang pernah kuhafalkan dahulu. Untuk membuktikan bahwa aku sebenarnya tidak lu-pa, maka ballada yang bercorak epic ini kubaca :

Wahai pemimpin yang tak pernah tidur !
Katakan kepadaku di mana orang yang selama ini setia

Jika engkau menyenangi rusa, kedua matamu akan tercoreng noda

Akupun menyenanginya, tapi apa daya tidak ada jalan bagiku untuk menggapainya
Sejak ia berpaling dan pelan-pelan berkurang
Sejak ia menghilang di dalam khayalan
Aku jadi tergila-gila dengan malamku
Oh, malam
malamku, kemarilah !

(10)
Majnun berkata : “Jadi tidak diragukan lagi bahwa aku adalah Tokoh Angkatan Abad XX dalam menghafal puisi. Dan dengan demikian jelaslah bahwa menghafal puisi tidak seperti menghafal diktat sebagaimana yang dilakukan si sinting ini tapi hingga kini dia belum hafal juga.”
Kami bertanya : “Jadi puisi itu bukan pujian !”
Majnun tertawa lalu menjawab : “Ketahuilah bahwa aku membacakan puisi erotic, Yang ini adalah ballada.”

Dunia ini diselimuti upaya dan angan-angan
Sedangkan engakau wahai Nuhhas Basya, menutupinya de-ngan perjuangan
Mereka menyangka kehidupan ini kebanggaan dan kesena-ngan
Tetapi engkau wahai Musthofa memperhitungkannya untuk Allah dan kemanusiaan

Kemudian ia bergeser sedikit dari tempat duduknya dan diam seribu kata tetapi si sinting mengingatkan : “Ballada itu seharusnya terdiri dari 6 baris. Jadi anda sudah melupakan dua baris lagi. Tapi kali ini aku tidak mau meningatkan kelupaan anda.”
Majnun menjawab : “Rupanya waktu sholat telah tiba. Aku permisi, mau sholat.”
Sambil memandang ke langit-langit, kemudian ia berkata : “Baris yang terakhir adalah :

Tidak akan menyenangi ballada melainkan ahli fikir 
atau tokoh atau orang yang sedang dimabuk rindu
atau metropolitan.

Kemudian ia menyuruh Amien Syarif agar menuliskan ballada tersebut, dan ia mendektekannya. Lalu ia minta agar Amien Syarif membacakannya. Setelah Amien selesai mem-baca, ia berkata : “Bagus...! Lihat ke atas !”
Amien melihat ke atas.
“Lihat ke bawah !” katanya.
Amien melihat ke bawah. Lalu apa lagi ? tanya Amien.
Majnun menjawab, “Lalu, banyak orang melihat, adakala-nya ke atas, adakalanya ke bawah.”

(11)
Rasa putus asa telah menguasai diriku. Maka kuminta Amien mau menetap bersama mereka. Sebelum keluar aku minta izin kepada Tokoh Angkatan Abad XX untuk dapat ber-bicara empat mata dengan Amien.
Tetapi Amien Syarif melarangku keluar hingga kami me-nerima pengakuan langsung dari pemuda majnun ini. Rupanya ia ingin membicarakan Ar Rafi’ie kepadaku, maka ia minta ke-padaku untuk menunggu. Tidak lama kemudian ia berkata : “Aku heran, bagaimana Ar Rafi’ie bisa berbuat jahat sejauh itu. Aku adalah sekertarisnya ditugaskan untuk mengetik setiap naskah yang akan dikirimkannya ke majalah Ar Risalah, dan yang me-ngedit serta mengoreksi naskah-naskahnya itu, sedangkan dia hanya tinggal membubuhi tanda tangan saja. Tetapi honora-rium dan pembayaran untuk setiap naskah yang dia terima hanya disisihkan dua ribu rupiah untukku.”
Amien Syarif bertanya : “Mengapa anda tidak mengirim lagi naskah-naskah tersebut ke majalah Al Ikhwan agar anda sendiri menerima honorarium yang banyak ?”
Majnun menjawab : “Itu sangat rahasia. Hanya aku yang menyembunyikan dan menutupinya karena Ar Rafi’ie tidak me-nghendaki kalau rahasia tersebut sampai bocor diketahui orang selain aku.”
Amien Syarif berkata : “Biarkan masalah Ar Rafi’i karena sudah berlalu. Sekarang aku menginginkan agar anda menulis-kan naskah-naskah tersebut untukku dengan imbalan dua puluh ribu per naskah, bukan dua ribu. Setuju ?”
Majnun menjawab : “Sayang, aku tidak bisa menulisnya  untuk selain Ar Rafi’ie, sebab ide-ide tokoh ini tidak boleh dimin-ta kecuali oleh gurunya sendiri. Apabila ada orang lain yang memintanya, maka hal itu akan merendahkan harga diri Tokoh Angkatan Abad XX yang berarti aku ini bisa dibeli dengan harga murah. Ini baru sebagian rahasia. Masih banyak rahasia-rahasia yang lain.”

(12)
Pada sore harinya, dua orang gila itu, Majnun dan si sinting datang ke sebuah bar.

(13)
Di dalam bar kami bertiga ; aku, Amien Syarif dan As Si-ba’i. Kami bersepakat untuk menyusun siasat agar dapat mem-pengaruhi mereka dan merekam apa yang mereka lontarkan.
Mereka datang. Kami bertiga berdiri menyambut kedatangan mereka, lalu berjabatan tangan dan mempersilahkan mereka duduk bersama kami. Tetapi sikap ramah kami mem-beri kesan bagi mereka bahwa di dalam kata “majnun” tersimpan makna raja atau penguasa.
Kutatap wajah Tokoh Angkatan Abad XX. Kedua bola matanya yang jeli yang sulit diungkapkan dengan kata-kata dan tidak mungkin ia dapat menerjemahkan pandanganku kepada-nya kecuali hanya perasaan bangga bahwa parasnya yang tam-pan mirip kecantikan seorang wanita mendapat perhatian penuh dariku. Maka ia mengulum senyumnya, memperelok diri dan berlagak gemulai seperti seorang gadis manis yang manja.
Di saat ia sedang mabuk kepayang ibarat seorang gadis cantik-molek yang mabuk karena banyaknya mata pemuda yang memperhatikan dirinya, maka ia menoleh ke kiri dan ke kanan mengitari tempat itu, lalu berkata, “Ssssst ! Mengapa kalian betah di dalam bar yang bising, penuh dengan pemandangan tidak sedap ini. Lihat itu, mereka tak ubahnya seperti gelanda-ngan, seperti kere dan bajingan tengik. Itu, yang duduk di sana, yang berdiri di sana, yang berjongkok.... oh, di sana ada yang berduaan, ada yang bergerombol seperti serangga ada pula yang..... ah, apa-apaan ini semua. Sungguh ini merupakan khayal nyata di dalam kepalaku. Ih, ada suara sumbang, ada bunyi ngak ngik nguk, dan bunyi billiard yang gaduh. Dengar-kan lagi, itu suara gemuruh yang mengepung kita, ini bunyi terengah-engah yang menyesakkan dada. sungguh tempat ini adalah khayal nyata di dalam kepalaku.
Si sinting tersentak lalu melibatkan variasi khayalnya. Ke-mudian dia memandangi kami satu persatu dengan pandangan yang tajam menusuk. Nampaknya ia bimbang dan kelihatan gelisah. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah pintu sam-bil berjongkok. Tiba-tiba dia mengerahkan seluruh tenaganya berdiri sambil meloncat. Melihat teman-temannya yang lain ti-dak beranjak dari tempat duduknya masing-masing, dia terta-wa terbahak-bahak dan bergumam : “Aku khawatir kalau anak-anak kecil itu datang lagi kesini dan menlontarkan kata-kata “gila” kepada kalian.”
Majnun berkata : “Apa yang anda bicarakan itu, monyet ! Mendengung seperti suara lalat.”
Si sinting menjawab : “Yang masih kuingat adalah ; “bah-wa tanda-tanda orang tolol, yaitu apabila berbicara kaku, kalau menangis keras, jika tertawa lantang seperti yang ba-ru saja anda lakukan.”
Muka Angkatan Abad XX berubah menjadi merah padam, dan memandang si sinting dengan pandangan penuh keben-cian. Kemudian ia maju hendak menerkamnya sambil berkata : “Mengapa anda memaksaku untuk menjawab ocehan-ocehan-mu dengan kesintingan. Kini anda tidak bisa menghindar dari kepalan tanganku.”
Amien Syarif segera menangkap tangan majnun, sedang-kan As Siba’i merangkul tubuhnya dari belakang sambil ber-kata : “Anda yang pertama kali bikin gara-gara. Orang yang memulai lebih dahulu dialah yang paling bersalah.”
Majnun menjawab : “Tetapi, mengapa dia berbicara dan bergumam seperti itu. Apa maunya. Apakah tidak ada kata-kata selain itu. Apakah Tokoh Angkatan Abad XX ini orang tolol ? Demi Allah, aku telah dapat membaca apa yang terlukis dari pandangan matanya, dan isinya tidak lain kecuali bahwa “aku adalah paling tololnya abad XX.”

(14)
Aku menyela : “Jika hal itu yang membuat anda marah, maka dikatakan di dalam hadits, “Tidak seorangpun melain-kan terdapat ketololan dalam dirinya, dan ia hidup dalam kegilaan. Kehidupan ini sendiri adalah kegilaan yang terorga-nisir secara rasional. Apa yang diperoleh manusia dari kese-nangan hidup ini tidak lain adalah perolehan atas sesuatu dari ketololannya. Sesuatu yang paling menyenangkan dari kele-zatan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal atau sesuatu yang keluar dari undang-undangnya. Kalau tidak karena keto-lolan di dalam tabiat manusia, tentu saja ia tidak akan mampu menanggung beban hidup ini. Bukankah manusia menerima beban hidup dari Tuhannya atas dasar ketololnnya ? Bukan-kah anda sendiri telah menghayalkan bahwa anda lebih ba-nyak menghilang dari dunia ini dan sedikit sekali kehadiran anda di dalamnya ? Dan kesadaran anda terhadap suatu hakikat ti-dak lain hanyalah mimpi-mimpi atau serupa angan-angan be-laka seolah- olah anda diciptakan di suatu planet lalu meluncur ke planet kita ini. Maka tidak ada sesuatu di dalam diri anda untuk bumi dan tidak sesuatupun di bumi ini yang diperuntuk-kan diri anda kecuali sedikit yang sesuai, sedangkan kebanya-kan dari anda saling berlawanan, berbenturan dan saling tarik-menarik ?”
“Betul”, jawabnya.
Aku melanjutkan : “Nah, yang sedikit itulah ketololan di mana anda hidup di dalamya.Itulah tanah dunia yang merayap dalam diri anda, sedangkan surga langit amat jauh dan tidak menjadi beban bumi. Oleh karenanya ahli hakikat hidup seperti kehidupan orang-orang gila dalam pandangan orang-orang yang terpedaya oleh kehidupan fana ini, atau menurut penilaian orang-orang yang terpesona oleh kenyataan-kenyataan lahi-riah yang palsu, dimana mereka melakukan perbuatan-perbua-tan tinggi yang berujung pada ketololan, memantul, memancar, dan terpengaruh oleh ketololan itu. Barangkali inilah yang di-maksud hadits “Kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang tolol.”
Si sinting menyahut : “Ya, betul hadits itu, seperti apa yang kuingat.”
Tetapi majnun segera berkata : “Yang bernasib sial itu adalah anda. Apakah anda tidak merasa bahwa anda adalah orang tololnya Bimaristan bukan orang tololnya surga?”
Aku berkata : “Dan mati itu pasti menjumpai seluruh manu-sia. Semua harta dunia yang mereka peroleh akan ditinggalkan-nya. Baik yang beruntung mendapatkan harta dunia maupun yang tidak mendapatkan pasti akan dipertemukan juga. Maka siapa yang merasa  gembira dengan perolehan sesuatu yang ti-dak kekal itu, tentulah kegembiraannya karena ketololan dirinya. Dan siapa yang merasa sedih karena tidak mendapatkan se-suatu yang tidak kekal itu, berarti kesedihannya timbul karena ketololan pula. Mencintai sesuatu yang akan hilang adalah keto-lolan yang mengalir di seluruh pancainderanya dan membasahi dirinya, lalu memenuhi jiwanya hingga ketololan itu membanjiri waktu, kemudian melingkari masa hingga penuh dengan asyik ma’syuk yang meracuni dengan kesenangan-kesenangan yang dapat mengecilkan sesuatu atau membesarkannya. Maka ke-nyataan di dalam dirinya adalah bukan kenyataan dunianya. Orang yang diliputi asyik ma’syuk menganggap kekasihnya se-perti bulan. Andaikata bulan itu mendengar, mengerti atau bisa menjawab kira-kira ia akan mengatakan ; orang yang menyama-kan kekasih dengan dirinya, benar-benar tolol.”

(15)
Setelah manahan marahnya majnun menjawab: “Anda betul, karena itulah aku tidak menyamakan kekasihku dengan bulan.”
Aku bertanya : “Dengan apakah anda menyamakan keka-sih anda itu ?”
“Aku tidak mau mengatakan sebelum aku tahu dengan apa anda menyamakan kekasih anda,” jawabnya.
“Akupun tidak menyamakan kekasihku dengan bulan,” ja-wabku.
Maka ia balik bertanya : “Lantas dengan apakah anda me-nyamakan kekasih anda itu ?”
“Aku belum tahu dengan apa anda menyamakan kekasih anda,” balasku.
“Itu rahasia, tidak boleh anda tahu sebab anda guru Tokoh Angkatan Abad XX, sedangkan kekasih anda cukup banyak se-banyak jumlah buku-buku anda. Kekasih anda benar-benar me-ngagumkan diriku. Di antaranya, itu yang berada di Daun-daun Mawar, yang nampaknya paling anda cintai. Rupanya anda telah jatuh cinta kepadanya sejak bulan Mei, tahun..... dari tahun...”
Si sinting menyambung: “Dari tahun 1935. Aku hanya me-ngingatkan, lha!”
Majnun membentak: “Goblok! Sebenarnya Daun-daun Mawar itu muncul beberapa tahun belakangan ini saja. Anda be-nar-benar orang tololnya Bimaristan bukan tololnya Daun daun Mawar..... eee, apa yang kukatakan tadi ?”
Amien Syarif berkata: “Tadi anda mengatakan, anda tidak boleh tahu karena kekasih anda banyak sekali.”
“Oh ya, sebab kalau anda menyamakan salah satu dari kekasih anda itu dengan bulan, maka bulan akan habis, dan ha-bis pulalah penyerupaan dengannya hingga kekasih-kekasih an-da lainnya tidak kebagian bulan. Lagi pula, kata “bulan” tidak menarik bagiku. Warnanya kekuning-kuningan, kadang-kadang
muram temaram. Jika anda menyenangi orang Negro, maka bo-lehlah kekasih anda di samaka dengan bulan. Tetapi kalau orang kulit putih yang anda samakan dengan bulan, itu namanya mati selera.”
As-Siba’i menyambung : “Apakah di dalam kata-kata itu terdapat warna ?”
Ia menjawab : “Jika anda seorang Tokoh pasti anda meli-hat dalam diri anda ada pelangi dari surga. Bukankah guru kami tadi telah menerangkan, bahwa Tokoh Angkatan Abad XX turun dari planet ke planet yang lain ? Dan di planet kami yang perta-ma, kami memiliki pendengaran yang berwarna dan perasaan yang berwarna. Jadi kami mendengar tabuhan genderang itu bi-ru, dan tiupan terompet itu merah, dan nada lagu-lagu merdu itu hijau. Dan seluruh wujud ini adalah lukisan-lukisan berwarna, baik yang nampak maupun yang dirasakan, yang abstrak mau-pun yang diungkapkan.”
Kemudian ia menunjuk kepada si sinting sambil berkata: “Nama dari orang tololnya Bimaristan ini seperti kata “tinta”, yang menurut pendengaranku warnanya hanya hitam.”
Kemudian ia diam. Dan kami pun berdiam diri. Namun As- Siba’i tiba-tiba bertanya kepadanya : “Mengapa anda tidak ber-bicara lagi ?”
“Karena aku ingin diam,” jawabnya singkat.
“Dan mengapa anda ingin diam?” tanya As-Siba’i lagi
“Sebab aku tidak ingin bicara,” katanya.
Kemudian tergeraklah dalam dirinya keinginan untuk ma-rah kepada si sinting. Sambil melihat ke langit-langit ia berkata : “Jika kaum wanita sudah memakai jenggot, barulah orang tolol ini akan menjadi orang berakal.”
Sedangkan si sinting menggertakkan kakinya beberapa kali hingga Tokoh Angkatan Abad XX terhentak karenanya, dan berkata: “Eee, siapa pula berani menghinaku?”
As-Siba’i menjawab: “Tidak ada orang yang berani meng-hina anda. Bunyi tadi hanyalah suara derap kaki.”
Tetapi ia membantah: “Tidak! Monyet dungu itulah yang berani menghinaku. Pendengaranku selama ini tidak pernah me-laporkan sesuatu yang keliru, dan aku termasuk orang evil minded (buruk sangka) terhadap siapapun, sebab tanda-tanda seorang intelek yang bijak adalah bersikap skeptis terhadap se-gala hal dan berprasangka buruk kepada setiap orang. Katakan-lah bahwa dia hanya menggertakan kakinya ke lantai, atau ang-gaplah itu hanya suara derap kaki saja, tetapi dia toh punya maksud tertentu dan aku mendengar maksudnya itu. Ada sema-cam peerasaan tidak enak dalam hatiku, maka aku harus mene-lanjangi dan menyembelihnya walaupun hanya dengan pedang kata-kata sindiran. Ketahuilah bahwa aku, kalau melontarkan ka-ta-kataku, kalian lihat sendiri darah akan menyembur kepada-nya. Dan aku akan memaksanya seperti aku menyeret kambing lalu aku akan menyembelihnya.”
Kemudian ia mencabut pulpen dari tangan As-Siba’i sam-bil berkata : “Nah, ini dia pedangku ! Kuharap guruku berke-nan menyebelihnya walaupun hanya satu kalimat yang meng-ungkapkan kegilaanya. Hilanglah sudah perasaanku. Hentakan-hentakan kaki ke lantai membuat kelinci-kelinci berlompatan lari ketakutan lalu masuk ke dalam lobangnya dan bersembunyi. Se-benarnya jeritan perasaanku itu tidak lain adalah kelinci-ke-linci.”
Ia melanjutkan kata-katanya: “Kalian tahu, bahwa orang bijak yang bonafide seperti aku ini perasaannya peka dan halus. Tetapi kalau orang dungu bin tolol seperti dia perasa-annya kasar, kaku dan bermuka tebal. Aku merasakan dingin-nya udara karena seperti kalian ketahui, aku sudah pernah pergi ke Kutub utara. Tetapi si sinting ini kalau sudah merasa kedinginan maka dia pergi ke kandangnya dan masuk ke da-lam sangkarnya. Jelaslah, karena dia tidak mengerti sama se-kali tentang geografi dan tidak tahu bahwa bumi menghampar.”
Aku berkata: “Itu lebih indah dari anekdot Abil Harits.”
“Apakah Abil Harits seorang tokoh,” tanyanya.
Aku menjawab: “Dia duduk makan siang bersama Ha-run Al Rasyid dan Isa bin Jakfar. Di atas meja ada tiga porsi roti kismis. Lalu dia segera melahap bagiannya mendahului mereka. Harun Al Rasyid yang terkenal sebagai raja yang agung dan bijak tentu saja ia tidak makan rotinya seperti orang lapar. Tetapi beliau hanya merobeknya sedikit demi se-dikit dan masih tersisa separuh. Tiba-tiba Abil Harits berteriak keras, “oiii, kudaku !” Harun Al Rasyid pun terkejut dan mera-sa heran, lalu bertanya : “Ada apa denganmu Abil Harits ?” Abil Harits menjawab : “Aku ingin menunggang roti yang ada di ta-ngan tuan raja.”
Majnun berkata : “Tetapi lain halnya antara Abil Harits dengan Angkatan Abad XX . Yang lebih mengherankan, keti-ka aku melihat seorang laki-laki yang sedang makan, namun aku yang merasakan kenyangnya seolah-olah dia makan de-ngan perutku, tidak mempergunakan perutnya sendiri. Aneh-nya lagi, kalau perutku sendiri yang lapar, tidak demikian hal-nya. Oow, lain aku lain pula si sinting ini. Mungkin dia pernah melihat seekor keledai membawa muatan di atas punggung-nya, maka seolah-olah beban itu berada di atas punggungnya, maka seolah-olah beban itu berada di atas punggung dia bu-kan punggung keledai.”
Si sinting : “Yang masih tetap kuingat adalah ; bahwa keledai milik orang Badui telah dicuri. Ada orang yang berta-nya kepadanya, “Betulkah keledaimu dicuri orang ?” Jawab-nya, “Ya, tetapi Alhamdulillah !” Orang itu bertanya lagi : “Me-ngapa kamu mengucapkan Alhamdulillah ?” Dijawab : “Sebab ketika keledai itu diambil, aku tidak di sana. Dan keledai itu mem-bawa beban berat di atas punggungnya. Maka aku bersyukur kepada Allah sebab beban itu tudak memberati punggungku.”
Sambil menghentakkan kakinya ke lantai dia berkata :  “Ini tentu lain dengan apa yang ia ceritakan.”
Maka Tokoh Angatan Abad XX merasa dongkol hatinya dan berkata : “Bukankah kalian sudah mendengar lansung ce-moohannya terhadap diriku ? Aku dikatakan gila. Bahkan lebih keras lagi dia berkata bahwa aku adalah keledai di atas beban.”
Aku menyela : “Anda harus bisa menahan diri. Dia tidak bermaksud untuk menghina anda, dan tidak merasa dihina oleh anda. Di antara pribadi tokoh yaitu hendaklah mereka merasakan penderitaan binatang. Setelah merasakan pende-ritaannya meka timbullah kasih sayang. Jika kasih sayang tum-buh, maka bayangan beban itu menjadi beban pula di atas ha-ti mereka yang halus, bahkan mereka kadang-kadang mau ber-buat lebih dari itu. Jahizh bercerita dari Tsamamah katanya : “Seorang tokoh datang kepada kami pada waktu fajar dengan berjalan kaki. Begitulah tokoh itu selalu berjalan kaki ke mana saja dia pergi sambil menuntun binatang kendaraannya, me-nembus panas dan dingin. Bila waktu sore telah tiba dia me-ngambil air wudlu’ sambil berdo’a, “Ya Allah jadikanlah pen-deritaan ini sebagai kesenangan bagi kami dan sebagai jalan keluar yang menyenangkan.” Demikianlah, hingga ajalnya tiba, mengembara dan terus mengembara.”
Si sinting berkata, “Yang masih kuingat adalah kata-ka-ta mutiara ini, “Buah dunia ialah kegembiraan, tetapi tidak ada kegembiraan bagi orang-orang pandai.” Andai kata tokoh yang sudah almarhum itu bukan orang pandai, tentu dia tidak setolol itu. Dia rela mengorbankan kegembiraannya di dunia sedemikian rupa hingga ajalnya tiba. Semoga Allah melimpah-kan rahmat kepadanya.”
As-Siba’i berkata : “Maafkan teman anda ini, dan jangan disembelih dengan sindiran.”
Majnun menjawab : “Terimakasih, anda telah mengingat-kan kelupaanku. Tetapi si sinting ini menilai kelupaanku ada-lah suatu kegilaan, karena dia memandang suatu hakikat se-bagai pikiran tidak sehat. Tokoh yang manakah lebih besar dari seorang filosof yang ingin memastikan berapa lamanya mere-bus telur ? Di tangan kirinya ia memegang jam dan di tangan kanannya ia memegang telur. Kemudian ia lupa - kelupaan seorang filosof - lalu melemparkan jamnya ke dalam periuk di atas api, sedangkan matanya melihat kepada telur yang ada di tangan kanannya. Naah, seandainya si sinting ini melihat
perbuatan filolosof tersebut, pasti dia akan mengatakan ia su-dah gila seperti dia menilai diriku. Memang, orang-orang gila memandang kreativitas dan aktivitas para ahli pikir sebagai ulah kegilaan. Untunglah aku tidak termasuk di dalam tiga kata sin-dirannya ; ‘majnun, sinting dan gila.’ Maka barang siapa mau berteman denganku, biar dia sendirilah yang menyingkirkan ke-tiga kata-kata sindiran itu sebagaimana dia menyingkirkan kata-kata ; ‘kafir, murtad dan musyrik.’
Amien Syarif yang menjawab : “Andaikata di atas pentas anda disebut “tolol” misalnya, bagaimana sikap anda ?”
Majnun menggaruk-garuk kepalanya lalu menjawab: “Itu di luar kemampuanku.”
Aku menyambung : “Menurut anda, jika sebagian kata-ka-ta dipotong maka dengan sendirinya hakikatnya akan berubah. Demikian juga seandainya tanduk yang dipotong, maka sapi be-rubah menjadi kuda, bukan ?”
 “Bagaimana hal itu bisa terjadi ?” tanya majnun.
Kujawab : “Begini, seorang Badui pergi bersama teman-temannya untuk membeli seekor kuda. Ternyata ia membawa pulang seekor sapi. Orang bertanya kepadanya : “ini apa ?” Dijawab : “Kuda”. Orang itu bertanya lagi : “Bukankah ini sapi ? Lihatlah tanduknya !” Maka ia bergegas pulang ke rumahnya dan segera memotong tanduk sapi itu, kemudian ia kembali kepada orang yang bertanya dan ia berkata : “Inilah kuda yang kalian inginkan.”
Tokoh Angkatan Abad XX menyambung : “Tidak usah ter-lalu jauh mengambil misal. Anda tentu sudah tahu bagaimana kalau kami menyembelih kambing, kemudian kami membuang tanduknya dan kami jadikan ia sebagai anjing hitam. Karena ku-samakan dengan anjing, maka kuharamkan dagingnya dan se-dikitpun aku pantang memakan daging itu. Tetapi, dengan si sin-ting ini,  karena dia tidak tahu bahwa bumi terhampar, maka dia tak ubahnya seperti kambing yang anda kira tanduknya hanya untuk berkelahi atau beradu atau sebagai pegangan bila ia akan disembelih. Tolong wahai guruku, jelaskan hal ini kepada dia !”
Aku berkata kepada si sinting : “Maukah anda jika kusam-paikan suatu pengertian yang di dalamnya tidak menyinggung diri anda ?”
“Ya,” jawabnya singkat.
Maka aku menulis beberapa baris seperti yang di kehen-daki oleh Tokoh Angkatan Abad XX :
Katakanlah kepada kambing-kambing yang saling berteng-kar mengadu tanduknya
Apakah gerangan yang membawa dirinya tercampak di ta-ngan tukang jagal
Adalah kebiasaanku memindahkannya tetapi akal itik yang mengulitinya
Ia tidak tahu bahwa bumi ini terhampar, bahkan meman-dang matahari sebagai batu melingkar
Dan melihat malam menghapus siang secara paksa ma-ka panjanglah jenggotnya
Tokoh Angkatan Abad XX nampaknya senang dan sa-ngat gembira, lalu ia berkata : “Panjang jenggotnya ! panjang jenggotnya !”
Tetapi kegembiraaan itu kecil artinya bagi Tokoh Angka-tan Abad XX. Yang besar adalah, ketika pak pos pembawa su-rat masuk ke dalam bar dan memberikan sepucuk surat yang beralamatkan “Kepada Yang Terhormat Tokoh Angkatan Abad XX, di Bar.”
Karena pak pos memanggil-manggil nama si alamat de-ngan teriakan keras dan berulangkali, maka semua yang ada di bar menoleh kepadanya dan menyaksikan ketika ia meneri-ma surat tersebut. Perasaan gembira terlukis jelas di wajah-nya, seolah-olah ia seorang raja yang memperoleh surat ke-putusan dari penjajah, hari itu negerinya dimerdekakan. Ke-mudian ia membolak-balik surat itu tetapi ia tidak segera mero-bek sampulnya. Sedangkan kami tidak sabar menunggu ingin mengetahui isinya.
Si sinting melirik kepadanya lalu berkata : “Misterius,  sobat ! Mengapa anda bergembira padahal surat itu dikemba-likan kepada anda sebagai pengirimnya karena anda tidak me-masukkan ke dalam kotak pos !”

(16)
Tokoh Angkatan Abad XX menjadi sesak nafas oleh ke-tololan si sinting, lalu ia memandang kepada dia dengan pan-dangan akal kancilnya. Setelah memutar otak pintarnya dan pikiran gilanya maka kesimpulannya adalah, menyingkapkan kegilaan dia. Oleh karena itu ia selalu marah-marah dan men-cemooh serta mecela pemikiran-pemikiran dia dan berupaya untuk dapat mengusir dia dari majlis ini. Diambilnya surat itu dan diserahkan kepada dia sambil berkata : “Tolong masuk-kan surat ini ke kotak pos, maka pak pos segera akan datang lagi kemari membawa surat ini. Kemudian, anda akan kumin-tai tolong lagi memasukkan surat ini ke kotak pos. Dan tak la-ma kemudian pak pos pun datang lagi membawanya kemari. Pokoknya, setiap kali anda memasukkan surat ini, pak pos pun pasti datang kembali membawanya.”
Kami tertawa. Orang-orang di bar pun ikut tertawa. Lalu As-Siba’i berkata : “Berapa kali dia harus pergi dan berapa ka-li pula pak pos akan datang kemari ?”
Tokoh Angkatan Abad XX mengedipkan matanya mem-beri isyarat kepada As-Siba’i supaya diam. Kemudian ia ber-bisik-bisik dengan As-Siba’i, lalu berkata : “Berapa kali anda menginginkan pak pos memanggil nama Tokoh Angkatan Abad XX ?”
Si sinting menjawab : “Itu ide yang baik. Aku akan menu-nggu hingga aku tahu berapa kali aku akan disuruh pergi ke kan-tor pos. Sebab, pak pos datang kemari dengan kendaraan se-dangkan aku  harus pergi ke sana dengan berjalan kaki. Pada-hal, kakiku kaki manusia, bukan kaki kuda.”
Aku heran juga : “Jarang kudapati kegilaan dari orang gila itu bisa memberikan argumentasi yang cukup rasional. Sedang-kan seorang tokoh akan muncul menjadi termasyhur dan popu-ler setelah ia bisa melangkahi beberapa tokoh sebelumnya, dan memiliki faktor-faktor penyebab kemasyhuran dirinya. Yang sulit adalah bagaimana bergaul dengan seorang tokoh seperti Tokoh Angkatan Abad XX yang lengkap dan komplit ini. Padahal aku tahu untuk sampai ke sana tidak cukup dengan disiplin ilmu yang diperoleh dari sebuah perguruan tinggi tanpa diikuti dengan pe-ngalaman yang luas dan otodidak. Kulihat kecakapan yang ter-dapat dalam diri Tokoh Angkatan Abad XX ini, hakikatnya hanya penyesuaian indikasi pribadinya dan identifikasi terhadap diri to-koh baik secara partial atau prefensial. Maka setelah ada penye-suaian dan kecenderungan itu, timbullah penokohan atas diri-nya, dan muncullah popularitasnya sebagai pribadi tokoh kontro-versial yang di tokohkan.
Majnun berkata : “Nah, ini dia As-Siba’i jebolan Universitas Darul Ulum, fakultas Sasdaya, jurusan Logika dan Retorika, Dia-lektika dan Gramatika tentu dia tahu bahwa setiap surat yang berperangko yang dimasukkan ke dalam kotak pos akan sampai kepada si alamat. Dan As-Siba’i telah melihat dengan mata ke-palanya sendiri bahwa ada empat perangko yang ditempelkan pada amplop surat yang beralamatkan “Tokoh Angkatan Abad XX”, tetapi dia tidak menyangka kalau hal itu mengandung arti bahwa tugas surat ini harus empat kali datang menemui aku.”
Si sinting nampak sedih dan kelihatan gelisah. Kemudian dia menepuk tangannya sambil berkata : “Yang kuingat dari se-buah hadits adalah ; “Allah akan menilai manusia menurut kadar kecerdasannya.” Maka anda jangan menyalahkan As-Si-ba’i, sebab mata kuliah yang diterimanya di Darul Ulum itu ada dua kredit, tiga sistem dan empat semester. Jadi, di perguruan tinggi itu dia tidak mempelajari tentang empat perangko.”
Selanjutnya dia menoleh kepada As-Siba’i sambil berkata : “Bukan anda yang kumaksud. Aku adalah teman akrabnya, anak buah ilmunya, murid seni budayanya, kepercayaan kariernya dan penyambung lidah profesinya. Sungguh falsafah ini baru se-karang kudapatkan dari padanya.”
Amien Syarif berkata : “Kalau begitu, ada satu pertanyaan lagi yang muncul, mengapa surat itu tidak dibubuhi sepuluh pe-rangko supaya pak pos datang sepuluh kali kemari ?”
Tokoh Angkatan Abad XX yang menjawab : “Ini lagi !, An-da tahu, bahwa lilin yang ada di tangan seorang pekerja hanya untuk penerangan saja, tetapi kalau ada di tangan orang gila ma-ka selain untuk menerangi dirinya juga untuk membakar jari-jari-nya. Jam berapa sekarang ?”
Kami menjawab : “Jam sembilan.”
“Kapan pengunjung bar ini akan bubar,” katanya.
“Jam dua belas tepat,” jawab kami serempak.
Lalu majnun menjelaskan : “Apabila pak pos datang setiap satu jam satu kali maka kedatangannya kemari persis tinggal empat kali, dan pengunjung bar ini sudah pergi, Tetapi mereka sudah kenal siapa Tokoh Angkatan Abad XX, kemudian berganti dengan pengunjung yang lain. Maka mereka juga akan kenal ke-pada Tokoh Angkatan Abad XX. Demikian selama empat jam si-lih berganti, dan sesudah itu pak pos tidak akan menjumpai se-orang pun di sini. Maka kedatangannya yang terakhir sudah ti-dak berguna lagi.”
Si sinting bertepuk tangan lagi dan berkata : “Nah, ini su-dah mengarah kepada pemikiran yang valid, sistematis, dan ber-dasarkan prinsip geografis. Aku masih ingat sebuah hadits yang mengatakan, “Tidak ada harta yang lebih bermafaat dari pa-da akal.” Maka empat perangko untuk empat kali dalam tempo empat jam, dan selebihnya adalah pemborosan alias mubadzir. Sekali lagi aku ingatkan, tidak ada harta yang lebih bermanfaat dari pada  akal.”
Mendengar ucapan temannya itu majnun berkata : “Wa-laupun anda memiliki banyak kelemahan-kelemahan namun ma-sih ada pemikiran rasional anda yang tersisa.”
Kemudian ia mengambil surat itu dari tangan si sinting dan dimasukkan ke dalam sakunya sendiri. Kami bertanya : “Menga-pa anda tidak menobek surat itu agar kami mengetahui isinya ?”
Majnun tertawa dan menjawab : “Karena aku telah me-ngungkapkan masalah-masalah humor dan anekdot kepada ka-lian, serta menyingkapkan kegilaan dan ketololan orang sinting ini. Apakah kalian kira persoalan ini hanya main-main semata ? Apakah kalian kira surat ini hanya bertuliskan alamat tanpa isi ? Tokoh Angkatan Abad XX itulah yang mengirimnya untuk Tokoh Angkatan Abad XX sendiri, seperti kata Sa’ad Basya, “George V menyerahkan kepada George V.” Demi Allah, sebenarnya akal besar yang tidak suka masalah-masalah kecil itulah yang ka-dang-kadang mendatangkan masalah-masalah kecil agar nam-pak bahwa itu adalah akal besar. Demikian pula kenyataan ini di-tundukkan oleh akal paling besar dari Tokoh Angkatan Abad XX.”
Si sinting mencak-mencak dan bermaksud untuk menge-luarkan kata-kata jawaban namun segera distop oleh Tokoh Angkatan Abad XX : “Anda mau berdusta !”
Kami heran dan bertanya kepadanya : “Bagaimana anda tahu bahwa dia akan berdusta atau jujur sedangkan dia belum mengatakan sesuatu ?”
Ia menjawab : “Pendapat yang akan dia lontarkan keliru.”
Kami mendesak : “Bukankah dia masih belum mengeluar-kan pendapat ?”
Ia menjawab : “Dia tidak mengerti hakikat yang hendak di-bicarakan.”    
Kami agak dongkol kepadanya : “Pyaaah ! Apakah anda dapat masuk ke dalam kepalanya, ataukah anda mengetahui alam ghaib ?”
Ia menjawab : “Bukan begini dan bukan begitu. Tetapi menurut sylogisme, maka fallacynya sudah dapat kuterka, bahwa dia akan mengeluarkan putusan “aku ini majnun”.
Si sinting menjulurkan lidahnya keluar. Tiba-tiba Tokoh Angkatan Abad XX menoleh kepadanya seraya berkata : “Ku-rang ajar ! Aku telah melihat kata-kata pada lidah anda se-olah-olah tertulis dengan huruf cetak, “bangsat”  Apakah an-da tahu bahwa anda memiliki otak tumpul yang terbakar hing-ga pikiran-pikiran anda berjatuhan sebelum anda keluarkan ? Kalau tidak terbakar tentu tidak akan tumpul, dan niscaya an-da sudah hafal teks-teks buku itu. Bahwa semua kesalahan-kesalahanku disebabkan dari anda, karena aku mengakui ke-salahan-kesalahan anda adalah kebenaran.”
Si sinting memandang kepadanya. Pada kedua alisnya yang lebat panjang dan dipintal seperti kumis, terjemahannya dapat dibaca. Kemudian Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Pandangannya saja buruk, rasanya asin dan pahit seperti air laut. Memang sudah asin masih di tambah lagi dengan garam. Aku mau muntah karena muak dengan pandangan seperti itu. Baru kali ini aku mengerti kata-kata “Terdapat garam pada ma-ta orang yang dengki,” sedangkan garam tidak bisa dikalah-kan  kecuali dengan garam juga, seperti besi bisa dibengkok-kan hanya dengan besi pula. Coba sodorkan semangkok kho-mer yang keras dan biarkan si sinting ini menatapnya dengan pandangan seperti itu. Maka khomer itu dengan sendirinya akan berubah menjadi garam Inggris. Orang sinting ini ber-darah berat, berwatak antipatic karena darahnya diambil dari rawa-rawa. Manusia semacam dia tidak akan pernah berkata  “ini untukku” terhadap sesuatu di dunia kecuali kemiskinan, ke-gilaan, dan kebohongan.  Maka tidak heran kalau dia mendus-takan isi surat yang dikirim melalui pos kilat dengan alamat Tokoh Angkatan Abad XX, sebab dia tidak tahu kalau pengi-rimnya adalah teman sendiri, seorang penguasa tertinggi. Orang hilang akal ini sama seperti seorang pengecut yang terlepas dari hutan kemiskinan di kegelapan malam, yang  apabila ter-dapat gerakan kecil berkelebat, terbayang dalam benaknya cerita-cerita horror, drakula dan penganiayaan. Maka logislah kalau dia merasa takut terhadap isi surat yang datangnya dari temanku si penguasa tertinggi itu. Nah, silahkan kalian baca surat ini !”
Kami merobek sampulnya. Tahu-tahu isinya hanyalah dua carik kertas bercapkan tanda tangan penguasa terkenal. Satu berisi kwitansi bernilai sejuta rupiah untuk Tokoh Angka-tan Abad XX, dan satunya lagi berisi surat perintah untuk me-nangkap si sinting dan segera mengirimkannya ke Bimaris-tan.

(17)
Aku mencoba mendamaikan keduanya. Kukatakan : “Di dalam hadits disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. ber-ada di tengah-tengah sahabatnya kemudian muncul se-orang laki-laki tak dikenal. Orang banyak memanggilnya dengan sebutan “majnun, sinting, gila.” Kemudian beliau bersabda : “yang disebut majnun ialah orang yang senan-tiasa bergelimang dalam dosa dan selalu bermaksiat ke-pada Allah.”
Majnun menyambung : “Ya betul, dan hadits itu masih melekat dalam hafalanku.”
Aku berkata : “Bukankah kalian berdua tidak menetap dalam genangan dosa dan maksiat ?”
Si sinting berkata : “Kalian berdua tidak terus-menerus berada dalam dosa dan maksiat kepada Allah, bukan ?”
Aku menjawab : “Yang itu bukan hadits tapi ucapanku.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Kuberitahukan ke-pada kalian bahwa dia telah tersesat di rumahnya seperti se-orang Badui tersesat di padang pasir. Laksamana muda Ing-gris, walaupun tetap berada di atas punggung kuda di garis bela-kang dalam suatu medan pertempuran lebih dapat di percaya dari pada ketetapan pikiran di dalam kepala orang gila ini.”
Si sinting bermaksud untuk segera memberi tanggapan terhadap kata-kata yang di alamatkan kepada dirinya itu, na-mun aku segera menahannya. Kepada Tokoh Angkatan Abad XX kukatakan : “Anda rupanya selalu berada di atas Zenith, hingga samudera luas di bumi nampak sebagai armada pe-rang. Memang, tokoh itu adalah tokoh di dalam dirinya, tetapi dalam pandangan orang lain adalah penyakit, sakit angan-angan tinggi menembus puncak alam, sakit shock, dari titik kulminasi kemanusiaannya turun meluncur ke lembah paling bawah. Dan di lembah itulah mereka berbuat.... Maka di sini-lah terjadinya beberapa pemikiran dari perbuatan dan tingkah laku mereka. Dan ingatan-ingatan mereka adalah pikiran-piki-ran mereka sendiri. Inilah kegilaan di dalam otak mereka se-bagaimana pengertian hadits tersebut.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Sungguh mati, itu baru betul. Tokoh-tokoh itu menjadi gila oleh permikiran-pemi-kirannya yang tinggi. Pujangga dibikin gila oleh alam yang men-jadi pusat imajinasinya. Asyik ma’syuk jadi gila karena rasa cintanya terhadap jenis lain yang punya mata jeli. Filosof gila pada alam hakikat yang tak terjangkau oleh ilmunya. Tokoh Angkatan Abad XX gila... e, tidak...tidak, aku lupa ! Amien Syarif gila As-Siba’i gila, dan seluruh manusia jadi gila pada Laily, malamku. Tetapi Laily tidak memberitahukan seperti itu kepada mereka. Mengapa Lailyku tidak menyatakan hal itu ? Sebab ia hanya mau menyatakannya kepada Tokoh Angkatan Abad XX saja. Alangkah hebat pengaruh psychis kaum wanita terhadap kaum lelaki. Padahal di alam hakikat mereka tak ubahnya seperti ayam betina, tidak lebih dari itu. Dan laki-laki paling berakal adalah orang yang seperti keledai, sapi, atau binatang jantan lainnya. Keledai jantan tidak mengenal keledai wanita melainkan keledai betina. Sapi jantan tidak tahu sapi perempuan hanya sapi betina. Dan binatang-binatang itu tidak pernah mengarang puisi dan tidak pernah menulis novel “Daun daun Mawar”. Betina-betina dari binatang-binatang tersebut adalah kaum ibu. Tetapi anehnya, yang jantan bukan kaum bapak, karena jantan-jantan ini adalah parasit di dunia dan pa-rasit itu tidak makan kecuali dengan bantuan rangsangan. Ma-ka jadilah ia anekdot, humor atau dongeng dan bualan. Oleh karena itu keasyikan kaum lelaki terhadap kaum wanita ada-lah suatu bentuk dari kebohongan, tipu daya, lelucon, benalu, kalalaian dan ketololan. Kalau kita pandang, mula-mula me-mang mengasyikkan. Tetapi akhirnya berpangkal dari tipu da-ya dan berujung pada kebohongan belaka. Ini kata benalu sendiri, “aku sudah kenyang dan puas.” Aih, kok jadi nge-lantur ke sana-sini,  di mana permulaanya.....?”
Kami menjawab : “Permulaanya adalah ; alangkah me-ngagumkan pengaruh kejiwaan wanita terhadap kaum le-laki.”
Ia berkata : “Ya, betul begitu. Pengaruh itu tidak kuka-gumi. Pengaruh kejiwaan yang paling kukagumi adalah pe-ngaruh emas, bukan wanita. Apabila ada wanita cantik yang se-dikit demi-sedikit dapat diubah bentuknya maka mereka ada-lah kepingan-kepingan emas yang berkilauan. Karena itulah ba-nyak kita dapati emas-emas curian di dunia, dan banyak pula wanita-wanita cantik yang dirampok. Jadi, emas dan wanita ha-rus kita lindungi.”
Aku bertanya : “Bukankah selain emas juga ada perak, dan banyak pula pencurian perak di dunia ini ?”
Ia menjawab : “Ya, di dalam wanita itu juga ada perak dan perunggu. Jika anda melemparkan sekeping uang Riyal di jalan, maka di sana akan terjadi perkelahian antara dua orang, dimana yang terkuat tentu akan menguasai Riyal itu. Tetapi kalau anda melemparkan satu sen di jalan itu maka yang akan anda saksikan adalah pertengkaran dua anak ingusan, dan yang beruntung mendapatkannya adalah siapa yang bisa menggigit temannya. Akan tetapi Ford si raja uang, jutawan dan millioner Amerika yang di tangannya menggenggam ra-tusan juta dollar tidak akan berbicara tentang uang sen. Dan Tokoh Angkatan Abad XX yang memiliki Laily tidak akan mem-bicarakan kaum wanita pesenam.”
Aku berkata : “Kukira anda akan memberitahukan kepa-daku bahwa nama wanita itu Fatimah, bukan Laily.”
Ia bertanya : “Apakah cocok kalau kukatakan ; “Seluruh manusia jadi gila pada Fatimahku, tetapi Fatimahku tidak mem-beritahukan seperti kepada mereka ?”
Aku menjawab : “Tidak, Laily tidak cocok diganti Fati-mah.”
Ia berkata : “Jadi harus tetap Laily supaya syairnya be-tul. Seandainya aku berkata : “Kupisahkan pelan-pelan seba-gian dari cumbu rayu ini.” Maka ia adalah Fatimah dan para-digmanya betul.”
Aku berkata : “Demi Allah, sama saja. Namanya bukan Laily juga bukan Fatimah, tetapi ia bernama menurut para-digma dan rythma. Maka namailah ia dengan Fa’uulan atau Mufaa’alan.”

(18)
Kami bertanya kepadanya : “Bagaimana menurut anda tentang cinta ? Anda dikenal sebagai pemuda paling asyik dan paling erotic.”
Ia menjawab : “Begitu, itu kata mereka.”
Kemudian ia diam dan berfikir. Nampak ia tercengang seperti orang kehilangan akal dan seolah-olah dalam hatinya terdapat jarak sangat jauh lebih jauh dari jarak antara dirinya dan pikirannya. Terbayang olehku bahwa seluruh wanita ber-kumpul di kepalanya, lalu satu persatu datang merayu dan me-nyatakan cinta kepadanya serta bersolek di depan matanya untuk menarik perhatian atau agar ia terpesona.
Ia melihat dan mendengarkan, menoleh dan memilih, la-lu ia gelisah, seperti orang yang sedang berusaha memegang sesuatu yang terlepas dari tangannya. Begitu dan terus begitu sehingga si sinting menyadarkan dirinya : “Seorang wanita Arab dusun ditanya tentang cinta, maka jawabnya ; cinta itu penya-kit gila. Ini saja yang masih kuingat.”
Majnun membentak : “Diam bangsat ! Anda telah me-madamkan cahaya dengan ungkapan-ungkapan kegilaan. Di kepalaku sedang ada pesta besar dengan lampu berwarna-warni, menyoroti penari-penari cantik, dari yang tinggi jang-kung sampai yang gemuk-pendek. Tetapi anda telah memberi penyakit gila dan sinting, hingga anda telah mengeluarkan aku dari samping mereka dengan kegilaan dan kesintingan kata-kata. Kalau anda bunuh diri dunia akan aman. Setidak-tidaknya aku akan tenteram dan tenang. Jika anda mau gantung diri, maka aku akan memberikan talinya, tali yang mengikatku, tali yang anda miliki di rumah, agar kepala anda yang kosong dan melekat di atas leher anda itu terlepas dari tubuh anda.”
Si sinting menjawab : “Mengapa hari ini anda terus men-jerat, selalu menyiksa dan meretakkan otakku ? Aku ingat apa yang diucapkan Ahmad bin Qais ; “Aku berkencan dengan orang tolol selama satu jam. Maka selama itu pula ia telah mengelupas otakku.” Jadi, aku merasa takut kepada orang majnun yang berdiri dengan memegang senjata di tangannya berupa sepatu antik yang berat dan tebal, yang sekali pukul saja bisa mematikan aku. Oleh karena itulah maka kubiarkan ia tetap tinggal di tempatnya.”
Kami berkata : “Nah, orang ini telah ngelantur dan tidak menyadari apa yang ia bicarakan, sehingga secara gamblang ia menunjukkan bahwa dirinya memang majnun. Mengapa anda tidak mau berterus terang bahwa anda adalah seorang genius ? Yang kami tanyakan kepada anda bukan kegilaan atau ketololan orang ini, namun bagaimana pendapat anda tentang cinta. Kami yakin anda akan memberikan jawaban dengan mantap dan mendalam sebab anda kami lihat cukup lama berfikir. Apalagi, anda dikenal sebagai Tokoh Angkatan Abad XX, tentu saja jawaban yang kami harapkan dari anda
adalah jawaban yang objektif.”
Ia menjawab : “Orang cerdik, kalau disodori pertanyaan biasanya memang agak lama berfikir untuk memberikan jawa-ban. Maka aku minta tolong kepada As-Siba’i agar menuliskan jawabanku ini.”
Kemudian ia duduk di depan meja dengan penuh kon-sentrasi dan serius siap mendiktekan sesuatu, lalu ia berkata : “Kisah cinta adalah kisah Adam. Allah menciptakan wanita dari rulang rusuknya. Maka tanda-tanda cinta yang pertama kali adalah perasaan sakit bagi seorang lelaki, yang seolah-olah karena cintanya kepada seorang wanita maka ia rela tu-lang rusuknya dipatahkan. Seluruh masa lalu dalam bercinta adalah masa lalu yang tak terpikirkan lagi. Dan setiap masa kini dalam bercinta adalah masa kini yang tidak dapat di mengerti. Maka yang tak terpikirkan dan yang tidak dimengerti itulah Cinta. Nyala api yang merah kalau dikatakan padam, dengan sisa-sisa bara di dalamnya, lebih dapat dipercaya dari pada sisa-sisa cinta yang tetap menyala walaupun baranya dikatakan telah dingin dan padam. Asyik ma’syuk itu kegilaan. Dan gila ini, ya gila. Karena kegilaan itulah yang melihat bara api padam sekaligus melihat bahwa ia masih menyala. Ke-mudian muncul imajinasinya bahwa bara api itu laksana se-kuntum bunga mawar. Dan apabila anda minta penjelasan tentang sifat-sifat indah yang bisa menimbulkan rasa cinta, maka pada saat itu juga ia adalah paling gila dari yang gila, seperti orang memandang bulan di langit telah pecah berke-ping-keping terpencar-pencar berserakan di kebun bunga. Pan-carannya adalah bunga melati putih yang molek. Orang gila memandang dunia ini dari kegilaannya, sedangkan orang cer-dik dengan akalnya. Tetapi orang yang sedang asyik ma’syuk tidak melihat kekasihnya kecuali dengan sisa dari ini dan sisa dari itu. Maka ia tidak mau melepaskan kekasihnya itu keda-lam kegilaan juga tidak ke dalam kecerdikan. Sesuatu yang abstrak jika hendak menampakkan wujudnya di dalam otak manusia, ia hanya akan mencari  dua kepala, kepala orang gila dan kepala orang sedang asyik ma’syuk. Tidak ada kesu-litan dalam memutuskan sesuatu yang baik atau buruk kecuali apabila kebaikan dan keburukan itu berwujud seorang wanita yang dicintai. Adapun lukisan para penyair dan pujangga ten-tang indah dan cinta semua hanyalah imitasi yang kadang di lebih-lebihkan. Yang asli dan murni adalah ucapan seekor sa-pi jantan yang mencintai sapi berina, “Wahai bintang kejora-ku yang turun dari kayangan, berputarlah di atas tanah sebagaimana engkau beredar di angkasa raya.” Itulah pen-dapatku tentang cintanya orang yang sedang asyik ma’syuk. Tentang cintaku, cintanya Tokoh Angkatan Abad XX ini, maka terlukis dalam ungkapan : Bunga Melur (Fallun), Bunga Melati (Wardun), Bunga Mawar (Zahrun).”
Aku bertanya : “Teka-teki apa lagi ini ? Apakah dalam cinta terdapat juga rumus seperti kaidah yang berlaku dalam ilmu Tajwid, mana yang harus dibaca Qalqalah (berat) dalam kalimat Quthbujadin :                 (ق - ط - ب - ج - د)
 Tokoh Angkatan Abad XX tertawa lalu menjawab :  “Rusa-rusa itu melebihi banyaknya lalat. Maka Agar kita tidak lupa, kuingatkan kalian, bahwa setiap huruf adalah permulaan nama : F adalah Fatimah, L adalah Laily, (Fallun) W adalah Wardah, R adalah Robbab, D adalah Dalal (Wardun) Z adalah Zakiyah, H adalah Hindun, R adalah Robbab, (Zahrun).”
Kami berkata : “Robbab sudah mati di dalam Wardun.”
Ia menjawab : “Aku telah memindahkannya sementara, lalu kutempatkan ia di dalam Hindun.”

(19)
Aku berkata : “Demikian halnya dengan seorang tokoh yang disebut Abul Abbas. Setelah ia ditokohkan, termasyhur dan menjadi populer maka panggilannya berubah menjadi Abul Baqar. Kemudian ia merobek-robek ketenarannya de-ngan membuat autobiografi. Kata orang, setiap tahun ia hanya menambah satu huruf hingga ajalnya tiba. Maka bentuknya menjadi : “Abul Baqar, Thorod Thiel Tholiery, Bak Bak Bak.”


(20)
Tokoh Angkatan Abad XX begitu gembira karena di-ingatkan tentang keakrabannya dengan Fatimah dan kebai-kannya dengan Robbab.
Termasuk pribadi orang gila adalah apabila ia berdusta, membenarkan dirinya karena kekuatan alat kontrol di dalam otaknya kadang-kadang terlepas dan sewaktu-waktu rusak. Dan imajinasi-imajinasi yang menghasilkan ide baginya ada-lah satu macam aspek dari aspek pengetahuan. Dus, keba-nyakan dunianya berada di dalam dirinya bukan di alam ini. Pada saat ia berfikir, mengamati dan merasakan sesuatu, ada-lah hanya dengan metodenya sendiri terlepas dari metodologi atau teori ilmu pengetahuan yang telah ditempuh oleh para ahli pikir. Maka yang tesimpan di dalam otaknya hanyalah sebuah konsep unik dengan pengertian dan putusan yang lain dari yang lain, seolah-olah konsep itu mampu mengatasi se-mua pemikiran lainnya tanpa memperhatikan realitas objek dan hubungan objek dengan realitasnya. Konsep tersebut ha-nya menampakkan pengertian menurut apa yang ditampak-kan kepada dirinya bukan penampakan kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar dirinya.
Maka antara orang gila dan sesuatu di sekelilingnya ia-lah otaknya, yang diliputi awan pikirannya yang kelabu, yang tak henti-hentinya mengeluarkan asap tebal. Sebab sebagian jaringan-jaringan urat syaraf di dalam dirinya sudah lepas, hing-ga kerusakan ini mengganggu aktifitas kerjanya. Maka dari kerancuan itulah watak gilanya muncul. Kata-kata yang ter-balik dalam sebuah kalimat, menjadi suatu pembicaraan yang utuh di dalam pikiran orang gila, atau menjadi sebuah kisah nyata yang sesungguhnya dan cerita yang sebenarnya. Ba-gaimana tidak, karena kisah dan cerita itu telah melekat dalam otaknya dari balik pendengaran dan penglihatannya, seperti melekatnya realitas pada mata dan telinga.
Persepsi orang gila bekerja secara ambisius. Hal itu terjadi karena ia berada di antara dua kutub dunia. Pertama adalah dunia yang runtuh di dalam otaknya seperti yang di-utarakan sendiri bahwa ; “Di mata orang gila ada kaca mata yang dapat melihat segala sesuatu menurut realitasnya seka-ligus dapat memandang sesuatu bukan pada hakikatnya.”
Doktor Muhammad Ar Rafi’i bercerita kepada kami, kata-nya : “Di dalam sebuah rumah sakit gila di Prancis terdapat seo-rang tokoh seperti Tokoh Angkatan Abad XX ini. Kepadanya dibacakan berita tentang ratu Rusia yang hilang dan terbunuh secara misterius. Tentu saja berita itu sangat mengagetkan di-rinya dan membuat ia terheran-heran. Lalu ia berkata : “Kurang ajar ! Mereka telah berbohong kepada ratu dan berdusta ke-padaku.” Rafi’ie bertanya kepadanya : “Mengapa demikian ?”
Jawabnya : “Berita yang benar tentang ratu adalah ketika dia berkenalan denganku, dia langsung menyatakan rasa cinta kepadaku. Dari segala sudut kemungkinan yang tersimpan dalam hatinya, aku sudah diakui menjadi suaminya, meng-gantikan sang raja. Sejak itu dia mencari siasat untuk mene-kan sang raja, mempersulit posisinya, menjatuhkan pristise dan prestasinya sehingga sang raja menceraikan dia dan me-ngusirnya dari istana. Dengan membawa harta kekayaannya, ratu melarikan diri dan segera berlindung pada kekasihnya, yaitu aku. Sang raja bersama para pengawal kerajaan mencari dan mengejar isterinya namun sia-sia dan berputus asa, akhirnya ia bunuh diri dengan cara yang menyedihkan. Selanjutnya orang-orang komunis berusaha mencari jejak sang ratu kare-na dia membawa lari harta-benda kerajaan. Tetapi mereka juga sia-sia, karena aku telah menyembunyikannya di suatu tempat yang aman dan tak seorangpun mengetahui persem-bunyian ini kecuali aku kekasihnya. Namun sayang, sang ke-kasih tidak beruntung dapat menjumpainya setiap waktu kecuali kalau dia sedang tidur, karena dikhawatirkan orang-orang komunis mengetahui persembunyiannya dan menyeret-nya kembali ke kerajaan. Itulah sebabnya mengapa sang ke-kasih harus menjenguknya bila dia sedang tidur. Sebab dalam keadaan tidur dia tidak akan memberitahukan tempat persem-bunyiannya. Dan apabila sang kekasih menampakkan diri di-saat dia terjaga dikhawatirkan perasaan rindu akan mengalah-kan rasa takutnya maka orang-orang komunis mendengar pembicaraannya. Maka apabila sang ratu ingin melepaskan rindu kepada kekasihnya ketika dia sedang tidak tidur dia cu-kup mengirimkan berita melalui radio yang bisa diterima lewat udara, langsung masuk ke dalam otak kekasihnya, lalu ia mem-bacanya sendirian. Yang paling ditakuti oleh kekasihnya, apa-bila sang ratu sudah terkena penyakit gila cinta, maka dia ingin datang untuk menjenguk kekasihnya di Bimaristan ini, tanpa disadari bahwa orang-orang komunis selalu siap menangkap dirinya dan membunuhnya.”
Doktor Rafi’ie bercerita lain : “Bahwa di tempat itu ada tokoh lain yang sakit gila. Ia selalu mengkhayal bahwa seorang wanita yang paling cantik di dunia telah jatuh hati kepadanya, menyatakan cinta dan tergila-gila pada dirinya, serta membu-latkan tekad untuk memilikinya dengan bersumpah akan bu-nuh diri saja seandainya ia yang dicintainya itu berkhianat atau main serong dengan wanita lain. Tentu saja pernyataan wani-ta itu sangat membelenggu pikiran si tokoh dan mengganggu perasaannya. Ia sadar kalau wanita yang tergila-gila kepada dirinya, dalam posisi gawat, antara hidup dan mati, maka ke-selamatan dan kehancuran wanita itu sangat tergantung pada sikap dan pernyataannya.
Pada suatu hari, datanglah seorang pandir ke rumah wanita itu dan memberitakan bahwa kekasihnya sudah digaet oleh wanita lain. Maka hilanglah kesadarannya, lalu dia segera pergi ke Bimaristan untuk menemui sang kekasih dan akan me-lontarkan kejengkelannya dengan kata-kata yang pedas dan caci-maki yang keras, bahkan mungkin akan bunuh diri di ha-dapannya. Maka si tokoh memutar otaknya mencari cara ba-gaimana menyadarkan wanita yang sudah kalap serta berusaha memberitahukan duduk persoalan yang sebenarnya. Namun sayang, wanita itu tetap bersikeras dan semakin tidak mem-percayai omongannya. Kemudian ia berfikir dan merenung la-gi, akhirnya ia mendapatkan jalan keluar dengan cara memo-tong kedua pelirnya, kemudian kedua-duanya diberikan kepa-da wanita itu sebagai bukti bahwa cintanya suci dan murni.

(21)
Kami berkata : “Tokoh Angkatan Abad XX sangat gem-bira kalau diingatkan tentang keakraban dan kebaikannya ter-hadap Fatimah dan Robbab.”
Maka ia mengucapkan syair ini : “Kata mereka engkau te-lah di bikin gila oleh wanita yang kau cintai.”
Lalu kujawab : “Tidak ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Si sinting menyambung : “Yang kuingat adalah ; “Tidak ada kelezatan roti kecuali bagi orang-orang gila.”
 Tokoh Angkatan Abad XX mukanya kusam, lalu terta-wa dan berkata : “Si sinting tolol yang kurang normal ini me-mang bermaksud untuk memperbodoh kalian. Sebab kalau memang itu yang kumaksudkan, maka aku akan berkata ; “Alangkah nikmatnya kue-kue.” Bukankah aku telah membe-ritahukan kepada kalian bahwa si majnun ini bodoh ? Kalau dia mengeja kata roti, dia bilang nasi, tetapi kalau mengeja ka-ta nasi dia bilang tahi. Dia adalah anak kecil yang sudah ber-umur 30 tahun. Kalau marah persis marahnya anak kecil de-ngan kepolosan dan keluguannya. Tetapi di dalam dirinya ti-dak kita dapati pikiran seperti akal si buyung karena dia begitu lemah dan loyo masih membutuhkan pertolongan dalam me-nanggapi dan berdiplomasi. Selain itu dia perlu disantuni se-bagaimana kita menyantuni bayi, barangkali dengan cara begitu kami akan dianggap sebagai ibunya !”
Kami berkata : “Dalam hal ini kami lupa, apakah anda se-orang laki-laki ?”
Ia menjawab : “Kalian juga sama, menuduh aku pelupa. Padahal secara juridis lupa itu adalah satu aspek yang mene-tapkan hukum gila. Pada prinsipnya lupa itu hanyalah kata lain dari lemah akal, sedangkan lemah akal itu sinonim dengan ke-gilaan. Bukankah aku sering mengatakan kepada kalian bahwa aku sangat membenci kata-kata itu ?”
Aku menjawab : “Tidak, lupa yang ada pada diri anda tidak identik dengan gila, dan bukan pengertian lupa seperti ungka-pan yang luar biasa dilontarkan kepada orang-orang gila. Tetapi, seperti apa yang kami ketahui bahwa kelupaan anda adalah satu aspek dari ide seorang tokoh yang nampak saling berlompatan dan berdesakan dengan intuisinya, sehingga kalau loncatan-lon-catan dan desak-desakan itu terjadi maka terdapatlah sebagian materi yang tertinggal dan tidak ikut dilontarkan keluar. Adapun materi-materi yang sempat dilontarkan itu tidak lain hanyalah memori yang benar-benar mengalir dari ketokohannya, lalu mun-cullah premise yang seolah-olah terputus dengan konsep-kon-sep sebelumnya, maka orang mengatakan, ia lupa. Sedangkan anda tidak demikian halnya. Seluruh argumentasi dalam perang urat syaraf ini disebut penalaran, apabila seorang tokoh merasa puas dan menari-nari kegirangan dibuatnya. Sehingga putusan demi putusan yang muncul secara bersamaan dinilai sebagai suatu bentuk fallacy oleh mereka yang belum tahu kategori to-koh, karena tidak mengerti apologinya, di mana apologi ini oleh logika sendiri tidak di sebut sebagai fallacy dan tidak dinamakan juga sebagai amnesia.”
Ia menjawab : “Tolong beritahukan kepadaku bagaimana kelupaan orang gila, karena keunikan itu belum terjangkau oleh pikiranku dan aku tidak mengerti bagaimana bisa terjadi konsep-konsep yang sudah diproses sedemikian rupa bisa tertinggal di dalam otak mereka ?”
Aku menjawab : “Lupa, tidak akan menjadi beban bagi orang-orang gila kecuali dalam tiga keadaan yang bersumber dari cerita yang kebenarannya bisa dipertanggung jawabkan : Pertama, diceritakan bahwa seorang bangsawan kaya raya, usianya sudah lanjut hingga pikun dan linglung. Pada suatu hari sekretaris pribadinya datang untuk memberi bantuan perlengka-pan penguburan jenazah ibunya yang baru meninggal. Kemu-dian dia menyodorkan uang  beberapa lembar kepada pemban-tunya untuk membeli kain kafan, sedangkan kepada pembantu yang lain dia memberi beberapa lembar lagi buat ongkos pengu-burannya lalu berkata : “Cepat pergi kepada sahabat-sahabat ki-ta, dan cari si Fulan tukang memandikan mayat !”
Sang sekretaris berkata : “Tuan, saya merasa malu. Me-ngapa pembantu ini tidak disuruh memanggil Fulanah tetangga kita untuk memandikan mayat ibu.”
Dia menjawab : “Kok anda yang jadi repot, bagaimana kita akan mengundang orang yang tidak kita kenal ?”
Sang sekretaris menjawab : “Panggil dulu, maka akan kenal kepadanya.”
Dia berkata : “Tidak, Demi Allah, yang boleh memandikan mayat ibuku hanyalah orang khusus, si Fulan itu !”
Sang sekretaris tertawa geli melihat kelinglungan tuannya, lalu ia berkata : “Tuan, bagaimana seorang laki-laki akan me-mandikan mayat seorang perempuan ? Bukankah ibu tuan se-orang perempuan ?”
 “Demi Allah aku lupa ?” jawabnya.
Kedua, diceritakan bahwa seorang laki-laki tidur nye-nyak pada suatu malam yang dingin. Kemudian tangannya di-keluarkan dari selimutnya hingga terasa dingin. Lalu diusapkan tangan itu ke seluruh tubuhnya dalam keadaan tidur hingga ia terbangun karena merasa kedinginan dan terperanjat ketaku-tan. Maka tangan yang dingin itu dipegang erat-erat dengan ta-ngan kanannya sambil berteriak-teriak : “Maling, maling, To-long ! Malingnya sudah kutangkap, dan tangannya telah kupe-gang.” Tetangganya pun berdatangan dan langsung menuju ka-mar tidurnya dengan membawa lampu. Akan tetapi mereka bu-kan menolongnya melainkan tertawa geli menyaksikan adegan yang lucu ini, karena yang ditangkap adalah tangan kirinya sen-diri, sebab ia lupa.
Ketiga, diceritakan bahwa ada seorang laki-laki telah men-dapatkan separuh bagian dari harta warisan. Tetapi ia tidak puas dengan bagiannya itu, maka ia berusaha untuk dapat menguasai seluruh rumah peninggalan orang tuanya. Lalu ia mencari se-orang penghubung untuk menjualkan separuh rumah warisan itu, katanya : “Akan kujual separuh rumah yang telah menjadi mi-likku ini, kemudian dengan uang itu aku akan membeli separuh-nya yang bukan milikku sehingga seluruh rumah ini sah menjadi milikku.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Sungguh gila mereka itu ! Sayang tidak disebutkan apakah mereka itu gila hafalan atau gila lainnya.”
Si sinting berkata : “Demi Allah, kalau tidak karena Tokoh Angkatan Abad XX yang melepaskan diri mereka dari kegilaan niscaya di dalam kegilaan mereka akan timbul sesuatu yang membawa fallacy.”
Nampak Tokoh Angkatan Abad XX sangat marah se-telah melihat si sinting melirik kepada dirinya. Ia bergerak dan bermaksud untuk menikamnya tetapi dia segera berkata : “Yang kuingat adalah ; Jadilah engkau seorang yang awas seperti itik, dan jadilah engkau seorang yang sadar seba-gai manusia. Di sinilah kelupaan Tokoh Angkatan Abad XX, kelupaan seorang filosof  bukan lupanya orang gila.”
Tokoh Angkatan Abad XX menjawab : “Tetapi perkataan syair ini sudah gila ‘Tidak ada kenikmatan hidup kecuali kegi-laan bagi orang-orang sinting. Kenikmatan apa yang bisa dira-sakan oleh orang-orang gila itu ?”
Aku menyambung : “Yang dimaksud orang-orang gila da-lam ungkapan di atas bukan orang-orang yang terkena penyakit gila, tetapi mereka adalah orang-orang yang tergila-gila oleh pe-nyakit seni. Gilanya asyik dalam hal yang indah ini sama dengan penyakit mabuk yang menimpa para pujangga, yaitu penyakit yang mendorong dirinya untuk menampilkan karya-karyanya  yang tinggi, bukan penyakit yang membawa mereka ke Bimaris-tan.”
Majnun berkata : “Aku ingin menciptakan bait lain yang memberi pengertian lain sebagai interpretasi lain dari syair terse-but.”
Kemudian ia berfikir dan mengerutkan keningnya lalu me-nulis di atas secarik kertas, dan melipatnya sambil berkata : “An-da yang membuat lebih dahulu, tulisanku ini kupercayakan kepa-da As-Siba’i.” Ia menyodorkan kertas kepada As-Siba’i untuk di-bacakan isinya setelah aku membaca hasil ciptaanku. Tetapi se-belum ini ia memandangku dan berkata ; seharusnya sya’ir itu berbunyi demikian : Mereka berkata, engkau dibikin gila oleh orang yang kau cintai.
Lalu kujawab : “Tidak ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Pikiran yang menguasai diri orang yang mabuk cinta lebih berat dari pada kefakiran yang menimpa kehidupan orang-orang melarat.
As-Siba’i membuka kertas itu lalu membaca isinya : Mere-ka berkata, engkau dibikin sinting oleh wanita yang kau cin-tai.”
Lalu kujawab : “Tidak ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Penyakit yang menimpa orang-orang gila itu, sebagai pen-dorong baginya untuk menjadi Tokoh Angkatan Abad XX.
Semua tertawa, tetapi ia berkata : “Celaka engkau As-Si-ba’i ! Orang yang dipercaya oleh majnun untuk menyimpan ra-hasia malah menyebarkannya. Apakah aku yang salah lidah ataukah kamu yang salah dengar ?”

(22)
Kemudian ia berkata lagi : “Demi Allah, aku sangat senang kalau As-Siba’i menjadi tokoh. Tetapi yang kukehendaki darinya adalah menjadi seorang tokoh yang jujur sehingga aku pun men-dapatkan bagian dari kejujurannya. Artinya, aku tidak akan me-nyia-nyiakan kebenaran-kebenarannya. Kalau kamu - As Siba’i - membutuhkan teks pidato yang berapi-api untuk diucapakan di sebuah pesta besar, atau memerlukan sebuah ballada untuk memuji menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, maka min-talah kepadaku. Dan jika kamu mau membacakan puisi-puisiku tentu orang-orang akan menganggap dirimu setaraf dengan Mu-tanabbi, Bahtari atau Ar Rumi. Sebetulnya mereka itu bukan apa apa bagiku. Mereka hanya beruntung dapat hidup sebelum aku. Karena aku tidak seangkatan dengan mereka, maka mereka di-kagumi. Orang-orang mengagumi mereka di saat aku tidak bera-da di tengah-tengah mereka.”
Kami bertanya : “Bagaimana penilaian anda terhadap me-reka di bidang sastra ?”
Ia menjawab : “Jika aku menilai mereka berarti aku mem-bawa diriku ke tengah-tengah mereka. Maka jelas orang-orang tidak akan mengagumi kehadiranku di antara mereka karena aku bukan angkatan mereka. Dan tidak seorangpun di antara mereka yang kagum kepadaku. Ini tidak berarti Tokoh Angkatan Abad XX lebih baik tetapi ia jauh di atas lebih baik. Oleh karena itu Tokoh Angkatan Abad XX tidak berbicara tentang angkatan bulan ini, sebab ia jauh di atas bulan.”
Aku berkata : “Seolah-olah dunia ini berada di bawah te-lapak kaki anda, dan anda sendiri berada di dalamnya seba-gai seorang “Pertapa Agung” yang tidak mau mengatakan ini lebih baik terhadap sesuatu yang baik karena dirinya berada di atas penilaian. Dan tidak mau mengatakan ini lebih nikmat terhadap sesuatu yang lezat karena dirinya di atas selera. Dan tidak mau mengatakan ini lebih banyak karena dirinya di atas pendapatan. Menurutku, jika anda mengembala kambing pada zaman kita sekarang ini, tentu anda termasuk orang yang di-katakan oleh seorang pengembala sebelumnya : “Kuperbaiki keadaanku antara aku dengan dia maka aku damaikan an-tara serigala dengan kambing.” 
Majnun bertanya : “Apa artinya itu ?”
Aku menjawab : “Diceritakan bahwa seorang shalih pa-da suatu malam sedang berfikir, dan berbicara pada dirinya sendiri : “Ya Tuhan, siapakah isteriku di surga nanti ?” Dalam tidurnya ia bermimpi melihat seorang budak perempuan yang berkulit hitam. Ia datang ke desa tempat tinggal budak itu. Se-sampainya di sana ia bertanya kepada seorang laki-laki ten-tang budak ini, maka laki-laki tersebut bertanya ; “Mengapa engkau menanyakan budak perempuan hitam yang sinting itu ? Dia adalah milikku dan kini telah kumerdekakan.”
Orang shalih menjawab : “Bagaimana kegilaanya, tuan ?”
Dijawab : “Dia berpuasa dan setiap kusajikan makanan untuk berbuka, dia sedekahkan kepada orang lain. Kalau ma-lam dia beribadah diam dan tidak pernah tidur. Maka aku sangat mengkhawatirkan kesehatannya.”
Orang shalih bertanya : “Sekarang dia di mana, tuan ?”
Dijawab : “Dia sedang mengembalakan kambing milik orang kaya di padang sahara.”
Maka ia datang ke padang gembala, dan dilihatnya bu-dak itu sedang berdiri mengerjakan sholat. Ia merasa heran menyaksikan serigala sedang bermain-main dengan kambing-kambing gembalaanya menggantikan dirinya yang sedang sho-lat. Setelah dia selesai sholat, ia mengucapkan salam kepada-nya, lalu menyatakan bahwa ia adalah bakal suaminya di surga. Ia bercerita tentang apa yang dialami dalam mimpinya selam tiga malam berturut-turut. Lalu ia bertanya : “Bagaimana seri-gala itu bisa mengembalakan kambing ?” Dia menjawab : “Kuperbaiki keadaanku antara aku dengan dia, maka aku damaikan antara serigala dengan kambing.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Bohong sebab tidak rasional dan aneh, aneh sebab tidak reil dan bohong !
Aku menjawab : “Apanya yang aneh ? Serigala dengan kambing, macan dengan rusa, ular dengan burung, kucing de-ngan tikus, dan seluruh pemangsa dengan mangsanya di anta-ra makhluq hidup ini. Apabila semua telah masuk ke dalam ling-karan sholat yang benar, tersusunlah mereka dalam satu shaf, ruku’ dan sujud. Budak perempuan ini telah menebarkan jiwa sholat dan taqwanya terhadap apa yang ada di sekelilingnya dengan hatinya yang bersih dan rohaninya yang penuh pan-caran iman. Maka serigala dapat ditarik ke dalam lingkarannya secara magnetis. Dan kebuasan serigala itu dapat dijinakkan dan ditundukkan, kemudian ditarik ke dalam system perdamaian dan persatuan sehingga hidup di sekitarnya menjadi aman dan tenteram, tenang dan damai, sejalan dan selaras satu sama lain, semua bergerak secara harmonis ibarat orang kena hip-notis yang antara ia dengan orang yang menidurkannya me-nyatu dalam satu fikiran dan kehendak.”
Tokoh Angkatan Abad XX belum puas dan bertanya lagi : “Kalau serigala masuk masjid, bergabung dengan jama’ah apakah mungkin ia dapat berbaris dengan keempat kakinya dan berdiri tegak di belakang imam bersama daging-daging me-reka ?”
Aku menjawab : “Apabila seseorang telah mencapai ha-kikat dalam sholatnya maka ia akan keluar dari dirinya ke da-lam alam, dari waktu ke masa, dari sebab kepada musababnya, dan dari apa yang ada di dalam hati kepada apa yang ada di luarnya ? Semua orang bersembahyang dengan seluruh ang-gota badannya. Dan antara mereka dengan jiwanya sepan-jang dunia dan lebarnya. Mereka tak ubahnya seperti orang yang menghubungkan pikiran dengan dunianya, kemauan de-ngan matanya, dan perasaan dengan perutnya. Mereka me-nganggap itu adalah sholat tetapi hakikatnya adalah antara mereka dengan Allah.”
Tokoh Angkatan Abad XX bertanya : “Bukankah  seriga-la itu makan kambing ? Ah, aku jadi tidak mengerti !”
Si sinting yang menjawab : “Yang masih kuingat adalah ; “Serigala bersenang-senang dengan kambing di padang gembala. Mereka tidak berkata ; “Serigala sholat dengan kambing di masjid.” Tetapi entahlah, aku juga tidak mengerti !”
Aku berkata : “Aku akan menambahkan apa yang tidak fahami kalian berdua. Hati seorang budak perempuan, perta-pa yang mengembala kambing itu telah berhubungan erat de-ngan Allah melalui kebesaran jiwa dan kesucian hatinya. Di dalam dirinya tidak terdapat satupun dari nafsu manusiawiah-nya dan tidak ada kabut duniawiahnya. Maka rahasia hidup nampak jelas baginya. Keagungan Dzat yang Mahasuci ter-pancar dalam jiwanya. Perasaan cinta dan kerinduannya  ada-lah universal sebagai satu kekuatan azali yang sanggup me-nundukkan seluruh alam jagad ini. Maka memancarlah gelom-bang “electrics - ethereal” itu mengitari apa yang ada di de-pannya. Kemudian datang serigala berlidung di sisinya, kare-na kekuatan rohani tegangan tinggi telah memikat kebuasan serigala itu. Ti-ba-tiba terbukalah kedua matanya melihat alam baru yang unik penuh kedamaian dan perdamaian, tidak ada sesuatu apa di dalam alam itu melainkan kekuatan titah yang memerintahkan perempuan ini untuk mendamaikan sesuatu dengan sesuatu yang lain, dan menyatukan orang-orang yang terpecah belah dan manusia yang bercerai-berai dalam ke-adaan sadar bukan dalam keadaan ingkar. Serigala itu men-jadi terbangun rohaninya dalam keadaan tertidur. Maka lum-puhlah watak keserigalaannya dengan taring dan kukunya yang sudah tidak berfungsi lagi. Tinggallah gerakan-gerakan-nya saja yang bersifat hewani, tetapi essensinya sudah ber-ubah arti. Maka bersembunyilah serigala yang ada di dalam serigala, tinggallah binatang  hidup seperti makhluk hidup lain-nya, sejajar dengan kambing. Jadi hubungan antara keduanya bukan lagi hubungan pemangsa dengan mangsanya tetapi hu-bungan jiwa yang hidup dengan jiwa yang hidup sesamanya.”

(23)
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Aku sendiri sudah faham. Tetapi si sinting ini tentu belum mengerti. Maka tulis-kanlah untuk dia, wahai As-Siba’i !”
Aku berbicara dalam hati : “Tokoh Angkatan Abad XX duduk di tempat duduknya yang biasa dipergunakan setiap ia merenung dan berfikir untuk berfilsafat. Tetapi kali ini tanpa persiapan sesuatu, tanpa alat perlengkapan maupun buku. Ini menunjukkan bahwa konsepsi-konsepsi, ide-ide dan gagasan-gagasannya akan direkam di kepalanya untuk kemudian di-dektekan melalui otaknya yang brillian itu kepada As Siba’i.
Setelah cukup lama ia berfikir dan menatap, mengigat-ingat dan mencari, kemudian ia berkata : “Filsafat serigala dan kambing. Yang satu tidak memakannya, dan yang lain tidak menanduknya. Itu secara lisan dan tertulis sebagaima-na disampaikan oleh sang guru dengan catatan kecil, bahwa hafalan si sinting yang tolol ini belum mengerti filsafat itu.”
Nampak dari pandangan matanya si sinting sangat ma-rah dan menaruh dendam, lalu dia berkata : “Yang kuingat adalah : Setiap malam ia senantiasa melontarkan ide-ide ba-runya, dan dengan gigih ia berusaha untuk menafsirkan air de-ngan air.”
Tokoh Angkatan Abad XX membantah : “Kurang ajar ! Demi Allah, kalau anda menggunakan api dan minyak maka biarkanlah aku memakai keledai dan himar. Menurutku di da-lam pembicaraan filsafat itu adalah suatu jalan yang bersih dan indah. Pohon-pohon dan bunga-bunga di tepi jalan saling bere-but menyambutnya. Ketinggian batang dan daun-daunnya yang lebat saling berbenturan dan saling menyambar seperti petir. Tetapi setelah anda berbicara seperti itu, maka ketololan anda telah mangantarkan aku ke suatu jalan berbatu cadas dan pa-das sehingga gerobak barang yang ditarik keledai dungu itu berbunyi kreyat-kreyot.”
Si sinting mengajukan argumentasinya : “Demi Allah aku tidak bermaksud untuk mengacaukan pikiran anda. Jika aku tahu dan memang begitu kenyataannya tentu aku berkata ; “Dan dengan gigih ia berusaha menafsirkan air dengan spirtus. Te-tapi itu tidak benar. Yang betul adalah menafsirkan air dengan air.”
Tokoh Angkatan Abad XX menjawab : “Tetapi tafsir itu terlalu bodoh seperti menafsirkan orang gila dengan menga-takan ; ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang sinting.’
Aku berkata : “Bukan begitu menurut Al Jahizd. Menafsir-kan orang gila bentuknya tidak demikian. Aku mendengar seseorang berkata kepada temannya : “Pengembara itu me-nurutku adalah seorang zindiq.” Temannya bertanya : “Apa-kah zindiq itu ?” Ia menjawab : “Itu yang suka mengiris hati.” Temannya bertanya lagi : “Bagaimana anda tahu bahwa ia tu-kang mengiris hati ?”
Di jawab : “Aku melihatnya sendiri ketika ia sedang ma-kan kurma dicampur dengan cuka.”
(24)
Cukup lama juga kami bersama dua orang gila di dalam forum tidak resmi ini, ngobrol ke sana ke mari, melewati bebe-rapa topik, berpindah dari satu judul kepada judul yang lain. Dan kini aku bermaksud untuk menyudahi pembicaraanku de-ngan merangkum dan menyimpulkan seluruh apa yang telah dapat kurekam dalam pembicaraan bersama mereka setelah mereka saling membuka pintu kepalanya masing-masing dan memuntahkan isi di dalamnya.
Di depan kami lewat seorang penjaja buku bacaan, bu-ku-buku roman dan komik, buku cerita detektif dan kriminal, semuanya adalah terjemahan dari Eropa. Secara sadar si penjual mempunyai misi tertentu, yaitu mengimpor kebudaya-an asing agar dapat diserap oleh pemuda-pemudi kita.
Aku bertanya kepada Tokoh Angkatan Abad XX : “Apa-kah anda sudah membaca buku-buku seperti itu ?”
Ia menjawab : “Satu kali dan tidak pernah membacanya lagi. Sebab kini aku sendiri menjadi cerita yang sama dengan buku cerita itu.”
Aku berkata : “Hebat ! Baru sekarang kudapati orang genius, sekali baca sudah bisa membuat cerita. Wah, bagai-mana caranya ?”
Ia menjawab : “Kalian tidak memahami watak tokoh, maka kalian tidak akan dapat merasakan bagaimana kedala-man tanggapannya serta tidak terbayangkan bagi kalian beta-pa ketajaman otaknya, belum termasuk keunikannya yang khas dan intuisinya yang supernatural itu.”
Aku bertanya : “Ya, ya, ya, aku sudah tahu semuanya. Tidak ada yang patut di sebut tokoh kalau tidak mempunyai dua dunia. Pada satu sisi ia harus di sini, sedangkan pada sisi lain ia mesti di sana. Ia sudah terlatih dan betah di antara dua alam. Sedangkan jiwanya tersusun dari dua konstruksi, satu di atas aksioma ilmu pengetahuan dan satunya di atas rumus ketololan karena jiwa ini diperoleh dari alam konkrit dan dari alam abstrak secara bersamaan dalam satu waktu dan tempat. Pada suatu waktu ia bisa mengambil ruang dan pada suatu ruang ia bisa mengambil waktu, namun ia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Kadang-kadang ia terikat dengan wak-tu bumi, namun kadang-kadang ia terikat dengan planet lain, naik ke bintang, mampir ke bulan, tetapi...”
Ia memotong pembicaraanku : “...Tetapi selain itu, piki-ran-pikiran inilah yang membatasi mereka yang menamakan dirinya ahli pikir kontemporer yang hanya bergumul dengan kegelisahan, keresahan, kekhawatiran, ketakutan, kerasukan dan kehinaan. Karena mereka hidup di atas tanah bumi.”
Aku menjawab : “Ya, kalau mereka hidup di atas tanah maka mau tidak mau nilai-nilai tanah ada di atas, di bawah, di depan, di belakang, di sekitar dan di sekeliling mereka. Mere-ka tidak akan mengolah bumi ini melainkan kehidupan tanah dengan seluruh nilainya. Tetapi.....”
Ia menyambung : “.....Tetapi, di samping itu mereka ter-ikat seperti ikatan orang-orang gila. Walaupun tali pengikat adalah mereka mental, namun rantai mereka adalah intelek-tual bukan persepsi. Dan mereka dibelenggu kuat-kuat seperti halnya orang-orang gila. Hanya saja mereka menyebut diri-mereka sendiri dengan “kaum intelektual”, bukan “kaum maj-nun”. Dan justru orang-orang pandai dari mereka itulah yang menjadi penghalang berat bagi mereka. Apakah itu yang anda katakan hebat ?”
Aku jawab : “Ya, orang-orang pandai yang benar-benar cerdas adalah mereka yang apabila berada dalam situasi ter-lepas dari ikatan, mereka akan ditertawakan. Dan apabila me-reka berada dalam kondisi selamat dari cobaan, mereka dice-moohkan. Tetapi.....”
Ia melanjutkan : “Tetapi, tambahan selain itu dan ini, mereka tidak punya kebahagiaan, maka mereka tidak memiliki pemikran-pemikiran yang lucu, yang mempesona, yang aneh-aneh, yang hanya merupakan kekhususan bagi para tokoh. Dan satu-satunya yang memiliki kekhususan para tokoh ada-lah Tokoh Angkatan Abad XX.”
Aku berkata : “Ya, walaupun mereka memiliki kebahagia-an, namun mereka tidak menyadari hal itu. Sedangkan tokoh, tidak menyadari hal itu karena ia sudah terbiasa merasakan kebahagiaan. Artinya, tokoh senantiasa gembira sekalipun ada sebab atau tanpa sebab selama ia masih punya simpa-nan pemikiran-pemikiran lucu, mempesona, dan aneh-aneh, yang timbulnya pertama kali karena mereka terbiasa lupa, se-hingga ditertawakan orang. Ia tidak punya norma kecuali ke-mauan temannya, di atas kehendak temannya dan untuk ke-pentingan temannya. Tetapi...”
Ia berkata : “Yang terpenting dari semua itu dan yang paling istemewa adalah apabila pikiran-pikiran lucu, mempe-sona dan aneh-aneh itu datang dari temannya tapi ia tidak menyukai. Lalu temannya itu diusirnya. Dan andaikata terda-pat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri, maka temannya itu disingkirkan. Sebab dalam hal ini ia mempergunakan mate-matika Yahudi dengan perhitungan ekonomi yang harus men-dapatkan keuntungan lima puluh kali lipat....”
Aku menjawab : “Ya, dan selalu seperti anak kecil. Alang-kah dungunya ia, dan betapa tololnya ia ketika ia selalu mele-paskan kebodohannya itu di dalam sesuatu yang bersifat ra-hasia dan sangat pribadi. Maka keluarlah ketololan-ketololan yang serupa, dan dunia nampak terbalik, tak ubahnya seperti seorang ibu yang sedang menimang-nimang si buyung atau bercanda dengannya. Tetapi….”
Ia meneruskan : “Tetapi.... ini klimaks yang tidak akan dicapai oleh manusia biasa kecuali pribadi-pribadi yang luar biasa dalam kegeniusannya seperti Tokoh Angkatan Abad XX ini.”
Aku berkata : “Ya, tetapi bagaimana bisa Tokoh Angka-tan Abad XX jadi cerita ketika ia membaca buku cerita ?”
Ia menjawab : “’Begitulah kepekaan seorang tokoh yang mempuyai tanggapan eiditis. Andaikan pengarangnya juga tokoh seperti aku, tentu terbetik dalam hatinya suatu ilham sufistis dan terdetik fikirannya suatu inspirasi filosofis yang dapat menyibak alam metafisika sehingga dia tahu bahwa di antara pembaca buku ceritanya terdapat Tokoh Angkatan Abad XX. Maka dia akan menghindari beberapa pengertian yang bukan pengertiannya, ungkapan yang bukan tujuannya, dan dia pasti akan memilih pemeran lain bukan seorang ke-kasih yang khianat, bukan pencuri sadis, bukan pembunuh bayaran, bukan penjara gelap, bukan pengadilan yang sering-kali mengeluarkan kata-kata  “Apa itu, di mana saudara, maka dari itu....”
Aku bertanya : “Apa hubungan anda dengan kekasih yang berkhianat di dalam kertas, dan pencuri sadis pada letter huruf cetak, dan pembunuh bayaran dalam fantasi, penjara gelap dan pengadilan yang tertera dalam halaman buku, bu-kan dalam dunia kenyataan itu ?”
Ia menjawab : “Disinilah kepekaan seorang tokoh yang kritis. Aku tidak suka menelan sebuah cerita sebelum kukunyah pribadi-pribadi dan personel-personelnya terlebih dahulu, atau sebelum kucerna kasus demi kasus peristiwa-nya. Tiba-tiba seorang kekasih berkhianat kepadaku. Kalau tidak karena aku takut di penjara dan dihadapkan ke meja pe-ngadilan, pasti kubunuh dia secara sadis, walaupun dengan jalan menyewa pembunuh bayaran dan kemudian kupublika-sikan dengan kalimat-kalimat yang tidak enak di dengar ma-syarakat. Sungguh dia perempuan laknat. Bagaimana dia da-pat mencuri hati sedemikian rupa, dan sanggup melompati pa-gar-pagar tulang yang tersusun tinggi, dan mampu merusak sendi-sendi dan otot-otot yang kokoh itu. Sayang, aku bukan insinyur sipil dan bukan seorang arsitek. Maklum, laki-laki itu sudah gila syahwat seperti singa luka atau gajah meradang yang gila. Sedangkan aku adalah dengan syahwat seorang to-koh yang berakal seperti akal manusia. Dan laki-laki itu kaya seperti orang dungu yang kaya, sedangkan aku fakir seperti fakirnya ulama. Dan perempuan laknat itu, perhiasan yang mencari kesenangan untuk dirinya. Maka oleh karena itu, dia membiarkan pipinya dicium oleh kera, asalkan kera itu menge-luarkan emas dari duburnya. Sedangkan type seorang laki-laki tokoh seperti aku kekayaannya adalah ; muda, bagus, akal dan popularitas. Selain aku, laki-laki itu bangkrut di samping perempuan laknat dan memungut kaca matanya.”
Aku berkata : “Itu tidak hebat, karena ahli bahasa me-letakkan sesuatu nama dengan pengertian yang sinonim.”
Si sinting menyambung : “Seperti itu yang kuingat.”
Mata Tokoh Angkatan Abad XX merah, sedangkan mu-kanya kusam, lalu ia berkata : “Rupanya si sinting ini mau mempermainkan aku. Dia menganggap bahwa ahli bahasa menamakan aku dengan kera. Coba kamus kalian dan cari kata kera (qirdun) kemudian cari lagi kata tokoh (nabighatun). Adakah keduanya sinonim ? Sungguh malang nasibmu wahai anak ingusan. Kini biarkan aku menghajarmu seperti guru menghajar muridnya atau seperti orang tua menghajar anak-nya. Tamparan keras di pipi anak kecil yang hakikatnya ada-lah anak besar, akan menyentuh hakikat yang membesarkan dirinya sehingga tamparan ini akan masuk kedalam otaknya melalui jalan paling cepat.”
Amien Syarif menyambung : “Bukankah anda sendiri yang berkata, bahwa anda selamanya bukan kera, kecuali di hadapan perempuan cantik yang mempesona penuh glamour, yang genit menggiurkan, yang telah meletakkan pelana kuda di atas punggung raja itu dan menjadikan sebagai keledai, hingga sang raja tercengang dibuatnya, dan merasa heran kepada dirinya mengapa ia bisa menjadi keledai si perempuan itu. Sedangkan anda, bukan kera seperti kera-kera di hutan yang hidup berdampingan kambing dan anjing.”
Ia menjawab : “Nah, sekarang aku tahu apa sebabnya, maka kekasih khianat yang fantastis itu mengarang buku-buku roman. Dan tidak mustahil dia akan mengarang buku cerita tentang seorang laki-laki yang di depan matanya ia hanyalah seekor kera. Itu bisa terjadi kalau perempuan ini cantik dan secantik perempuan yang ada di dalam cerita. Tetapi, kalau dia jelek dan berbeda dengan kenyataan, atau umurnya su-dah tua, maka seluruh harinya hanyalah seperti hari Ahad ba-gi kaum Nashrani, hari libur yang sepi dari jual-beli dan tidak ada pengembalaan. Baik perempuan yang ini maupun perem-puan yang itu, kedua-duanya menjadikan laki-laki seperti air tergenang di sebuah jalan tidak bisa untuk memanaskan apa-lagi untuk memasak, atau untuk membakar. Perempuan penga-rang buku itu tidak terlepas dari dua kemungkinan. Jika dia berwajah cantik maka akan memperkuat dugaan bahwa dia mempunyai banyak hutang kepada laki-laki. Tetapi jika dia berparas jelek maka akan memperkuat dugaan bahwa dia sama sekali tidak terikat hutang dengan laki-laki.”
Kami bertanya : “Itu mengenai kekasih yang khianat. Bagaimana dengan kekasih yang telah mencuri anda padahal anda bukan orang kaya ?”
Ia menjawab : “Di sinilah kepekaan seorang tokoh yang sensitif, yang menyimpan banyak rahasia di dalam dirinya tetapi sulit dijangkau tafsirnya. Dalam kebodohannya tidak menimbulkan bahaya bagi siapapun juga. Kebodohan yang tidak berbahaya itulah ilmu yang tidak bermanfaat, tetapi tetap ilmu. Menganalisa sebagian tingkah laku dan ulah seorang to-koh sama saja dengan menyelidiki rahasia hidup di dalam diri-nya, sebab ia melakukan perbuatan-perbuatannya itu dengan rahasia hidup bukan rahasia akal. Artinya, dengan rahasia akal tokoh yang khusus bagi dirinya sendiri bukan akal natural yang umum berlaku bagi kebanyakan manusia.”
Aku berkata : “Yang sangat kukagumi dalam pribadi an-da itu adalah, sebab anda tidak membaca buku cerita itu bahkan anda mengarang cerita itu.”
Ia menjawab : “Begitulah adanya, meskipun aku tidak mengaranya, tetapi dia perempuan kekasihku itulah yang me-ngarang  untukku. Jika malam telah tiba, dan manusia nye-nyak dalam tidurnya, aku bangun sendirian untuk mencerita-kan alam ini. Dan aku dapat menyaksikan apa yang dapat kulihat. Pada siang hari kulihat seluruh manusia adalah orang-orang yang berakal. Tetapi di waktu malam mereka nampak olehku adalah manusia-manusia gila. Jadi, alam ini menjadi saksi nyata atas kegilaan dan kelemahan akal mereka. Maka, secara natural alam ini memenuhi kebutuhan akal kepada suatu bentuk kelupaan dan ketololan, tetapi tanpa alam tidak mungkin akal dapat berfikir dan menghasilkan pemikiran-pemikiran pada siang hari. Pada malam harinya, manusia ber-gulat seperti orang gila. Mereka memejamkan mata dan tidak melihat apa-apa. Sedangkan aku sendiri, melihat alam ini pa-da waktu malam seeperti panggung lawak yang penuh de-ngan gelak-tawa dari manusia-manusia bodoh yang telah me-mutuskan waktu siangnya dalam tidur, padahal mereka yakin bahwa mereka hidup dan menggengam dunia ini dengan ke-dua mata, dua telinga dan dua lobang hidung mereka. Tetapi di mana anda melihat singa dengan kedua mata anda, wahai manusia tolol ? Dan di mana pula anda mendengar aumnya dengan kedua telinga anda, hai orang bodoh ? Apakah pe-ngakuan dan pertanyaan anda itu tidak berpura-pura, bahwa anda memiliki dunia dan menggenggamnya ? Apakah anda tidak sadar bahwa anda dalam hal ini seperti orang hendak menangkap bayang-bayang dirinya dengan kedua tangan kemudian berteriak-teriak minta tolong ; “ambilkan tali untuk mengikatnya agar tidak lepas dari genggamanku !”
Aku berkata : “Kalau benar alam ini seluruhnya cerita anda maka coba keluarkan satu bab untuk kami.”
Ia berkata :“Mana yang lebih kalian sukai, tertulis atau diperagakan saja.”
Kami menjawab : “Diperagakan saja.”
Si sinting melihat kepada Tokoh Angkatan Abad XX lalu berkata : “Watak orang gila memancar dari beberapa orang yang ditransformasikan sedikit demi sedikit ke dalam dirinya seperti sumber mata air yang melimpah setahap demi setahap hingga membanjiri suatu tempat yang rendah. Di sini pang-gung, dan ceritanya sekarang adalah ; ‘Dokter dan Majnun.’ As-Siba’i sebagai paman majnun. Kalau ia menyebut ‘om’ ke-padamu, katakan saja : “Aku bukan pak likmu, tetapi saudara ayahmu” supaya ia mengerti perbedaan dua ungkapan itu. Sungguh perbedaannya begitu sensitif untuk mengasah otak. Kemari wahai pasien, aku berharap kesembuhanmu berada di tanganku, dan di tanganku ini terdapat sentuhan Al Mahdi, karena Tokoh Abad XX sekarang menjadi Dokter Abad XX. Ingat, kalian jangan marah atau takut kepadanya. Ajukan ke-padanya apa saja kebutuhanmu dan berbuatlah sesuatu untuk menyenangkan hatinya, sebab memberi kesenangan kepada orang gila berarti memnyumbangkan pemikiran ke dalam ke-palanya.
Kapan anda menyanggah pikiran anak saudaramu itu wahai Siba’i ? Dan apa sebabnya ? Dan bagaimana akalnya dapat kau tundukkan ? Apakah Amien Syarif ini bibinya atau saudara ibunya ? Semoga Allah mengasihimu wahai orang miskin ! Katakanlah kepadaku, apakah kemarin kamu masih ingat ? Apakah besok kamu masih akan ingat ? Kemarin dan besok dalam perhitungan orang gila sudah tercakup semua. Dia beruntung karena dunia ini dimulai setiap hari untuknya, yang sepertiga adalah masa-masa berduka-cita baginya. Dia menganggap sudah dapat membahagiakan ahli pikir dengan cara menggembirakan hati mereka malalui gelak-tawa, lelu-con dan teka teki.
Katakanlah kepadaku wahai manjnun ! Apakah dunia ini diciptakan hanya untuk dirimu saja ? Ataukah dirimu yang mem-buat dunia ini untukmu ? Problema ini dapat dipecahkan oleh semua orang gila dengan mempergunakan metodenya yang khas. Lantas bagaimana metode kamu untuk memecahkan-nya ? Mengapa kamu tidak menjawab wahai tolol ! Ini satu se-gi. Dan segi lain, berikan uang kepadanya agar ia mau mem-buka mulut, atau bayarkan ongkos dokternya yang tidak lebih dari lima ribu rupiah.”
Tokoh Angkatan Abad XX menoleh kepada si sinting dan membantingkan sesuatu kepadanya, tetapi kami segera bertindak dan berkata : “Perintah dia itu bukan problema. Ini seribu rupiah untuk pasien, dan lima ribu rupiah buat dokter-nya.”
Si sinting menyambung : “Harapanku adalah, “Semoga lekas sembuh.”
Sesudah itu sang dokter menjawab : “Pasien ini terserang satu jenis penyakit gila yang disebut “Yang ku-ingat.” Penyakit lupa yang terletak di sebuah tempat di dalam otak, berupa sebuah kalimat yang hanya dapat diingat oleh majnun. Lawannya adalah penyakit gila “Skeptis” yakni me-ragukan segala apa yang terdapat di sekitar pasien ini. Se-waktu-waktu penyakitnya berubah menjadi penyakit “feeling” yang apabila anda menyentuhyna dengan jari anda maka an-da menyangka kalajengking. Yang paling ditakuti adalah apa-bila kalajengking ini menyengat kepada orang yang menyen-tuhnya. Kemudian, untuk memeriksa penyakit lainnya harus diadakan diagnosa secara mendalam sebab majnun ini bukan termasuk orang gila kalajengking yang membelot dari jalannya atau yang keluar dari potensinya. Dia juga bukan orang gila yang menggila dalam mencari rezki, dan tidak termasuk orang gila yang bersikap masa bodoh dengan penghidupan, seperti, kata sebagian orang “Lebih baik bodoh tapi menambah in- comeku dari pada aku menambah akal untuk incomeku’.
Si sinting menyambung : “Yang kuingat adalah “Lebih baik bodoh tetapi mencukupi hidupku.”
Tokoh Angkatan Abad XX tertawa dan berkata : “Itu persis seperti yang kuterangkan kepada kalian, bahwa orang yang terserang penyakit gila “Yang kuingat” adalah penyakit paling ringan dan sedikit sekali orang yang mengidap penyakit itu. Penyembuhannya mudah, tidak sulit dan sederhana, yaitu menyantuni, menggembirakan dirinya, dan uang. Kalau perlu dengan tempelengan. Kalau dengan pukulan penyakitnya ma-sih tetap, berarti penyakitnya sudah berubah, bukan gila “Yang kuingat” lagi  tetapi gila “Yang kupukul”. Karena orang yang berpenyakit seperti itu beranggapan bahwa setiap orang menjatuhkan sebuah pukulan atas dirinya. Kalau pe-nyakit kedua ini sudah parah, maka obatnya adalah “Baju Bi-ru” yakni seragam nara pidana. Tetapi, kalau masih belum juga berhasil, berarti penyakitnya sudah berubah menjadi pe-nyakit gila baru yang disebut “Yang kubunuh”, dan obatnya adalah dipasung atau disalib.
Sebenarnya aku bisa menjelaskan kepada kalian bahwa akhirnya filsafat Dokter abad XX adalah, bahwa seluruh ma-nusia adalah gila dengan kadar yang berbeda satu dengan lainnya. Seperti hilangnya akal bisa diukur sebagai gangguan psychis, dan keadaan abnormal bisa dinilai sebagai kelainan watak dan pembawaan. Maka dari itu tidak heran kalau sebagian dari mereka menganggap Bimaristan sebagai Villa. Akan tetapi masih banyak bahan-bahan penganalisaan lain-nya untuk meneliti lebih jauh dan lebih dalam lagi. Oh ya, di rumahku ada mentol. Apabila si sinting ini menghirupnya pasti dia bersin keras-keras sehingga kegilaannya akan keluar dari hidungnya. Katakan kepadaku, wahai orang tak beruntung ! Apakah kamu takut berjalan sendirian di tanah lapang yang luas karena kamu mengira tanah lapang itu akan manelanmu ? Apakah kamu ragu-ragu lewat di sebuah gang yang sempit karena kamu mengira gang itu akan menjebakmu ? Dan ketika kamu sedang berada di dalam sebuah gerbong kereta api apakah terbayang dalam benakmu bahwa Bimaristan telah ditarik oleh lokomotif dan berlari kencang bersamanya ? Apakah sesekali waktu kamu merasakan bahwa Bimaristan selalu menggodamu untuk bunuh diri saja ? Perlihatkan kepa-daku uang yang ada dalam genggaman tanganmu itu.!
Si sinting membuka tangannya memperlihatkan uang itu kepada dia. Kemudian Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Lihat sekarang, adakah dalam hatimu terdetik prasangka bahwa aku akan mengambil atau mencuri uang itu dari ta-nganmu ?”
Si sinting menjawab : “Ya”
Majnun berkata : “Kalau demikian aku harus memasuk-kannya ke dalam kantong bajuku ini.”
Dengan cepat, Tokoh Angkatan Abad XX merampas uang itu dari tangan si sinting, dan segera dimasukkan ke dalam sa-kunya.

(25)
Si sinting berteriak-teriak sambil mengatakan: “Ooooi, ia telah mencuri uangku!”
Kami berkata : “Dalam mendramakan cerita itu tidak bo-leh terjadi hal-hal yang tidak baik antara kalian berdua. Ini uang penggantinya, tetapi kami ingin bertanya kepada anda apakah dalam filsafat seorang tokoh diperbolehkan mencuri atau me-rampas hak orang lain ?”
Tokoh Angkatan Abad XX menjawab : “Sekarang ceri-tanya tentang filosof agung Plato dengan muridnya Aristo. Katakan kepadaku wahai Aristo celaka, tahukah anda bahwa di kalangan orang gila terdapat juga orang kaya yang mencuri sesuatu yang tidak berharga dan kecil artinya sedangkan ia sama sekali tidak membutuhkan sesuatu itu. Nah, bagaimana argumentasi anda sekarang, dan termasuk aspek apa dalam konsep orang-orang gila ? Ataukah anda tidak tahu jawaban-nya ? Maka dengarkan wahai Aristo ! Bahwa orang yang me-rampas uang itu adalah orang gila. Apabila ia hanya memper-gunakan satu rupiah untuk membeli sesuatu, maka nilai  sesuatu itu ada pada rupiah. Sedangkan nilai dirinya sebagai orang kaya, maka apalah artinya satu rupiah itu jika diban-dingkan dengan jumlah kekayaannya, sebab ia tidak memper-soalkan nilai sesuatu itu bagi dirinya. Jadi, kalau ia mencuri maka nilainya tetap pada dirinya bukan pada nilai uang yang dicurinya. Karena mencuri baginya adalah harga diri dari piki-rannya dan dengan argumentasi yang mendatangkan kepua-san tersendiri yang tidak dapat diukur dengan seluruh keka-yaan dunia ini. Itulah yang disebut gila kepuasan bukan gila pencurian, dimana hal itu termasuk salah satu bentuk keasyi-kan. Kalau ia tidak mencuri sesuatu, sama halnya dengan membiarkan perempuan cantik yang menolak cintanya. Orang-orang lapar, kalau mengambil sesuatu untuk dimakan dan sekedar mempertahankan hidupnya, maka di dalam ba-hasa filsafat tidak disebut mencuri tetapi mengambil haknya. Karena lapar yang memaksa mereka, dan mereka terpaksa la-par maka mereka terpaksa makan. Sedangkan di sini, yang mencuri itu adalah orang kaya yang tidak butuh pertolongan atau tidak memerlukan pemberian dari siapa pun. Ketahuilah Aristo bahwa dunia ini terbalik dan posisinya berubah-ubah, Jika posisi dunia ini tetap, tentu tidak ada kebahagiaan bagi seluruh penghuninya. Bagaimana mungkin kebahagiaan akan diperoleh, sedangkan manusia diciptakan dalam ketidak sem-purnaan ? Kecelakaan paling besar akan terjadi di dunia apa-bila ketidaksempurnaan manusia itu dipergunakan untuk menyelidiki ketidaksempurnaan orang lain. Seluruh himar ingin untuk memenuhi perutnya dengan buah kurma, kedelai atau gandum. Tetapi tidak pernah kulihat ada himar yang ingin memenuhi kandangnya dengan dirinya. Jika tidak ada himar yang seperti itu, yang ingin berbuat begitu, maka ia disebut manusia, bukan himar. Hei Aristo ! Paling jeleknya manusia adalah orang yang berusaha untuk memecahkan problema yang terdapat di dalam jiwa himar, sama jeleknya dengan himar yang berusaha untuk memecahkan problema kejiwaan yang terdapat pada manusia.
Maka, selamanya tidak akan ada problema yang terpe-cahkan apabila setiap manusia terhadap manusia lainnya sa-ma dengan himar terhadap himar lainnya. Jiwa yang jelek adalah dari perbuatan syetan. Maka sepantasnya bila Malai-kat datang untuk memerangi syetan dengan kilat dan petir karena membela manusia. Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian itu, lalu Dia mengirimkan malaikat lain yang berupa agama. Jika manusia mau, boleh ia mempergunakan-nya dan kalau tidak ya, ditinggalkan. Apabila jiwa manusia, pikiran, kemauan dan perasaannya sudah mendapatkan hida-yah dan berbuat sesuatu dengan garis-garis agama yang di-ajarkan-Nya, maka manusia ini melebihi Malaikat. Sebaliknya, kalau manusia meninggalkan agama-Nya dan menentang hida-yah-Nya maka manusia ini lebih rendah dari syetan.
Aristo, alam ini bagiku adalah kumpulan tidak ada, yang seimbang antara menampak dan menyamar. Alam ini bagiku adalah kelemahan yang menunggang. Dan alam ini bagiku bukan apa-apa, hanyalah antara dan antara yang terdiri dari dua bagian yang berlawanan. Di antaranya adalah petani, dan inilah paling utamanya filsafat naturalis. Dan alam ini mem-butuhkan kepada maut, sedangkan maut membutuhkan alam. Budi pekerti adalah hidup. Tidak ada hidup tanpa budi pekerti. Budi pekerti itu ada dua, bersifat moral dan etik. Kadang-kadang budi pekerti itu bersifat naturalistis seperti pembawaan yang ada pada diri Tokoh Angkatan Abad XX ini. Siapa Ang-katan Abad XX itu ? Ia adalah pribadi yang mati tanpa maut dan hidup tanpa nyawa !
Wahai Aristo ! Apakah anda ingin tahu rahasia susunan alam ? Masalahnya mudah tidak sulit. Rahasia susunannya seperti struktur uang yang ada di tangan anda itu. Maka coba- perlihatkan dulu uang di tangan anda itu maka aku akan men-jelaskan rahasia struktur yang terdapat di dalamnya.

(26)
Tetapi si sinting cepat-cepat menyembunyikan uang ke dalam saku bajunya.
Lalu Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Ini politik kotor dan akan kancilku saja. Ceritanya sekarang adalah, “Politik Abad XX.” Hakikat dari politik adalah perbuatan licik dan bu-suk dari kaum politikus. Bahasa politik yang mengandung banyak makna itu hakikatnya tidak mengandung makna. Hati-hati dengan politik Timur termasuk bahasa politiknya yang mengandung dua pengertian atau satu setengah pengertian atau separuh pengertian. Jika mereka berkata kepada kita, “Merah,” kita katakan kepada mereka, “Tulislah merah itu dengan kata ini !” Dan setelah mereka menulisnya, maka katakan lagi kepada mereka, Gambarkan di samping merah itu suatu pengertian yang berwarna merah agar kita dapat melihat karakter dirinya bahwa essensinya memang merah, tidak lainnya. Di atas cara inilah anda harus menuliskan kon-veksi politik Barat dan Timur.
Sementara itu mereka telah menulis untuk kita beberapa surat kabar dengan nama-nama makanan, kemudian mereka berkata : “Makanlah sepuas-puasnya agar perut kalian ke-nyang.” Telah banyak kusaksikan “Deklarasi” tetapi bukan se-perti demokrasi yang kita inginkan. Kita menghendaki agar setiap orang  gila dapat menunjukkan manifestasinya. Tetapi orang gila tolol yang ada di hadapan kita ini bukan seorang patriotik, dan di dalam jiwanya tidak sedikit pun kita dapati ada tanda-tanda patriotisme. Sebab, kalau dia memang seorang patriot tentu dia akan bersikap ksatria. Dan dengan ksatriaan-nya dia akan rela mengeluarkan uang yang disembunyikan di dalam sakunya sebagai dana untuk mendorong semagat dan memberi harapan optimisme bagi Mesir dalam usahanya me-ngusir tentara penjajah.

(27)
Tetapi si sinting tetap tidak mau mengeluarkan uangnya dan membiarakan tentara penjajah menduduki Mesir.
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Sekarang ceritanya adalah Polisi dan Pencuri. Adalah wewenang polisi berda-sarkan undang-undang untuk menyelidiki pencuri supaya dia mau mengeluarkan uang dari dalam sakunya.”

(28)
Namun, majnun tetap tidak mau mengeluarkan uang-nya, maka Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Semua itu sia-sia bagi orang gila yang bakhil ini. Maka ceritanya sekarang berubah lagi, yaitu tentang Harun Al Rasyid dengan Alkoho-lis. Adalah kewajiban bagi Harun Al Rasyid untuk menyadar-kan pemabuk supaya ia membersihkan uangnya dari dosa.”

(29)
Oleh karena kami menolak Harun Al Rasyid yang ber-usaha untuk menyadarkan pemabuk agar uangnya bersih dari dosa, maka Tokoh Angkatan Abad XX berkata lagi : “Seka-rang ceritanya adalah soal percintaan, “Asyik Ma’syuk.”
Ia memandangi si sinting dengan mata yang turun naik. Dalam pandangan matanya, si sinting tak lebih dari hanya seorang laki-laki. Maka ia melakukan sesatu yang aneh dan memperlakukan dia seperti seorang perempuan cantik yang bersolek. Untuk itu ia mengeluarkan sepasang sepatu yang la-lu diletakkan pada kedua kaki si sinting sambil berkata : “Per-mainan cinta adalah suatu bukti yang kuat bagi orang yang sedang mabuk asmara bahwa cinta itu bukan suatu permai-nan. Setiap pemikiran tentang cinta sekecil apapun, namun cinta itu menjadi besar dalam pikiran. Dalam sepatu di kakimu ini wahai kekasih, terdapat sebuah peti emas yang indah da-lam pandangan orang bakhil. Setiap sesuatu, di mana engkau berada, di dalamnya terdapat rahasia kecantikanmu. Dan se-patu di kakimu ini bukan sepatu biasa tetapi, sebagian batang tubuhmu yang indah. Maka tidak kudapatkan arti kemesraan cinta sebelum aku dapat mengelilingi seluruh tubuhmu sampai ke batasnya. Tubuhmu ini, wahai pujaanku, bagaikan air tawar yang mengalir pada setiap tempat. Dan tempat yang berair itu sepenuhnya adalah rohmu jua. Apabila terjadi kecupan pada tubuhmu maka di dalam kecupan itu terdapat dua bibirmu yang merah delima. Nah, inilah kecupan pada kakimu dan ini kecupan pada kedua betismu, dan inilah kecupan pada baju-mu, kemudian inilah kecupan pada, pada.....pada sakumu !”
Hampir saja Tokoh Angkatan Abad XX dapat menge-luarkan uang dari dalam saku si sinting, tetapi secepat kilat dia mengapit tangan sang tokoh pada ketiaknya dan menghim-pitnya kuat-kuat sehingga ia merasa kesakitan dan kemudian ia berteriak keras-keras sehingga menggetarkan ruangan, menggema dan menggeletar seperti suara burung elang di angkasa raya.
Dan kemudian, ia sadar dari alam mimpinya, maka ter-lepaslah ia dari kegilaannya, dan hilanglah ketololannya, dan selamatlah dari kemajnunannya.

(30)
Maka sekarang ceritanya adalah “Kaki yang tidak pa-kai sepatu.”

 
TAMAT

 
DR. MUSTHOFA SHODIQ AR RAFI’IE
( 1880 – 1937 / 1297 – 1356 )
 Adalah pujangga Mesir yang berasal dari Tripoli Siria. Dalam masa hidupnya dia telah banyak menulis karya-karya sastra maupun buku-buku ilmiah, antara lain :
§  Tarikh Adab Al Arab
§  Tahta Rayah Al Quran
§  Alas Saffud
§  Hadits Al Qamar
§  Al Ma’rakah
§  I’jaz Al Qur’an
§  Rasail Al Ahzan
§  As Sahab Al Ahmar Fi Falasafah Al Hubb Wal Jamal
§  Al Masakin
§  Auraq Al Wardi
Kemudian karangan-karangannya dibukukan oleh Muhammad Said Al ‘Uryan dengan judul Wahyul Qalam yang di antaranya terdapat judul Majnun dan Aku, Ustad dan Profesor yang telah saya terjemahkan ini.


 (* Dalam bahasa Arab kata “Qarnun”  (قرن) mempunyai dua arti : Masa, Zaman, Abad atau Tanduk binatang. Arti dari ungkapan To-koh Angkatan Abad XX (النابغة قرن العشرين)  kalau angka “XX” dihilang-kan maka Qarnun tidak bermakna abad lagi, tetapi bermakna tanduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar