Cerita :
DR. MUSTHOFA SHODIQ AR RAFI’I
PENGANTAR
Kali ini ‘Majnun’
karya Musthofa Shodiq Ar Rofi’i diter-jemahkan oleh el-Kafi. Lewat
terjemahan ini kita bisa menangkap makna ‘kegilaan’ bagi manusia abad ke
XX, saat kemanusiaan, moral dan religi diguncang
oleh modernitas dengan semua kegelisahannya. Musthofa Shodiq Ar-Rofi’i dalam
buku ini menampilkan konflik-konflik antar protogonis dan antagonis dengan
tekhnik penulisan novel yang tinggi. Bahasanya lancar dan pekat, ucapan-ucapan yang dikeluarkan tokoh-tokohnya selalu
mengandung filsafat yang dalam.
Dengan demikian Rofi’i
bisa dimasukkan kepada bari-san pengarang muslim yang tajam dalam menyoroti
zaman ini. Salah satu contoh kita simak ucapan seorang tokoh yang tertera pada
bagian akhir buku ini : “Apabila terjadi kecupan pada tubuhmu maka di
dalam kecupan itu terdapat dua bibirmu yang merah delima...... Nah, inilah
kecupan pada kedua betismu..... dan inilah kecupan pada bajumu..... kemudian
inilah kecupan pada..... pada..... pada sakumu!”
Ucapan
seperti di atas yang pada akhirnya mampu
me-nyadarkan manusia dari kegilaan dan ketololan. Buku ini se-benarnya bukan untuk sekedar dibaca, tetapi
untuk direnung-kan dan dibaca beberapa kali sehingga semakin banyak kita
menangkap hikmah-hikmah kehidupan sekaligus
untuk melihat ketololan-ketololan kita sendiri pada zaman yang terkenal
pe-nuh kegilaan ini.
Buku ini akan besar
manfaatnya terutama bagi generasi muda yang
ingin mengaca diri agar selamat dari kesia-siaan.
Wallahul
muwaffiq.
Sumenep, 14
September 1988
D.
Zawawi Imron
1)
Pelan-pelan ia berjalan kaki sambil
berlagak. Langkah-nya mantap menggeletar. Seolah-olah dengan kesombongan-nya ia hendak memberitahukan kepadaku bahwa bumi
ini kecil dan ia leluasa menginjak-injak di atasnya. Setiap kali langkah
kakinya berganti, kepalanya digerak-gerakkan sambil menoleh ke atas. Mungkin
dalam hal ini ia bermaksud untuk meyakin-kan dirinya sendiri bahwa kepalanya
masih melekat, atau ia berkhayal bahwa anggota badan yang paling terhormat itu
di-anggapnya seperti bendera negara yang berkibar di angkasa raya. Entahlah,
aku sendiri kurang mengerti mengapa ia ber-buat begitu.
Kutatap ia, sedangkan
jarak yang memisahkan aku de-ngannya
kira-kira sepanjang kamar kecil dan lebarnya saja. Ti-ba-tiba pandangan matanya
tajam, seakan-akan ia sedang ber-ada di sebuah gurun sahara. Kulihat
biji matanya berputar-putar ke kiri dan ke kanan, kemudian kebawah, dan setelah
ke atas ia tercengang seolah-olah di depan matanya terpancang sebuah gunung
yang tinggi....
Kemudian aku menyapanya
dan kupersilahkan ia duduk di dekatku. Maka
mulailah ia memperkenalkan diri dengan me-nyebut nama, marga dan daerah
kelahirannya. Tidak lebih dari itu. Karena ia merasa bahwa perkenalannya
tidak mendapat sambutan dariku, maka ia segera berkata : “Rupanya anda ini
seorang pelupa.” Aku menjawab : “Ya, banyak sekali yang ku-lupakan. Tetapi,
tentang namamu itu, rasanya kok belum per-nah kudapati pada deretan nama-nama
yang pernah disebut-kan oleh sejarah.”
Ia berkata : “Itulah
kesalahan yang telah dilakukan mass media. Tetapi, walaupun anda sudah banyak
melupakan se-suatu namun kuingatkan janganlah sampai lupa bahwa anda adalah
guru Angkatan Abad XX.”
Dari
ucapan itu aku jadi berpikir sejenak. Kalau demikian, kini aku sedang berhadapan dengan
seorang pemuda majnun yang tampan lagi cerdik. Aku tahu bahwa ia baru saja
menyelesaikan studinya di sebuah perguruan
tinggi, tetapi ia tidak dapat melanjutkan lagi dan terpaksa droup out
akibat ganguan fikirannya yang kacau-balau. Wajahnya yang rupawan, tubuh-nya
yang ramping, kulitnya yang kuning, gerak-geriknya yang lemah-gemulai, nampak
lebih feminim di bandingkan dengan seorang
laki-laki, sehingga aku merasa seolah-olah sedang ber-hadapan dengan
seorang gadis cantik-jelita. Menurut penga-matanku
sendiri ia adalah sebuah pribadi berwatak tenang, pe-nuh menyimpan rahasia, besar harapan tetapi ia dikucilkan
oleh teman-temannya dan terisolir ke
dalam dunianya sendiri, dunia kepalanya yang bukan seperti dunia manusia
lainnya.
Kucoba untuk
menganalisa dari sisi yang lain. Rupanya kemajnunannya
itu lebih bersifat kekanak-kanakan, dan kepandi-ran yang timbul pada usia
remaja, masa yang bukan anak-anak lagi tetapi belum pantas disebut
dewasa. Tetapi firasatku ber-kata lain. Ini
pasti akibat perang dingin yang berkecamuk di da-danya, di mana pikiran
dan perasaan yang lemah menjadi ma-kanan
empuknya. Kemudian aku berkesimpulan bahwa laki-laki ini seorang yang relax dan
santai, kurang kreatif, tidak energik, bersikap dingin dan berhati cabar,
laksana orang yang menguap karena baru bangun tidur sedangkan kantuk
masih menguasai matanya, ia bangun hanya
untuk menceritakan mimpi-mimpi yang dialaminya.
Akhirnya, kelesuan yang
menyelimuti pemuda ini mem-berikan
inspirasai bagiku, bahwa udara yang terdapat diatas di-rinya adalah kuapnya.
Dan seluruh tempat menguap. Maka aku pun menguap.
Rupanya ia membaca apa
yang sedang kubedahten-tang dirinya, maka ia tertawa dan berkata :
“Sesungguhnya Angkatan Abad XX itu manusia magnet yang hebat. Oleh ka-rena itulah anda telah terserang kantuk.
Seharusnya anda ber-bangga menjadi guru, sebagai saudara dan
kepercayaannya. Di punggung abad kedua puluh ini tidak ada pujangga kecuali aku
dan anda sendiri.”
Dalam hati aku
berbicara : “Masya Allah ! Mengapa ia begitu yakin bahwa di punggung abad kedua
puluh ini hanya terdapat orang majnun
dan sinting, ia dan aku sendiri ?”
Ia merasa lalu menjawab
: “Aku tidak majnun walaupun aku pernah menempati Bimaristan.”
Aku
berkata : “Ya, Bimaristan itu kan Rumah Sakit Gila ?”
Ia segera menjawab :
“Ah, nama itu anda sendiri yang memberikan,
sedangkan aku cukup menyebutnya Rumah Sakit, saja.”
Ketika itulah aku baru
sadar bahwa di antara orang maj-nun juga terdapat beberapa cendikiawan yang
ditinjau dari su-dut istilah yang umum berlaku, mereka disebut gila, karena
fi-kiran mereka telah dirasuki suatu penyakit. Maka kegilaan me-reka sebab
faktor ini saja, sedangkan keadaan mereka sehari-hari seperti layaknya
orang-orang cerdik dan ahli fikir. Namun demikian
pemikiran mereka selalu plin-plan, dangkal dan kurang pertimbangan yang sehat. Apabila salah seorang di
antara me-reka membual maka orang lain merasa muak oleh sikap supe-rioritasnya, kesombongan, kedustaan, dan
kepandirannya, se-akan-akan memang begitulah watak mereka, satu sifat,
satu sikap, satu bahasa, satu dunia dan satu pola berfikir, seolah-olah di
antara mereka dengan Allah tersimpan sebuah teka- teki.
Kemudian mereka memproklamirkan diri sebagai manusia paling brilliant.
Dari segi itulah tampak kegilaanya.
Berkenaan
dengan itu maka seharusnya ada orang yang
menanggapi igauannya agar pemikiran-pemikiran invalid itu ti-dak berkembang biak. Di samping itu juga harus ada
orang yang menyanggah
imajinasi-imajinasi fiktif yang muncul
dari akal bu-suk itu. Sebab
apabila ia bisa unggul dan menguasai generasi muda yang kagum dan simpati
kepadanya, maka mereka di-anggap sebagai
pengikut setia atau corongnya. Maka tidak mu-ngkin mereka bisa
melepaskan diri lagi dari cengkeramannya yang kuat. Akhirnya mereka tentu akan
menggantungkan diri sepenuhnya kepadanya untuk diperbudak dan diperalat.
Dengan
demikian ia akan bertindak sesuka hati dan se-wenang-wenang bagaikan seorang raja. Namun demikian me-reka mau
mengkultuskannya dan menjilat kepadanya walau-pun
nurani mereka berkata lain. Atau sebaliknya, ia yang me-nyanjung mereka,
atau menobatkan mereka sebagai gurunya
sekedar untuk dapat mempelajari jalan
fikiran nereka. Padahal sebenarnya mereka
adalah muridnya, dan ia adalah guru mere-ka.
Aku khawatir kalau
gelar yang diberikan kepadaku seba-gai guru Agkatan Abad XX itu hanyalah isapan
jempol yang telah ia perhitungkan menurut bahasa orang majnun. Aku kha-watir
kalau gelar terhormat itu kemudian dapat meluluhkan pe-rasaanku dan melunakkan
pikirannku yang akhirnya aku di-anggap sebagai murid kepercayaannya, kader
andalannya in-forman setianya, pelindung atau pembelanya, meskipun gelar guru
telah ia berikan kepadaku.
Dalam hati aku
berbicara : “Jika ia kutinggalkan tetap di sini, maka tempat ini nantinya akan
disukai lalu ia tidak ingin pindah lagi, dan tempat ini kemudian dijadikan
“Sanggar Seni” untuk selamanya. Celaka ! Selanjutnya ia akan selalu berkubang
disini dan merasa betah walaupun tanpa tujuan tertentu. Apa-lagi jika ia memang
punya maksud yang hendak dicapai. Ma-ka
sebagian dari waktuku tersita untuk hal-hal yang tak berguna dan terbuang
percuma untuk sesuatu yang sia-sia. Masih berun-tung kalau aku mampu
bergaul dengannya dan bisa mengu-bah jalan
fikirannya sehingga ia mau menerima pendapat-pen-dapatku dan larut bersama
pemikiran-pemikiranku. Dengan ha-rapan ini akan kucoba untuk
mempengaruhi fikirannya serta membuang anggapannya karena aku tidak pantas
disebut se-bagai guru Angkatan Abad XX, baik
menurut perhitungan waktu maupun atas pertimbangan sejarah.”
Aku
berkata kepadanya : “Kukira anda lebih baik berguru kepada diri anda
sendiri. Sebab, tidak mungkin Angkatan Abad XX mempunyai seorang guru
dari tokoh angkatan abad ini ju-ga. Apalagi
kulihat anda sudah banyak absen dalam karya sas-tra. Sedangkan aku masih
aktif dan produktif, selalu disibuk-kan
dengan tugas-tugas dan karirku. Seperti apa yang anda ke-tahui, aku
bekerja secara maraton. dan hampir setiap jam dari waktuku tidak kulewatkan
begitu saja tanpa.....”
Ia memotong
pembicaraanku : “Waktu itu tidak terdapat di dalam jam. Buktinya, setelah aku
merusak jam itu ternyata di dalamnya tidak kudapati hari, jam, menit dan
detik.”
Aku
menjawab : “Meskipun anda sudah merusak jam itu, namun matahari tidak ikut rusak, bukan ? Nah,
mataharilah yang menentukan waktu siang, lalu datanglah Zhuhur, di susul dengan
Ashar, kemudian.....”
“........datanglah hari
esok.” katanya. Tetapi aku bersama anda pada hari ini, kan ? Seharusnya anda
merasa puas de-ngan kedudukan anda sebagai guru Angkatan Abad XX. Aku telah banyak membaca karya-karya anda di bidang
sastra, dan telah membaca diri anda pula. Maka kulihat setiap pemikiran-pemikiranku telah menjadi pemikiran-pemikiran
anda. Dan se-luruh ide yang kulontarkan ternyata telah didahului oleh
ide-ide anda. Padahal aku yakin bahwa tidak
seorang pujangga pun yang ikut mewarnai Mesir kecuali kita secara
bersama. Aku ti-dak ingin menerima alasan
dan tidak ada alasan yang patut ku-terima karena memang tidak perlu
beralasan dan tidak diper-lukan alasan, bahwa pujangga-pujangga Mesir mencapai
se-suatu apa yang telah aku peroleh. Inilah aku. Dan akulah ini. Apabila mereka
tidak mau mengagumi Angkatan Abad XX ini,
maka ketahuilah bahwa kedudukan mereka di sisiku adalah se-perti seekor semut di padang sahara. Itu satu
segi. Dan segi lain-nya aku ingin merokok tapi tidak punya duit untuk
membelinya.”
Aku gembira dan mencoba membesarkan
hatinya : “Ini uang dan pergilah membeli rokok ! Selamat jalan !”
Ketika aku
bersiap-siap untuk berdiri, kulihat ia tidak mau beranjak dari tempat duduknya.
(2)
Aku
tidak ingin mengubah sikapnya dan tidak pula hendak meragukan
pendiriannya. Tetapi tiba-tiba ia sudah berkata : “Angkatan Abad XX itu
adalah seniman yang energik. Jika ia tidak tahan menghisap rokok selama
berjam-jam maka ia bu-kan orang yang
tangguh. Dan apabila persoalan ini belum bisa diklarifikasi, maka anda tidak akan dapat memberikan haknya.”
Dalam hati aku
berbicara, “Aku telah menanam laki-laki majnun ini, padahal aku bermaksud
hendak mencabutnya,
karena aku yakin ia termasuk seorang
majnun itelektual yang sewaktu-waktu perasaan dan kemauannya berubah-ubah na-mun tanda-tanda kecakapan dan kecerdasannya yang
hanya patut dimiliki oleh kalangan ahli logika nampak terlukis
pada-nya.”
Lalu aku teringat
kepada kisah si Bahlul yang gila itu. Al- kisah si Bahlul sedang duduk makan
pudding ketika Ibrahim- Asy Syubbani lewat di depannya. Ibrahim berkata
kepadanya : “Aku minta sedikit, hai Bahlul !” Jawabnya, “Ini bukan milikku,
tetapi kepunyaan ‘Atikah anak perempuan Kholifah, yang diki-rimkan kepadaku
agar aku memakannya atas nama dia.”
Cerita
lain menyebutkan bahwa si Bahlul masuk ke dalam pasar. Kemudian dia melihat orang-orang berkerumun
di depan sebuah toko kain yang
pintunya telah berlubang. Maka dia ber-gegas datang ke sana, sambil
berteriak-teriak : “Tahukah ka-lian siapa yang melakukan perbuatan jahat itu ?”
“Tidak,” jawab mereka
serempak.
Mereka beranggapan :
“Mungkin orang gila ini semalam memang
melihat pelakunya tetapi dia membiarkan tidak meng-hardiknya. Maka biarkan saja
dia, dan bujuklah dia agar mau memberitahukan
siapa pelakunya.”
Mereka
bertanya : “Hei Bahlul, beritahukan kepada kami !”
Dia menjawab : “Aku
lapar.”
Kemudian
mereka membawa si Bahlul ke sebuah warung
dan membelikan makanan kecil untuknya.
Setelah kenyang dia berdiri, melihat
ke arah pintu toko yang berlubang, lalu berkata : “Siapa lagi yang
berbuat kalau bukan pencuri.”
(3)
Di tangan laki-laki
majnun ada majalah “Ar Risalah”. Ia memberitahukan bahwa ia telah membaca
artikel tulisanku, dan katanya ia sudah membaca ini dan itu, dan....
Aku bertanya : “Apa
yang paling menarik bagi anda dari
majalah itu ?”
“Bioskop”, jawabnya.
“Kapan waktu akhir anda
menonton bioskop ?” tanyaku.
“Kemarin.” katanya.
Aku katakan : “Kemarin
aku tidak menulis artikel tentang bioskop, tetapi anda mengagumi apa yang
kemarin anda sak-sikan. Jadi, apa yang telah anda saksikan kemarin itu adalah
mimpi yang tertulis.”
Ia
terkejut mendengar penjelasanku itu, kemudian ia ber-kata, “Itulah kehebatanku,
keluarbiasaan Angkatan Abad XX. Aku telah bisa membaca artikel anda di alam
ghaib sebelum an-da
tuangkan diatas kertas.”
Aku berkata. “Anda
terlalu sering menyebut diri anda se-bagai Tokoh Angkatan Abad XX. Kalau saja
anda mau mem-buang angka “XX” maka anda
tidak terikat pada abad itu saja, sehingga anda berhak pula untuk
disebut Tokoh Angkatan be-rapa saja, kesembilan belas kek, kedelapan belas,
ketujuh be-las, sebelum maupun sesudah abad kedua puluh tersebut.
Ia tercengang, bengong
seolah-olah ia sedang berfikir kemajnunannya.
Setelah ia sadar kembali lalu berkata : “Tidak, Tidak ! Ini masalah prinsip.
Kalau aku mau menghilangkan ang-ka “XX” (‘Isyrien) dari kata sebelumya Angkatan
Abad (An Naa-bighatu Qarnil) maka orang-orang akan bebas menyebut diri-ku sebagai “Angkatan Tanduk Domba,” dan lain
sebagai-nya.(*
Aku berbicara di dalam
hati : “Kok malah semakin men-jadi-jadi.
Pancingan-pancingan yang kulontarkan kepada pemu-da majnun ini tidak
dapat melepaskan ikatan yang ia jeratkan kepadaku bahkan semakin memperkuatnya
seperti tanah ba-sah yang semakin bertambah luluh tertimpa air hujan.
Pemikiran-pemikiran
dialektis di benaknya bertumpuk-tum-puk,
dan pembicaraan tautologis di kepalanya berdesak-desa-kan, yang sewaktu-waktu siap dilepaskan. Kupikir lebih baik
aku diam dan meneruskan pekerjaanku sendiri dari pada melayani fikiran yang tak bisa dicairkan itu. Aku diam dan
berpaling. Sikapku ini mengena dan menjadikan ia terpukul keras. Rupanya sikap
diamku ini mengantarkannya masuk ke alam khayal, maka keadaan semakin
tegang dan lengang, seolah-olah di kepala-nya
t[1]erdengar
teriakan-teriakan seperti sekumpulan anak-anak kecil di pinggir
jalan sedang meneriakkan kata-kata “gila, gila, !” dan ia marah kepada
mereka namun mereka tidak mau pergi dan tidak mau berhenti berteriak hingga ia
sendiri yang meng-hardik mereka serta mengusir mereka dari sisinya.
Kulihat si majnun itu
hatinya mendongkol, yang ditam-pakkan melalui matanya yang merah menyorot tajam,
sedang-kan wajahnya kecut masam. Aku
khawatir kemajnunannya mem berontak. Maka kuhadapi ia dengan
berpura-pura mengajukan sebuah pertanyaan :
“Apakah anda memiliki saudara ? Apakah diantara mereka ada yang muncul
sebagai tokoh ?
Jawabnya, “Ya, aku punya
saudara.
Dia telah menyiksa
diriku dengan sikapnya yang meru-pakan satu pukulan berat, kemudian membelenggu
diriku de-ngan rantai, dan mengikatkan badanku kuat-kuat pada kayu balok, lalu
aku dilemparkan ke dalam jurang yang kira-kira aku akan berteriak seandainya aku dilempar dengan batu dari atas.”
Aku
berkata : “Anda perlu beristirahat dan sebaiknya anda mencari
tempat duduk yang aman di sana agar tidak terganggu.”
Ia menjawab : “Baiklah,
aku akan pergi untuk duduk-du-duk di warung
kopi sana. Ini satu segi. Dari segi lain aku perlu uang buat membeli
secangkir kopi.”
Kuberikan uang seharga
secangkir kopi kepadanya dan kukatakan :
“Pergilah, dan bersenang-senanglah di warung sa-na, minum kopi sambil mengisap
rokok sepuas hati anda. Tem-pat ini sangat sempit untuk dihuni dua orang
dan kurang me-nyenangkan.”
Akupun
bersiap-siap untuk berdiri tetapi ia tetap tidak mau bangkit dari tempat duduknya.
(4)
Kemudian ia berkata :
“Sekarang kuperlihatkan dengan jelas kepada anda bahwa aku benar-benar Angkatan
di mata Abad XX ini.
Aku
berkata : “Tentunya di mata kiri dan di mata kanan se-kaligus, bukan ?”
Ia
menjawab : “Bukan begitu, anda sudah lupa tentang Di-lalah Lafzhiyah (Makna kata -
Indikator term) dalam ilmu logika yang
mempunyai maknalaras. Bahwa yang disebut di mata Abad XX sudah
mengandung makna lainnya ; ya matanya, ya kepalanya,
ya tubuhnya, dan seterusnya. Yang jelas, pada Abad XX ini tidak ada
tokoh selain aku.”
Emosiku hampir meledak
jika tidak kusadari bahwa im-piannya itu
muncul secara spontanitas. Memang kebanyakan
dari pujangga-pujangga yang gila melapisi kekurangan-kekurangannya dengan karya-karya indah yang menarik
hati. Seper-ti bualan ahli sejarah dalam kisah nabi Yusuf, yang berkata bahwa
serigala yang makan nabi Yusuf itu bernama Tsa’lab. Te-tapi ada yang menyangkal bahwa Yusuf tidak dimakan
serigala, karena Tsa’lab itu memang serigala yang tidak makan Yusuf.”
Aku membantahnya : “Apa
argumentasi anda, mengapa logika memerlukan
Dilalah Lafzhiyah Wadh’iyah Tadhomuniyah (indikasi yang mempunyai makna
kandungan) dalam me-ngungkapkan suatu
pengertian, padahal cukup realistis dengan menyebutkan satu persatu ;
mata, telinga, kepala, tubuh, dan seterusnya secara definitif ?”
Ia memandang
langit-langit, lalu menjawab : “Karena mereka bukan orang-orang gila yang mau
mencampur aduk-kan pengertian sedemikian rupa. Ini satu segi. Dan segi
lain-nya, aku ingin pulang ke desaku tetapi tidak punya ongkos taksi.”
Aku berkata : “Ini uang
buat ongkos pulang, dan selamat jalan.”
Setelah ia menerima
uang dariku ternyata ia tetap saja duduk di tempatnya tidak beranjak
sedikitpun.
(5)
Kemudian ia berkata,
“Anda masih belum kenal siapa aku, yang sebentar lagi akan membacakan puisi erotik, ama-tori, extol, satire dan gloria. Dalam retorika aku
adalah Qies bin Sa’idah atau Aksam bin Shaify. Dan aku laksana batu
karang yang tidak akan pecah karena ombak, atau lakasana bumi yang tidak
digoncang oleh gempa. Aku tidak serupa Hujjaj te-tapi seperti Umar bin
Khatthab.”
Aku berkata : “Itu
tidak relevan untuk kita bicarakan di sini, kalau anda hanya ingin membuktikan
bahwa anda adalah Tokoh Angkatan Abad XX, karena aku sendiri sudah percaya
bahwa anda adalah sastrawan, pujangga, orator dan columnis terkemuka.”
“Dan filosof lagi,”
sambungnya.
“Ya,
dan filosof, dan pemikir dan ilmuwan dan ulama’ dan tidak ada lagi,” kataku.
Ia berkata : “Tetapi
mengapa anda mengira aku majnun atau sinting, seperti yang digosipkan mass
media, bahwa aku sudah gila karena terserang penyakit saraf dan kini sedang
menempati Bimaristan. Padahal yang benar, karena aku ada-lah seorang genius
yang alami. Maka tolong beritahukan hal diberitahukan
kepada wartawan bahwa aku sudah sembuh dan siap untuk menerbitkan lagi karya
terbaru di bidang sastra.”
Aku
menjawab, “Percuma, aku bukan koresponden surat kabar.”
Ia berkata : “Kalau
begitu, buatkan surat untukku, lalu aku sendiri yang akan mengirimkannya. Atau
aku sendiri yang akan menulis tetapi anda yang mengirimkannya. Sesungguh-nya hanya untuk inilah aku datang kemari, agar
anda bisa mem-pertemukan aku dengan redaktur sebuah surat kabar terbesar
yang mengenal diriku secara utuh, apalagi yang tahu persis bahwa aku adalah
sastrawan, seniman, pujangga, orator, dan banyak lagi. Apakah anda bersedia
mempertemukan aku dengannya ?”
Jawabku,
“Anda lebih kenal kepada mereka, dan mereka telah banyak tahu siapa anda, maka mereka tentu akan
mem-butuhkan anda. Maka untuk apa anda mengajakku bersama pergi kepadanya ?”
Ia
menjawab, “Sebab mereka masih meragukan kemam-puan diriku, terbukti bahwa mereka telah menuduhku majnun
dan sinting alias gila karena disusupi syetan. Barangkali mereka belum tahu bahwa yang menyusup ke dalam
sukmaku adalah syetan sastra budaya, sebagaimana syetan amor yang
menyusup ke dalam diri anda. Ini satu segi. Dan segi lain, aku sudah lapar.
Tetapi aku tidak mau membebani anda lagi.”
Aku berkata, “Ini uang
buat makan siang di restoran rak-yat.
Sekarang banyak orang sedang makan siang di sana. Jika anda terlambat, jangan-jangan nasinya dihabiskan
mereka. Te-tapi jangan lupa, bahwa sekali makan di sana harus membayar
tiga ribu rupiah.”
Ia
berkata : “Benar juga anda. Ternyata mereka sudah melahap habis nasinya, dan semua pelayan
sudah membersih-kan piring-piringnya yang berarti bahwa sebentar lagi resto-ran
itu ditutup. Tapi biarlah uang ini akan kupergunakan untuk makan malam saja.
Aku akan menahan laparku hingga nanti.”
Aku
berkata : “Di saku anda sudah ada uang buat beli ro-kok, kopi, ongkos pulang dan makan
siang. Pada Abad ketiga belas Hijrah, di Kufah terdapat tokoh genius bernama
Thoqul Bashal. Dia membutuhkan uang satu ribu, tetapi dia tidak mau pergi tanpa
sepuluh ribuan. Nah, ini satu segi. Dan segi lain, ambillah uang diam anda ini,
dan pergilah !”
(6)
Hal
itu mambuat dirinya gelisah. Ia bangun sambil marah-marah, kemudian menarik nafasnya dalam-dalam,
sedangkan aku membuka jendela kamarku untuk
menyongsong udara se-gar. Aku mengambil nafas seperti orang baru selesai
bersenam pagi, tiba-tiba mataku tertumbuk ke arah pintu masuk. Kulihat
di sana ada Angkatan Abad XX sudah bergandengan tangan dengan Angkatan Abad
lain.
(7)
Kedua
orang majnun dan sinting itu bersama-sama masuk ke dalam kamarku, menutup pintunya lalu menguncinya rapat-rapat, sehingga kurasakan kamarku seperti
kubu tanpa pintu, sumpek dan menyesakkan nafasku.
Dalam
hati aku berbicara sendiri, “Tentu mereka ini akan saling membantu. Sementara ini mereka
akan kubiarkan, baru kemudian kuusir. Jarang terjadi, dua orang gila, sinting dan majnun, bisa berkumpul bersama kalau tidak karena kesama-an jalan
fikirannya. Aku khawatir jangan-jangan diriku menjadi orang gila yang ketiga
sebab aku masih belum yakin bahwa antara mereka berdua tidak akan
terjadi silang pendapat jika fikiran syetan
menyusup di kepala mereka masing-masing, yang memaksa aku harus turun
tangan, menengahi salah satu di antara mereka atau melerainya. Tak apalah. Jika
nanti benar-benar terjadi perkelahian, aku akan minta bantuan seorang te-man terdekatku yang kedatangannya sedang
kutunggu-tunggu, yaitu Amien Syarif.”
Si sinting yang
digandeng oleh Angkatan Abad XX itu menurut pengamatanku seperti sebuah buku
yang lembaran-lembarannya telah rusak, halaman-halamannya tidak teratur menurut
tertib nomornya, saling tumpang tindih tak karuan se-hingga pembicaraan yang
terdapat di dalamnya campur aduk, dan semrawut, yang pertama ada di tengah dan
yang tengah ada di belakang, tidak berkaitan satu sama lain, sulit untuk
di-baca dan dimengerti maknanya.
Ternyata dia adalah
seorang mahasiswa Al-Azhar University.
Cita-citanya tinggi, ingin menjadi seorang hafidz seperti Imam Syafi’i
dan seorang perawi seperti Imam Bukhari yang genius
itu. Dia sudah banyak menghafal buku, judul demi judul, bagian demi
bagian. Apabila waktu menghafal sudah habis, dia
gunakan kesempatan untuk menguping pelajaran-pelajaran, mendengarkan berita atau menghadiri majlis
orang-orang ‘alim dan cerdik pandai. Memang,
dia memiliki keistimewaan pende-ngaran (Sima’ie) sehingga hampir setiap apa
yang tertangkap oleh telinganya
melekat-kuat dan menetap-setia tak ubahnya se-perti kaset perekam suara, tidak
satupun yang dilupakan.
Tetapi
kemudian pikirannya yang
genius terkena polusi dan otaknya yang brilliant tercemar penyakit, sehingga
dia se-ring berbuat salah dan khilaf.
Dua
puluh tahun lamanya dia menghafal kitab fiqih Imam Syafi’ie yang terkenal itu. Setelah
hampir tamat, hafalannya hilang sama sekali tak satupun yang tersisa di dalam
kepala-nya. Demikianlah peristiwa seperti
ini datang dan pergi, masuk dan
keluar lagi. Walaupun begitu dia tidak mudah berputus asa. Dan kendala
itu tidak memudarkan harapannya. Sekali lagi di-coba dan dicobanya lagi, lagi dan lagi.
Sengaja
dia meninggalkan kampusnya, menyepi dan me-ngurung diri di rumahnya untuk menghafal. Menurut dia bahwa kampus adalah penghalang utama dari cita-citanya.
Kampuslah faktor pertama yang membawa polusi dalam kepalanya se-hingga
dia menjadi pelupa.
Padahal, mengurung diri
di dalam rumah untuk mengha-fal sama saja seperti orang menimba air di lautan
lalu air ter-sebut tertuang lagi ke laut.
Dia bermaksud untuk memenuhi lau-tan ini, sedangkan air yang dituangkan berasal
dari laut itu juga. Maka dia kini seperti orang yang memutar suatu alat
tanpa ta-ngan.
Nah, Amien Syarif
datang. Maka segera kutunjukkan ke-padanya tentang pemuda majnun itu, dan
kukatakan kepada-nya bahwa ia mengaku dirinya sebagai Angkatan Abad XX.
Amien berkata : “Apakah
Angkatan Abad XX sudah bisa dikenal,
sedangkan Abad XX masih belum habis ?”
Aku
menoleh kepada pemuda majnun dan memberi isya-rat agar ia sendiri mau menjawab pertanyaan temanku itu.
Maka
ia berkata : “Apakah Abad XX sudah tiba ?”
Amien
manjawab : “Belum.”
Ia
berkata : “Nah, pemuda disampingku ini adalah Angka-tan Abad XXI. Dengan
perkataan lain, dia adalah Tokoh Angka-tan Abad Yang Belum Tiba. Kalau dia
boleh menjadi Angkatan Abad Yang Belum Datang, maka apa salahnya jika aku
sendiri menjadi Angkatan Abad Yang Belum Selesai itu ?”
Aku
menyela : “Anda telah menambah problema baru, ka-rena anda merasa yakin bahwa
anda dapat menyelesaikannya melalui dugaan anda sendiri. Bagaimana dia bisa
bersama-sa-ma dengan anda dalam satu ruang dan waktu, padahal antara anda
dengan dia terpaut 16 tahun ?”
Seperti
biasanya, setiap kali ia dihadapkan pada persoalan yang agak rumit, terlebih
dahulu ia menoleh ke atas menembus langit-langit kamar.
Kemudian
ia menjawab : “Persoalan itu tidak dapat diana-logikan kecuali oleh ahli
logika. Mengapa tidak, sedangkan aku
dapat mengatasi ilmu para ulama lebih dari hanya 16 tahun ?”
Kepada
si sinting aku bertanya : “Betulkah demikian ?”
Dia
menjawab : “Aku masih ingat kata-kata Al-Hasan, “ka-mi mengenal suatu bangsa, yang apabila
anda melihat mere-ka, pasti anda akan menyebut mereka orang-orang gila. Dan
apabila mereka mengenal anda, maka pasti mereka akan me-ngatakan anda adalah
syetan.”
Majnun tertawa sambil
berkata : “Dia adalah muridku.”
Si sinting menjawab :
“Betul, ia memang guruku. Tetapi setiapkali
ia lupa tidak seorangpun yang bisa mengingatkannya kecuali aku.”
Aku menyambung : “Tidak
heran pula kalau Az-Zuhri ju-ga berkata,
“Jika kamu mau mencela pikiranmu maka cemooh-lah ahli pikir.”
Majnun marah-marah lalu
berkata : “Ah, dasar majnun yang goblok dan
tolol, tidak mau mengakui kelebihan orang lain. Brengsek ! Bagaimana
mungkin dia mengingatkan aku, se-dangkan
menghafal sebuah naskah saja dia tidak mampu. Demi Allah, benar pula apa
yang dikatakan orang, “bahwa musuh yang pandai lebih baik dari pada...... lebih
baik dari pada... lebih baik.....”
Si sinting melanjutkan
: “......lebih baik dari pada teman yang bodoh. Nah, jelas kan, bahwa aku yang
mengingatkan apa yang ia lupakan ?”
Ia tertawa, “Ha...ha...ha...
! Aku tidak lupa, tetapi aku akan membuat kalimat lain, “musuh yang pandai
lebih baik dari pada, lebih baik dari....
lebih baik dari pada teman yang sin-ting lagi dungu.”
(8)
Sekilas kulihat dalam
pertemuan dua orang gila ini ter-dapat aspek lain di samping kesintingan
mereka. Benar juga dugaanku bahwa orang gila yang sendirian adalah sinting. Te-tapi berkumpulnya dua orang gila kadang-kadang
mengandung unsur seni. Dialog yang berlangsung antara mereka seolah-olah
sebuah sandiwara yang saling antagonis, saling tunjuk hi-dung bahkan saling melemparkan guntingan-guntingan men-tal
atau melontarkan kepingan-kepingan inspirasi.
Aku belum tahu apakah
Angkatan Abad XX ini tergolong majnun yang mempunyai pendengaran selain
telinganya, dan penglihatan selain matanya, dan penciuman selain hidungnya,
disaat otaknya berhadapan dengan suara, bentuk, rupa dan paras, atau menghadapi
aroma dari dalam dirinya yang bukan melalui
panca inderanya, sehingga sedikit demi sedikit muncul-lah ide-idenya,
dan terlontarlah kata-kata yang mengandung pengertian.
Ia berbicara, berjalan
dan melakukan aktivitas-aktivitas lainnya di
dalam otaknya. Maka pada saat itu kucoba memutar otak untuk membuat teks
drama satu babak dari dialog kedua orang gila ini.
Tiba-tiba
Angkatan Abad XX berkata : “Sssst dengarkan, ada dering telepon !”
Amien Syarif berkata :
“Dimana ada telepon berdering, aku tidak mendengarnya, sebab disini tidak ada
telepon.”
Si sinting
membentak-bentak sambil berkata : “Tentu saja
anda tidak mendengarnya, sebab tingkatan anda di bawah taraf kegeniusan
Angkatan Abad XX. Kerja anda hanya me-ngingkari kenyataan. Tidak percaya memang
pekerjaan paling mudah baik di kalangan orang-orang gila, setengah gila, mau-pun di kalangan orang-orang awam bahkan anak-anak
kecil se-kalipun. Tadi anda telah mengingkari kenyataan bahwa ia ada-lah
Angkatan Abad XX, dan kini anda tidak mempercayai tele-ponnya.”
Amien Syarif menjawab,
“Di mana ada telepon ? Bukan-kah mata kita melihat apa yang ada di kamar ini ?”
Majnun
tertawa terbahak-bahak dan berkata :
“Busyeeet..! Kalian mengganggu konsentrasiku. Nah, coba dengar, telepon sudah
berdering lagi. Tapi biarlah aku tidak akan mengangkat-nya, agar si dia
menunggu agak lama dan membunyikan bel untuk yang ketiga kalinya. Diam !
Mungkin bel yang ketiga su- dah dibunyikan tetapi aku tidak mendengarnya sebab
kegadu-han suara kalian !”
Si
sinting menyambung : “Itu pasti dari seorang wanita. Dia adalah
isterinya yang paling dicintai dan disayangi, tetapi ia sen-diri telah
menyia-nyiakan cintanya dan mengecewakan hatinya. Barangkali dia sudah tidak sabar menunggu maka dia
meletak-kan telepon di kepalanya.
Kemudian majnun
melanjutkan pembicaraannya : “Dan telepon ini tidak hanya memperdengarkan
suaranya kepada-ku, tetapi juga mengirimkan aromanya kedalam hidungku.
Ka-dang-kadang Malaikat berbicara denganku melalui telepon ini.
Aku benci kepada wanita itu karena dia
telah menyakiti hatiku. Maka dia melarikan diri dan kabur dari sisiku karena
takut ke-pada amukan Malaikat atas kaum wanita yang memusuhi sua-minya. Kadang, salah seorang bidadari juga
berbicara dengan-ku melalui telepon ini.”
Aku dan Amien bertanya
: “Apakah bidadari merasa cemburu pada wanita itu ?”
Si sinting yang
menjawab : “Bahkan lebih dari itu. Bidadari
akan mengutuk dan melaknatnya. Aku masih hafal be-tul kata-kata di dalam
sebuah hadits bahwa seorang wanita yang
menyakiti suaminya di dunia, bidadari akan berkata kepadanya ; “Jangan kau
sakiti ia wahai perempuan laknat ! Ia
hanyalah sebagai orang asing yang tak lama lagi akan berpisah denganmu
dan berkumpul denganku.”
Majnun berkata : “Wah,
rupanya orang sinting ini berba-haya bagiku. Dia menginginkan kedudukanku, maka
dia ber-harap agar aku segera mati atau secepatnya pindah dari du-nia ini untuk
menjumpai bidadari. Kemudian dia memprokla-mirkan diri sebagai Angkatan Abad
XX. Apa yang dia lontar-kan sejak tadi tidak rasional, karena bersumber dari
kegilaan yang bodoh dan kebodohan yang gila. Dia menuduh isteriku menyakiti
aku. Kalau memang betul demikian tentu aku sudah didamprat lebih dahulu. Dan
kalau isteriku marah-marah pasti dia akan meneleponku. Eh, diam ! Bel berbunyi
lagi.”
(9)
Temanku Amien Syarif
berkata : “Watak orang-orang genius itu kadang aneh-aneh. Di Madrid ada seorang
laki-laki genius yang ditinggal mati isterinya. Dia mempunyai seorang anak
laki-laki. Kemudian dia kawin lagi sedangkan anaknya berkumpul bersama ibu tirinya. Ketika hari raya ‘Idul Adha tiba,
si anak minta uang kepada ayahnya untuk membeli binatang kurban namun tidak
diberi. Sang ayah adalah seorang hafidz Alqur’an. Maka dibacakan kepadanya
kisah nabi Ibrahim ke-tika bermimpi diperintah Allah menyembelih putranya,
Isma’il. Mendengar kisah itu si anak mengira bahwa dirinya juga akan disembelih
oleh ayahnya sebagai kurban. Dan ternyata, sang ayah memberitahukan mimpinya
bahwa ia diperintah agar me-nyembelih
anaknya. Andaikata tidak karena teriakan
anaknya yang mengundang orang banyak berdatangan untuk menolong,
tentu ia sudah mampus di tangan ayahnya sendiri.”
Majnun
berkata : “Itu bukan genius namanya, tetapi sinting alias
gila. Bahkan lebih pantas kalau disebut paling tololnya ora-ng gila. Dan
aku memang melihat orang itu berada di Bimaris-tan ketika aku sendiri sedang
berada di rumah sakit. Logika-nya begini,
jika dia mengaku menerima wahyu sebagaimana wahyu yang diturunkan Allah
kepada nabi Ibrahim untuk me-nyembelih
Ismail sebagai kurban, maka pada saat dia akan me-nyembelih anaknya itu pasti
akan digantikan domba dari langit.”
Kemudian
ia menunjuk kepada si sinting sambil berkata :
“Aku lebih dahulu terkenal dari orang
ini, dalam ilmu yang se-lama 16 tahun telah dimiliki para ulama’.”
Aku berkata : “Bukankah
anda sendiri yang berpendapat bahwa orang ini adalah Tokoh Angkatan Abad yang
belum da-tang, mengapa kini anda menarik kembali pernyataan dan pe-ngakuan anda
?”
Dengan tenang ia
menjawab : “Karena sebabnya beru-bah,
pengakuan pun ikut berubah, maka pembicaraan jadi ber-ubah.”
Majnun
berkata : “Nampaknya dia memang sangat meng-harapkan kematianku agar dia dapat menduduki posisiku
se-bagai Tokoh Angkatan Abad XX. Maka pembicaraan sekarang berarti, walaupun
dia sudah menghafalkan beberapa buku se-lama 16 tahun lagi, namun ilmunya belum
setara dengan ilmu-ku. Dia, separuh mayat orang sinting dan separuhnya lagi
ma-yat orang tolol. Atau seperdua dari tubuhnya adalah kesinti-ngan sedang
seperduanya lagi adalah ketololan. Artinya, dia sama dengan orang mati, ada dan tidak adanya sama saja.”
Amien Syarif berkata,
“Sebagai murid anda, anggaplah dia itu makmum di belakang imamnya. Dia makmum
dan anda imam. Sudahlah, anda tidak perlu
lagi memperbincangkan orang ini. Diakui atau tidak, toh dia murid anda
juga.”
Si sinting
menjawab : “Ada pepatah yang mengatakan ‘Jika
akal dilukiskan niscaya teranglah malam hari dan ji-ka kebodohan dilukiskan
niscaya gelaplah siang hari’ dan
kulihat Tokoh Angkatan Abad XX ini tidak tahu bagaimana bersembahyang. Akhir-akhir ini ia bersembahyang dengan puisi. Karena aku mengetahui ia sering lupa, maka kutegur
untuk me-ngingatkan bahwa sholat tidak boleh dengan puisi. Mendengar
teguranku ia menoleh kepadaku dan mencaci maki padahal ia sedang ruku’. Dengan
pedas ia berkata : “Apa urusanmu ! Apakah aku sholat demi kamu ?”
Majnun
berkata : “Demi Allah, kalian telah menganggapku orang sinting hingga kalian menghendaki agar si sinting
tolol yang tidak punya pendirian ini bertaqlid kepadaku. Apakah kalian kira
bertaqlid kepadaku itu suatu hal yang mudah ? Keta-huilah, bahwa Angkatan Abad
XX tidak bisa bertaqlid kepada Tokoh Angkatan Abad XX itu sendiri.”
Kami berkata : “Aneh !
Mengapa bisa demikian ?”
Sambil
tertawa majnun menjawab : “Jika kalian tidak bisa memecahkan hal yang aneh itu, berarti kalian bukan
orang-orang cerdik.”
Amien Syarif menjawab :
“Hal itu karena belum pernah terjadi. Bagaimana kami bisa mengetahuinya. Dan
karena tidak pernah terfikir oleh siapa pun juga maka bagaimana kami dapat
memecahkannya ?”
Aku menambahkan : “Kukira
hanya anda yang bisa melihat diri anda sendiri.”
Majnun berkata : “Kalau
bukan guru Tokoh Angkatan Abad XX, tidak mungkin anda mengerti. Ini menunjukkan
se-paruh kebenaran selama anda menjadi guruku. Andaikata kita saling berbeda
pendapat, maka pendapat anda menjadi benar bagiku karena anda adalah guruku.
Sedangkan yang berlawa-nan dengan pendapat anda adalah benar bagi anda sebab
itu pendapat murid anda. Jadi, anda tidak salah dan aku pun be-nar.
Jika kata tidak kita buang
tinggallah aku yang benar dan anda yang salah.”
Kemudian
majnun menunjuk kepada si sinting sambil me-malingkan wajahnya lalu berkata : “Aku sendiri tidak
melihat Angkatan Abad XX ini dalam mataku. Tetapi aku pernah meli-hatnya di
kaca yang tergantung di rumah tukang cukur. Ia me-ngikuti gerak-gerikku atau
bertaqlid kepadaku dalam seluruh gerak-gerik, termasuk dalam cara duduk,
berdiri maupun ber-jalan. Kemudian aku
berteriak dan mengecamnya, maka mulut-nya menganga dan merasa takut
kepadaku lalu dia tidak mau berbicara lagi. Aku lebih dahulu terkenal dari dia
selama 16 tahun ilmu yang telah dimiliki para ulama.”
Amien
Syarif menanggapi, “Sudah dua kali anda menge-lurkan kata-kata seperti itu.
Apalagi maksud ucapan anda yang
ketiga kalinya ini ?”
Majnun menjawab : “Si
sinting tolol yang hanya membebek ini telah
menuduh bersembahyang dengan puisi maka aku mengecamnya ketika aku sedang ruku’. Kalau dia memang manusia
normal, tentu dia menyadari bahwa kecamanku kepadanya dalam keadaan aku sedang ruku’ itu adalah pahala bagi
dirinya. Dan jika dia benar-benar seorang tokoh tentu dia tahu bahwa puisi yang
kubacakan adalah mengandung pujian buat ahli pikir Angkatan Musthafa Nuhhas
Basya.”
Kami menyanggah :
“Dalam keadaan bagaimanapun juga puisi tidak boleh dibaca didalam sholat,
meskipun isinya berupa pujian untuk orang terkemuka seperti Musthofa Nuhhas
Basya.”
Majnun menjawab : “Aku
tidak bersembahyang dengan puisi. Tetapi pada saat aku sedang sholat terdetik
dalam piki-ranku bahwa aku lupa satu ballada yang pernah kuhafalkan dahulu.
Untuk membuktikan bahwa aku sebenarnya tidak lu-pa, maka ballada yang bercorak
epic ini kubaca :
Wahai pemimpin yang tak pernah tidur !
Katakan kepadaku di mana orang yang
selama ini setia
Jika engkau menyenangi rusa, kedua matamu
akan tercoreng noda
Akupun menyenanginya, tapi apa daya
tidak ada jalan bagiku untuk menggapainya
Sejak ia berpaling dan pelan-pelan
berkurang
Sejak ia menghilang di dalam khayalan
Aku jadi tergila-gila dengan malamku
Oh, malam
malamku, kemarilah !
(10)
Majnun berkata :
“Jadi tidak diragukan lagi bahwa aku adalah Tokoh Angkatan Abad XX dalam menghafal puisi.
Dan dengan demikian jelaslah bahwa menghafal puisi tidak seperti menghafal
diktat sebagaimana yang dilakukan si sinting ini tapi hingga kini dia belum
hafal juga.”
Kami bertanya : “Jadi puisi itu bukan
pujian !”
Majnun tertawa lalu menjawab :
“Ketahuilah bahwa aku membacakan puisi erotic, Yang ini adalah ballada.”
Dunia ini diselimuti upaya
dan angan-angan
Sedangkan
engakau wahai Nuhhas Basya, menutupinya de-ngan perjuangan
Mereka menyangka
kehidupan ini kebanggaan dan kesena-ngan
Tetapi engkau wahai
Musthofa memperhitungkannya untuk Allah dan kemanusiaan
Kemudian ia bergeser sedikit dari
tempat duduknya dan diam seribu kata tetapi si sinting mengingatkan : “Ballada
itu seharusnya terdiri dari 6 baris. Jadi
anda sudah melupakan dua baris lagi. Tapi kali ini aku tidak mau
meningatkan kelupaan anda.”
Majnun menjawab : “Rupanya waktu sholat
telah tiba. Aku permisi, mau sholat.”
Sambil memandang
ke langit-langit, kemudian ia berkata :
“Baris yang terakhir adalah :
Tidak akan menyenangi
ballada melainkan ahli fikir
atau tokoh atau orang
yang sedang dimabuk rindu
atau metropolitan.
Kemudian ia menyuruh Amien Syarif agar
menuliskan ballada tersebut, dan ia mendektekannya. Lalu ia minta agar Amien
Syarif membacakannya. Setelah Amien selesai mem-baca, ia berkata : “Bagus...!
Lihat ke atas !”
Amien melihat ke atas.
“Lihat ke bawah !” katanya.
Amien melihat ke bawah. Lalu apa lagi
? tanya Amien.
Majnun menjawab,
“Lalu, banyak orang melihat, adakala-nya
ke atas, adakalanya ke bawah.”
(11)
Rasa putus asa telah menguasai diriku.
Maka kuminta Amien mau menetap bersama mereka. Sebelum keluar aku minta izin
kepada Tokoh Angkatan Abad XX untuk dapat ber-bicara empat mata dengan Amien.
Tetapi Amien Syarif melarangku keluar
hingga kami me-nerima pengakuan langsung
dari pemuda majnun ini. Rupanya ia ingin membicarakan Ar Rafi’ie
kepadaku, maka ia minta ke-padaku untuk
menunggu. Tidak lama kemudian ia berkata : “Aku heran, bagaimana Ar
Rafi’ie bisa berbuat jahat sejauh itu. Aku adalah
sekertarisnya ditugaskan untuk mengetik setiap naskah yang akan
dikirimkannya ke majalah Ar Risalah, dan yang me-ngedit serta mengoreksi naskah-naskahnya itu, sedangkan dia hanya
tinggal membubuhi tanda tangan saja. Tetapi honora-rium dan pembayaran untuk setiap naskah yang dia terima hanya
disisihkan dua ribu rupiah untukku.”
Amien Syarif bertanya : “Mengapa anda
tidak mengirim lagi naskah-naskah tersebut ke majalah Al Ikhwan agar anda
sendiri menerima honorarium yang banyak ?”
Majnun menjawab : “Itu sangat rahasia.
Hanya aku yang menyembunyikan dan
menutupinya karena Ar Rafi’ie tidak me-nghendaki kalau rahasia tersebut sampai
bocor diketahui orang selain aku.”
Amien Syarif berkata : “Biarkan
masalah Ar Rafi’i karena sudah berlalu.
Sekarang aku menginginkan agar anda menulis-kan naskah-naskah tersebut untukku
dengan imbalan dua puluh ribu per naskah, bukan dua ribu. Setuju ?”
Majnun menjawab : “Sayang, aku tidak
bisa menulisnya untuk selain Ar Rafi’ie, sebab ide-ide tokoh ini tidak boleh dimin-ta
kecuali oleh gurunya sendiri. Apabila ada orang lain yang memintanya, maka hal itu akan merendahkan harga
diri Tokoh Angkatan Abad XX yang berarti aku ini bisa dibeli dengan harga
murah. Ini baru sebagian rahasia. Masih banyak rahasia-rahasia yang lain.”
(12)
Pada sore harinya, dua orang gila itu,
Majnun dan si sinting datang ke sebuah bar.
(13)
Di dalam bar kami bertiga ; aku, Amien
Syarif dan As Si-ba’i. Kami bersepakat untuk
menyusun siasat agar dapat mem-pengaruhi mereka dan merekam apa yang
mereka lontarkan.
Mereka datang. Kami bertiga berdiri
menyambut kedatangan mereka, lalu berjabatan tangan dan mempersilahkan mereka
duduk bersama kami. Tetapi sikap ramah kami mem-beri kesan bagi mereka bahwa di
dalam kata “majnun” tersimpan makna raja atau penguasa.
Kutatap wajah Tokoh Angkatan Abad XX.
Kedua bola matanya yang jeli yang sulit
diungkapkan dengan kata-kata dan tidak mungkin ia dapat menerjemahkan
pandanganku kepada-nya kecuali hanya perasaan bangga bahwa parasnya yang
tam-pan mirip kecantikan seorang wanita
mendapat perhatian penuh dariku. Maka ia mengulum senyumnya, memperelok diri
dan berlagak gemulai seperti seorang gadis manis yang manja.
Di saat ia sedang mabuk kepayang
ibarat seorang gadis cantik-molek yang mabuk
karena banyaknya mata pemuda yang memperhatikan dirinya, maka ia menoleh
ke kiri dan ke kanan mengitari tempat itu, lalu berkata, “Ssssst ! Mengapa
kalian betah di dalam bar yang bising, penuh dengan pemandangan tidak sedap
ini. Lihat itu, mereka tak ubahnya seperti gelanda-ngan, seperti kere dan bajingan tengik. Itu, yang duduk di sana,
yang berdiri di sana, yang berjongkok.... oh, di sana ada yang berduaan, ada yang
bergerombol seperti serangga ada pula yang..... ah, apa-apaan ini semua.
Sungguh ini merupakan khayal nyata di dalam kepalaku. Ih, ada suara sumbang,
ada bunyi ngak ngik nguk, dan bunyi billiard yang gaduh. Dengar-kan lagi, itu
suara gemuruh yang mengepung kita, ini bunyi
terengah-engah yang menyesakkan dada. sungguh tempat ini adalah khayal
nyata di dalam kepalaku.
Si sinting
tersentak lalu melibatkan variasi khayalnya. Ke-mudian dia memandangi kami satu
persatu dengan pandangan
yang tajam menusuk. Nampaknya ia bimbang dan kelihatan gelisah. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke arah pintu sam-bil
berjongkok. Tiba-tiba dia mengerahkan seluruh tenaganya berdiri sambil
meloncat. Melihat teman-temannya yang lain ti-dak beranjak dari tempat duduknya
masing-masing, dia terta-wa terbahak-bahak
dan bergumam : “Aku khawatir kalau anak-anak kecil itu datang lagi
kesini dan menlontarkan kata-kata “gila” kepada kalian.”
Majnun berkata :
“Apa yang anda bicarakan itu, monyet !
Mendengung seperti suara lalat.”
Si sinting
menjawab : “Yang masih kuingat adalah ; “bah-wa tanda-tanda orang tolol, yaitu
apabila berbicara kaku, kalau menangis keras, jika tertawa lantang seperti yang ba-ru saja anda lakukan.”
Muka Angkatan
Abad XX berubah menjadi merah padam,
dan memandang si sinting dengan pandangan penuh keben-cian. Kemudian ia maju hendak menerkamnya sambil berkata :
“Mengapa anda memaksaku untuk menjawab ocehan-ocehan-mu
dengan kesintingan. Kini anda tidak bisa menghindar dari kepalan
tanganku.”
Amien Syarif
segera menangkap tangan majnun, sedang-kan
As Siba’i merangkul tubuhnya dari belakang sambil ber-kata : “Anda yang pertama kali bikin gara-gara. Orang yang
memulai lebih dahulu dialah yang paling bersalah.”
Majnun menjawab : “Tetapi, mengapa dia
berbicara dan bergumam seperti itu. Apa maunya. Apakah tidak ada kata-kata
selain itu. Apakah Tokoh Angkatan Abad XX ini orang tolol ? Demi Allah, aku
telah dapat membaca apa yang terlukis dari pandangan matanya, dan isinya tidak
lain kecuali bahwa “aku adalah paling tololnya abad XX.”
(14)
Aku menyela : “Jika hal itu yang
membuat anda marah, maka dikatakan di dalam hadits, “Tidak seorangpun
melain-kan terdapat ketololan dalam dirinya, dan ia hidup dalam kegilaan. Kehidupan ini sendiri adalah kegilaan yang terorga-nisir secara rasional.
Apa yang diperoleh manusia dari kese-nangan hidup ini tidak lain adalah
perolehan atas sesuatu dari ketololannya. Sesuatu yang paling menyenangkan dari
kele-zatan itu adalah sesuatu yang tidak masuk akal atau sesuatu yang keluar dari undang-undangnya. Kalau tidak karena
keto-lolan di dalam tabiat manusia, tentu saja ia tidak akan mampu
menanggung beban hidup ini. Bukankah manusia menerima beban hidup dari Tuhannya
atas dasar ketololnnya ? Bukan-kah anda sendiri telah menghayalkan bahwa anda
lebih ba-nyak menghilang dari dunia ini dan
sedikit sekali kehadiran anda di dalamnya ? Dan kesadaran anda terhadap
suatu hakikat ti-dak lain hanyalah mimpi-mimpi atau serupa angan-angan be-laka seolah- olah anda diciptakan di suatu
planet lalu meluncur ke planet kita ini. Maka tidak ada sesuatu di dalam
diri anda untuk bumi dan tidak sesuatupun di bumi ini yang diperuntuk-kan diri
anda kecuali sedikit yang sesuai, sedangkan kebanya-kan dari anda saling berlawanan, berbenturan dan saling
tarik-menarik ?”
“Betul”, jawabnya.
Aku melanjutkan : “Nah, yang sedikit
itulah ketololan di mana anda hidup di dalamya.Itulah tanah dunia yang merayap
dalam diri anda, sedangkan surga langit amat jauh dan tidak menjadi beban bumi. Oleh karenanya ahli hakikat hidup seperti
kehidupan orang-orang gila dalam pandangan orang-orang yang terpedaya oleh kehidupan fana ini, atau menurut
penilaian orang-orang yang terpesona oleh kenyataan-kenyataan lahi-riah yang palsu, dimana mereka melakukan
perbuatan-perbua-tan tinggi yang
berujung pada ketololan, memantul, memancar, dan terpengaruh oleh
ketololan itu. Barangkali inilah yang di-maksud
hadits “Kebanyakan penghuni surga adalah orang-orang tolol.”
Si sinting
menyahut : “Ya, betul hadits itu, seperti apa yang kuingat.”
Tetapi majnun
segera berkata : “Yang bernasib sial itu adalah anda. Apakah anda tidak merasa
bahwa anda adalah orang tololnya Bimaristan bukan orang tololnya surga?”
Aku berkata :
“Dan mati itu pasti menjumpai seluruh manu-sia. Semua harta dunia yang mereka
peroleh akan ditinggalkan-nya. Baik yang beruntung mendapatkan harta dunia
maupun yang tidak mendapatkan pasti akan dipertemukan juga. Maka siapa yang
merasa gembira dengan perolehan sesuatu
yang ti-dak kekal itu, tentulah kegembiraannya karena ketololan dirinya. Dan
siapa yang merasa sedih karena tidak mendapatkan se-suatu yang tidak kekal itu,
berarti kesedihannya timbul karena ketololan pula. Mencintai sesuatu yang akan
hilang adalah keto-lolan yang mengalir di seluruh pancainderanya dan membasahi
dirinya, lalu memenuhi jiwanya hingga ketololan itu membanjiri waktu, kemudian
melingkari masa hingga penuh dengan asyik ma’syuk yang meracuni dengan
kesenangan-kesenangan yang dapat mengecilkan sesuatu atau membesarkannya. Maka
ke-nyataan di dalam dirinya adalah bukan kenyataan dunianya. Orang yang
diliputi asyik ma’syuk menganggap kekasihnya se-perti bulan. Andaikata bulan
itu mendengar, mengerti atau bisa menjawab kira-kira ia akan mengatakan ; orang
yang menyama-kan kekasih dengan dirinya, benar-benar tolol.”
(15)
Setelah manahan
marahnya majnun menjawab: “Anda betul, karena itulah aku tidak menyamakan
kekasihku dengan bulan.”
Aku bertanya :
“Dengan apakah anda menyamakan keka-sih anda itu ?”
“Aku tidak mau
mengatakan sebelum aku tahu dengan apa anda menyamakan kekasih anda,” jawabnya.
“Akupun tidak
menyamakan kekasihku dengan bulan,” ja-wabku.
Maka ia balik
bertanya : “Lantas dengan apakah anda me-nyamakan kekasih anda itu ?”
“Aku belum tahu
dengan apa anda menyamakan kekasih anda,” balasku.
“Itu rahasia,
tidak boleh anda tahu sebab anda guru Tokoh Angkatan Abad XX, sedangkan kekasih
anda cukup banyak se-banyak jumlah buku-buku anda. Kekasih anda benar-benar
me-ngagumkan diriku. Di antaranya, itu yang berada di Daun-daun Mawar, yang nampaknya paling anda cintai. Rupanya anda
telah jatuh cinta kepadanya sejak bulan Mei, tahun..... dari tahun...”
Si sinting menyambung:
“Dari tahun 1935. Aku hanya me-ngingatkan, lha!”
Majnun membentak:
“Goblok! Sebenarnya Daun-daun Mawar itu muncul beberapa tahun belakangan ini
saja. Anda be-nar-benar orang tololnya Bimaristan bukan tololnya Daun daun
Mawar..... eee, apa yang kukatakan tadi ?”
Amien Syarif berkata:
“Tadi anda mengatakan, anda tidak boleh tahu karena kekasih anda banyak
sekali.”
“Oh ya, sebab
kalau anda menyamakan salah satu dari kekasih anda itu dengan bulan, maka bulan
akan habis, dan ha-bis pulalah penyerupaan dengannya hingga kekasih-kekasih
an-da lainnya tidak kebagian bulan. Lagi pula, kata “bulan” tidak menarik bagiku. Warnanya kekuning-kuningan,
kadang-kadang
muram temaram. Jika anda menyenangi orang Negro, maka
bo-lehlah kekasih anda di samaka dengan bulan. Tetapi kalau orang kulit putih
yang anda samakan dengan bulan, itu namanya mati selera.”
As-Siba’i
menyambung : “Apakah di dalam kata-kata itu terdapat warna ?”
Ia menjawab :
“Jika anda seorang Tokoh pasti anda meli-hat dalam diri anda ada pelangi dari
surga. Bukankah guru kami tadi telah menerangkan, bahwa Tokoh Angkatan Abad XX
turun dari planet ke planet yang lain ? Dan di planet kami yang perta-ma, kami
memiliki pendengaran yang berwarna dan perasaan yang berwarna. Jadi kami
mendengar tabuhan genderang itu bi-ru, dan tiupan terompet itu merah, dan nada
lagu-lagu merdu itu hijau. Dan seluruh wujud ini adalah lukisan-lukisan
berwarna, baik yang nampak maupun yang dirasakan, yang abstrak mau-pun yang
diungkapkan.”
Kemudian ia
menunjuk kepada si sinting sambil berkata: “Nama dari orang tololnya Bimaristan
ini seperti kata “tinta”, yang
menurut pendengaranku warnanya hanya hitam.”
Kemudian ia diam.
Dan kami pun berdiam diri. Namun As- Siba’i tiba-tiba bertanya kepadanya :
“Mengapa anda tidak ber-bicara lagi ?”
“Karena aku ingin
diam,” jawabnya singkat.
“Dan mengapa anda
ingin diam?” tanya As-Siba’i lagi
“Sebab aku tidak
ingin bicara,” katanya.
Kemudian
tergeraklah dalam dirinya keinginan untuk ma-rah kepada si sinting. Sambil
melihat ke langit-langit ia berkata : “Jika kaum wanita sudah memakai jenggot,
barulah orang tolol ini akan menjadi orang berakal.”
Sedangkan si
sinting menggertakkan kakinya beberapa kali hingga Tokoh Angkatan Abad XX
terhentak karenanya, dan berkata: “Eee, siapa pula berani menghinaku?”
As-Siba’i menjawab:
“Tidak ada orang yang berani meng-hina anda. Bunyi tadi hanyalah suara derap
kaki.”
Tetapi ia membantah:
“Tidak! Monyet dungu itulah yang berani menghinaku. Pendengaranku selama ini
tidak pernah me-laporkan sesuatu yang keliru, dan aku termasuk orang evil minded (buruk sangka) terhadap
siapapun, sebab tanda-tanda seorang intelek yang bijak adalah bersikap skeptis
terhadap se-gala hal dan berprasangka buruk kepada setiap orang. Katakan-lah
bahwa dia hanya menggertakan kakinya ke lantai, atau ang-gaplah itu hanya suara
derap kaki saja, tetapi dia toh punya maksud tertentu dan aku mendengar
maksudnya itu. Ada sema-cam peerasaan tidak enak dalam hatiku, maka aku harus
mene-lanjangi dan menyembelihnya walaupun hanya dengan pedang kata-kata
sindiran. Ketahuilah bahwa aku, kalau melontarkan ka-ta-kataku, kalian lihat
sendiri darah akan menyembur kepada-nya. Dan aku akan memaksanya seperti aku
menyeret kambing lalu aku akan menyembelihnya.”
Kemudian ia
mencabut pulpen dari tangan As-Siba’i sam-bil
berkata : “Nah, ini dia pedangku ! Kuharap guruku berke-nan menyebelihnya walaupun hanya satu kalimat yang meng-ungkapkan
kegilaanya. Hilanglah sudah perasaanku. Hentakan-hentakan kaki ke lantai
membuat kelinci-kelinci berlompatan lari ketakutan lalu masuk ke dalam
lobangnya dan bersembunyi. Se-benarnya jeritan perasaanku itu tidak lain
adalah kelinci-ke-linci.”
Ia melanjutkan kata-katanya: “Kalian
tahu, bahwa orang bijak yang bonafide seperti aku ini perasaannya peka dan
halus. Tetapi kalau orang dungu bin tolol seperti dia perasa-annya kasar, kaku
dan bermuka tebal. Aku merasakan dingin-nya udara karena seperti kalian
ketahui, aku sudah pernah pergi ke Kutub utara. Tetapi si sinting ini kalau
sudah merasa kedinginan maka dia pergi ke kandangnya dan masuk ke da-lam
sangkarnya. Jelaslah, karena dia tidak mengerti sama se-kali tentang geografi dan tidak tahu bahwa bumi menghampar.”
Aku berkata: “Itu
lebih indah dari anekdot Abil Harits.”
“Apakah Abil Harits seorang tokoh,”
tanyanya.
Aku menjawab: “Dia duduk makan siang
bersama Ha-run Al Rasyid dan Isa bin Jakfar. Di atas meja ada tiga porsi roti
kismis. Lalu dia segera melahap bagiannya mendahului mereka. Harun Al Rasyid
yang terkenal sebagai raja yang agung dan bijak tentu saja ia tidak makan
rotinya seperti orang lapar. Tetapi beliau hanya merobeknya sedikit demi
se-dikit dan masih tersisa separuh. Tiba-tiba Abil Harits berteriak keras,
“oiii, kudaku !” Harun Al Rasyid pun terkejut dan mera-sa heran, lalu bertanya : “Ada apa denganmu Abil Harits ?” Abil
Harits menjawab : “Aku ingin menunggang roti yang ada di ta-ngan tuan raja.”
Majnun berkata : “Tetapi lain halnya
antara Abil Harits dengan Angkatan Abad XX . Yang lebih mengherankan, keti-ka
aku melihat seorang laki-laki yang sedang makan, namun aku yang merasakan
kenyangnya seolah-olah dia makan de-ngan perutku, tidak mempergunakan perutnya
sendiri. Aneh-nya lagi, kalau perutku sendiri yang lapar, tidak demikian
hal-nya. Oow, lain aku lain pula si sinting ini. Mungkin dia pernah melihat
seekor keledai membawa muatan di atas punggung-nya, maka seolah-olah beban itu
berada di atas punggungnya, maka seolah-olah beban itu berada di atas punggung
dia bu-kan punggung keledai.”
Si sinting : “Yang masih tetap kuingat
adalah ; bahwa keledai milik orang Badui telah dicuri. Ada orang yang berta-nya
kepadanya, “Betulkah keledaimu dicuri orang ?” Jawab-nya, “Ya, tetapi
Alhamdulillah !” Orang itu bertanya lagi : “Me-ngapa kamu mengucapkan Alhamdulillah
?” Dijawab : “Sebab ketika keledai itu
diambil, aku tidak di sana. Dan keledai itu mem-bawa beban berat di atas
punggungnya. Maka aku bersyukur kepada Allah sebab beban itu tudak memberati
punggungku.”
Sambil
menghentakkan kakinya ke lantai dia berkata :
“Ini tentu lain
dengan apa yang ia ceritakan.”
Maka Tokoh Angatan Abad XX merasa
dongkol hatinya dan berkata : “Bukankah kalian sudah mendengar lansung
ce-moohannya terhadap diriku ? Aku dikatakan gila. Bahkan lebih keras lagi dia berkata bahwa aku adalah keledai di
atas beban.”
Aku menyela :
“Anda harus bisa menahan diri. Dia tidak
bermaksud untuk menghina anda, dan tidak merasa dihina oleh anda. Di antara
pribadi tokoh yaitu hendaklah mereka merasakan penderitaan binatang. Setelah
merasakan pende-ritaannya meka timbullah
kasih sayang. Jika kasih sayang tum-buh, maka bayangan beban itu menjadi
beban pula di atas ha-ti mereka yang halus,
bahkan mereka kadang-kadang mau ber-buat lebih dari itu. Jahizh bercerita dari
Tsamamah katanya : “Seorang tokoh datang kepada kami pada waktu fajar
dengan berjalan kaki. Begitulah tokoh itu selalu berjalan kaki ke mana saja dia
pergi sambil menuntun binatang kendaraannya, me-nembus panas dan dingin. Bila
waktu sore telah tiba dia me-ngambil air wudlu’ sambil berdo’a, “Ya Allah
jadikanlah pen-deritaan ini sebagai kesenangan bagi kami dan sebagai jalan keluar yang menyenangkan.” Demikianlah, hingga
ajalnya tiba, mengembara dan terus mengembara.”
Si sinting berkata, “Yang masih
kuingat adalah kata-ka-ta mutiara ini, “Buah
dunia ialah kegembiraan, tetapi tidak ada
kegembiraan bagi orang-orang pandai.” Andai kata tokoh yang sudah almarhum
itu bukan orang pandai, tentu dia tidak setolol itu. Dia rela
mengorbankan kegembiraannya di dunia sedemikian rupa hingga ajalnya tiba.
Semoga Allah melimpah-kan rahmat kepadanya.”
As-Siba’i berkata : “Maafkan teman
anda ini, dan jangan disembelih dengan sindiran.”
Majnun menjawab :
“Terimakasih, anda telah mengingat-kan
kelupaanku. Tetapi si sinting ini menilai kelupaanku ada-lah suatu kegilaan,
karena dia memandang suatu hakikat se-bagai
pikiran tidak sehat. Tokoh yang manakah lebih besar dari seorang filosof
yang ingin memastikan berapa lamanya mere-bus telur ? Di tangan kirinya ia
memegang jam dan di tangan kanannya ia memegang telur. Kemudian ia lupa -
kelupaan seorang filosof - lalu melemparkan jamnya ke dalam periuk di atas api,
sedangkan matanya melihat kepada telur yang ada di tangan kanannya. Naah,
seandainya si sinting ini melihat
perbuatan
filolosof tersebut, pasti dia akan mengatakan ia su-dah gila seperti dia
menilai diriku. Memang, orang-orang gila memandang
kreativitas dan aktivitas para ahli pikir sebagai ulah kegilaan.
Untunglah aku tidak termasuk di dalam tiga kata sin-dirannya ; ‘majnun, sinting dan
gila.’ Maka barang siapa mau berteman
denganku, biar dia sendirilah yang menyingkirkan ke-tiga kata-kata sindiran itu
sebagaimana dia menyingkirkan kata-kata ; ‘kafir, murtad dan musyrik.’
Amien Syarif yang menjawab :
“Andaikata di atas pentas anda disebut “tolol”
misalnya, bagaimana sikap anda ?”
Majnun
menggaruk-garuk kepalanya lalu menjawab: “Itu di luar kemampuanku.”
Aku menyambung :
“Menurut anda, jika sebagian kata-ka-ta dipotong maka dengan sendirinya
hakikatnya akan berubah. Demikian juga seandainya tanduk yang dipotong, maka
sapi be-rubah menjadi kuda, bukan ?”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi ?” tanya
majnun.
Kujawab :
“Begini, seorang Badui pergi bersama teman-temannya untuk membeli seekor kuda.
Ternyata ia membawa pulang seekor sapi. Orang bertanya kepadanya : “ini apa ?”
Dijawab : “Kuda”. Orang itu bertanya lagi : “Bukankah ini sapi ? Lihatlah
tanduknya !” Maka ia bergegas pulang ke rumahnya dan segera memotong tanduk
sapi itu, kemudian ia kembali kepada orang yang bertanya dan ia berkata :
“Inilah kuda yang kalian inginkan.”
Tokoh Angkatan
Abad XX menyambung : “Tidak usah ter-lalu jauh mengambil misal. Anda tentu
sudah tahu bagaimana kalau kami menyembelih kambing, kemudian kami membuang
tanduknya dan kami jadikan ia sebagai anjing hitam. Karena ku-samakan dengan anjing,
maka kuharamkan dagingnya dan se-dikitpun aku pantang memakan daging itu.
Tetapi, dengan si sin-ting ini, karena
dia tidak tahu bahwa bumi terhampar, maka dia tak ubahnya seperti kambing yang
anda kira tanduknya hanya untuk berkelahi atau beradu atau sebagai pegangan
bila ia akan disembelih. Tolong wahai guruku, jelaskan hal ini kepada dia !”
Aku berkata
kepada si sinting : “Maukah anda jika kusam-paikan suatu pengertian yang di
dalamnya tidak menyinggung diri anda ?”
“Ya,” jawabnya
singkat.
Maka aku menulis
beberapa baris seperti yang di kehen-daki oleh Tokoh Angkatan Abad XX :
Katakanlah kepada kambing-kambing yang saling berteng-kar
mengadu tanduknya
Apakah gerangan yang membawa dirinya tercampak di ta-ngan
tukang jagal
Adalah kebiasaanku memindahkannya tetapi akal itik yang
mengulitinya
Ia
tidak tahu bahwa bumi ini terhampar, bahkan meman-dang matahari sebagai batu
melingkar
Dan
melihat malam menghapus siang secara paksa ma-ka panjanglah jenggotnya
Tokoh Angkatan Abad XX nampaknya
senang dan sa-ngat gembira, lalu ia berkata : “Panjang jenggotnya ! panjang
jenggotnya !”
Tetapi kegembiraaan itu kecil artinya
bagi Tokoh Angka-tan Abad XX. Yang besar
adalah, ketika pak pos pembawa su-rat masuk ke dalam bar dan memberikan sepucuk
surat yang beralamatkan “Kepada Yang Terhormat Tokoh Angkatan Abad XX,
di Bar.”
Karena pak pos memanggil-manggil nama
si alamat de-ngan teriakan keras dan berulangkali, maka semua yang ada di bar
menoleh kepadanya dan menyaksikan ketika ia meneri-ma surat tersebut. Perasaan
gembira terlukis jelas di wajah-nya, seolah-olah ia seorang raja yang
memperoleh surat ke-putusan dari penjajah, hari itu negerinya dimerdekakan. Ke-mudian ia membolak-balik surat itu tetapi ia tidak
segera mero-bek sampulnya. Sedangkan kami tidak sabar menunggu ingin
mengetahui isinya.
Si sinting melirik kepadanya lalu
berkata : “Misterius, sobat ! Mengapa
anda bergembira padahal surat itu dikemba-likan
kepada anda sebagai pengirimnya karena anda tidak me-masukkan ke dalam
kotak pos !”
(16)
Tokoh Angkatan Abad XX menjadi sesak
nafas oleh ke-tololan si sinting, lalu ia memandang kepada dia dengan
pan-dangan akal kancilnya. Setelah memutar otak pintarnya dan pikiran gilanya
maka kesimpulannya adalah, menyingkapkan kegilaan dia. Oleh karena itu ia
selalu marah-marah dan men-cemooh serta mecela pemikiran-pemikiran dia dan
berupaya untuk dapat mengusir dia dari majlis ini. Diambilnya surat itu dan
diserahkan kepada dia sambil berkata : “Tolong masuk-kan surat ini ke kotak
pos, maka pak pos segera akan datang lagi kemari membawa surat ini. Kemudian,
anda akan kumin-tai tolong lagi memasukkan surat ini ke kotak pos. Dan tak
la-ma kemudian pak pos pun datang lagi membawanya kemari. Pokoknya, setiap kali anda memasukkan surat ini,
pak pos pun pasti datang kembali membawanya.”
Kami tertawa. Orang-orang di bar pun
ikut tertawa. Lalu As-Siba’i berkata : “Berapa kali dia harus pergi dan berapa
ka-li pula pak pos akan datang kemari ?”
Tokoh Angkatan Abad XX mengedipkan
matanya mem-beri isyarat kepada As-Siba’i supaya diam. Kemudian ia
ber-bisik-bisik dengan As-Siba’i, lalu berkata : “Berapa kali anda menginginkan pak pos memanggil nama Tokoh Angkatan Abad
XX ?”
Si sinting
menjawab : “Itu ide yang baik. Aku akan menu-nggu hingga aku tahu berapa kali
aku akan disuruh pergi ke kan-tor pos. Sebab, pak pos datang kemari dengan
kendaraan se-dangkan aku harus pergi ke
sana dengan berjalan kaki. Pada-hal, kakiku kaki manusia, bukan kaki kuda.”
Aku heran juga :
“Jarang kudapati kegilaan dari orang gila itu bisa memberikan argumentasi yang
cukup rasional. Sedang-kan seorang tokoh akan muncul menjadi termasyhur dan
popu-ler setelah ia bisa melangkahi beberapa tokoh sebelumnya, dan memiliki
faktor-faktor penyebab kemasyhuran dirinya. Yang sulit adalah bagaimana bergaul
dengan seorang tokoh seperti Tokoh Angkatan Abad XX yang lengkap dan komplit
ini. Padahal aku tahu untuk sampai ke sana tidak cukup dengan disiplin ilmu
yang diperoleh dari sebuah perguruan tinggi tanpa diikuti dengan pe-ngalaman
yang luas dan otodidak. Kulihat kecakapan yang ter-dapat dalam diri Tokoh
Angkatan Abad XX ini, hakikatnya hanya penyesuaian indikasi pribadinya dan
identifikasi terhadap diri to-koh baik secara partial atau prefensial. Maka
setelah ada penye-suaian dan kecenderungan itu, timbullah penokohan atas
diri-nya, dan muncullah popularitasnya sebagai pribadi tokoh kontro-versial
yang di tokohkan.
Majnun berkata :
“Nah, ini dia As-Siba’i jebolan Universitas Darul Ulum, fakultas Sasdaya,
jurusan Logika dan Retorika, Dia-lektika dan Gramatika tentu dia tahu bahwa
setiap surat yang berperangko yang dimasukkan ke dalam kotak pos akan sampai
kepada si alamat. Dan As-Siba’i telah melihat dengan mata ke-palanya sendiri
bahwa ada empat perangko yang ditempelkan pada amplop surat yang beralamatkan
“Tokoh Angkatan Abad XX”, tetapi dia tidak menyangka kalau hal itu mengandung
arti bahwa tugas surat ini harus empat kali datang menemui aku.”
Si sinting nampak
sedih dan kelihatan gelisah. Kemudian dia menepuk tangannya sambil berkata :
“Yang kuingat dari se-buah hadits adalah ; “Allah
akan menilai manusia menurut kadar kecerdasannya.” Maka anda jangan
menyalahkan As-Si-ba’i, sebab mata kuliah yang diterimanya di Darul Ulum itu
ada dua kredit, tiga sistem dan empat semester. Jadi, di perguruan tinggi itu
dia tidak mempelajari tentang empat perangko.”
Selanjutnya dia
menoleh kepada As-Siba’i sambil berkata : “Bukan anda yang kumaksud. Aku adalah
teman akrabnya, anak buah ilmunya, murid seni budayanya, kepercayaan kariernya
dan penyambung lidah profesinya. Sungguh falsafah ini baru se-karang kudapatkan
dari padanya.”
Amien Syarif
berkata : “Kalau begitu, ada satu pertanyaan lagi yang muncul, mengapa surat
itu tidak dibubuhi sepuluh pe-rangko supaya pak pos datang sepuluh kali kemari
?”
Tokoh Angkatan
Abad XX yang menjawab : “Ini lagi !, An-da tahu, bahwa lilin yang ada di tangan
seorang pekerja hanya untuk penerangan saja, tetapi kalau ada di tangan orang
gila ma-ka selain untuk menerangi dirinya juga untuk membakar jari-jari-nya.
Jam berapa sekarang ?”
Kami menjawab :
“Jam sembilan.”
“Kapan pengunjung
bar ini akan bubar,” katanya.
“Jam dua belas
tepat,” jawab kami serempak.
Lalu majnun
menjelaskan : “Apabila pak pos datang setiap satu jam satu kali maka
kedatangannya kemari persis tinggal empat kali, dan pengunjung bar ini sudah
pergi, Tetapi mereka sudah kenal siapa Tokoh Angkatan Abad XX, kemudian
berganti dengan pengunjung yang lain. Maka mereka juga akan kenal ke-pada Tokoh
Angkatan Abad XX. Demikian selama empat jam si-lih berganti, dan sesudah itu
pak pos tidak akan menjumpai se-orang pun di sini. Maka kedatangannya yang
terakhir sudah ti-dak berguna lagi.”
Si sinting
bertepuk tangan lagi dan berkata : “Nah, ini su-dah mengarah kepada pemikiran
yang valid, sistematis, dan ber-dasarkan prinsip geografis. Aku masih ingat
sebuah hadits yang mengatakan, “Tidak ada harta yang lebih bermafaat dari
pa-da akal.” Maka empat perangko untuk empat kali dalam tempo empat jam,
dan selebihnya adalah pemborosan alias mubadzir. Sekali lagi aku ingatkan,
tidak ada harta yang lebih bermanfaat dari pada
akal.”
Mendengar ucapan
temannya itu majnun berkata : “Wa-laupun anda memiliki banyak
kelemahan-kelemahan namun ma-sih ada pemikiran rasional anda yang tersisa.”
Kemudian ia
mengambil surat itu dari tangan si sinting dan dimasukkan ke dalam sakunya
sendiri. Kami bertanya : “Menga-pa anda tidak menobek surat itu agar kami
mengetahui isinya ?”
Majnun tertawa
dan menjawab : “Karena aku telah me-ngungkapkan masalah-masalah humor dan
anekdot kepada ka-lian, serta menyingkapkan kegilaan dan ketololan orang
sinting ini. Apakah kalian kira persoalan ini hanya main-main semata ? Apakah
kalian kira surat ini hanya bertuliskan alamat tanpa isi ? Tokoh Angkatan Abad
XX itulah yang mengirimnya untuk Tokoh Angkatan Abad XX sendiri, seperti kata
Sa’ad Basya, “George V menyerahkan kepada George V.” Demi Allah, sebenarnya
akal besar yang tidak suka masalah-masalah kecil itulah yang ka-dang-kadang
mendatangkan masalah-masalah kecil agar nam-pak bahwa itu adalah akal besar.
Demikian pula kenyataan ini di-tundukkan oleh akal paling besar dari Tokoh
Angkatan Abad XX.”
Si sinting
mencak-mencak dan bermaksud untuk menge-luarkan kata-kata jawaban namun segera
distop oleh Tokoh Angkatan Abad XX : “Anda mau berdusta !”
Kami heran dan
bertanya kepadanya : “Bagaimana anda tahu bahwa dia akan berdusta atau jujur
sedangkan dia belum mengatakan sesuatu ?”
Ia menjawab :
“Pendapat yang akan dia lontarkan keliru.”
Kami mendesak :
“Bukankah dia masih belum mengeluar-kan pendapat ?”
Ia menjawab :
“Dia tidak mengerti hakikat yang hendak di-bicarakan.”
Kami agak dongkol kepadanya : “Pyaaah
! Apakah anda dapat masuk ke dalam
kepalanya, ataukah anda mengetahui alam ghaib ?”
Ia menjawab : “Bukan begini dan bukan
begitu. Tetapi menurut sylogisme, maka fallacynya sudah dapat kuterka, bahwa
dia akan mengeluarkan putusan “aku ini majnun”.
Si sinting menjulurkan lidahnya
keluar. Tiba-tiba Tokoh Angkatan Abad XX menoleh kepadanya seraya berkata :
“Ku-rang ajar ! Aku telah melihat kata-kata pada lidah anda se-olah-olah
tertulis dengan huruf cetak, “bangsat” Apakah an-da tahu bahwa anda memiliki otak
tumpul yang terbakar hing-ga pikiran-pikiran anda berjatuhan sebelum anda
keluarkan ? Kalau tidak terbakar tentu tidak akan tumpul, dan niscaya an-da
sudah hafal teks-teks buku itu. Bahwa semua kesalahan-kesalahanku disebabkan
dari anda, karena aku mengakui ke-salahan-kesalahan anda adalah kebenaran.”
Si sinting memandang kepadanya. Pada
kedua alisnya yang lebat panjang dan dipintal seperti kumis, terjemahannya
dapat dibaca. Kemudian Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Pandangannya saja
buruk, rasanya asin dan pahit seperti air laut. Memang sudah asin masih di
tambah lagi dengan garam. Aku mau muntah karena muak dengan pandangan seperti
itu. Baru kali ini aku mengerti kata-kata “Terdapat
garam pada ma-ta orang yang dengki,” sedangkan garam tidak
bisa dikalah-kan kecuali dengan garam
juga, seperti besi bisa dibengkok-kan hanya dengan besi pula. Coba sodorkan
semangkok kho-mer yang keras dan biarkan si sinting ini menatapnya dengan pandangan
seperti itu. Maka khomer itu dengan sendirinya akan berubah menjadi garam
Inggris. Orang sinting ini ber-darah berat, berwatak antipatic karena darahnya
diambil dari rawa-rawa. Manusia semacam dia tidak akan pernah berkata “ini
untukku” terhadap sesuatu di dunia kecuali kemiskinan, ke-gilaan, dan
kebohongan. Maka tidak heran kalau dia
mendus-takan isi surat yang dikirim melalui pos kilat dengan alamat Tokoh
Angkatan Abad XX, sebab dia tidak tahu kalau pengi-rimnya adalah teman sendiri, seorang penguasa tertinggi. Orang
hilang akal ini sama seperti seorang pengecut yang terlepas dari hutan
kemiskinan di kegelapan malam, yang
apabila ter-dapat gerakan kecil berkelebat, terbayang dalam benaknya
cerita-cerita horror, drakula dan penganiayaan. Maka logislah kalau dia merasa
takut terhadap isi surat yang datangnya dari temanku si penguasa tertinggi itu.
Nah, silahkan kalian baca surat ini !”
Kami merobek sampulnya. Tahu-tahu
isinya hanyalah dua carik kertas bercapkan tanda tangan penguasa terkenal. Satu
berisi kwitansi bernilai sejuta rupiah untuk Tokoh Angka-tan Abad XX, dan
satunya lagi berisi surat perintah untuk me-nangkap si sinting dan segera
mengirimkannya ke Bimaris-tan.
(17)
Aku mencoba mendamaikan keduanya.
Kukatakan : “Di dalam hadits disebutkan bahwa ketika Rasulullah saw. ber-ada di tengah-tengah sahabatnya kemudian muncul
se-orang laki-laki tak dikenal. Orang banyak memanggilnya dengan sebutan
“majnun, sinting, gila.” Kemudian beliau bersabda : “yang disebut majnun ialah
orang yang senan-tiasa bergelimang dalam dosa dan selalu bermaksiat ke-pada
Allah.”
Majnun menyambung : “Ya betul, dan
hadits itu masih melekat dalam hafalanku.”
Aku berkata : “Bukankah kalian berdua
tidak menetap dalam genangan dosa dan maksiat ?”
Si sinting berkata : “Kalian berdua
tidak terus-menerus berada dalam dosa dan maksiat kepada Allah, bukan ?”
Aku menjawab : “Yang itu bukan hadits
tapi ucapanku.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata :
“Kuberitahukan ke-pada kalian bahwa dia telah tersesat di rumahnya seperti
se-orang Badui tersesat di padang pasir. Laksamana muda Ing-gris, walaupun tetap berada di atas punggung kuda
di garis bela-kang dalam suatu medan pertempuran lebih dapat di percaya
dari pada ketetapan pikiran di dalam kepala orang gila ini.”
Si sinting bermaksud untuk segera
memberi tanggapan terhadap kata-kata yang di alamatkan kepada dirinya itu,
na-mun aku segera menahannya. Kepada Tokoh Angkatan Abad XX kukatakan : “Anda
rupanya selalu berada di atas Zenith, hingga samudera luas di bumi nampak
sebagai armada pe-rang. Memang, tokoh itu adalah tokoh di dalam dirinya, tetapi
dalam pandangan orang lain adalah penyakit, sakit angan-angan tinggi menembus
puncak alam, sakit shock, dari titik kulminasi kemanusiaannya turun meluncur ke
lembah paling bawah. Dan di lembah itulah mereka berbuat.... Maka di sini-lah
terjadinya beberapa pemikiran dari perbuatan dan tingkah laku mereka. Dan
ingatan-ingatan mereka adalah pikiran-piki-ran mereka sendiri. Inilah kegilaan
di dalam otak mereka se-bagaimana pengertian hadits tersebut.”
Tokoh Angkatan Abad XX berkata :
“Sungguh mati, itu baru betul. Tokoh-tokoh itu menjadi gila oleh
permikiran-pemi-kirannya yang tinggi.
Pujangga dibikin gila oleh alam yang men-jadi pusat imajinasinya. Asyik
ma’syuk jadi gila karena rasa cintanya terhadap jenis lain yang punya mata
jeli. Filosof gila pada alam hakikat yang tak terjangkau oleh ilmunya. Tokoh
Angkatan Abad XX gila... e, tidak...tidak, aku lupa ! Amien Syarif gila
As-Siba’i gila, dan seluruh manusia jadi gila pada Laily, malamku. Tetapi Laily
tidak memberitahukan seperti itu kepada mereka. Mengapa Lailyku tidak
menyatakan hal itu ? Sebab ia hanya mau menyatakannya kepada Tokoh Angkatan
Abad XX saja. Alangkah hebat pengaruh psychis kaum wanita terhadap kaum lelaki.
Padahal di alam hakikat mereka tak ubahnya seperti ayam betina, tidak lebih
dari itu. Dan laki-laki paling berakal adalah orang yang seperti keledai, sapi,
atau binatang jantan lainnya. Keledai jantan tidak mengenal keledai wanita
melainkan keledai betina. Sapi jantan tidak tahu sapi perempuan hanya sapi betina.
Dan binatang-binatang itu tidak pernah
mengarang puisi dan tidak pernah menulis novel “Daun daun
Mawar”. Betina-betina dari binatang-binatang tersebut adalah kaum ibu.
Tetapi anehnya, yang jantan bukan kaum bapak, karena jantan-jantan ini adalah
parasit di dunia dan pa-rasit itu tidak makan kecuali dengan bantuan
rangsangan. Ma-ka jadilah ia anekdot, humor atau dongeng dan bualan. Oleh
karena itu keasyikan kaum lelaki terhadap kaum wanita ada-lah suatu bentuk dari
kebohongan, tipu daya, lelucon, benalu, kalalaian dan ketololan. Kalau kita
pandang, mula-mula me-mang mengasyikkan. Tetapi akhirnya berpangkal dari tipu
da-ya dan berujung pada kebohongan belaka. Ini kata benalu sendiri, “aku
sudah kenyang dan puas.” Aih, kok jadi nge-lantur ke sana-sini, di mana permulaanya.....?”
Kami menjawab : “Permulaanya adalah ; alangkah
me-ngagumkan pengaruh kejiwaan wanita terhadap kaum le-laki.”
Ia berkata : “Ya, betul begitu.
Pengaruh itu tidak kuka-gumi. Pengaruh kejiwaan yang paling kukagumi adalah pe-ngaruh emas, bukan wanita. Apabila ada wanita
cantik yang se-dikit demi-sedikit dapat diubah bentuknya maka mereka ada-lah
kepingan-kepingan emas yang berkilauan. Karena itulah ba-nyak kita dapati emas-emas curian di dunia, dan banyak pula wanita-wanita cantik yang dirampok. Jadi, emas dan
wanita ha-rus kita lindungi.”
Aku bertanya : “Bukankah selain emas
juga ada perak, dan banyak pula pencurian perak di dunia ini ?”
Ia menjawab : “Ya, di dalam wanita itu
juga ada perak dan perunggu. Jika anda melemparkan sekeping uang Riyal di
jalan, maka di sana akan terjadi perkelahian antara dua orang, dimana yang
terkuat tentu akan menguasai Riyal itu. Tetapi kalau anda melemparkan satu sen
di jalan itu maka yang akan anda saksikan adalah pertengkaran dua anak ingusan,
dan yang beruntung mendapatkannya adalah siapa yang bisa menggigit temannya.
Akan tetapi Ford si raja uang, jutawan dan millioner Amerika yang di tangannya
menggenggam ra-tusan juta dollar tidak akan berbicara tentang uang sen. Dan Tokoh Angkatan Abad XX yang memiliki Laily tidak
akan mem-bicarakan kaum wanita pesenam.”
Aku berkata : “Kukira anda akan
memberitahukan kepa-daku bahwa nama wanita itu Fatimah, bukan Laily.”
Ia bertanya : “Apakah cocok kalau
kukatakan ; “Seluruh manusia jadi gila pada
Fatimahku, tetapi Fatimahku tidak mem-beritahukan seperti kepada mereka
?”
Aku menjawab : “Tidak, Laily tidak
cocok diganti Fati-mah.”
Ia berkata : “Jadi harus tetap Laily
supaya syairnya be-tul. Seandainya aku berkata : “Kupisahkan pelan-pelan
seba-gian dari cumbu rayu ini.” Maka ia adalah Fatimah dan para-digmanya
betul.”
Aku berkata : “Demi Allah, sama saja.
Namanya bukan Laily juga bukan Fatimah, tetapi ia bernama menurut para-digma
dan rythma. Maka namailah ia dengan Fa’uulan
atau Mufaa’alan.”
(18)
Kami bertanya kepadanya : “Bagaimana
menurut anda tentang cinta ? Anda dikenal
sebagai pemuda paling asyik dan paling erotic.”
Ia menjawab : “Begitu, itu kata
mereka.”
Kemudian ia diam dan berfikir. Nampak
ia tercengang seperti orang kehilangan akal dan seolah-olah dalam hatinya
terdapat jarak sangat jauh lebih jauh dari jarak antara dirinya dan pikirannya.
Terbayang olehku bahwa seluruh wanita ber-kumpul
di kepalanya, lalu satu persatu datang merayu dan me-nyatakan cinta
kepadanya serta bersolek di depan matanya untuk menarik perhatian atau agar ia
terpesona.
Ia melihat dan mendengarkan, menoleh
dan memilih, la-lu ia gelisah, seperti orang yang sedang berusaha memegang
sesuatu yang terlepas dari tangannya. Begitu dan terus begitu sehingga si sinting menyadarkan dirinya : “Seorang
wanita Arab dusun ditanya tentang cinta, maka jawabnya ; cinta itu
penya-kit gila. Ini saja yang masih kuingat.”
Majnun membentak : “Diam bangsat !
Anda telah me-madamkan cahaya dengan ungkapan-ungkapan kegilaan. Di kepalaku sedang ada pesta besar dengan lampu
berwarna-warni, menyoroti penari-penari cantik, dari yang tinggi
jang-kung sampai yang gemuk-pendek. Tetapi anda telah memberi penyakit gila dan
sinting, hingga anda telah mengeluarkan aku dari samping mereka dengan kegilaan
dan kesintingan kata-kata. Kalau anda bunuh
diri dunia akan aman. Setidak-tidaknya aku akan tenteram dan tenang.
Jika anda mau gantung diri, maka aku akan memberikan talinya, tali yang
mengikatku, tali yang anda miliki di rumah, agar kepala anda yang kosong dan
melekat di atas leher anda itu terlepas dari tubuh anda.”
Si sinting menjawab : “Mengapa hari
ini anda terus men-jerat, selalu menyiksa dan meretakkan otakku ? Aku ingat apa
yang diucapkan Ahmad bin Qais ; “Aku
berkencan dengan orang tolol selama satu
jam. Maka selama itu pula ia telah mengelupas otakku.” Jadi, aku
merasa takut kepada orang majnun yang berdiri dengan memegang senjata di
tangannya berupa sepatu antik yang berat dan tebal, yang sekali pukul saja bisa
mematikan aku. Oleh karena itulah maka kubiarkan ia tetap tinggal di
tempatnya.”
Kami berkata : “Nah, orang ini telah
ngelantur dan tidak menyadari apa yang ia bicarakan, sehingga secara gamblang
ia menunjukkan bahwa dirinya memang majnun. Mengapa anda tidak mau berterus
terang bahwa anda adalah seorang genius ? Yang kami tanyakan kepada anda bukan
kegilaan atau ketololan orang ini, namun bagaimana pendapat anda tentang cinta.
Kami yakin anda akan memberikan jawaban dengan mantap dan mendalam sebab anda
kami lihat cukup lama berfikir. Apalagi, anda dikenal sebagai Tokoh Angkatan
Abad XX, tentu saja jawaban yang kami harapkan dari anda
adalah jawaban yang objektif.”
Ia menjawab : “Orang cerdik, kalau
disodori pertanyaan biasanya memang agak lama berfikir untuk memberikan
jawa-ban. Maka aku minta tolong kepada As-Siba’i agar menuliskan jawabanku
ini.”
Kemudian ia duduk di depan meja dengan
penuh kon-sentrasi dan serius siap mendiktekan sesuatu, lalu ia berkata :
“Kisah cinta adalah kisah Adam. Allah menciptakan wanita dari rulang rusuknya.
Maka tanda-tanda cinta yang pertama kali adalah perasaan sakit bagi seorang
lelaki, yang seolah-olah karena cintanya kepada seorang wanita maka ia rela
tu-lang rusuknya dipatahkan. Seluruh masa lalu dalam bercinta adalah masa lalu
yang tak terpikirkan lagi. Dan setiap masa kini dalam bercinta adalah masa kini
yang tidak dapat di mengerti. Maka yang tak terpikirkan dan yang tidak
dimengerti itulah Cinta. Nyala api yang merah kalau dikatakan padam,
dengan sisa-sisa bara di dalamnya, lebih dapat dipercaya dari pada sisa-sisa
cinta yang tetap menyala walaupun baranya dikatakan telah dingin dan padam.
Asyik ma’syuk itu kegilaan. Dan gila ini, ya gila. Karena kegilaan itulah yang
melihat bara api padam sekaligus melihat bahwa ia masih menyala. Ke-mudian
muncul imajinasinya bahwa bara api itu laksana se-kuntum bunga mawar. Dan
apabila anda minta penjelasan tentang sifat-sifat indah yang bisa menimbulkan
rasa cinta, maka pada saat itu juga ia adalah paling gila dari yang gila,
seperti orang memandang bulan di langit telah pecah berke-ping-keping terpencar-pencar berserakan di kebun
bunga. Pan-carannya adalah bunga melati putih yang molek. Orang gila
memandang dunia ini dari kegilaannya, sedangkan orang cer-dik dengan akalnya.
Tetapi orang yang sedang asyik ma’syuk tidak melihat kekasihnya kecuali dengan
sisa dari ini dan sisa dari itu. Maka ia tidak mau melepaskan kekasihnya itu
keda-lam kegilaan juga tidak ke dalam kecerdikan. Sesuatu yang abstrak jika
hendak menampakkan wujudnya di dalam otak manusia, ia hanya akan mencari dua kepala, kepala orang gila dan kepala
orang sedang asyik ma’syuk. Tidak ada kesu-litan dalam memutuskan sesuatu yang
baik atau buruk kecuali apabila kebaikan dan keburukan itu berwujud seorang
wanita yang dicintai. Adapun lukisan para penyair dan pujangga ten-tang indah
dan cinta semua hanyalah imitasi yang kadang di lebih-lebihkan. Yang asli dan
murni adalah ucapan seekor sa-pi jantan yang mencintai sapi berina, “Wahai
bintang kejora-ku yang turun dari kayangan, berputarlah di atas tanah
sebagaimana engkau beredar di angkasa raya.” Itulah pen-dapatku tentang
cintanya orang yang sedang asyik ma’syuk. Tentang cintaku, cintanya Tokoh
Angkatan Abad XX ini, maka terlukis dalam ungkapan : Bunga Melur (Fallun),
Bunga Melati (Wardun), Bunga Mawar (Zahrun).”
Aku bertanya : “Teka-teki apa lagi ini
? Apakah dalam cinta terdapat juga rumus seperti kaidah yang berlaku dalam ilmu
Tajwid, mana yang harus dibaca Qalqalah (berat) dalam kalimat Quthbujadin : (ق - ط - ب - ج - د)
Tokoh Angkatan Abad XX tertawa lalu menjawab : “Rusa-rusa itu melebihi banyaknya lalat. Maka
Agar kita tidak lupa, kuingatkan kalian, bahwa setiap huruf adalah permulaan
nama : F adalah Fatimah, L adalah Laily, (Fallun) W adalah Wardah, R adalah
Robbab, D adalah Dalal (Wardun) Z adalah Zakiyah, H adalah Hindun, R adalah
Robbab, (Zahrun).”
Kami berkata : “Robbab sudah mati di
dalam Wardun.”
Ia menjawab : “Aku telah
memindahkannya sementara, lalu kutempatkan ia di dalam Hindun.”
(19)
Aku berkata : “Demikian halnya dengan
seorang tokoh yang disebut Abul Abbas. Setelah ia ditokohkan, termasyhur dan
menjadi populer maka panggilannya berubah menjadi Abul Baqar. Kemudian ia
merobek-robek ketenarannya de-ngan membuat autobiografi. Kata orang, setiap
tahun ia hanya menambah satu huruf hingga ajalnya tiba. Maka bentuknya menjadi
: “Abul Baqar, Thorod Thiel Tholiery, Bak Bak Bak.”
(20)
Tokoh Angkatan Abad XX
begitu gembira karena di-ingatkan tentang keakrabannya dengan Fatimah dan
kebai-kannya dengan Robbab.
Termasuk pribadi orang
gila adalah apabila ia berdusta, membenarkan dirinya karena kekuatan alat
kontrol di dalam otaknya kadang-kadang terlepas dan sewaktu-waktu rusak. Dan
imajinasi-imajinasi yang menghasilkan ide baginya ada-lah satu macam aspek dari
aspek pengetahuan. Dus, keba-nyakan dunianya berada di dalam dirinya bukan di
alam ini. Pada saat ia berfikir, mengamati
dan merasakan sesuatu, ada-lah hanya dengan metodenya sendiri terlepas
dari metodologi atau teori ilmu pengetahuan yang telah ditempuh oleh para ahli
pikir. Maka yang tesimpan di dalam otaknya hanyalah sebuah konsep unik dengan
pengertian dan putusan yang lain dari yang lain, seolah-olah konsep itu mampu
mengatasi se-mua pemikiran lainnya tanpa memperhatikan realitas objek dan
hubungan objek dengan realitasnya. Konsep tersebut ha-nya menampakkan
pengertian menurut apa yang ditampak-kan kepada dirinya bukan penampakan
kenyataan-kenyataan yang ada di sekitar dirinya.
Maka antara orang gila
dan sesuatu di sekelilingnya ia-lah otaknya, yang diliputi awan pikirannya yang
kelabu, yang tak henti-hentinya mengeluarkan asap tebal. Sebab sebagian jaringan-jaringan urat syaraf di dalam dirinya
sudah lepas, hing-ga kerusakan ini mengganggu aktifitas kerjanya. Maka
dari kerancuan itulah watak gilanya muncul. Kata-kata yang ter-balik dalam
sebuah kalimat, menjadi suatu pembicaraan yang utuh di dalam pikiran orang
gila, atau menjadi sebuah kisah nyata yang sesungguhnya dan cerita yang
sebenarnya. Ba-gaimana tidak, karena kisah dan cerita itu telah melekat dalam
otaknya dari balik pendengaran dan penglihatannya, seperti melekatnya realitas
pada mata dan telinga.
Persepsi orang gila
bekerja secara ambisius. Hal itu terjadi karena ia berada di antara dua kutub
dunia. Pertama adalah dunia yang runtuh di dalam otaknya seperti yang
di-utarakan sendiri bahwa ; “Di mata orang gila ada kaca mata yang dapat
melihat segala sesuatu menurut realitasnya seka-ligus dapat memandang sesuatu bukan pada hakikatnya.”
Doktor
Muhammad Ar Rafi’i bercerita
kepada kami, kata-nya : “Di dalam sebuah
rumah sakit gila di Prancis terdapat seo-rang tokoh seperti Tokoh
Angkatan Abad XX ini. Kepadanya dibacakan berita tentang ratu Rusia yang hilang
dan terbunuh secara misterius. Tentu saja berita itu sangat mengagetkan di-rinya dan membuat ia terheran-heran.
Lalu ia berkata : “Kurang ajar ! Mereka telah berbohong kepada ratu dan
berdusta ke-padaku.” Rafi’ie bertanya kepadanya : “Mengapa demikian ?”
Jawabnya
: “Berita yang benar tentang ratu adalah ketika dia berkenalan
denganku, dia langsung menyatakan rasa cinta kepadaku. Dari segala sudut
kemungkinan yang tersimpan dalam hatinya, aku sudah diakui menjadi suaminya,
meng-gantikan sang raja. Sejak itu dia mencari siasat untuk mene-kan sang raja,
mempersulit posisinya, menjatuhkan pristise dan prestasinya sehingga sang raja
menceraikan dia dan me-ngusirnya dari istana. Dengan membawa harta kekayaannya,
ratu melarikan diri dan segera berlindung
pada kekasihnya, yaitu aku. Sang raja bersama para pengawal kerajaan mencari
dan mengejar isterinya namun sia-sia dan berputus asa, akhirnya ia bunuh diri dengan cara yang menyedihkan.
Selanjutnya orang-orang komunis berusaha mencari jejak sang ratu kare-na
dia membawa lari harta-benda kerajaan. Tetapi mereka juga sia-sia, karena aku
telah menyembunyikannya di suatu tempat yang aman dan tak seorangpun mengetahui
persem-bunyian ini kecuali aku kekasihnya. Namun sayang, sang ke-kasih tidak
beruntung dapat menjumpainya setiap waktu kecuali kalau dia sedang tidur,
karena dikhawatirkan orang-orang komunis mengetahui persembunyiannya dan
menyeret-nya kembali ke kerajaan. Itulah sebabnya mengapa sang ke-kasih harus
menjenguknya bila dia sedang tidur. Sebab dalam keadaan tidur dia tidak akan
memberitahukan tempat persem-bunyiannya. Dan apabila sang kekasih menampakkan
diri di-saat dia terjaga dikhawatirkan perasaan rindu akan mengalah-kan rasa
takutnya maka orang-orang komunis mendengar pembicaraannya. Maka apabila sang
ratu ingin melepaskan rindu kepada kekasihnya ketika dia sedang tidak tidur dia
cu-kup mengirimkan berita melalui radio yang bisa diterima lewat udara, langsung masuk ke dalam otak kekasihnya,
lalu ia mem-bacanya sendirian. Yang paling ditakuti oleh kekasihnya,
apa-bila sang ratu sudah terkena penyakit
gila cinta, maka dia ingin datang untuk menjenguk kekasihnya di
Bimaristan ini, tanpa disadari bahwa orang-orang komunis selalu siap menangkap
dirinya dan membunuhnya.”
Doktor Rafi’ie
bercerita lain : “Bahwa di tempat itu ada tokoh
lain yang sakit gila. Ia selalu mengkhayal bahwa seorang wanita yang
paling cantik di dunia telah jatuh hati kepadanya, menyatakan cinta dan
tergila-gila pada dirinya, serta membu-latkan tekad untuk memilikinya dengan
bersumpah akan bu-nuh diri saja seandainya
ia yang dicintainya itu berkhianat atau main serong dengan wanita lain.
Tentu saja pernyataan wani-ta itu sangat membelenggu pikiran si tokoh dan
mengganggu perasaannya. Ia sadar kalau wanita yang tergila-gila kepada dirinya,
dalam posisi gawat, antara hidup dan mati, maka ke-selamatan dan kehancuran
wanita itu sangat tergantung pada sikap dan pernyataannya.
Pada suatu hari,
datanglah seorang pandir ke rumah wanita itu dan memberitakan bahwa kekasihnya
sudah digaet oleh wanita lain. Maka
hilanglah kesadarannya, lalu dia segera pergi ke Bimaristan untuk menemui sang
kekasih dan akan me-lontarkan kejengkelannya dengan kata-kata yang pedas
dan caci-maki yang keras, bahkan mungkin akan bunuh diri di ha-dapannya. Maka
si tokoh memutar otaknya mencari cara ba-gaimana
menyadarkan wanita yang sudah kalap serta berusaha memberitahukan duduk
persoalan yang sebenarnya. Namun sayang, wanita itu tetap bersikeras dan
semakin tidak mem-percayai omongannya. Kemudian ia berfikir dan merenung la-gi,
akhirnya ia mendapatkan jalan keluar dengan cara memo-tong kedua pelirnya,
kemudian kedua-duanya diberikan kepa-da
wanita itu sebagai bukti bahwa cintanya suci dan murni.
(21)
Kami berkata : “Tokoh
Angkatan Abad XX sangat gem-bira kalau diingatkan tentang keakraban dan
kebaikannya ter-hadap Fatimah dan Robbab.”
Maka
ia mengucapkan syair ini : “Kata mereka
engkau te-lah di bikin gila oleh wanita yang kau cintai.”
Lalu kujawab : “Tidak
ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Si sinting menyambung :
“Yang kuingat adalah ; “Tidak ada kelezatan roti kecuali bagi orang-orang
gila.”
Tokoh Angkatan Abad XX mukanya kusam, lalu
terta-wa dan berkata : “Si sinting tolol yang kurang normal ini me-mang
bermaksud untuk memperbodoh kalian. Sebab kalau memang itu yang kumaksudkan, maka aku akan berkata ; “Alangkah
nikmatnya kue-kue.” Bukankah aku telah membe-ritahukan kepada kalian bahwa si
majnun ini bodoh ? Kalau dia mengeja kata roti, dia bilang nasi, tetapi kalau
mengeja ka-ta nasi dia bilang tahi. Dia adalah anak kecil yang sudah ber-umur
30 tahun. Kalau marah persis marahnya anak kecil de-ngan kepolosan dan
keluguannya. Tetapi di dalam dirinya ti-dak kita dapati pikiran seperti akal si
buyung karena dia begitu lemah dan loyo masih membutuhkan pertolongan dalam
me-nanggapi dan berdiplomasi. Selain itu dia perlu disantuni se-bagaimana kita
menyantuni bayi, barangkali dengan cara
begitu kami akan dianggap sebagai ibunya !”
Kami
berkata : “Dalam hal ini kami lupa, apakah anda se-orang laki-laki ?”
Ia
menjawab : “Kalian juga sama, menuduh aku pelupa. Padahal secara juridis lupa
itu adalah satu aspek yang mene-tapkan hukum gila. Pada prinsipnya lupa itu
hanyalah kata lain dari lemah akal, sedangkan lemah akal itu sinonim dengan
ke-gilaan. Bukankah aku sering mengatakan kepada kalian bahwa aku sangat
membenci kata-kata itu ?”
Aku
menjawab : “Tidak, lupa yang ada pada diri anda tidak identik dengan gila, dan
bukan pengertian lupa seperti ungka-pan yang luar biasa dilontarkan kepada
orang-orang gila. Tetapi, seperti apa yang kami ketahui bahwa kelupaan anda
adalah satu aspek dari ide seorang tokoh yang nampak saling berlompatan dan
berdesakan dengan intuisinya, sehingga kalau loncatan-lon-catan dan
desak-desakan itu terjadi maka terdapatlah sebagian materi yang tertinggal dan
tidak ikut dilontarkan keluar. Adapun materi-materi yang sempat dilontarkan itu
tidak lain hanyalah memori yang benar-benar mengalir dari ketokohannya, lalu
mun-cullah premise yang seolah-olah terputus dengan konsep-kon-sep sebelumnya,
maka orang mengatakan, ia lupa. Sedangkan anda tidak demikian halnya. Seluruh
argumentasi dalam perang urat syaraf ini disebut penalaran, apabila seorang
tokoh merasa puas dan menari-nari kegirangan dibuatnya. Sehingga putusan demi
putusan yang muncul secara bersamaan dinilai sebagai suatu bentuk fallacy oleh
mereka yang belum tahu kategori to-koh, karena tidak mengerti apologinya, di
mana apologi ini oleh logika sendiri tidak di sebut sebagai fallacy dan tidak
dinamakan juga sebagai amnesia.”
Ia
menjawab : “Tolong beritahukan kepadaku bagaimana kelupaan orang gila, karena
keunikan itu belum terjangkau oleh pikiranku dan aku tidak mengerti bagaimana
bisa terjadi konsep-konsep yang sudah diproses sedemikian rupa bisa tertinggal
di dalam otak mereka ?”
Aku
menjawab : “Lupa, tidak akan menjadi beban bagi orang-orang gila kecuali dalam
tiga keadaan yang bersumber dari cerita yang kebenarannya bisa dipertanggung
jawabkan : Pertama, diceritakan
bahwa seorang bangsawan kaya raya, usianya sudah lanjut hingga pikun dan
linglung. Pada suatu hari sekretaris pribadinya datang untuk memberi bantuan
perlengka-pan penguburan jenazah ibunya yang baru meninggal. Kemu-dian dia
menyodorkan uang beberapa lembar kepada
pemban-tunya untuk membeli kain kafan, sedangkan kepada pembantu yang lain dia
memberi beberapa lembar lagi buat ongkos pengu-burannya lalu berkata : “Cepat
pergi kepada sahabat-sahabat ki-ta, dan cari si Fulan tukang memandikan mayat
!”
Sang
sekretaris berkata : “Tuan, saya merasa malu. Me-ngapa pembantu ini tidak
disuruh memanggil Fulanah tetangga kita untuk memandikan mayat ibu.”
Dia
menjawab : “Kok anda yang jadi repot, bagaimana kita akan mengundang orang yang
tidak kita kenal ?”
Sang
sekretaris menjawab : “Panggil dulu, maka akan kenal kepadanya.”
Dia
berkata : “Tidak, Demi Allah, yang boleh memandikan mayat ibuku hanyalah orang khusus,
si Fulan itu !”
Sang
sekretaris tertawa geli melihat kelinglungan tuannya, lalu ia berkata : “Tuan,
bagaimana seorang laki-laki akan me-mandikan mayat seorang perempuan ? Bukankah
ibu tuan se-orang perempuan ?”
“Demi Allah aku lupa ?” jawabnya.
Kedua, diceritakan bahwa seorang laki-laki
tidur nye-nyak pada suatu malam yang dingin. Kemudian tangannya di-keluarkan dari selimutnya hingga terasa dingin. Lalu
diusapkan tangan itu ke
seluruh tubuhnya dalam keadaan tidur hingga ia terbangun karena merasa
kedinginan dan terperanjat ketaku-tan. Maka tangan yang dingin itu dipegang erat-erat dengan ta-ngan kanannya sambil
berteriak-teriak : “Maling, maling, To-long
! Malingnya sudah kutangkap, dan tangannya telah kupe-gang.” Tetangganya pun
berdatangan dan langsung menuju ka-mar tidurnya dengan membawa lampu. Akan
tetapi mereka bu-kan menolongnya melainkan tertawa geli menyaksikan adegan yang
lucu ini, karena yang ditangkap adalah tangan kirinya sen-diri, sebab ia lupa.
Ketiga, diceritakan bahwa ada seorang laki-laki telah
men-dapatkan separuh bagian dari harta warisan. Tetapi ia tidak puas dengan
bagiannya itu, maka ia berusaha untuk dapat menguasai seluruh rumah peninggalan
orang tuanya. Lalu ia mencari se-orang penghubung untuk menjualkan separuh
rumah warisan itu, katanya : “Akan kujual separuh rumah yang telah menjadi
mi-likku ini, kemudian dengan uang itu aku akan membeli separuh-nya yang bukan
milikku sehingga seluruh rumah ini sah menjadi milikku.”
Tokoh
Angkatan Abad XX berkata : “Sungguh gila mereka itu ! Sayang tidak disebutkan
apakah mereka itu gila hafalan atau gila lainnya.”
Si
sinting berkata : “Demi Allah, kalau tidak karena Tokoh Angkatan Abad XX yang
melepaskan diri mereka dari kegilaan niscaya di dalam kegilaan mereka akan
timbul sesuatu yang membawa fallacy.”
Nampak Tokoh Angkatan
Abad XX sangat marah se-telah melihat si sinting melirik kepada dirinya. Ia
bergerak dan bermaksud untuk menikamnya tetapi dia segera berkata : “Yang kuingat adalah ; Jadilah
engkau seorang yang awas seperti itik, dan jadilah engkau seorang yang sadar
seba-gai manusia. Di sinilah kelupaan Tokoh Angkatan Abad XX,
kelupaan seorang filosof bukan lupanya
orang gila.”
Tokoh
Angkatan Abad XX menjawab : “Tetapi perkataan syair ini sudah gila ‘Tidak ada kenikmatan hidup kecuali
kegi-laan bagi orang-orang sinting. Kenikmatan apa yang bisa dira-sakan
oleh orang-orang gila itu ?”
Aku
menyambung : “Yang dimaksud orang-orang gila da-lam ungkapan di atas bukan
orang-orang yang terkena penyakit gila, tetapi mereka adalah orang-orang yang
tergila-gila oleh pe-nyakit seni. Gilanya asyik dalam hal yang indah ini sama
dengan penyakit mabuk yang menimpa para pujangga, yaitu penyakit yang mendorong
dirinya untuk menampilkan karya-karyanya
yang tinggi, bukan penyakit yang membawa mereka ke Bimaris-tan.”
Majnun
berkata : “Aku ingin menciptakan bait lain yang memberi pengertian lain sebagai
interpretasi lain dari syair terse-but.”
Kemudian
ia berfikir dan mengerutkan keningnya lalu me-nulis di atas secarik kertas, dan
melipatnya sambil berkata : “An-da yang membuat lebih dahulu, tulisanku ini
kupercayakan kepa-da As-Siba’i.” Ia menyodorkan kertas kepada As-Siba’i untuk
di-bacakan isinya setelah aku membaca hasil ciptaanku. Tetapi se-belum ini ia
memandangku dan berkata ; seharusnya sya’ir itu berbunyi demikian : Mereka berkata, engkau dibikin gila oleh
orang yang kau cintai.
Lalu
kujawab : “Tidak ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Pikiran
yang menguasai diri orang yang mabuk cinta lebih berat dari pada kefakiran yang
menimpa kehidupan orang-orang melarat.
As-Siba’i
membuka kertas itu lalu membaca isinya : Mere-ka
berkata, engkau dibikin sinting oleh wanita yang kau cin-tai.”
Lalu
kujawab : “Tidak ada kenikmatan hidup kecuali bagi orang-orang gila.”
Penyakit
yang menimpa orang-orang gila itu, sebagai pen-dorong baginya untuk menjadi
Tokoh Angkatan Abad XX.
Semua
tertawa, tetapi ia berkata : “Celaka engkau As-Si-ba’i ! Orang yang dipercaya
oleh majnun untuk menyimpan ra-hasia malah menyebarkannya. Apakah aku yang
salah lidah ataukah kamu yang salah dengar ?”
(22)
Kemudian
ia berkata lagi : “Demi Allah, aku sangat senang kalau As-Siba’i menjadi tokoh.
Tetapi yang kukehendaki darinya adalah menjadi seorang tokoh yang jujur
sehingga aku pun men-dapatkan bagian dari kejujurannya. Artinya, aku tidak akan
me-nyia-nyiakan kebenaran-kebenarannya. Kalau kamu - As Siba’i - membutuhkan
teks pidato yang berapi-api untuk diucapakan di sebuah pesta besar, atau
memerlukan sebuah ballada untuk memuji menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita,
maka min-talah kepadaku. Dan jika kamu mau membacakan puisi-puisiku tentu
orang-orang akan menganggap dirimu setaraf dengan Mu-tanabbi, Bahtari atau Ar
Rumi. Sebetulnya mereka itu bukan apa apa bagiku. Mereka hanya beruntung dapat
hidup sebelum aku. Karena aku tidak seangkatan dengan mereka, maka mereka
di-kagumi. Orang-orang mengagumi mereka di saat aku tidak bera-da di
tengah-tengah mereka.”
Kami
bertanya : “Bagaimana penilaian anda terhadap me-reka di bidang sastra ?”
Ia
menjawab : “Jika aku menilai mereka berarti aku mem-bawa diriku ke
tengah-tengah mereka. Maka jelas orang-orang tidak akan mengagumi kehadiranku
di antara mereka karena aku bukan angkatan mereka. Dan tidak seorangpun di
antara mereka yang kagum kepadaku. Ini tidak berarti Tokoh Angkatan Abad XX
lebih baik tetapi ia jauh di atas lebih baik. Oleh karena itu Tokoh Angkatan
Abad XX tidak berbicara tentang angkatan bulan ini, sebab ia jauh di atas
bulan.”
Aku berkata :
“Seolah-olah dunia ini berada di bawah te-lapak kaki anda, dan anda sendiri
berada di dalamnya seba-gai seorang “Pertapa Agung” yang tidak mau mengatakan ini
lebih baik terhadap sesuatu yang baik karena dirinya berada di atas
penilaian. Dan tidak mau mengatakan ini lebih nikmat terhadap sesuatu yang lezat karena dirinya di atas
selera. Dan tidak mau mengatakan ini lebih banyak karena dirinya di atas pendapatan. Menurutku, jika anda mengembala kambing pada zaman
kita sekarang ini, tentu anda termasuk orang yang di-katakan oleh seorang
pengembala sebelumnya : “Kuperbaiki keadaanku
antara aku dengan dia maka aku damaikan an-tara serigala dengan
kambing.”
Majnun bertanya : “Apa
artinya itu ?”
Aku menjawab :
“Diceritakan bahwa seorang shalih pa-da suatu malam sedang berfikir, dan
berbicara pada dirinya sendiri : “Ya Tuhan, siapakah isteriku di surga nanti ?”
Dalam tidurnya ia bermimpi melihat seorang budak perempuan yang berkulit hitam. Ia datang ke desa tempat tinggal
budak itu. Se-sampainya di sana ia bertanya kepada seorang laki-laki
ten-tang budak ini, maka laki-laki tersebut bertanya ; “Mengapa engkau menanyakan budak perempuan hitam yang
sinting itu ? Dia adalah milikku dan kini telah kumerdekakan.”
Orang
shalih menjawab : “Bagaimana kegilaanya, tuan ?”
Dijawab : “Dia berpuasa
dan setiap kusajikan makanan untuk berbuka, dia sedekahkan kepada orang lain.
Kalau ma-lam dia beribadah diam dan tidak
pernah tidur. Maka aku sangat mengkhawatirkan kesehatannya.”
Orang shalih bertanya :
“Sekarang dia di mana, tuan ?”
Dijawab : “Dia sedang
mengembalakan kambing milik orang kaya di padang sahara.”
Maka ia datang ke
padang gembala, dan dilihatnya bu-dak itu sedang berdiri mengerjakan sholat. Ia
merasa heran menyaksikan serigala sedang bermain-main dengan kambing-kambing gembalaanya menggantikan dirinya
yang sedang sho-lat. Setelah dia selesai sholat, ia mengucapkan salam
kepada-nya, lalu menyatakan bahwa ia adalah
bakal suaminya di surga. Ia bercerita tentang apa yang dialami dalam mimpinya
selam tiga malam berturut-turut. Lalu ia bertanya : “Bagaimana seri-gala
itu bisa mengembalakan kambing ?” Dia menjawab : “Kuperbaiki keadaanku antara aku dengan dia, maka aku damaikan antara
serigala dengan kambing.”
Tokoh Angkatan Abad XX
berkata : “Bohong sebab tidak rasional dan aneh, aneh sebab tidak reil dan
bohong !
Aku menjawab : “Apanya
yang aneh ? Serigala dengan kambing, macan dengan rusa, ular dengan burung,
kucing de-ngan tikus, dan seluruh pemangsa
dengan mangsanya di anta-ra makhluq hidup ini. Apabila semua telah masuk ke
dalam ling-karan sholat yang benar, tersusunlah mereka dalam satu shaf,
ruku’ dan sujud. Budak perempuan ini telah menebarkan jiwa sholat dan taqwanya
terhadap apa yang ada di sekelilingnya dengan hatinya yang bersih dan rohaninya
yang penuh pan-caran iman. Maka serigala
dapat ditarik ke dalam lingkarannya secara magnetis. Dan kebuasan
serigala itu dapat dijinakkan dan
ditundukkan, kemudian ditarik ke dalam system perdamaian dan persatuan sehingga
hidup di sekitarnya menjadi aman dan tenteram, tenang dan damai, sejalan
dan selaras satu sama lain, semua bergerak secara harmonis ibarat orang kena
hip-notis yang antara ia dengan orang yang menidurkannya me-nyatu dalam satu
fikiran dan kehendak.”
Tokoh
Angkatan Abad XX belum puas dan bertanya lagi : “Kalau serigala masuk masjid, bergabung dengan jama’ah
apakah mungkin ia dapat berbaris dengan keempat kakinya dan berdiri tegak di belakang imam bersama daging-daging me-reka
?”
Aku menjawab : “Apabila
seseorang telah mencapai ha-kikat dalam sholatnya maka ia akan keluar dari
dirinya ke da-lam alam, dari waktu ke masa,
dari sebab kepada musababnya, dan dari apa yang ada di dalam hati kepada
apa yang ada di luarnya ? Semua orang bersembahyang dengan seluruh ang-gota
badannya. Dan antara mereka dengan jiwanya sepan-jang dunia dan lebarnya.
Mereka tak ubahnya seperti orang yang menghubungkan pikiran dengan dunianya,
kemauan de-ngan matanya, dan perasaan dengan perutnya. Mereka me-nganggap itu
adalah sholat tetapi hakikatnya adalah antara mereka dengan Allah.”
Tokoh Angkatan Abad XX
bertanya : “Bukankah seriga-la itu makan
kambing ? Ah, aku jadi tidak mengerti !”
Si
sinting yang menjawab : “Yang masih kuingat adalah ; “Serigala
bersenang-senang dengan kambing di padang gembala. Mereka tidak
berkata ; “Serigala sholat dengan kambing
di masjid.” Tetapi entahlah, aku
juga tidak mengerti !”
Aku berkata : “Aku akan
menambahkan apa yang tidak fahami kalian berdua. Hati seorang budak perempuan,
perta-pa yang mengembala kambing itu telah berhubungan erat de-ngan Allah
melalui kebesaran jiwa dan kesucian hatinya. Di dalam dirinya tidak terdapat
satupun dari nafsu manusiawiah-nya dan tidak
ada kabut duniawiahnya. Maka rahasia hidup nampak jelas baginya.
Keagungan Dzat yang Mahasuci ter-pancar dalam jiwanya. Perasaan cinta dan
kerinduannya ada-lah universal sebagai
satu kekuatan azali yang sanggup me-nundukkan seluruh alam jagad ini. Maka
memancarlah gelom-bang “electrics - ethereal” itu mengitari apa yang ada di
de-pannya. Kemudian datang serigala berlidung di sisinya, kare-na kekuatan
rohani tegangan tinggi telah memikat kebuasan serigala itu. Ti-ba-tiba
terbukalah kedua matanya melihat alam baru yang unik penuh kedamaian dan
perdamaian, tidak ada sesuatu apa di dalam alam itu melainkan kekuatan titah
yang memerintahkan perempuan ini untuk mendamaikan sesuatu dengan sesuatu yang
lain, dan menyatukan orang-orang yang terpecah belah dan manusia yang
bercerai-berai dalam ke-adaan sadar bukan dalam keadaan ingkar. Serigala itu
men-jadi terbangun rohaninya dalam keadaan tertidur. Maka lum-puhlah watak
keserigalaannya dengan taring dan kukunya yang sudah tidak berfungsi lagi.
Tinggallah gerakan-gerakan-nya saja yang bersifat hewani, tetapi essensinya
sudah ber-ubah arti. Maka bersembunyilah serigala yang ada di dalam serigala,
tinggallah binatang hidup seperti makhluk
hidup lain-nya, sejajar dengan kambing. Jadi hubungan antara keduanya bukan
lagi hubungan pemangsa dengan mangsanya tetapi hu-bungan jiwa yang hidup dengan jiwa yang hidup sesamanya.”
(23)
Tokoh Angkatan Abad XX
berkata : “Aku sendiri sudah faham. Tetapi si sinting ini tentu belum mengerti.
Maka tulis-kanlah untuk dia, wahai As-Siba’i !”
Aku berbicara dalam
hati : “Tokoh Angkatan Abad XX duduk di tempat duduknya yang biasa dipergunakan
setiap ia merenung dan berfikir untuk berfilsafat. Tetapi kali ini tanpa
persiapan sesuatu, tanpa alat perlengkapan maupun buku. Ini menunjukkan bahwa
konsepsi-konsepsi, ide-ide dan gagasan-gagasannya akan direkam di kepalanya
untuk kemudian di-dektekan melalui otaknya yang brillian itu kepada As Siba’i.
Setelah cukup lama ia
berfikir dan menatap, mengigat-ingat dan mencari, kemudian ia berkata : “Filsafat serigala dan kambing. Yang satu tidak memakannya, dan yang lain
tidak menanduknya. Itu secara lisan dan tertulis sebagaima-na disampaikan
oleh sang guru dengan catatan kecil, bahwa hafalan si sinting yang tolol ini
belum mengerti filsafat itu.”
Nampak dari pandangan
matanya si sinting sangat ma-rah dan menaruh dendam, lalu dia berkata : “Yang
kuingat adalah : Setiap malam ia senantiasa melontarkan ide-ide ba-runya, dan dengan gigih ia berusaha untuk menafsirkan
air de-ngan air.”
Tokoh Angkatan Abad XX
membantah : “Kurang ajar ! Demi Allah, kalau anda menggunakan api dan minyak
maka biarkanlah aku memakai keledai dan himar. Menurutku di da-lam pembicaraan filsafat itu adalah suatu jalan
yang bersih dan indah. Pohon-pohon dan bunga-bunga di tepi jalan saling
bere-but menyambutnya. Ketinggian batang dan daun-daunnya yang lebat
saling berbenturan dan saling menyambar seperti petir. Tetapi setelah anda
berbicara seperti itu, maka ketololan anda telah mangantarkan aku ke suatu
jalan berbatu cadas dan pa-das sehingga gerobak barang yang ditarik keledai
dungu itu berbunyi kreyat-kreyot.”
Si sinting mengajukan
argumentasinya : “Demi Allah aku tidak bermaksud untuk mengacaukan pikiran
anda. Jika aku tahu dan memang begitu
kenyataannya tentu aku berkata ; “Dan dengan gigih ia berusaha
menafsirkan air dengan spirtus. Te-tapi itu tidak benar. Yang betul adalah
menafsirkan air dengan air.”
Tokoh Angkatan Abad XX
menjawab : “Tetapi tafsir itu terlalu bodoh seperti menafsirkan orang gila
dengan menga-takan ; ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang sinting.’
Aku
berkata : “Bukan begitu menurut Al Jahizd. Menafsir-kan orang gila bentuknya tidak
demikian. Aku mendengar seseorang berkata kepada temannya : “Pengembara itu
me-nurutku adalah seorang zindiq.” Temannya bertanya : “Apa-kah zindiq itu ?”
Ia menjawab : “Itu yang suka mengiris hati.” Temannya bertanya lagi :
“Bagaimana anda tahu bahwa ia tu-kang mengiris hati ?”
Di jawab : “Aku
melihatnya sendiri ketika ia sedang ma-kan kurma dicampur dengan cuka.”
(24)
Cukup lama juga kami
bersama dua orang gila di dalam forum tidak resmi ini, ngobrol ke sana ke mari,
melewati bebe-rapa topik, berpindah dari satu judul kepada judul yang lain. Dan
kini aku bermaksud untuk menyudahi pembicaraanku de-ngan merangkum dan
menyimpulkan seluruh apa yang telah dapat kurekam dalam pembicaraan bersama
mereka setelah mereka saling membuka pintu kepalanya masing-masing dan
memuntahkan isi di dalamnya.
Di depan kami lewat
seorang penjaja buku bacaan, bu-ku-buku roman dan komik, buku cerita detektif
dan kriminal, semuanya adalah terjemahan dari Eropa. Secara sadar si penjual
mempunyai misi tertentu, yaitu mengimpor kebudaya-an asing agar dapat diserap
oleh pemuda-pemudi kita.
Aku bertanya kepada
Tokoh Angkatan Abad XX : “Apa-kah anda sudah membaca buku-buku seperti itu ?”
Ia menjawab : “Satu
kali dan tidak pernah membacanya lagi. Sebab kini aku sendiri menjadi cerita
yang sama dengan buku cerita itu.”
Aku berkata : “Hebat !
Baru sekarang kudapati orang genius, sekali baca sudah bisa membuat cerita.
Wah, bagai-mana caranya ?”
Ia menjawab : “Kalian
tidak memahami watak tokoh, maka kalian tidak akan dapat merasakan
bagaimana kedala-man tanggapannya serta tidak terbayangkan bagi kalian beta-pa
ketajaman otaknya, belum termasuk keunikannya yang khas dan intuisinya yang
supernatural itu.”
Aku bertanya : “Ya, ya,
ya, aku sudah tahu semuanya. Tidak ada yang patut di sebut tokoh kalau
tidak mempunyai dua dunia. Pada satu sisi ia
harus di sini, sedangkan pada sisi lain ia mesti di sana. Ia sudah
terlatih dan betah di antara dua alam. Sedangkan jiwanya tersusun dari dua
konstruksi, satu di atas aksioma ilmu pengetahuan dan satunya di atas rumus
ketololan karena jiwa ini diperoleh dari alam konkrit dan dari alam abstrak
secara bersamaan dalam satu waktu dan tempat. Pada suatu waktu ia bisa
mengambil ruang dan pada suatu ruang ia bisa mengambil waktu, namun ia tidak
terbatas pada ruang dan waktu. Kadang-kadang ia terikat dengan wak-tu bumi,
namun kadang-kadang ia terikat dengan planet lain, naik ke bintang, mampir ke
bulan, tetapi...”
Ia memotong
pembicaraanku : “...Tetapi selain itu, piki-ran-pikiran inilah yang membatasi
mereka yang menamakan dirinya ahli pikir kontemporer yang hanya bergumul dengan
kegelisahan, keresahan, kekhawatiran, ketakutan, kerasukan dan kehinaan. Karena
mereka hidup di atas tanah bumi.”
Aku menjawab : “Ya,
kalau mereka hidup di atas tanah maka mau tidak mau nilai-nilai tanah ada di
atas, di bawah, di depan, di belakang, di sekitar dan di sekeliling mereka.
Mere-ka tidak akan mengolah bumi ini melainkan kehidupan tanah dengan seluruh
nilainya. Tetapi.....”
Ia menyambung :
“.....Tetapi, di samping itu mereka ter-ikat seperti ikatan orang-orang gila.
Walaupun tali pengikat adalah mereka mental, namun rantai mereka adalah
intelek-tual bukan persepsi. Dan mereka dibelenggu kuat-kuat seperti halnya
orang-orang gila. Hanya saja mereka menyebut diri-mereka sendiri dengan “kaum
intelektual”, bukan “kaum maj-nun”. Dan
justru orang-orang pandai dari mereka itulah yang menjadi penghalang
berat bagi mereka. Apakah itu yang anda katakan hebat ?”
Aku jawab : “Ya,
orang-orang pandai yang benar-benar cerdas adalah mereka yang apabila berada
dalam situasi ter-lepas dari ikatan, mereka akan ditertawakan. Dan apabila me-reka
berada dalam kondisi selamat dari cobaan, mereka dice-moohkan. Tetapi.....”
Ia melanjutkan :
“Tetapi, tambahan selain itu dan ini, mereka tidak punya kebahagiaan, maka
mereka tidak memiliki pemikran-pemikiran yang lucu, yang mempesona, yang aneh-aneh,
yang hanya merupakan kekhususan bagi para tokoh. Dan satu-satunya yang memiliki
kekhususan para tokoh ada-lah Tokoh Angkatan Abad XX.”
Aku
berkata : “Ya, walaupun mereka memiliki kebahagia-an, namun mereka tidak menyadari hal itu.
Sedangkan tokoh, tidak menyadari hal itu karena ia sudah terbiasa merasakan
kebahagiaan. Artinya, tokoh senantiasa gembira sekalipun ada sebab atau tanpa
sebab selama ia masih punya simpa-nan pemikiran-pemikiran lucu, mempesona, dan
aneh-aneh, yang timbulnya pertama kali karena mereka terbiasa lupa, se-hingga
ditertawakan orang. Ia tidak punya norma kecuali ke-mauan temannya, di atas
kehendak temannya dan untuk ke-pentingan temannya. Tetapi...”
Ia berkata : “Yang
terpenting dari semua itu dan yang paling istemewa adalah apabila
pikiran-pikiran lucu, mempe-sona dan aneh-aneh itu datang dari temannya tapi ia
tidak menyukai. Lalu temannya itu diusirnya. Dan andaikata terda-pat sesuatu
yang merugikan dirinya sendiri, maka temannya itu disingkirkan. Sebab dalam hal
ini ia mempergunakan mate-matika Yahudi dengan perhitungan ekonomi yang harus
men-dapatkan keuntungan lima puluh kali lipat....”
Aku
menjawab : “Ya, dan selalu seperti anak kecil. Alang-kah dungunya ia, dan betapa tololnya
ia ketika ia selalu mele-paskan kebodohannya itu di dalam sesuatu yang bersifat
ra-hasia dan sangat pribadi. Maka keluarlah ketololan-ketololan yang serupa,
dan dunia nampak terbalik, tak ubahnya seperti seorang ibu yang sedang
menimang-nimang si buyung atau bercanda dengannya. Tetapi….”
Ia meneruskan :
“Tetapi.... ini klimaks yang tidak akan dicapai oleh manusia biasa kecuali
pribadi-pribadi yang luar biasa dalam kegeniusannya seperti Tokoh Angkatan Abad
XX ini.”
Aku berkata : “Ya,
tetapi bagaimana bisa Tokoh Angka-tan Abad XX jadi cerita ketika ia membaca
buku cerita ?”
Ia menjawab :
“’Begitulah kepekaan seorang tokoh yang mempuyai tanggapan eiditis. Andaikan
pengarangnya juga tokoh seperti aku, tentu terbetik dalam hatinya suatu ilham
sufistis dan terdetik fikirannya suatu inspirasi filosofis yang dapat menyibak
alam metafisika sehingga dia tahu bahwa di antara pembaca buku ceritanya
terdapat Tokoh Angkatan Abad XX. Maka dia akan menghindari beberapa pengertian
yang bukan pengertiannya, ungkapan yang bukan tujuannya, dan dia pasti akan
memilih pemeran lain bukan seorang ke-kasih yang khianat, bukan pencuri sadis,
bukan pembunuh bayaran, bukan penjara gelap, bukan pengadilan yang sering-kali
mengeluarkan kata-kata “Apa itu, di mana
saudara, maka dari itu....”
Aku bertanya : “Apa
hubungan anda dengan kekasih yang berkhianat di dalam kertas, dan pencuri sadis
pada letter huruf cetak, dan pembunuh bayaran dalam fantasi, penjara gelap dan
pengadilan yang tertera dalam halaman buku, bu-kan dalam dunia kenyataan itu ?”
Ia menjawab :
“Disinilah kepekaan seorang tokoh yang kritis. Aku tidak suka menelan sebuah
cerita sebelum kukunyah pribadi-pribadi dan personel-personelnya terlebih
dahulu, atau sebelum kucerna kasus demi kasus peristiwa-nya. Tiba-tiba seorang
kekasih berkhianat kepadaku. Kalau tidak karena aku takut di penjara dan
dihadapkan ke meja pe-ngadilan, pasti kubunuh dia secara sadis, walaupun dengan
jalan menyewa pembunuh bayaran dan kemudian kupublika-sikan dengan
kalimat-kalimat yang tidak enak di dengar ma-syarakat. Sungguh dia perempuan
laknat. Bagaimana dia da-pat mencuri hati sedemikian rupa, dan sanggup
melompati pa-gar-pagar tulang yang tersusun tinggi, dan mampu merusak
sendi-sendi dan otot-otot yang kokoh itu. Sayang, aku bukan insinyur sipil dan
bukan seorang arsitek. Maklum, laki-laki itu sudah gila syahwat seperti singa
luka atau gajah meradang yang gila. Sedangkan aku adalah dengan syahwat seorang
to-koh yang berakal seperti akal manusia. Dan laki-laki itu kaya seperti orang
dungu yang kaya, sedangkan aku fakir seperti fakirnya ulama. Dan perempuan
laknat itu, perhiasan yang mencari kesenangan untuk dirinya. Maka oleh karena itu, dia membiarkan pipinya dicium
oleh kera, asalkan kera itu menge-luarkan emas dari duburnya. Sedangkan
type seorang laki-laki tokoh seperti aku kekayaannya adalah ; muda, bagus, akal
dan popularitas. Selain aku, laki-laki itu bangkrut di samping perempuan laknat
dan memungut kaca matanya.”
Aku berkata : “Itu
tidak hebat, karena ahli bahasa me-letakkan sesuatu nama dengan pengertian yang
sinonim.”
Si
sinting menyambung : “Seperti itu yang kuingat.”
Mata Tokoh Angkatan
Abad XX merah, sedangkan mu-kanya kusam, lalu ia berkata : “Rupanya si sinting
ini mau mempermainkan aku. Dia menganggap bahwa ahli bahasa menamakan aku
dengan kera. Coba kamus kalian dan cari kata kera (qirdun) kemudian cari lagi
kata tokoh (nabighatun). Adakah keduanya sinonim ? Sungguh malang nasibmu wahai
anak ingusan. Kini biarkan aku menghajarmu seperti guru menghajar muridnya atau
seperti orang tua menghajar anak-nya. Tamparan keras di pipi anak kecil yang
hakikatnya ada-lah anak besar, akan menyentuh hakikat yang membesarkan dirinya
sehingga tamparan ini akan masuk kedalam otaknya melalui jalan paling cepat.”
Amien Syarif menyambung
: “Bukankah anda sendiri yang berkata, bahwa anda selamanya bukan kera, kecuali
di hadapan perempuan cantik yang mempesona
penuh glamour, yang genit menggiurkan, yang telah meletakkan pelana kuda
di atas punggung raja itu dan menjadikan sebagai keledai, hingga sang raja
tercengang dibuatnya, dan merasa heran kepada dirinya mengapa ia bisa menjadi
keledai si perempuan itu. Sedangkan anda, bukan kera seperti kera-kera di hutan
yang hidup berdampingan kambing dan anjing.”
Ia menjawab : “Nah,
sekarang aku tahu apa sebabnya, maka kekasih khianat yang fantastis itu mengarang
buku-buku roman. Dan tidak mustahil dia akan mengarang buku cerita tentang
seorang laki-laki yang di depan matanya ia hanyalah seekor kera. Itu bisa
terjadi kalau perempuan ini cantik dan secantik perempuan yang ada di dalam
cerita. Tetapi, kalau dia jelek dan berbeda dengan kenyataan, atau umurnya
su-dah tua, maka seluruh harinya hanyalah seperti hari Ahad ba-gi kaum
Nashrani, hari libur yang sepi dari jual-beli dan tidak ada pengembalaan. Baik
perempuan yang ini maupun perem-puan yang itu, kedua-duanya menjadikan
laki-laki seperti air tergenang di sebuah jalan tidak bisa untuk memanaskan apa-lagi untuk memasak, atau untuk
membakar. Perempuan penga-rang buku itu tidak terlepas dari dua
kemungkinan. Jika dia berwajah cantik maka akan memperkuat dugaan bahwa dia
mempunyai banyak hutang kepada laki-laki. Tetapi jika dia berparas jelek maka
akan memperkuat dugaan bahwa dia sama sekali tidak terikat hutang dengan
laki-laki.”
Kami bertanya : “Itu
mengenai kekasih yang khianat. Bagaimana dengan kekasih yang telah mencuri anda
padahal anda bukan orang kaya ?”
Ia menjawab : “Di
sinilah kepekaan seorang tokoh yang sensitif, yang menyimpan banyak rahasia di
dalam dirinya tetapi sulit dijangkau tafsirnya. Dalam kebodohannya tidak
menimbulkan bahaya bagi siapapun juga. Kebodohan yang tidak berbahaya itulah
ilmu yang tidak bermanfaat, tetapi tetap ilmu. Menganalisa sebagian tingkah
laku dan ulah seorang to-koh sama saja dengan menyelidiki rahasia hidup di
dalam diri-nya, sebab ia melakukan perbuatan-perbuatannya itu dengan rahasia
hidup bukan rahasia akal. Artinya, dengan rahasia akal tokoh yang khusus bagi
dirinya sendiri bukan akal natural yang umum berlaku bagi kebanyakan manusia.”
Aku berkata : “Yang
sangat kukagumi dalam pribadi an-da itu adalah, sebab anda tidak membaca buku
cerita itu bahkan anda mengarang cerita itu.”
Ia menjawab :
“Begitulah adanya, meskipun aku tidak mengaranya, tetapi dia perempuan
kekasihku itulah yang me-ngarang
untukku. Jika malam telah tiba, dan manusia nye-nyak dalam tidurnya, aku
bangun sendirian untuk mencerita-kan alam ini. Dan aku dapat menyaksikan apa
yang dapat kulihat. Pada siang hari kulihat seluruh manusia adalah orang-orang
yang berakal. Tetapi di waktu malam mereka nampak olehku adalah manusia-manusia
gila. Jadi, alam ini menjadi saksi nyata atas kegilaan dan kelemahan akal
mereka. Maka, secara natural alam ini memenuhi kebutuhan akal kepada suatu
bentuk kelupaan dan ketololan, tetapi tanpa alam tidak mungkin akal dapat
berfikir dan menghasilkan pemikiran-pemikiran pada siang hari. Pada malam
harinya, manusia ber-gulat seperti orang gila. Mereka memejamkan mata dan tidak
melihat apa-apa. Sedangkan aku sendiri, melihat alam ini pa-da waktu malam
seeperti panggung lawak yang penuh de-ngan gelak-tawa dari manusia-manusia
bodoh yang telah me-mutuskan waktu siangnya dalam tidur, padahal mereka yakin
bahwa mereka hidup dan menggengam dunia ini dengan ke-dua mata, dua telinga dan
dua lobang hidung mereka. Tetapi di mana anda
melihat singa dengan kedua mata anda, wahai manusia tolol ? Dan di mana
pula anda mendengar aumnya dengan kedua telinga anda, hai orang bodoh ? Apakah
pe-ngakuan dan pertanyaan anda itu tidak berpura-pura, bahwa anda memiliki
dunia dan menggenggamnya ? Apakah anda tidak sadar bahwa anda dalam hal ini
seperti orang hendak menangkap bayang-bayang dirinya dengan kedua tangan
kemudian berteriak-teriak minta tolong ; “ambilkan tali untuk mengikatnya agar
tidak lepas dari genggamanku !”
Aku berkata : “Kalau
benar alam ini seluruhnya cerita anda maka coba keluarkan satu bab untuk kami.”
Ia berkata :“Mana yang
lebih kalian sukai, tertulis atau diperagakan saja.”
Kami menjawab :
“Diperagakan saja.”
Si sinting melihat
kepada Tokoh Angkatan Abad XX lalu berkata : “Watak orang gila memancar dari
beberapa orang yang ditransformasikan sedikit demi sedikit ke dalam dirinya
seperti sumber mata air yang melimpah setahap demi setahap hingga membanjiri
suatu tempat yang rendah. Di sini pang-gung, dan ceritanya sekarang adalah ; ‘Dokter
dan Majnun.’ As-Siba’i sebagai paman majnun. Kalau ia menyebut ‘om’
ke-padamu, katakan saja : “Aku bukan pak likmu, tetapi saudara ayahmu” supaya
ia mengerti perbedaan dua ungkapan itu. Sungguh
perbedaannya begitu sensitif untuk mengasah otak. Kemari wahai pasien,
aku berharap kesembuhanmu berada di tanganku, dan di tanganku ini terdapat
sentuhan Al Mahdi, karena Tokoh Abad XX sekarang menjadi Dokter Abad XX. Ingat,
kalian jangan marah atau takut kepadanya. Ajukan ke-padanya apa saja
kebutuhanmu dan berbuatlah sesuatu untuk menyenangkan hatinya, sebab memberi
kesenangan kepada orang gila berarti memnyumbangkan pemikiran ke dalam
ke-palanya.
Kapan anda menyanggah
pikiran anak saudaramu itu wahai Siba’i ? Dan apa sebabnya ? Dan bagaimana
akalnya dapat kau tundukkan ? Apakah Amien Syarif ini bibinya atau saudara
ibunya ? Semoga Allah mengasihimu wahai orang miskin ! Katakanlah kepadaku,
apakah kemarin kamu masih ingat ? Apakah besok kamu masih akan ingat ? Kemarin
dan besok dalam perhitungan orang gila sudah tercakup semua. Dia beruntung
karena dunia ini dimulai setiap hari untuknya, yang sepertiga adalah masa-masa
berduka-cita baginya. Dia menganggap sudah dapat membahagiakan ahli pikir
dengan cara menggembirakan hati mereka malalui gelak-tawa, lelu-con dan teka
teki.
Katakanlah kepadaku
wahai manjnun ! Apakah dunia ini diciptakan
hanya untuk dirimu saja ? Ataukah dirimu yang mem-buat dunia ini untukmu
? Problema ini dapat dipecahkan oleh semua orang gila dengan mempergunakan
metodenya yang khas. Lantas bagaimana metode kamu untuk memecahkan-nya ?
Mengapa kamu tidak menjawab wahai tolol ! Ini satu se-gi. Dan segi lain,
berikan uang kepadanya agar ia mau mem-buka mulut, atau bayarkan ongkos
dokternya yang tidak lebih dari lima ribu rupiah.”
Tokoh Angkatan Abad XX
menoleh kepada si sinting dan membantingkan sesuatu kepadanya, tetapi kami
segera bertindak dan berkata : “Perintah dia itu bukan problema. Ini seribu
rupiah untuk pasien, dan lima ribu rupiah buat dokter-nya.”
Si sinting menyambung :
“Harapanku adalah, “Semoga lekas sembuh.”
Sesudah itu sang dokter
menjawab : “Pasien ini terserang satu jenis penyakit gila yang disebut “Yang ku-ingat.” Penyakit lupa yang
terletak di sebuah tempat di dalam otak, berupa sebuah kalimat yang hanya dapat
diingat oleh majnun. Lawannya adalah penyakit gila “Skeptis” yakni me-ragukan segala apa yang terdapat di sekitar
pasien ini. Se-waktu-waktu penyakitnya berubah menjadi penyakit “feeling” yang apabila anda
menyentuhyna dengan jari anda maka an-da menyangka kalajengking. Yang paling
ditakuti adalah apa-bila kalajengking ini menyengat kepada orang yang
menyen-tuhnya. Kemudian, untuk memeriksa penyakit lainnya harus diadakan
diagnosa secara mendalam sebab majnun ini bukan termasuk orang gila
kalajengking yang membelot dari jalannya atau yang keluar dari potensinya. Dia
juga bukan orang gila yang menggila dalam mencari rezki, dan tidak termasuk
orang gila yang bersikap masa bodoh dengan penghidupan, seperti, kata sebagian
orang “Lebih baik bodoh tapi menambah in- comeku dari pada aku menambah akal
untuk incomeku’.”
Si
sinting menyambung : “Yang kuingat adalah “Lebih baik bodoh tetapi mencukupi hidupku.”
Tokoh
Angkatan Abad XX tertawa dan berkata : “Itu persis seperti yang kuterangkan
kepada kalian, bahwa orang yang terserang penyakit gila “Yang kuingat” adalah penyakit paling ringan dan sedikit sekali
orang yang mengidap penyakit itu. Penyembuhannya mudah, tidak sulit dan
sederhana, yaitu menyantuni, menggembirakan dirinya, dan uang. Kalau perlu
dengan tempelengan. Kalau dengan pukulan penyakitnya ma-sih tetap, berarti
penyakitnya sudah berubah, bukan gila “Yang
kuingat” lagi tetapi gila “Yang kupukul”. Karena orang yang
berpenyakit seperti itu beranggapan bahwa setiap orang menjatuhkan sebuah
pukulan atas dirinya. Kalau pe-nyakit kedua ini sudah parah, maka obatnya
adalah “Baju Bi-ru” yakni seragam
nara pidana. Tetapi, kalau masih belum juga berhasil, berarti penyakitnya sudah
berubah menjadi pe-nyakit gila baru yang disebut “Yang kubunuh”, dan obatnya adalah dipasung atau disalib.
Sebenarnya
aku bisa menjelaskan kepada kalian bahwa akhirnya filsafat Dokter abad XX
adalah, bahwa seluruh ma-nusia adalah gila dengan kadar yang berbeda satu
dengan lainnya. Seperti hilangnya akal bisa diukur sebagai gangguan psychis,
dan keadaan abnormal bisa dinilai sebagai kelainan watak dan pembawaan. Maka
dari itu tidak heran kalau sebagian dari mereka menganggap Bimaristan sebagai
Villa. Akan tetapi masih banyak bahan-bahan penganalisaan lain-nya untuk
meneliti lebih jauh dan lebih dalam lagi. Oh ya, di rumahku ada mentol. Apabila si sinting ini menghirupnya pasti dia
bersin keras-keras sehingga kegilaannya akan keluar dari hidungnya. Katakan
kepadaku, wahai orang tak beruntung ! Apakah kamu takut berjalan sendirian di
tanah lapang yang luas karena kamu mengira
tanah lapang itu akan manelanmu ? Apakah kamu ragu-ragu lewat di sebuah
gang yang sempit karena kamu mengira gang itu akan menjebakmu ? Dan ketika kamu
sedang berada di dalam sebuah gerbong kereta api apakah terbayang dalam benakmu
bahwa Bimaristan telah ditarik oleh lokomotif dan berlari kencang bersamanya ?
Apakah sesekali waktu kamu merasakan bahwa Bimaristan selalu menggodamu untuk
bunuh diri saja ? Perlihatkan kepa-daku uang yang ada dalam genggaman tanganmu
itu.!
Si
sinting membuka tangannya memperlihatkan
uang itu kepada dia. Kemudian Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Lihat
sekarang, adakah dalam hatimu terdetik prasangka bahwa aku akan mengambil atau
mencuri uang itu dari ta-nganmu ?”
Si
sinting menjawab : “Ya”
Majnun
berkata : “Kalau demikian aku harus memasuk-kannya ke dalam kantong bajuku
ini.”
Dengan cepat, Tokoh Angkatan Abad XX merampas uang itu
dari tangan si sinting,
dan segera dimasukkan ke dalam sa-kunya.
(25)
Si
sinting berteriak-teriak sambil mengatakan: “Ooooi, ia telah mencuri uangku!”
Kami
berkata : “Dalam mendramakan cerita itu tidak bo-leh terjadi hal-hal yang tidak baik antara kalian berdua. Ini uang
penggantinya, tetapi kami ingin bertanya kepada anda apakah dalam filsafat seorang tokoh diperbolehkan mencuri
atau me-rampas hak orang lain ?”
Tokoh
Angkatan Abad XX menjawab : “Sekarang ceri-tanya tentang filosof agung Plato
dengan muridnya Aristo. Katakan kepadaku wahai Aristo celaka, tahukah anda
bahwa di kalangan orang gila terdapat juga orang kaya yang mencuri sesuatu yang
tidak berharga dan kecil artinya sedangkan ia sama sekali tidak membutuhkan
sesuatu itu. Nah, bagaimana argumentasi anda sekarang, dan termasuk aspek apa
dalam konsep orang-orang gila ? Ataukah anda tidak tahu jawaban-nya ? Maka
dengarkan wahai Aristo ! Bahwa orang yang me-rampas uang itu adalah orang gila.
Apabila ia hanya memper-gunakan satu rupiah untuk membeli sesuatu, maka
nilai sesuatu itu ada pada rupiah.
Sedangkan nilai dirinya sebagai orang kaya, maka apalah artinya satu rupiah itu
jika diban-dingkan dengan jumlah kekayaannya, sebab ia tidak memper-soalkan
nilai sesuatu itu bagi dirinya. Jadi, kalau ia mencuri maka nilainya tetap pada
dirinya bukan pada nilai uang yang dicurinya. Karena mencuri baginya adalah
harga diri dari piki-rannya dan dengan argumentasi yang mendatangkan kepua-san
tersendiri yang tidak dapat diukur dengan seluruh keka-yaan dunia ini. Itulah
yang disebut gila kepuasan bukan gila pencurian, dimana hal itu termasuk salah
satu bentuk keasyi-kan. Kalau ia tidak mencuri sesuatu, sama halnya dengan
membiarkan perempuan cantik yang menolak cintanya. Orang-orang lapar, kalau
mengambil sesuatu untuk dimakan dan sekedar mempertahankan hidupnya, maka di
dalam ba-hasa filsafat tidak disebut mencuri tetapi mengambil haknya. Karena
lapar yang memaksa mereka, dan mereka
terpaksa la-par maka mereka terpaksa makan. Sedangkan di sini, yang
mencuri itu adalah orang kaya yang tidak butuh pertolongan atau tidak
memerlukan pemberian dari siapa pun. Ketahuilah Aristo bahwa dunia ini terbalik
dan posisinya berubah-ubah, Jika posisi dunia ini tetap, tentu tidak ada
kebahagiaan bagi seluruh penghuninya. Bagaimana mungkin kebahagiaan akan
diperoleh, sedangkan manusia diciptakan dalam ketidak sem-purnaan ? Kecelakaan
paling besar akan terjadi di dunia apa-bila ketidaksempurnaan manusia itu
dipergunakan untuk menyelidiki ketidaksempurnaan orang lain. Seluruh himar
ingin untuk memenuhi perutnya dengan buah kurma, kedelai atau gandum. Tetapi
tidak pernah kulihat ada himar yang ingin memenuhi kandangnya dengan dirinya.
Jika tidak ada himar yang seperti itu, yang ingin berbuat begitu, maka ia
disebut manusia, bukan himar. Hei Aristo ! Paling jeleknya manusia adalah orang
yang berusaha untuk memecahkan problema yang terdapat di dalam jiwa himar, sama
jeleknya dengan himar yang berusaha untuk
memecahkan problema kejiwaan yang terdapat pada manusia.
Maka,
selamanya tidak akan ada problema yang terpe-cahkan apabila setiap manusia
terhadap manusia lainnya sa-ma dengan himar terhadap himar lainnya. Jiwa yang
jelek adalah dari perbuatan syetan. Maka sepantasnya bila Malai-kat datang
untuk memerangi syetan dengan kilat dan petir karena membela manusia. Tetapi
Allah tidak menghendaki yang demikian itu, lalu Dia mengirimkan malaikat lain
yang berupa agama. Jika manusia mau, boleh ia mempergunakan-nya dan kalau tidak
ya, ditinggalkan. Apabila jiwa manusia, pikiran, kemauan dan perasaannya sudah
mendapatkan hida-yah dan berbuat sesuatu
dengan garis-garis agama yang di-ajarkan-Nya, maka manusia ini melebihi Malaikat. Sebaliknya, kalau manusia meninggalkan agama-Nya dan menentang
hida-yah-Nya maka manusia ini lebih rendah dari syetan.
Aristo,
alam ini bagiku adalah kumpulan tidak ada, yang seimbang antara menampak dan menyamar. Alam ini bagiku adalah kelemahan yang
menunggang. Dan alam ini bagiku bukan apa-apa, hanyalah antara dan
antara yang terdiri dari dua bagian yang berlawanan. Di antaranya adalah
petani, dan inilah paling utamanya filsafat naturalis. Dan alam ini
mem-butuhkan kepada maut, sedangkan maut membutuhkan alam. Budi pekerti adalah
hidup. Tidak ada hidup tanpa budi pekerti. Budi pekerti itu ada dua, bersifat
moral dan etik. Kadang-kadang budi pekerti itu bersifat naturalistis seperti
pembawaan yang ada pada diri Tokoh Angkatan Abad XX ini. Siapa Ang-katan Abad
XX itu ? Ia adalah pribadi yang mati tanpa maut dan hidup tanpa nyawa !
Wahai
Aristo ! Apakah anda ingin tahu rahasia susunan alam ? Masalahnya mudah tidak
sulit. Rahasia susunannya seperti struktur uang yang ada di tangan anda itu.
Maka coba- perlihatkan dulu uang di tangan anda itu maka aku akan men-jelaskan rahasia struktur yang terdapat
di dalamnya.
(26)
Tetapi
si sinting cepat-cepat menyembunyikan uang ke dalam saku bajunya.
Lalu
Tokoh Angkatan Abad XX berkata : “Ini politik kotor dan akan kancilku saja.
Ceritanya sekarang adalah, “Politik Abad
XX.” Hakikat dari politik adalah perbuatan licik dan bu-suk dari kaum
politikus. Bahasa politik yang mengandung banyak makna itu hakikatnya tidak
mengandung makna. Hati-hati dengan politik Timur termasuk bahasa politiknya
yang mengandung dua pengertian atau satu setengah pengertian atau separuh
pengertian. Jika mereka berkata kepada kita, “Merah,” kita katakan kepada mereka, “Tulislah merah itu dengan kata ini !” Dan setelah mereka
menulisnya, maka katakan lagi kepada mereka, Gambarkan di samping merah itu suatu
pengertian yang berwarna merah agar kita dapat melihat karakter dirinya bahwa
essensinya memang merah, tidak lainnya. Di atas cara inilah anda harus
menuliskan kon-veksi politik Barat dan Timur.
Sementara
itu mereka telah menulis untuk kita beberapa surat kabar dengan nama-nama
makanan, kemudian mereka berkata : “Makanlah sepuas-puasnya agar perut kalian
ke-nyang.” Telah banyak kusaksikan “Deklarasi” tetapi bukan se-perti demokrasi
yang kita inginkan. Kita menghendaki agar setiap orang gila dapat menunjukkan manifestasinya. Tetapi
orang gila tolol yang ada di hadapan kita ini bukan seorang patriotik, dan di
dalam jiwanya tidak sedikit pun kita dapati ada tanda-tanda patriotisme. Sebab,
kalau dia memang seorang patriot tentu dia akan bersikap ksatria. Dan dengan
ksatriaan-nya dia akan rela mengeluarkan uang yang disembunyikan di dalam
sakunya sebagai dana untuk mendorong semagat dan memberi harapan optimisme bagi
Mesir dalam usahanya me-ngusir tentara penjajah.
(27)
Tetapi
si sinting tetap tidak mau mengeluarkan uangnya dan membiarakan tentara
penjajah menduduki Mesir.
Tokoh
Angkatan Abad XX berkata : “Sekarang ceritanya adalah Polisi dan Pencuri.
Adalah wewenang polisi berda-sarkan undang-undang untuk menyelidiki pencuri
supaya dia mau mengeluarkan uang dari dalam sakunya.”
(28)
Namun,
majnun tetap tidak mau mengeluarkan uang-nya, maka Tokoh Angkatan Abad XX
berkata : “Semua itu sia-sia bagi orang gila yang bakhil ini. Maka ceritanya
sekarang berubah lagi, yaitu tentang Harun
Al Rasyid dengan Alkoho-lis.
Adalah kewajiban bagi Harun Al Rasyid untuk menyadar-kan
pemabuk supaya ia membersihkan uangnya dari dosa.”
(29)
Oleh
karena kami menolak Harun Al Rasyid yang ber-usaha untuk menyadarkan pemabuk
agar uangnya bersih dari dosa, maka Tokoh Angkatan Abad XX berkata lagi :
“Seka-rang ceritanya adalah soal percintaan, “Asyik Ma’syuk.”
Ia
memandangi si sinting dengan mata yang turun naik. Dalam pandangan matanya, si
sinting tak lebih dari hanya seorang laki-laki. Maka ia melakukan sesatu yang
aneh dan memperlakukan dia seperti seorang perempuan cantik yang bersolek.
Untuk itu ia mengeluarkan sepasang sepatu yang la-lu diletakkan pada kedua kaki
si sinting sambil berkata : “Per-mainan cinta adalah suatu bukti yang kuat bagi
orang yang sedang mabuk asmara bahwa cinta itu bukan suatu permai-nan. Setiap
pemikiran tentang cinta sekecil apapun, namun cinta itu menjadi besar dalam
pikiran. Dalam sepatu di kakimu ini wahai kekasih, terdapat sebuah peti emas
yang indah da-lam pandangan orang bakhil. Setiap sesuatu, di mana engkau
berada, di dalamnya terdapat rahasia kecantikanmu. Dan se-patu di kakimu ini
bukan sepatu biasa tetapi, sebagian batang tubuhmu yang indah. Maka tidak
kudapatkan arti kemesraan cinta sebelum aku dapat mengelilingi seluruh tubuhmu
sampai ke batasnya. Tubuhmu ini, wahai pujaanku, bagaikan air tawar yang
mengalir pada setiap tempat. Dan tempat yang berair itu sepenuhnya adalah rohmu
jua. Apabila terjadi kecupan pada tubuhmu maka di dalam kecupan itu terdapat
dua bibirmu yang merah delima. Nah, inilah kecupan pada kakimu dan ini kecupan
pada kedua betismu, dan inilah kecupan pada
baju-mu, kemudian inilah kecupan pada, pada.....pada sakumu !”
Hampir
saja Tokoh Angkatan Abad XX dapat menge-luarkan uang dari dalam saku si
sinting, tetapi secepat kilat dia mengapit
tangan sang tokoh pada ketiaknya dan menghim-pitnya kuat-kuat sehingga
ia merasa kesakitan dan kemudian ia berteriak keras-keras
sehingga menggetarkan ruangan, menggema dan menggeletar seperti suara
burung elang di angkasa raya.
Dan
kemudian, ia sadar dari alam mimpinya, maka ter-lepaslah ia dari kegilaannya,
dan hilanglah ketololannya, dan selamatlah dari kemajnunannya.
(30)
Maka
sekarang ceritanya adalah “Kaki yang tidak pa-kai sepatu.”
TAMAT
DR. MUSTHOFA SHODIQ AR
RAFI’IE
(
1880 – 1937 / 1297 – 1356 )
§ Tarikh Adab Al
Arab
§ Tahta Rayah Al
Quran
§ Alas Saffud
§ Hadits Al Qamar
§ Al Ma’rakah
§ I’jaz Al Qur’an
§ Rasail Al Ahzan
§ As Sahab Al Ahmar
Fi Falasafah Al Hubb Wal Jamal
§ Al Masakin
§ Auraq Al Wardi
Kemudian
karangan-karangannya dibukukan oleh Muhammad Said Al ‘Uryan dengan judul Wahyul
Qalam yang di antaranya terdapat judul Majnun
dan Aku, Ustad dan Profesor yang
telah saya terjemahkan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar