Konsep Hulul al-Hallaj
Latar Belakang: Sebuah Prolog Yang
Parsial
Tasawuf sebagai metode
intuitif-konstruktif menuju kebenaran hakiki, dalam dunia Islam menduduki
posisi tersendiri yang banyak berpengaruh dalam perjalanan peradaban Islam.
Perkembangan dan ketinggian posisi dari tasawuf melebihi berbagai kritikan
pengamat dan penentang eksistensinya. Tasawuf eksis dengan berbagai persoalan
yang melingkupinya dari zaman ke zaman.
Dunia pencarian Tuhan ini terus
berevolusi menawarkan kebenaran instuitif yang sering dicari manusia yang
berada dalam keputusasaan rasionalitas dan intelektualitas. Di saat pilihan
rasionalitas tidak menemukan jawaban sebagai solusi, di saat jawaban tidak lagi
memuaskan, dan juga di saat rasionalitas terjebak dalam kegersangan rasa, maka
pengetahuan intuitif sering kali menjadi alternatif pilihan untuk menemukan
kepuasan pencarian kebenaran.
Tasawuf sendiri mempunyai warna sesuai
dengan kondisi pelaku dan waktu yang melingkupinya. Memang terkadang sulit
merasionalisasikan tasawuf dengan rasionalitas. Karena sebagian diantaranya
adalah pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan oleh pengetahuan rasionalitas
yang begitu deskriptif, analitif, dan definitif. Ia adalah pengetahuan
subjektif yang masing-masing manusia berbeda persepsi, satu titik yang bertolak
belakang dengan objektifitas yang jadi ukuran utama kebenaran dalam rasio.
Apapun definisinya tidak akan pernah bisa mengungkapkan hal yang sebenarnya.
Layaknya definisi mawar tidak akan pernah bisa merasakan keindahan mawar itu
sendiri. Jadi wajar jika dalam perjalanannya ia tetap menjadi ulasan yang tetap
menarik sepanjang waktu, perdebatan para pakar, menghasilkan banyak sarjana,
bukan saja dalam dunia Islam tapi juga dalam dunia orientalisme.
Tapi apapun versi tasawufnya, semua
penganutnya percaya bahwa apa yang mereka percaya dan kerjakan adalah suatu
doktrin terdapat dalam al-Qur’an dan contoh riil dari nabi Muhammad SAW, untuk
diterjemahkan sebagai kebenaran walaupun dengan tebusan jiwa sekalipun. Seperti
halnya dengan salah satu ikon terbesar dalam sejarah tasawuf dalam peradaban
Islam yaitu Mansur al-Hallaj yang mati terbunuh untuk mempertahankan
keyakinannya.
Metode yang digunakan untuk memenuhi
ambisi penulis dalam membidik kehidupan Mansur al-Hallaj dan juga konsep
tentang Nasut, Lahut dan Hulul adalah dengan mengkaji literatur-literatur (litterer research) yang
berisi dan menyinggung tasawuf falsafi. Cara utama dan pertamanya ialah melihat
tahun atau masa dimana sufi itu hidup dan juga meneliti karakter ajaran dan
perilaku yang dijalankan.
Geneologi Pelacakan Tasawuf Al-Hallaj:
Perjalanan dari Awal
1. Embrio Tasawuf
Dalam Islam (Asketisme)
Sejak zaman sahabat sudah dikenal
beberapa sahabat yang memiliki kepribadian mengagumkan sebagai wujud dari
keshalehan individual maupun sosial. Mereka menganut secara ketat konsep-konsep
keshalehan dan wara’ yang merupakan varian dari perilaku tasawuf. Perilaku
sahabat yang paling terkenal adalah perilaku Ibnu Umar dengan cerita ruku’-nya
yang terkenal yaitu lamanya ia ruku’ sampai burung pun menganggapnya sebagai
dahan pohon.[1] Ali pun dikenal sebagai pemuda yang memiliki kesalehan yang
luar biasa, begitu juga Abu Dzar al-Ghifari yang diterima periwayatan hadisnya
oleh syi’ah. Umar, Khalifah kedua dalam sejarah Islam juga dikenal sebagai
orang yang secara ketat dari kepemilikan harta, hingga tersebut bahwa ia hanya
mempunyai dua baju, salah satunya mempunyai 70 tambalan.[2] Disamping mereka,
masih banyak lagi kisah-kisah yang mengagumkan dari para sahabat Nabi Islam.
Kesalehan tersebut disandarkan pada
perilaku Nabi sendiri yang selalu hidup sederhana dan penuh dengan sifat-sifat
mulia, yang dalam pandangan Aisyah,”akhlaquhu
ka al-Qur’an yajri fi al-ard”. Perilakunya bagaikan al-Qur’an yang
berjalan di atas bumi. Sebuah ungkapan tentang contoh hidup (teladan) dari
sebuah idealisme Islam. Sehingga wajar tatkala Muhammad wafat, banyak para
sahabat yang yang merasa sedih kehilangan beliau, bahkan ketika haji wada’ (haji perpisahan) para
sahabat telah banyak yang menangis karena kata-kata Nabi telah menandakan bahwa
beliau akan meninggal.[3]
Pada saat Tabi’in hidup pada abad
pertengahan awal hijriah, memang telah ada sekelompok orang yang menyerahkan
hidupnya hanya untuk Allah, diantaranya yang hidup pada 21-110 H/728 M adalah
Hasan al-Bashri, dari kalangan Tabi’in Madinah tapi kemudian menetap di
Bashrah. Hasan al-Bashri mengenalkan beberapa konsep antara lain:
- Zuhud dan menolak segala kesenangan dunia.
- Khauf (takut) akan segala bentuk dosa.
- Raja’ yaitu pengharapan akan mardlotillah.[4]
Hasan melihat bahwa umat Islam pada saat
itu telah banyak terjebak pada kesenangan duniawi, kesenangan yang mudah dan
banyak didapatkan karena dunia Islam telah berada pada masa kemakmuran. Dan
para pejabat yang duduk diposisi strategis banyak terbuai oleh kesenangan
profanistik, mereka menghiasi dirinya dengan kemegahan dan kemewahan yang tidak
dicontohkan oleh Nabi sendiri semasa hidupnya.
Hasan al-Basri akhirnya membentuk sebuah
majlis (kelompok) kecil dan mewariskan ajaran-ajarannya pada murid-muridnya. Di
dalam majlisnya tersebut yang terletak di Bahsrah, kelompok Hasan al-Basri
inilah yang merupakan cluster
perkembangan tasawuf tahap awal.
Selain Hasan al-Basri, tokoh sufi
terkenal lainnya adalah Rabi’ah al-Adawiyah yang lahir pada 95 H/713 M di
Basrah.[5] ia terkenal dengan Hubb
Allah-nya, sufi perempuan pertama yang terkenal ini mengenalkan
konsep hub allah
dalam pengertian yang kuat dan emosional. Memang istilah hubb bisa kita temukan dari
hadis-hadis Nabi, tapi konsep hubb
dalam Rabi’ah al-Adawiyah telah mengantarkannya pada esoterik cinta. Ia
meninggal pada 185 H/801 M dalam kesendiriannya di dalam gua yang selama ini
menjadi tempatnya berasyik masyuk dengan Sang Tuhan.[6]
Tidak dijelaskan apakah Rabi’ah pernah
berguru pada Hasan al-Bashri, tapi beberapa sejarawan ada yang mencatatnya
telah pernah bertemu dengan Hasan al-Bashri, tapi tentu saat itu usia Rabiah
masihlah sangat muda. Jika ia bertemu pada tahun 110 pada akhir masa al-Bashri
tentu Rabiah masih berusia 15 tahun. Tapi yang jelas menurut sejarah ia berguru
pada Sufyan al-Tsauri (97-161 H), yang juga salah seorang zahid generasi
awal.[7]
Tapi terus terang pada masa diatas
penggunaan nama sufi masih belum penulis temukan kecuali pendapat Abd al-Rahman
al Jami yang mengatakan bahwa pada masa ini telah ada seorang zahid bernama abu
Hasyim al-Kufi (w.776 M) yang hidup di kufah telah disebut sebagai sufi,[8]
tapi pendapat ini tidak sesuai dengan pendapat kebanyakan pengamat sejarah
Islam, jadi wajar jika sebagian sarjana Islam mengistilahkan masa diatas sebagai
masa asketisme dan prilakunya disebut dengan zahid atau apa yang penulis sebut
periode ini sebagai periode embrio tasawuf.
2. Tasawuf Awal dan Perkembangan: Kultur
Intelektual Al-Hallaj
Pada masa Abbasiyah telah hadir Dzu
al-Nun al-Mishri, ia dilahirkan di Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal
sebagai pengkritik prilaku ahli
Hadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai
perselingkuhan dengan duniawi, sebuah kritikan yang membuat para Ahlu al-Hadist kebakaran
jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq,
pada tingkat penolakan yang kuat oleh ahlu
al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang saat
itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah dan
dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya,
al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia sufi dan
telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luas oleh para peneliti tasawuf.
Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang sufi. Ia
meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir.
Setelah al-Misri, datang seorang sufi
bernama Surri al-Saqathi pada 253 H, ia mengenalkan uzlah-uzlah yang sebelumnya
hanya dikenal sebagai tindakan menyendiri secara personal, dikembangkan
al-Saqathi menjadi “uzlah
kolektif”, uzlah
yang ditujukan untuk menghindari kehidupan duniawi yang melenakan ataupun
kehidupan duniawi yang penuh degan pertentangan, intrik dan pertumpahan darah.
Pada masa-masa diatas telah mulai dikenal istilah sufi di beberapa kalangan,
sebuah sebutan bagi mereka yang menghindari secara ketat terhadap kesenangan
duniawi dan memilih untuk memfokuskan diri pada perkara uhkrawi (kelak konsep
uzlah inilah yang banyak dianut oleh tasawuf sunni dikemudian hari).[9]
Abu Yazid al-Bistami pada 260 H/873 M,
seorang sufi Persia yang mulai mengenalkan konsep ittihad atau penyatuan asketis dengan Tuhan,
penyatuan tersebut menurutnya dilalui dengan beberapa proses, mulai fana’ dalam dicinta, bersatu
dengan yang dicinta, dan kekal bersamanya. Jadi wajar jika al-Bistami dianggap
oleh Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Lammen, sebagai pendiri tasawuf
dengan ide orisinil tentang wahdatul wujud di timur sebagaimana theosofi yang
meruapakan kekhasan pemikiran Yunani.[10]
Pengaruh Abu Yazid saat itu sangat luas
bukan hanya di dunia muslim tapi menembus hingga batas-batas agama. Tapi tentu
ungkapan-ungkapan al-Bistami telah menghadirkan pertentangan dengan Ulama’
Hadis, mereka mengancam pandangan-pandangan pantheisme al-Bistami yang di
anggap sesat.
Pasca al-Bishtami, al-Junaid pada 297 H
/ 909 M hadir dengan coba mengkompromikan tasawuf dengan syariat,[11] hal ini
ia lakukan setelah melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlu al-hadhi.[12]
di masanya, lagi pula al-Junaid juga mempunyai basik (otoritas) sebagai seorang
ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan
ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaum yang sesat. Dan
rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandang kalangan
ortodoksi terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277 H)
yang juga menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan
tasawuf.
Mansur Al-Hallaj,[13] murid al-Junaid
yang hidup pada 244-309 H/858-922 M hadir dengan lebih berani dan radikal, sufi
yang juga pernah berguru pada para guru sufi di bashra ini hadir dengan konsep hulul yaitu konsep wahdatul
wujud dalam versi yang lain, jika al-Bistami memulainya dengan fana’ fillah, maka al-Hallaj
mengemukakan pemikiran al-hulul
yang berangkat dari dua sifat yang dipunyai manusia yaitu nasut dan lahut dengan cara
mengosongkan nasut
dan mengisinya dengan sifat lahut
maka manusia bisa ber-inkarnasi dengan Allah atau yang terkenal dengan istilah hulu [14]
dan seterusnya. Al-Hallaj tidak memakai tedeng
aling-aling dalam
menceritakan pengalaman spiritualnya dalam khalayak umum, baginya yang ada
hanyalah Allah, tidak ada sesuatu pun yang harus ditutupi dari sebuah
kebenaran, baginya kecintaan pada Allah dan “persetubuhan” dengan Allah
dapatlah diraih, bahkan saat al-Hallaj dipasung ia sempat berkata,”Ya Allah
ampunilah mereka yang tidak tahu, seandainya mereka tahu tentu mereka tidak
akan melakukan hal ini”.[15]
Para sufi-sufi diatas kemudian
diklasifikasikannya sebagai sufi falsafi (tasawuf falsafi) dan sufi akhlaqi
(tasawuf amali) antara yang termasuk tasawuf falsafi adalah al-Hallaj,
al-Farabi, dan al-Bistami, dan diantara yang menganut tasawuf amali adalah
al-Junaid dan al-Kharraj.[16] Kaum falsafi biasanya diidentikkan dengan konsep sakr (mabuk) dan isyraqiyah
(pancaran), adapun tasawuf amali atau akhlaqi biasanya diknal dengan konsep sahw (ketenangan hati) dan zuhd.[17]
3. Perjalanan Intelektual Mansur
Al-Hallaj: Suatu Kilas Balik
Di usia yang sangat muda, ia mulai
mempelajari tata bahasa Arab, membaca Al-Qur’an dan tafsir serta teologi.
Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan
untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya bercerita
kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang sufi berani dan independen yang
menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki Islam. Sahl adalah seorang sufi
yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan terkenal karena tafsir
Al-Qur’annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktek-praktek
kezuhudan keras semisal puasa dan shalat sunat sekitar empat ratus rakaat
sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat dan mengabdi kepada sufi
ini.[18]
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan pindah ke Bashrah. Tidak jelas mengapa ia berbuat
demikian. Sama sekali tidak dijumpai ada laporan ihwal corak pendidikan khusus
yang diperolehnya dari Sahl. Tampaknya ia tidak dipandang sebagai murid
istimewa. Al-Hallaj juga tidak menerima pendidikan khusus darinya. Namun, ini
tidak berarti bahwa Sahl tidak punya pengaruh pada dirinya. Memperhatikan
sekilas praktek kezuhudan keras yang dilakukan al-Hallaj mengingatkan kita pada
Sahl. Ketika al-Hallaj memasuki Bashrah pada 884 M, ia sudah berada dalam
tingkat kezuhudan yang sangat tinggi. Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amir
al-Makki yang secara formal mentahbiskannya dalam tasawuf. Amir adalah murid
Junaid,[19] seorang sufi paling berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn Amir selama
delapan belas bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amir juga. Tampaknya seorang
sahabat Amir yang bernama al-Aqta yang juga murid Junaid mengetahui kemampuan
dan kapasitas spiritual dalam diri al-Hallaj dan menyarankan agar ia menikah
dengan saudara perempuannya, (Massignon menunjukkan bahwa pernikahan ini
mungkin punya alasan politis lantaran hubungan al-Aqta). Betapapun juga Amr
tidak diminta pendapatnya, sebagaiman lazimnya terjadi. Hal ini menimbulkan
kebencian dan permusuhan serta bukan hanya memutuskan hubungan persahabatan
antara Amr dan Al-Aqta, melainkan juga membahayakan hubungan guru-murid antara
Amir dan al-Hallaj. Al-Hallaj yang merasa memerlukan bantuan dan petunjuk untuk
mengatasi situasi ini, berangkat menuju Baghdad dan tinggal beberapa lama
bersama Junaid, yang menasehatinya untuk bersabar. Bagi Al-Hallaj, ini berarti
menjauhi Amr dan menjalani hidup tenang bersama keluarganya dan ia kembali ke
kota kelahirannya. Diperkirakan bahwa ia memulai belajar pada Junaid, terutama
lewat surat-menyurat, dan terus mengamalkan ke-zuhud-an.
Enam tahun berlalu, dan pada 892 M,
al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin
diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi
mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa,
melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya
dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktek
kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada
Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi
oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa
pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia
membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr
al-Makki dan mungkin juga Junaid.
Sangat boleh jadi bahwa Amr segera
menentang al-Hallaj. Aththar menunjukkan bahwa al-Hallaj datang kepada Junaid
untuk kedua kalinya dengan beberapa pertanyaan ihwal apakah kaum sufi harus
atau tidak harus mengambil tindakan untuk memperbaiki masyarakat (al-Hallaj
berpandangan harus, sedangkan Junaid berpandangan bahwa kaum sufi tidak usah
memperhatikan kehidupan sementara di dunia ini). Junaid tidak mau menjawab,
yang membuat al-Hallaj marah dan kemudian pergi. Sebaliknya, Junaid meramalkan
nasib Al-Hallaj.
Ketika al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia
memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid. Namun
pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan
merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia
pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia
kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan
tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899 M, ia berangkat
mengadakan pengembaraan apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu,
kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902 M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai macam
tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga mengenal dan
akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang kemudian
digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba kembali di Tustar,
ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah tentang berbagai
rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa bermakna
rahasia atau kalbu).[20] Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap rahasia
atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru ia menarik sejumlah besar
pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat sejumlah
ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah
haji kedua. Kali ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai
empat ratus pengikutnya. Banyak legenda dituturkan dalam perjalanan ini
berkenaan dengan diri al-Hallaj berikut berbagai macam karamahnya. Semuanya ini
makin membuat al-Hallaj terkenal sebagai mempunyai perjanjian dengan jin.
Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan Tustar untuk
selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi terkenal, ia
bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906 M, ia memutuskan untuk
mengemban tugas mengislamkan orang-orang Turki dan orang-orang kafir. Ia
berlayar menuju India selatan, pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan
kemudian kembali ke Bagdad. Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan
semakin membuatnya terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin bertambah.
Tahun 913 M adalah titik balik bagi
karya spiritualnya. Pada 912 M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga
kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir
dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913 M inilah ia merasa
bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan
dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia
mengucapkan, “Akulah Kebenaran” (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan
ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta
Allah pada menusia dengan menjadi “hewan kurban”. Ia rela dihukum bukan hanya
demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap
manusia. Ia menjadi seorang Jesus Muslim, sungguh ia menginginkan tiang
gantungan.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj
berikut pandangan-pandangannya tentang agama, menyebabkan dirinya berada dalam
posisi berseberangan dengan kelas penguasa. Pada 918 M, ia diawasi, dan pada
923 M ia ditangkap.[21]
Sang penasehat khalifah termasuk di
antara sahabat al-Hallaj dan untuk sementara berhasil mencegah upaya untuk
membunuhnya. Al-Hallaj dipenjara hampir selama sembilan tahun. Selama itu ia
terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan kudeta pun meletus di Bagdad. Ia dan sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan
pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir
khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan
memerintahkan agar ia dieksekusi.
Tak lama kemudian, al-Hallaj disiksa di
hadapan orang banyak dan dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan
tangannya terpotong. Kepalanya dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri
hadir dalam peristiwa itu. Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram
minyak dan dibakar. Debunya kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris dan
diterpa angin serta hanyut di sungai itu.[22]
Melacak Paradigma
Pemikiran Al-Hallaj: Pemikiran Gradual Dalam Tataran Konsep
Husein ibn Manshur al-Hallaj yang
merupakan syekh sufi paling terkenal pada abad 9 M, karena ia mengeluarkan
statemen kontroversial, “Akulah Kebenaran”, suatu statemen yang membuatnya
dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodoks, kematian ini dijustifikasi
dengan alasan bidah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang
manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (al-Haq) adalah salah
satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya
sendiri.
Kaum sufi yang sezaman dengan al-Hallaj
juga sangat terkejut dengan pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang
sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniyyahnya
kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu
menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya
adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap
rahasia tersebut.
Walau demikian, hampir semua syekh sufi
sesudahnya memuji al-Hallaj dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. ‘Aththar
dalam karyanya Tadzkirat al-Aulia, menyuguhkan banyak legenda seputar
al-Hallaj. ‘Aththar menyatakan, seperti yang dikutip oleh Muhammad Ali Jamnia,
bahwa ketakjuban manusia yang bisa menerima semak-belukar terbakar (yakni,
mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as.) yang mengatakan, ‘Aku
adalah Allah’, serta benar-benar meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata
Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’,
padahal itu adalah kata-kata Allah sendiri!”.[23] Di dalam syair epiknya yang
terkenal yaitu Matsnawi,
Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa kata-kata ‘akulah Kebenaran’ adalah pancaran
cahaya di bibir Manshur, sementara ‘akulah Tuhan’ yang berasal dari Fir’aun
adalah kedzaliman.[24]
Perlu dipahami bahwa pada abad ke 3 H,
sufisme telah mentransformasi diri dari kezuhudan dan kesederhanaan kepada
suatu pemahaman yang cenderung mengabaikan syariat secara berlebihan dan
radikal,[25] seperti kecenderungan para fukaha Ahlussunnah kepada syariat.
Tokoh-tokoh sufi berpendapat bahwa pelaksanaan syariat itu hanya tepat untuk
tahap permulaan, atau sekedar tangga yang mesti dilalui untuk pindah ke tahap
berikutnya. Sebagian tokoh—terutama al-Hallaj—berpendapat bahwa barang siapa
sudah sampai ke tujuannya, dia tidak memerlukan perantara lagi, dia
diperbolehkan mengabaikan perantara-perantara tersebut. Karena itu, mereka
berpendapat bahwa syariat itu boleh saja dilaksanakan sekedar formalitas;
karena pelaksanaan syariat itu bahkan kadang-kadang menyebabkan timbulnya
halangan dalam menyelamatkan diri mereka.[26]
Al-Hallaj dan kawan-kawannya lebih jauh
bahkan berpendapat bahwa para wali mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan
Nabi. Hubungan para wali dengan Tuhan mereka adalah hubungan langsung; mereka
menyatu dan melebur (fana) di dalam-Nya. Sedangkan para nabi tidak berhubungan
dengan-Nya kecuali perantara. “Kami mengarungi lautan, sedangkan para nabi
berdiri di tepi lautan itu”. Mereka, Para sufi, berkata bahwa hanya diri mereka
yang paling dekat dengan sang Mawla (Tuhan) jika dibandingkan ulama fikih Ahl
al-Sunnah yang paling taqwa sekalipun. Bahkan mereka lebih tahu tentang agama
dibandingkan mereka. Agama ulama fikih, menurut mereka, adalah agama lahir,
sedangkan agama mereka sendiri adalah agama batin. Mereka mengklaim bahwa
makrifat dan hikmah Ilahiyyah lebih tinggi daripada ilmu para ulama. Alasannya,
tidak ada ilmu yang menandingi tafakur, dan orang yang sudah mendalam ilmunya,
maka dia akan dapat melihat dengan benar.[27]
Pemikiran al-Hallaj tentang inkarnasi (hulul), ke-fana-an dalam Zat Tuhan,
serta kesatuan wujudnya dengan Tuhan dituduh telah menggangu ketenangan Islam.
Al-Hallaj memproklamirkan tentang pencampuran ruh Tuhan dengan ruh manusia,
seraya menjelaskan dalam syairnya bahwa dirinya dan al-Haq, sang Pencipta
adalah satu :
Akulah yang ingin dan Yang ingin adalah
aku
Kami adalah dua ruh yang tinggal di satu
badan
Jika kamu melihatku, berarti melihat-Nya
Dan jika kamu melihat-Nya, berarti kamu
melihat kami.[28]
Dalam dua buah bait syairnya di atas,
dia mengemukakan bahwa dua sisi jurang telah tergabung. Yaitu, jurang yang tak
berbatas dengan jurang yang berbatas; antara Allah dan manusia, menurut para
fukaha Islam.[29]
Al-Hallaj dalam pengajaran doktrinnya
yang paling dramatic adalah Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut,
demikian juga manusia. Melalui maqam
(stasiun), manusia mampu ke tingkat fana
suatu tingkat di mana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan meningkatkan lahut yang mengontrol dan
menjadi inti kehidupan. Dalam demikian itu, manusia memungkinkan untuk
menghululkan Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain, Tuhan menitis kepada
hamba yang dipilih-Nya, melalui titik sentral yaitu roh.[30]
Sesuai dengan ajarannya tersebut, maka,
ketika ia mengatakan statemen “Aku adalah Al-Haqq” bukanlah al-Hallaj yang
mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan mengambil tempat dalam dirinya.
Artrinya Tuhan mengucapkan kata-kata melalui diri al-Hallaj sebagai mediasi
profinistiknya.
Sementara itu, Hulul-nya Tuhan kepada
manusia erat kaitannya dengan maqamat sebagai mana telah disebutkan, terutama
maqam fana. Fana bagi al-Hallaj
mengandung tiga tingkatan:
- Tingkat memfanakan semua kecenderungan dan keinginan jiwa.
- Tingkat memfanakan semua pikiran (tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah.
- Tingkat menghilangkan semua kekuatan pikir dan kesadaran.
Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat
fana al-fana,
peleburan wujud jati manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul hingga yang
disadarinya hanyalah Tuhan.[31] Tiada dalam kesadaran manusia akan eksistesi
dirinya yang larut dalam fana
kecuali kesadaran akan eksistensi Tuhan.
Karena Tuhan itu adalah Wahid, Ahad, Wahiid, dan Muwahhad maka pada dasarnya
tidak ada yang mengesakan Allah kecuali Allah sendiri. Selama mengaku
kediriannya dalam mengesakan Allah itu, selama itu ia belum bertauhid dan masih
berada dalam syirik khafi.
Oleh karena Tuhan ‘melarut’ dalam diri hamba yang dikehendaki-Nya, maka tauhid
si hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang fana al-fana itu sendiri, di
mana ‘diri’ telah ‘berubah’ kepada Dia yaitu al-Haqq.[32]
Salah satu teorinya yang lain adalah
adanya fenomena Nur Muhammad.
Al-Hallaj memandang kepada Nabi Muhammad dalam dua bentuk yang berbeda satu
sama lain. Satu bentuk adalah berupa Nur Muhammad yang qadim, telah ada sebelum
adanya segala yang maujud ini, dan dari padanya terpancar segala macam ilmu dan
pengetahuan yang ghaib. Yang kedua adalah bentuk Nabi yang diutus keadaannya
baharu, dibatasi oleh waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.[33]
Ide Nur Muhammad itu menghendaki adanya
Insan Kamil, sebagai manifestasi kesempurnaan pada manusia. Dari sini al-Hallaj
menampilkan Insan Kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri melainkan
kepada diri Nabi Isa al-Masih. Bagi al-Hallaj, Isa adalah al-Syahid ala Wujudillah,
tempat tajalli dan
berwujudnya Tuhan. Demikian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada
kehidupan Isa al-Masih itu.[34]
Penutup
Mansur Al-Hallaj merupakan suatu ikon
tokoh tasawuf kontroversial dengan memunculkan statemen-statemen, diluar
jangkau rasionalitas manusia yang tidak mempunyai otoritas spiritualitas
seperti dirinya. Konsep yang dimunculkannya banyak berimplikasi konstruktif
pada penyatuan pandangan terhadap agama-agama di dunia menuju titik konvergensi
dan pencerahan religiusitas umatnya. Dan dengan konsep Hulul-nya ini pula,
manusia dapat meraih hakikat spritualitas-religiusitas paling tinggi dan juga
mampu meraih “penyatuan” dengan realitas ketuhanan menuju fase “kenikmatan
tanpa batas”.
Tiada kata akhir selain kata “akhir”
dari kalam Tuhan,
billahi taufiq wal hidayah.
DAFTAR PUSTAKA
Rahman Afzalur Tuhan Perlu Disembah:
Eksplorasi Dan Manfaat Shalat Bagi Hamba. Jakarta: Serambi.
2002.
Hamdani Rasyid. Kisah Tauladan Para
Sahabat Nabi. Surabaya: PT. Inika Setya. 1997.
Syukur Amin. Menggugat Tasawuf.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Lammens H. Islam, Beliefs and
Institutions. New Delhi: Oriental Bokks. 1979.
Anwar Rosihon. Ilmu
Tasawuf.
Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000.
Nasution Harun. Falsafat Dan
Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1995.
Ajoeb Joebaar. Mengungkap Misteri
Sufi Besar Mansur Al-Hallaj: Ana Al-Haqq. Jakarta: CV.
Rajawali. 1986.
2000.
Abdul Sabur Saleh. Tragedi Al-Hallaj.
Bandung: Pustaka. 1995.
Syihab Alwi. Islam Sufistik.
Jakarta: Mizan. 2001. Hal: 29. Lihat juga dalam
Ali Yusril. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1987.
Nursiah. Ibnu Arabi Dan
Syariah. Mizan: Bandung. 2007.
Azhari Noer Kausar. Ibnu Al-‘Arabi:
Wihdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina.
Footnote
[1] Afzalur Rahman. Tuhan Perlu Disembah:
Eksplorasi Dan Manfaat Shalat Bagi Hamba. Jakarta: Serambi.
2002. Hal: 224
[2] Hamdani Rasyid. Kisah Tauladan Para
Sahabat Nabi. Surabaya: PT. Inika Setya. 1997. Hal: 290.
Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Kalam
Mulia. 2001. Hal: 59-69
[3] Muhammad Husein
Haekal. Sejarah Hidup Nabi Muhammad. Yogyakarta: Pustaka
Hidayah. 1996. Hal: 478
[4] Amin Syukur. Menggugat Tasawuf.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999. Hal: 12
[5] Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 6. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4. Hal: 60
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Al- Jami’ Abd
al-Rahman. Nafahat al-Uns Min Hadarat al-Quds: Pancaran Kaum Sufi. Terj.: Kamran As’ad
Irsyady, Edt.: Bioer R. Soenardi.Yogyakarta: Pustaka Sufi. 2003. Hal: 3
[9] Kata uzlah juga
dikenal di kalangan tasawuf falsafi, uzlah dalam pandangan ini mengandung
pengertian sebuah usaha untuk mencapai nalar rasional. Uzlah tipe ini
dikemukakan oleh Ibnu Bajjah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam
Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1997. Cet. 4.
Hal: 154
[10] Amin Syukur. Menggugat …
Op. Cit. Hal: 33
[11] H.Lammens. Islam, Beliefs and
Institutions. New Delhi: Oriental Bokks. 1979. Hal: 126
[12] Istilah ahli hadis
pada masa itu tidak hanya dipakai untuk mereka yang memang punya spesifikasi
hadis tapi juga para ulama fiqh, yang menyandarkan pendapatnya pada teks-teks
al-qur’an dan al-hadis.
[13] Mansur Al-Hallaj
dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara,
pada 866 M. Berbeda dengan keyakinan umum, Al-Hallaj bukan orang Arab,
melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan
ayahnya memeluk agama Islam. Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf.
Bandung: CV. Pustaka Setia. 2000. Hal: 135
[14] Hulûl secara etimologis
berasal dari kata hall-yahull-hulûl
berarti berhenti atau diam. Menurut Abû Manshûr al-Hallaj dalam tasawuf
filosofis menyatakan bahwa hulûl
adalah pengalaman spiritual seorang sufi sehingga ia dekat dengan Allah, lalu
Allah memilih kemudian menempati dan menjelma padanya. Konsep hulûl dibangun di atas
landasan teori lâhût
dan nâsût. Lâhût
berasal dari perkataan ilâh
yang berarti tuhan, sedangkan lâhût
berarti sifat ketuhanan. Nâsût
berasal dari perkatan nâs
yang berarti manusia; sedangkan nâsût
berarti sifat kemanusiaan. Al-Hallaj mengambil teori hulûl dari kaum Nasrani yang
menyatakan bahwa Allah memilih tubuh Nabi Isa, menempati, dan menjelma pada
diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiaannya
telah hilang. Hulûl
Allah pada diri Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulûl Allah pada diri
al-Hallaj bersifat sementara; melibatkan emosi dan spiritual; tidak fundamental
dan permanen. Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali
ucapan yang tidak disadarinya (syathahât).
Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiannya. Ia hanya tidak menyadarinya
selama syathahât.
Adapun tazkiyat al-nafs
adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqâmât hingga merasakan
kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fanâ’
‘an al-nafs. Out
put dari tazkiyat
al-nafs adalah lâhût
manusia menjadi bening, sehingga bisa menerima hulûl dari nâsût
Allah. Harun Nasution. Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam.
Jakarta: Bulan Bintang. 1995. Hal: 87-91. Lihat juga dalam Shayk Ibrahim Gazur
I-’llahi. The Secret Of The ’l-Haqq. Terj: HR. Bandaharo dan
Joebaar Ajoeb. Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj: Ana Al-Haqq.
Jakarta: CV. Rajawali. 1986.
[15] Al-Hallaj dipasung
oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah pada tahun 923 M atas tuduhan paham sesat
dan atas tuduhan terlibat dengan aliran syi’ah qaramiyah yang menentang dinasti
Abbasiyah. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi … Op. Cit. Hal: 74. Lihat pula dalam
Ira M. Lapidus. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 1999. Hal: 172
[16] Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme
Klasik ke Neo Klasik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2000. Hal: 69-141
[17] Georges C.
Anawati. Philosophy, Theology,
And Mysticism, dalam Legacy Of Islam. Edt.: Joseph Schaht.
Oxford: Oxford University Press. 1984. Hal: 368
[18] Rosihon Anwar. Ilmu
Tasawuf
… Loc. Cit. Hal: 135. Lihat juga dalam Mahyuddin. Kuliah Akhlaq …
Op. Cit. Hal: 74
[19] Rosihon Anwar. Ilmu
Tasawuf
… Op. Cit. Hal: 135
[20] Saleh Abdul Sabur.
Tragedi
Al-Hallaj. Bandung: Pustaka. 1995. Hal: viii. Lihat juga
dalam Cyril Glasse. The Concise Ensyclopedia Of Islam.
Terj: Ghufron A. Mas’adi. Ensiklopedi Islam (Ringkas). Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 120
[21] Alwi Syihab. Islam Sufistik.
Jakarta: Mizan. 2001. Hal: 29. Lihat juga dalam Yunasril Ali. Pengantar Ilmu
Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1987. Hal: 67
[22] Rosihon Anwar. Ilmu
Tasawuf
… Op. Cit. Hal: 136
[23] Mojdeh Bayat dan
Muhammad Ali Jamnia. Negeri Sufi. Jakarta : Lentera. 1997.
Hal: 5
[24] Ibid. Hal: 7
[25] Nursiah. Ibnu Arabi Dan
Syariah. Mizan: Bandung. 2007. Hal: 10
[26] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh Dalam
Sejarah Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 1995. Hal:
113
[27] Ibid.
[28] Kausar Azhari
Noer. Ibnu
Al-‘Arabi: Wihdatul Wujud Dalam Perdebatan. Jakarta:
Paramadina. 1995. Hal: 124
[29] Husin Ahmad Amin. 100 Tokoh …
Op. Cit. Hal: 113
[30] M. Laily Mansur. Ajaran Dan Teladan
Para Sufi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996. Hal: 112
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Nur Aini. Nur Muhammad:
Paradigma Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Makalah Latihan Kader II HMI Cabang Jember Se Jawa Dan Bali di Yabina. Tanggal
20 Oktober 2006. Maklah tidak diterbitkan.
[34] M. Laily Mansur. Ajaran Dan Teladan …
Op. Cit. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar