Sabtu, 14 Januari 2012

ISLAM LIBERAL Oleh : Charles Kurzman


ISLAM LIBERAL
Oleh : Charles Kurzman


Ungkapan “Islam liberal” (liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengenali Islam melalui unsur-unsurnya yang paling eksotik. Agama Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana disebut dalam karya Voltaire, Mahomet, or Fanatism (1745). Kekuasaan politik Islam disamakan dengan kezaliman, seperti yang sengaja diungkapkan oleh Mountesque dalam frase pleonastiknya yang berlebihan ”kezaliman Timur” (Oriental despotism) atau definisinya Francis Bacon (1612) : “Sebuah monarki yang, di mana tidak ada nilai-nilai kebangsawanan sama sekali, merupakan sebuah tirani yang murni dan absolut; sebagaimana kerajaan orang-orang Turki “. Praktek-praktek militer Islam disamakan dengan teror dan pemerkosaan seperti yang digambarkan dalam lukisan terkenal Eugene Delacroix “Pembantaian di Chios” (Massacre at Chios [1824]). Tradisi Islam disamakan dengan keterbelakangan dan keprimitifan sebagaimana terungkap dalam ceramah pengukuhan Ernest Renan di Collége de France (1862), satu dari dokumen-dokumen temuan Orientalisme modern:
Islam merupakan pengingkaran total terhadap Eropa…. Islam merupakan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah bentuk kesederhanaan spirit bangsa Semit yang mengerikan, membatasi pemikiran manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentimen yang beradab, dan penelitian rasional, untuk membuatnya tetap menghadapi sebuah tautologi yang abadi : Tuhan adalah Tuhan.
Tema-tema ini berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang mengidentifikasi agama tersebut dengan gambaran-gambaran teokrasi dan terorisme yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan bahwa sebuah perang dingin baru mulai tampak. Juga dalam dunia akademik, fokus kajian Islam sangat tercurah pada pemahaman-pemahaman yang radikal tentang Islam, sebagaimana yang tercermin dalam karya-karya akademik dengan judul-judul yang menakutkan, seperti Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage). Memang sebagian kecil Muslim sepakat dengan para Orientalis Barat bahwa Islam itu abadi dan tidak berubah, bahwa kaum Muslimin harus menginterpretasikan firman Tuhan setepat mungkin, dan bahwa Timur dan Barat itu eksklusif dan sangat berlawanan satu sama lain. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: “Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha-usaha mereka pasti gagal. Mengapa harus dimodernkan, kalau Islam itu sendiri sudah sempurna dan sejati, universal, dan berlaku untuk setiap zaman?”
Sekalipun demikian, pandangan kaum Orientalis tentang Islam itu tidak seharusnya dipersalahkan secara keseluruhan. Secara historis, Islam terdiri dari pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam, di antaranya adalah sebuah tradisi yang menyuarakan soal-soal yang paralel dengan isu-isu liberalisme Barat. Para pendukung tradisi ini mengekspresikan kemarahan dengan pernyataan bahwa posisi-posisi mereka “secara umum telah diabaikan oleh para sarjana Barat dan media-media tertentu yang lebih tertarik pada wacana sensasionalisme kaum ekstremis yang menyita perhatian masyarakat Barat”. Di antara masalah yang menjadi perhatian tradisi yang terabaikan ini adalah oposisi terhadap teokrasi, dukungan terhadap demokrasi, jaminan hak-hak kaum wanita dan non-Muslim di negara-negara Islam, pembelaan terhadap kebebasan berpikir, dan kepercayaan terhadap potensi perkembangan manusia --tema-tema yang membentuk enam bagian volume ini. Menyuarakan isu-isu tersebut bisa jadi membahayakan di beberapa negara, dan para pendukung tradisi ini mengalami penderitaan akibat keyakinan mereka, sebagaimana akan didiskusikan kemudian dalam bab ini. Perlu dicatat bahwa sebagian mereka yang lain telah memperoleh keuntungan dari hubungan mereka dengan orang-orang Barat yang sejawat; buku ini, misalnya, mungkin dapat memberikan legitimasi tertentu tentang para penulis yang termasuk dalam buku ini.
Hanya saja apa yang dikatakan tradisi ini membawa sedikit permasalahan. Saya mengikuti saran seorang sarjana hukum Asaf `Ali Asghar Fyzee (India, 1899-1981) yang menulis: “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu ‘Islam Liberal’”. Saya menggunakan istilah “liberal” dengan beberapa catatan penting: Pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya; ketiga, bahwa istilah ”liberal” mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam
, di mana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, dan permusuhan kepada Islam; keempat, konsep “Islam liberal” harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai “kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak punya kualisifikasi untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian; saya ingin mendeskripsikannya saja.
Sekelompok kecil sarjana Barat telah mulai menguji Islam liberal, dalam hal-hal yang sama dengan paradigma yang berubah dalam studi akademis Islam. Berdasarkan studi-studi yang lebih awal tentang keanekaragaman regional dalam Islam, fokus baru mengenai Islam liberal menggembar-gemborkan sebuah penghargaan yang meningkat terhadap keanekaragaman ideologis dalam Islam. Leonard Binder, misalnya, mendiskusikan beberapa pemikir Islam yang pendapat-pendapatnya sebagian diselimuti oleh liberalisme Barat dan hubungan ajaran-ajaran tersebut dengan elemen-elemen Islam yang lain. Abdullah Laroui menguji perubahan konsep kemerdekaan (liberty) dalam Islam, dan secara eksplisit mencatat perdebatan tentang asal-usul dan aplikasi istilah itu dalam di negara-negara berbahasa Arab. Kevin Dwyer mewawancarai para aktivis hak-hak asasi manusia di Afrika Utara dan merinci perjuangan-perjuangan mereka dengan visi yang sangat baik tentang kemajuan dan masyarakat yang baik. Di dalam buku ini, saya bermaksud untuk memberikan kontribusi ke dalam proyek intelektual ini dengan menyajikan teks-teks sebagian besar pemikir Islam liberal ke dalam bahasa Inggris dalam bentuk sebuah bunga rampai.
Selain itu, saya ingin memberikan kontribusi ke dalam literatur Islam liberal dengan menekankan kontek Islamnya. Analisis tentang Islam liberal umumnya dibandingakan dengan liberalisme Barat, dengan implikasi penilaian menurut ukuran-ukuran Barat; karya yang demikian berisiko menimbulkan kritik seperti yang dilontarkan terhadap seorang pengarang Barat, yang dituduh “sangat tertarik pada Islam yang, pada pokoknya, menyatakan pendapatnya secara terus terang mengenai apa yang ia anggap sudah sangat ia kenal, dan membuat dirinya yakin akan supremasi nilai-nilai Baratnya sendiri. Akan tetapi, sejauh kajian Islam liberal terfokus pada dimensi keislamannya, saya percaya hal itu akan terhindar dari kritik yang demikian. Kesamaan Islam liberal dengan liberalisme Barat tidak membawa implikasi bahwa kaum Muslim liberal tidak dinamis dan penjiplak filsafat Barat. Banyak tulisan mereka benar-benar bersumber pada tafsir al-Qur’an, kehidupan Nabi Muhammad dan orang-orang Islam paling awal, dan bentuk-bentuk perdebatan Islam tradisional.
Bagian selanjutnya akan mengaji perkembangan Islam Liberal dan perdebatannya yang berkelanjutan dengan dua tradisi utama lainnya, Islam yang biasa atau Islam adat dan Islam revivalis. Bagian ini kemudian akan mengidentifikasi tiga bentuk Islam liberal berkaitan dengan bacaan-bacaan mereka tentang sumber-sumber Islam yang utama. Bagian terakhir menjelaskan kriteria seleksi terhadap para penulis dan tema-tema yang termasuk dalam volume ini dan memperkenalkannya secara ringkas yang berkenaan dengan tiga model Islam Liberal.

Sejarah tentang sebuah Perdebatan
Sebenarnya setiap wilayah dunia Islam telah mengalami perdebatan-perdebatan yang paralel, di antara tiga tradisi interpretasi sosio-religius, lebih dari dua abad yang lalu. Tradisi-tradisi ini saling melengkapi dan jalin-menjalin dan semestinya tidak dianggap berbeda satu sama lain atau homogen secara internal, tetapi sebagai alat bantu ketiga jenis tradisi itu memberikan sudut pandang yang signifikan bagi sejarah wacana Islam masa kini. Tradisi pertama bisa disebut sebagai “Islam adat” (customary Islam), yang ditandai oleh kombinasi kebiasaan-kebiasan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga dilakukan di seluruh dunia Islam. Di Maroko, tradisi yang umum ini mencakup penghormatan terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci di mana sebagian Muslim merasa tidak mempunyai pengetahuan dasar tentang al-Qur’an; di Indonesia, tradisi semacam ini menyangkut juga pertunjukan-pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang mengekpresikan tradisi-tradisi budaya daerah. Kita bisa juga menyebutkan suara “bedug” di Islam Afrika Selatan, dan tradisi-tradisi musikal lainnya di dunia Islam, kepercayaan orang-orang Kurdi dan umat Islam lainnya terhadap roh-roh orang, perayaan-perayaan tahun baru Islam dan hari-hari suci lainnya di Iran dan tempat-tempat lainnya, hirarki sosial yang menyerupai kasta di kawasan Islam Asia Selatan, kepercayaan terhadap orang-orang dan benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan gaib, dan lain-lain. Kebiasaan lokal itu, tanpa disadari, bisa jadi bertentangan dengan rukun Islam, seperti di Asia Tenggara, di mana “di beberapa tempat menziarahi batu-batu keramat dianggap sebagai pengganti yang cocok untuk ibadah haji (haj)” -ziarah ke Mekkah-yang “dianggap sebagai muslihat orang Arab untuk memperdayaan orang-orang Mukmin”. Tradisi seperti ini merepresentasikan mayoritas terbesar umat Islam di banyak tempat. Namun, tradisi keagamaan seperti itu bukan merupakan sebuah fenomena pemersatu, karena setiap wilayah dunia Islam memiliki praktik adatnya sendiri-sendiri. Maka, tradisi-adat semacam itu cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja, tidak pada tingkat global: identitas (cara ”kita” melakukan sesuatu), kehati-hatian/kebijaksanaan (“memompa” semangat orang-orang yang berkuasa), dan pertalian-pertalian kepada masa lalu (kesetaian kepada seorang guru, gurunya guru, dan seterusnya).
Tradisi kedua, dan alternatif terpenting dalam Islam adat, adalah “Islam revivalis” (revivalist Islam), juga biasa dikenal sebagai Islamisme, Fundamentalisme, atau Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat (customary interpretation) yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Menghadapi penyimpangan-penyimpangan lokal, tradisi revivalis menginginkan penekanan [pentingnya] bahasa Arab kembali (bahasa wahyu), kepalsuan institusi-institusi politik lokal (sebagai “perebut” kedaulatan Tuhan), otoritas kaum revivalis sebagai satu-satunya kelompok penafsir Islam yang memenuhi syarat, dan kebangkitan praktik-praktik keagamaan periode awal Islam. Gerakan Muhammad Ibnu Abd Wahab pada abad ke 18 di Arabia --prototipe untuk semua gerakan-- bertujuan membersihkan pusat-pusat strategis tradisi Islam adat, praktik-praktik yang tidak Islami yang berkembang beberapa abad setelah Islam diwahyukan. Mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana masa Islam berjaya. Contoh yang lebih akhir adalah Tayyib `Uqbi dari Aljazair (wafat 1960) yang menentang dan menganggap Islam adat sebagai bid’ah: “Aku tidak pernah melakukan ziarah-ziarah [ke tempat orang suci] …tidak juga memberikan sesajen-sesajen. … Aku tidak minta pertolongan pada orang yang sudah mati … Mintalah pertolongan pada yang engkau kehendaki, Aku tidak akan pernah tunduk pada kemusyrikanmu”. Banyak analisis tentang perdebatan Islam terfokus pada kedua tradisi ini; antara Islam adat dan Islam revivalis, dan mengabaikan tradisi ketiga yang menjadi focus utama buku ini. Seperti pendukung Islam revivalis, Islam liberal (Liberal Islam) medefiniskian dirinya berbeda secara kontras dengan Islam adat dan menyerukan keutamaan periode Islam paling awal untuk menegaskan ketidakabsahan praktik-praktik keagamaan masa kini. Namun, Islam liberal menghadirkan kembali masa lalu itu untuk kepentingan modernitas, sedangkan Islam revivalis menegaskan modernitas (seperti teknologi elektronik) atas nama masa lalu. Terdapat berbagai versi liberalisme Islam (beberapa mode akan dibicarakan di sini kemudian), tetapi satu elemen yang umum adalah kritiknya baik terhadap tradisi Islam adat maupun Islam revivalis, yang oleh kaum liberal disebut ”keterbelakangan” (backwardness), yang dalam pandangan mereka menghalangi dunia Islam untuk menikmati ”buah” modernitas : kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum, dan sebagainya. Di samping itu, tradisi liberal berpendapat bahwa Islam, jika dipahami secara benar, sejalan dengan -atau bahkan perintis jalan bagi-- liberalisme Barat.
Ketiga jenis pemahaman tentang Islam ini telah terlibat dalam persaingan terus menerus selama lebih dari satu abad di seluruh dunia Islam, di mana revivalisme kadang-kadang melakukan serangan-serangan terhadap Islam adat dan liberalisme kurang memberikan pengaruh. Sesungguhnya, liberal Islam lebih sering menjadi korban ketimbang. Memang, Islam liberal lebih sering menjadi korban ketimbang jadi pemenang.
Islam liberal muncul di antara gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18, masa yang subur bagi perdebatan keislaman. Secara politis, saat itu dinasti-dinasti besar Islam di lembah sungai Mediterania (Kerajaan Turki Usmani), Asia Barat-daya (Dinasti Safawi), dan Asia Selatan (Dinasti Mongol), berada pada masa-masa keruntuhan. Secara evangelis, Islam mengalami kemenangan berkelanjutan memasuki Afrika Barat, di wilayah Barat, dan Asia Tenggara di wilayah Timur. Secara teologis, peralihan pengetahuan ilmiah di seluruh dunia Islam mengalami pencepatan, dan melahirkan sebuah komunitas `ulama (religous scholar) internasional, baik yang belajar di pusat-pusat pengajaran di Arabia maupun yang di bawah bimbingan seseorang yang telah belajar di sana.
Para sarjana ini meluncurkan serangkaian pergerakan kebangkitan yang berupaya membersihkan Islam dari praktek-praktek yang tidak Islami yang bertentangan dengan sumber-sumber ortodoks. Menurut kaum revivalis, solusinya adalah menggantikan tradisi Islam adat dengan ajaran Islam yang benar secara teologis -yaitu, ajaran kaum `ulama revivalis, yang esensinya menegaskan penggantian otoritas adat dengan otoritas sumber-sumber Islam orisinal. sebagaimana yang dipahami oleh kaum revivalis.
Komunitas `ulama revivalis internasional ini mempunyai pusat kegiatan intelektualnya di sekolah terkemuka di Arabia, di mana kaum Muslim dari seluruh dunia berkunjung ke sana sebagai jamaah haji atau tinggal sebagai mahasiswa dan kemudian kembali ke negaranya masing-masing dan terinspirasi untuk memerangi praktek-praktek adat yang tidak Islami: Muhammad bin `Abdul Wahhab dari daerah Nejd di Saudi Arabia, Syaikh Jibril bin `Umar al-Aqdisi dari Afrika Barat, Haji Miskin dari Sumatra, Haji Syari’at Allah dan Ahmad Brelwi dari Asia Selatan, dan Ma Mingxin dari Cina.
Dalam konteks revivalis ini, Islam liberal berakar pada diri Syah Waliyullah (India, 1703-1762). Dilahirkan pada tahun-tahun terakhir dinasti Mongol, Waliyullah mewarisi jabatan ayahnya sebagai pimpinan sebuah sekolah menengah agama (religious seminary). Untuk menyelesaikan pendidikannya, ia pergi ke Mekkah, tempat suci dan pusat seminari di Saudi Arabia. Sekembalinya dari Mekkah, ia mulai menunjukkan dukungannya terhadap bentuk revivalisme yang dikumandangkan kemudian oleh kaum liberal belakangan sebagai “nenek-moyang” intelektual Islam liberal. Sebagaimana kaum revivalis lainnya, Waliyullah, yang melihat bahwa Islam sedang dalam bahaya, berupaya untuk melakukan revitalisasi komunitas Islam melalui gabungan antara pembaruan teologi dengan organisasi sosial politik, serta memandang tradisi Islam adat sebagai sumber utama dari semua masalah dalam Islam.
            Namun demikian, Waliyullah mengembangkan sebuah tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat, dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Wahabi dan pelopor kebangkitan Islam lainnya. Sebagai contoh, Waliyullah relatif toleran terhadap praktek-praktek tertentu yang oleh kaum revivalis lainnya dianggap telah melampaui batas, dan berpendapat bahwa hukum Islam -yang di ilhami oleh wahyu-- harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan waktu yang berbeda. Jika adat-kebiasaan lokal tidak sesuai dengan rumusan Islam ortodoks, “tidaklah dianggap perlu menggantinya dengan sesuatu yang lain [hukum Islam] yang sama sekali tidak dikenal mereka [masyarakat lokal]...Tujuan utamanya adalah bahwa semua upaya pembaruan ini seharusnya diperkenalkan dengan cara sedemikian rupa sehingga daya pikir [masyarakat lokal] dapat memahaminya dan tidak menolaknya”. Pentingnya pemikiran manusia (human reasoning) merupakan sebuah penekanan yang selalu muncul dalam karya Waliyullah dan menjadi pedoman utama bagi para pemikir Muslim liberal belakangan, sebagaimana terdapat dalam kutipan Waliyullah yang diterjemahkan oleh seorang pemikir liberali abad ke-20: ”Tiba saatnya hukum Islam harus diungkap dalam pemikiran dan argumentasi secara terbuka”. Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika Serikat, 1919-1988), seorang pemikir liberal yang karyanya dikutip dalam bab 32, merangkum pendekatan Waliyullah sebagai berikut:
            Sejauh menyangkut Hukum, Waliyullah tidak berhenti pada mazhab-mazhab hukum Islam abad pertengahan, tetapi kembali kepada sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadits Nabi serta merekomendasikan ijtihad -- pelaksanaan pendapat yang independen sebagai lawan dari taklid terhadap otorita-otoritas abad pertengahan…Dia berpendapat bahwa sumber-sumber keagamaan dan moral manusia yang fundamental adalah sama di setiap waktu dan iklim, tetapi harus bisa mengatur dan mengekspresikan dirinya menurut kesanggupan zaman dan orang tertentu….untuk menjadi sebuah agama yang universal, Islam harus menemukan sarana untuk menyebarluaskan dirinya dan sekaligus terikat oleh warnanya dan coraknya -tradisi dan gaya hidup Arab. Namun, dalam kultur-kultur yang berbeda, sarana tersebut sudah pasti akan mengalami perubahan.
            Namun demikian, dalam banyak hal, Waliyullah adalah seorang revivalis. Di samping komentar-komentarnya tentang hal-hal yang secara rasional berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan lokal yang tidak Islami, ia sangat tidak mentolerir praktik-praktik yang menurutnya mengarah pada kemurtadan, seperti mengunjungi makam-makam orang besar untuk memintanya sebagai perantara. Selain komentar-komentar mengenai “zaman akal budi” (age of reason) - yang sezaman tetapi tidak berkaitan dengan sentimen pencerahan bangsa Eropa-- Waliyullah tidak menyiapkan persediaan bentuk-bentuk pengetahuan ”modern” dan memandang pengetahuan keislaman tradisonal cukup untuk memenuhi tuntutan dunia kontemporer: “Jika saya yakin bahwa kebaikan zaman ini tergantung pada bebasnya sirkulasi matematika, astronomi, ekonomi, arsitektur, teknologi dan rekayasa, saya akan mencurahkan tenaga saya untuk menyebarluaskannya. Selain bentuk-bentuk baru pendidikan ini, Waliyullah menekankan pengajaran keislaman tradisional dan berpendapat bahwa orang-orang yang lulus dari pelatihan inilah yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad (ijtihâd). Dalam sebuah kesempatan, Waliyullah tampaknya menyatakan bahwa dialah yang memiliki wewenang untuk berijtihad, sedangkan orang-orang Islam lainnya harus melaksanakan taklid (taqlid) dan mengikuti ajaran-ajarannya. Dalam pernyataan yang mendekati faham mesianisme, Waliyullah menulis bahwa Allah SWT. hadir dalam mimpinya dan telah menunjuknya sebagai pemimpin dunia dan pembaru Islam.
            Perkembangan yang sama terjadi dalam Islam Syiah, di mana Aqa Muhammad Baqir Bihbihoni (Iran, 1790) memainkan peran yang sama seperti Waliyullah. Bihbihani juga dilahirkan dalam keluarga ulama terkemuka dan terdidik dalam cara-cara tradisional. Ia juga menganut sikap atau pemikitan yang, kemudian dikenal sebagai mazhab Ushulî, menekankan pentingnya ijtihad. Sebagaimana Waliyullah, Bihbihani juga menggabungkan konsep taklid yang konservatif dengan konsep ijtihad yang liberal dengan cara membatasi praktek-praktek ijtihad hanya kepada para sarjana agama yang berkemampuan untuk itu. Pada abad ke-19, pandangan ini berkembang menjadi sebuah pandangan yang menyatakan bahwa setiap zaman harus mematuhi seorang `ulamâ saja sebagai marja’-i taqlid, meskipun konsep ini tidak menyinggung satupun petunjuk ilahiah (wahyu), sebagaimana dalam karya Waliyullah.
            Akan tetapi, hanya pada abad ke-19 Islam liberal mulai membedakan dirinya secara lebih jelas dari revivalisme, baik secara intelektual maupun institusional. Pada tataran intelektual, Islam liberal mulai memisahkan ijtihad dari taqlid, akal dari otoritas. Kebanyakan tokoh-tokoh utama Islam liberal abad- 19 menggaungkan tema-tema ini:
            Jamaluddin al-Afghani (lahir di Iran, 1838-1897): “Dalam keyakinan agama mereka, mereka [anggota masing-masing komunitas] tidak boleh menduga-duga dan merasa puas dengan semata-mata taqlid terhadap para pendahulu mereka. Karena jika manusia mempercayai sesuatu tanpa bukti dan alasan, melakukan praktik yang mengikuti pendapat-pendapat yang tidak terbuktikan, atau merasa puas dengan takliddan mengikuti pada pendahulunya, sudah pasti pemikirannya akan tertinggal oleh perkembangan intelektual, dan sedikit demi sedikit kebodohan akan menguasainya --hingga pemikirannya terhenti dan ia tidak dapat memahami kebaikan dan keburukannya sendiri; dan kesengsaraan serta ketidakberuntungan akan menyertainya dari segala sisi.21
            Sayyid Ahmad Khan (India, 1817-1898) dan Sayyid Mahdi Ali Khan (India, 1837-1907): “Taklid bukan merupakan kewajiban [bagi orang yang beriman]. Setiap orang berhak untuk melakukan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan sunnah.”22
            Muhammad `Abduh (Mesir 1849-1905): “Pertama, untuk membebaskan pemikiran dari belenggu taklid… untuk kembali, dalam upaya memperoleh pengetahuan agama, pada sumber-sumber utamanya, dan menimbangnya dengan skala pemikiran manusia, yang telah diciptaan Tuhan untuk mencegah dampak negatif atau pemalsuan dalam agama….dan untuk membuktikannya, dalam konteks ini, agama harus dijadikan teman bagi sains, mendorong manusia untuk menyelidiki rahasia-rahasia eksistensi….”23
                        Taklid menjadi tema yang tidak popular bagi kaum liberal pada permulaan abad ke-20, sebuah tema yang menggambarkan pengaruh yang populer dari kalangan tradisionalis sebagai lawan kaum liberal. Sebagai contoh, Jamaluddin al-Qasimi (Syria Utsmani, 1866-1914) menyebut taklid “sebagai penyakit kusta yang menyebar di antara manusia….sejenis penyakit infeksi, sebuah kelumpuhan yang umum, sebuah kegilaan yang mengherankan dan menjerumuskan manusia ke dalam kelesuan dan kelambanan”.24 Sebaliknya, ijtihad memungkinkan Islam untuk dipahami sesuai dengan tuntutan pemahaman kemodernan. Meskipun demikian, terdapat ketidaksepahaman mengenai bentuk-bentuk tuntutan itu: apakah harus menolak kecenderungan Eropa atau mengikutinya begitu saja, apakah harus memperbarui mazhab-mazhab tradisional ataukah mendirikan mazhab yang baru, apakah harus mengurangi atau memperbaiki praktek-praktek keagamaan. Kaum liberal periode ini saling mengkritik satu sama lain dengan begitu bersemangat hampir sama halnya ketika mereka mengkritik kalangan Islam adat dan Islam revivalis.
            Pengembangan hak untuk melakukan ijtihad secara langsung merupakan ancaman terhadap otoritas para pemimpin Islam baik yang tradisionalis maupun yang revivalis. Hal ini menuntut umat Islam untuk mempelajari Islam bagi [kepentingan] mereka dan, pada glirannya, membangun otoritas mereka sendiri. Namun, dari sini, sebagian kecil kalangan liberal abad ke-19 telah mengambil kesimpulan abad-20 bahwa pendapat-pendapat masyarakat seharusnya mengatur urusan publik. Bahkan, kelompok liberal itu berusaha menempatkan diri mereka sendiri sebagai otoritas-otoritas yang melindungi kepentingan umat, dan sarana utama bagi aktivisme mereka adalah bidang reformasi pendidikan. Meskipun banyak pemikir liberal pada periode ini merupakan produk pendidikan keagamaan tradisional, mereka memandang institusi-insitusi ini tidak cukup untuk memenuhi tuntutan zaman berusaha memperbaruinya atau bahkan menciptakan institusi baru yang menggabungkan pendekatan modern dan tradisional. Sebagai contoh, Sayid Ahmad Khan mendirikan Muhammadan Anglo Oriental College di Aligarh, India; `Abduh berusaha untuk mereformasi Universitas al-Azhar di Cairo, Mesir; al-Afhgani terlibat pada tahun-tahun pertama Universitas Istambul di Kerajaan Usmani. Selain itu, kita dapat mencatat:
            ·Rifa`ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873), terdidik di lingkungan perguruan al-Azhar Cairo, yang menetap selama beberapa tahun di Paris sebagai guru agama untuk sebuah kelompok mahasiswa Mesir; sekembalinya ke Mesir, ia berusaha mengembangkan sebuah sistem pandidikan baru yang menggabungkan unsur-unsur Eropa dengan Islam.
·Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdum Danesh (Bukhara,1827-1897), keduanya dididik di sekolah tradisional di Bukhara, yang bertugas untuk memperbarui kurikulum di kota seminari ini dengan memperkenalkan mata pelajaran sekular.
·Ismail Bey Gasprinskii (Rusia, 1851-1914), terididik di sekolah dasar Islam dan sekolah menengah Rusia, yang membangun jaringan sekolah moderen yang luas di seluruh Rusia dan menggabungkan pendidikan secular dengan pendidikan agama.
            Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin (Sumatra-Malaysia, 1867-1957), K.H. Ahmad Dahlan (Jawa-Indonesia, 1869-1923), dan Ahmad Surkati (Sudan-Indonesia, 1872-1943), semuanya belajar di Al-azhar atau di Mekah dan kemudian turut mendirikan sekolah-sekolah reformis di Asia Tenggara.
            Wang Haoran (Cina, 1848-1918), dipengaruhi oleh al-Azhar dan sentimen-sentimen Pan-Islamis yang berpusat di Istambul, yang mendirikan sekolah-sekoah reformis dan organisasi-organisasi Islam di Cina.
            Ciri khas dari gerakan pembaruan ini adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat tema-tema yang khas Barat terhadap kurikulum tradisional, sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual yang kedua dari kaum liberal: penghargaan terhadap “modernitas”. Ketika kaum revivalis Islam berusaha untuk meyembuhkan penyakit-penyakit dunia Islam dengan cara menekankan kembali pentingnya sumber-sumber agama Islam abad ke-17, kaum liberal berusaha menggabungkan penekanan tersebut dengan fokus lain terhadap disiplin-disiplin keilmuan Barat seperti ilmu rekayasa dan ilmu kemiliteran, kedokteran dan ilmu, kajian-kajian perbandingan hukum dan ilmu sosial, dan bahasa-bahasa moderen. Oleh karena itu, Islam liberal pada periode tersebut secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam” (Islamic modernism).
            Institusi-institusi pendidikan yang diperbarui atau didirikan oleh kaum liberal ini melahirkan lulusan yang juga liberal, yang membentuk basis pertama dari tiga basis institusi Islam liberal. Menjelang awal abad ke-29, kaum liberal menguasai al-Azhar di Mesir, sekolah-sekolah terkemuka di kerajaan Utsmani, sistem sekolah baru di wilayah-wilayah Muslim Rusia, universitas Aligarh dan universitas-universitas Islam terkemuka lainnya di Asia Selatan, dan sistem sekolah Muhammadiyah di Indonesia. Dasar basis institusional yang kedua adalah jurnalisme yang cukup menggoncangkan. Seiring dengan meningkatnya kemampuan literasi (melek huruf) masyarakat, kaum Islam liberal menggunakan media baru ini secara aktif untuk melakukan komunikasi dengan para pengikutnya. Nama-nama pemikir liberal terkemuka pada zaman tersebut, tentu saja, diasosiasikan dengan sejumlah majalah atau jurnal yang mereka miliki: Namik Kemal, Tasvir-i Efkâr (Herald of Ideas) dan Hürriyet (Liberty), dalam bahasa Turki Utsmani, 1865-1870; Sayyid Ahmad Khan, Tahzib al-Akhlak (Refinement of Morals), dalam bahas Urdu, 1870-1896; Gasprinskii, Tercüman/Perevodchik (The Interpreter), dalam bahasa Turki Tatar dan Rusia, 1883-1914; Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, al-Urwat al-Wutsqa (The Strongest Link), dalam bahasa Arab, 1884; Mirza Malkom Khan, Qanun (The Law), dalam bahasa Persia, 1890-1898; Muhammad Rasyid Ridha, al-Manar (The Lighthouse), dalam bahasa Arab, 1898-1935; Jalaluddin, al-Imâm (The Leader), dalam bahasa Melayu, 1906-1908; Rizaeddin Fakhreddin, Shurâ (Consultation), dalam bahasa Turki Tatar, 1908-1917; Mahmud Tarzie, Siraj al-Akhbar (The Lamp of the News), dalam bahasa Persia Afgani, 1911-1918; Abdullah Ahmad, Al Munir El Manar (Light of Victors), dalam bahasa Indonesia, 1911-1916: yang ditulis oleh Abu`l- Kalam Azad, al-Hilal (The Crescent), dalam bahasa Hindu, 1912-1914;) Mahmud Khaja Behbudiy, Ayina (The Mirror), dalam bahasa Turki Uzbek, 1913-1916; dan lain-lain. Sebagian dari jurnal tersebut tidak bertahan lama, dan sebagian lainnya harus diterbitkan di Eropa karena tekanan politik di negara-negara Islam. Jurnal-jurnal ini masih memberi sumbangan dan pengaruh yang luar biasa di kalangan Muslim terpelajar. Sebagai contoh, jurnal al-Jawa’ib (Rumors) dari Ahmad Faridz al-Shidyaq, diterbitkan di Konstantinopel, dibaca “di seluruh negara yang berbahasa Arab” pada tahun 1870-an, menurut seorang pengamat Inggris, dan ditemukan “di perumahan para saudagar Nejd di Bombay”; jurnal al-Manar “dibaca secara luas di dunia Islam dan merupakan faktor utama dalam pembentukan pemikiran Islam dari Afrika Utara hingga Asia Tenggara”; Tercüman sangat berpengaruh di Cina.25
            Basis institusional yang ketiga adalah jaringan intelektual internasional yang terpusat pada Muhammad Abduh dan murid-muridnya di Kairo. Tidak hanya kitab-kitab `Abduh dan para pengikutnya, terutama al-Manar, yang dibaca secara luas di seluruh dunia Islam --Kairo juga menjadi pusat studi dan kunjungan kaum liberal, sebagaimana Mekkah dan Madinnah yang merupakan tempat bagi kaum revivalis satu abad lebih awal. Berbagai tokoh seperti Jalaluddin, Dahlan, Syeikh Ahmad Khatib (Sumatera, 1855-1916), Abdullah Ahmad (Sumatera, w. 1933), dan Sayyid Syeikh al-Hadi (Malaya, 1867-1934) dari Asia Tenggara, Sayyid Ahmad bin Sumayt (Comoros-Zanzibar, 1861-1925), Muhammad Kurd ‘Ali (Syria, 1876-1952), Abbu Syu`aib al-Dukkali (Maroko, 1878-1937), Abdul Azis al-Thalibi (Tunisia, 1979-1944), Ha Decheng (Cina, 1888-1943), dan Abu`l-Kalam Azad (India, 1888-1958) kembali dari Kairo untuk menyebarluaskan pesan liberal di daerah mereka sendiri. Pusat jaringan internasional yang kedua adalah Istambul, ibu kota Kerajaan Utsmani, yang mahasiswa-mahasiswanya yang sangat berpengaruh, termasuk Grasprinskii dari Krimea, Mehmed D‍emaluddin Causèvic (Bosnia, w. 1956), Numan Chelebi Jihan (Rusia, 1885-1918), dan Abdul Rauf Fitrat (Bukhara, 1886-1938). Beberapa orang sarjana, seperti Musa Yarullah Bigi (Rusia, 1874-1949), terdidik di Kairo dan Istambul. Sejumlah tokoh lainnya tetap mempertahankan hubungan mereka dengan pusat-pusat jaringan internasional tersebut melalui korespondensi, rapat-rapat luar negeri, dan lalu lintas publikasi.
            Kaum liberal memperoleh puncak kekuasaannya pada dua dekade pertama abad ke-20. Selama abad ke -19, reformasi liberal di mulai di bawah perintah raja-raja yang berpandangan modern (Mehmet `Ali di Mesir , Mahmud II di kerajaan Utsmani, Ahmad Bey di Tunisia) yang lebih tertarik pada persoalan kemiliteran dan efisiensi administratif daripada liberalisme atau Islam; reformasi berlanjut di bawah dukungan para perdana menteri (Amir Kabir di Persia, Mithat Pasa di kerajaan Utsmani, Khairuddin di Tunisia) yang memperkenalkan reformasi pendidikan atau politik yang liberal, tetapi hanya bertahan beberapa tahun saja. Sebaliknya, pada abad ke-20 secara tepat Islam liberal menunjukkan pengaruh politik yang sinifikan. Di wilayah-wilayah yang terjajah, komunitas Muslim kemudian direpresentasikan oleh organisasi-organisasi liberal seperti Ititfaq al-Muslimin (Rusia), Muhammadiyah (Indonesia), dan pendirian Aligarh (India). Di tanah-tanah yang masih merdeka, kaum liberal memperoleh kekuasaan negara melalui revolusi konstitutional di Iran (1906) dan kerajaan Usmani (1908). Tidak seperti usaha-usaha pembaruan pada abad sebelumnya, yang dilakukan dari atas ke bawah (top-down), revolusi-revolusi ini disisipkan melalui raja-raja yang malas dan kurang cekatan.
            Di antara para pendukung utama gerakan konstitusional Persia adalah Sayyid Muhammad Tabataba’i (Iran, 1843-1921), Sayyid Abdulah Behbehani (Iran, 1846-1910), dan para `ulamâ yang turut serta dalam mobilisasi revolusioner dan memainkan peran yang penting dalam pemerintahan parlementer.26 Gerakan Turki muda di kerajaan Utsmani memanfaatkan para administatur liberal seperti Sheyh-ül-Islam, pimpinan badan administrasi di kerajaan tersebut, yang menceritakan kepada seorang peneliti Inggeris: “Hukum [Islam] kami, yang dipahami secara benar, sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan perwakilan … [Kontitusi Utsmani] yang mengikat orang-orang yang mengakui agama Islam. Khususnya orang-orang yang dituntut untuk memimpin, yaitu `ulamâ, berkewajiban membantu secara aktif dalam pelaksanaan kontitusi.27 Para ahli agama yang liberal bukan semata-mata sebagai penggerak dari eksperimen-eksperimen demokrasi ini, dan banyak tokoh-tokoh terkemuka yang harus dipaksa, oleh para aktivis, untuk mempertahankan sebuah jalur pro-demokrasi secara konsisten di kalangan pengikut mereka. Meskipun demikian, dukungan negara memberikan keuntungan yang luar biasa bagi kaum liberal dalam menghadapi lawan-lawan teologis mereka.
            Posisi yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara. Demokrasi-demokrasi baru di Iran dan kerajaan Usmani tunduk pada kombinasi serangan gencar kaum revivalis Islam dan militer sekuler. Di kerajaan Usmani, sebuah organisasi revivalis menghasut untuk melakukan perberontakkan di ibu kota kerajaan tersebut yang menuntut pelaksanaan syari’ah, hukum Islam, sebagai konstitusi. Dalam menanggapi hal tersebut, kekuatan tentara sekuler yang cukup banyak berbaris menuju ibu-kota dan memberantas parlemen liberal besertaaupun aliansi kependetaannya. Di Iran, kaum revivalis secara aktif melakukan gerakan politik untuk melawan konstitusi dan parlemen dan mendukung kudeta pada 1908 dan 1911.
            Di tempat lain, kaum revivalis menggolongkan kaum liberal sebagai kelompok yang ingkar agama (murtad), sebagaimana terlihat dalam pernyataan seorang pemimpin Islam Rusia: “Siapa pun yang mempercayai Tuhan dan Muhammad mestilah ia musuh kelompok modernis. Syari’ah menuntut mereka dengan hukuman mati”.28 Tuduhan-tuduhan seperti itu memang tidak dapat dihindarkan, karena upaya-upaya kaum liberal untuk belajar tentang dan dari Barat membuatn mereka dituduh tidak otentik dan mengkhianati tradisi kultural mereka sendiri. Menurut Rahman,29 ”Kaum modernis memunculkan kecurigaan, bahkan manyangkut loyalitas mereka terhadap Islam, dan mereka dituduh sebagai refleksi Barat yang lemah dan mengorbankan Islam di altarnya.” Hal ini, tentu saja, merupakan gambaran Islam modernis yang mematikan.30 Banyak Muslim liberal pada masa berikutnya membuat jarak terhadap kaum liberal pada periode modernis. “Tragedinya,” menurut `Ali Syari’ati (Iran, 1933-1977), ”adalah bahwa, di satu sisi, orang-orang yang mengendalikan agama kita selama dua abad terakhir telah mentransformasikannya ke dalam bentuk yang statis. Di sisi lain, masyarakat kita yang tercerahkan, yang memahami masa kini dan kebutuhan-kebutuhan generasi dan zaman kita, tidak memahami agama...31 Sebagian penulis liberal dalam buku ini mengutip Muhammad `Abduh dan orang-orang yang sezaman dengannya.
            Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa beberapa pemikir liberal pada zaman ini memang salah, mengadopsi perspektif orientalis dan menyebut Islam sebagai sesuatu yang terbelakang dan tidak menyelamatkan ¾”Tidak ada peradaban kedua; menyebut peradaban hanya berarti peradaban Eropa,” kata seorang reformis Utsmani.32 Kebanyakan kaum liberal pada periode modernis jauh lebih protektif terhadap agama dan kebudayaan Islam, dibandingkan dengan apa yang secara umum dituduhkan pada mereka. Bagi mereka, tujuan akhirnya bukanlah untuk menyingkirkan Islam, melainkan untuk mengaktualkannya kembali.
Memang ironis bahwa Islam liberal dituduh sebagai sekularisme, karena sekularisme bertanggungjawab secara luas atas “penyusutan” Islam. Dimulai pada tahun 1920-an, sejumlah besar kaum Muslimin terpelajar yang dulunya tidak menganut Islam liberal saat ini bahkan beralih kepada ideologi-ideologi sekuler, seperti nasionalisme dan sosialisme. Sekularisasi yang tersebar luas telah memperlemah piosisi liberalisme melalui cara kedua yaitu menciptakan sebuah sense of crisis di dalam Islam yang menyokong kaum revivalis. “Agama (keimanan) lebih dari sekedar penjelasan atau formulasi kepercayaan, kepastian intuitif lebih dari sekedar isi-pemikiran diskursif yang menjadi tangisan dari sang waktu”. 33 Sebagai contoh `Ali Abdul Raziq (Mesir, 1888-1966; bab I) dipecat dari jabatannya di al-Azhar pada tahun 1925, karena berpendapat bahwa Islam menyerahkan bentuk pemerintahan kepada temuan pemikiran manusia. Posisi liberal ini mungkin tidak betul-betul diangggap di luar batas dalam beberapa permulaan, sebelum penghapusan kekhalifahan Utsmani-tua-abad ke-7 oleh para sekularis Turki. Al-Azhar menjadi lebih konservatif; bahkan Rasyid Ridha, murid `Abduh, mengecam `Abdul Raziq. Para pengamat Barat berpendapat bahwa Islam liberal telah mandek, tidak lagi mengalami kemajuan.34
            Para pemikir Islam liberal masih berupaya untuk membantu menemukan gerakan-gerakan anti kolonial pada tahun 1920-an dan 1930-an: Asosiasi `Ulamâ Aljazair (Association of Algerian Religious Scholars)-nya `Abdul Hamid Ibnu Badis, Liga Muslim (All-India Muslim League)-nya Muhammad Iqbal, Partai Kemerdekaan (Istiqlal Party)-nya Muhammad `Allal al-Fasi di Maroko, dan Partai Destour-nya `Abdul Aziz al-Tha`alibi di Tunisia. Disamping itu, dekolonisasi negara-negara Islam telah memperbarui perdebatan mengenai pemerintahan Islam, seperti perdebatan-perdebatan di India, Indonesia, Nigeria, dan Pakistan di yang melibatkan kalangan liberal. Akan tetapi, Islam liberal diambil alih oleh kecenderungan-kecenderungan ideologis lainnya selama pertengahan abad ke-20.
            Namun, sejak tahun 1970-an, Islam liberal memperoleh popularitas baru. Waktunya mungkin tidak pernah diharapkan, karena bertepatan dengan periode di mana revivalisme Islam juga memperoleh banyak penganut. Kedua tradisi tersebut berbenturan dalam banyak kesempatan, biasanya dalam perdebatan intelektual yang kadang-kadang juga berlangsung dengan amat keras. Kaum liberal dari ideologi-ideologi yang berbeda juga, secara tidak proporsional, menjadi korban kekerasan, yang tidak proporsional tersebut, di antaranya adalah :
  • Mahmoud Muhamed Taha (Sudan, 1910-1985), yang menentang pemahaman pemerintahan Sudan yang revivalis tentang hukum syari`ah, dieksekusi karena dinyatakan telah murtad pada tahun 1985.
  • Subhi al-Salih (Libanon, w. 1986), seorang bekas wakil-mufti Libanon, yang menyatakan pendapat “membuka semua pintu ijtihad” dan melarang taklid, dibunuh oleh seorang penembak Syi`ah pada tahun 1986.
  • Farag Fuda (Mesir, 1945-1992), seorang politisi liberal dan kolumnis yang mengkritik ekstrimisme Islam, terbunuh pada tahun 1992.
  • Maulvi Farook (India, 1945-1990) dan Qazi Nissar Ahmed (India, 1948-1994), keduanya ahli agama Islam (`ulamâ) dan pendukung hak-hak Muslim di wilayah Kashmir, India, secara berturut-turut dibunuh pada tahun 1990 dan 1994 karena menentang taktik-taktik kekerasan kaum separatis Islam di daerah tersebut. Yasin Malik, pengkritik kekerasan lainnya, beberapa kali diserang pada tahun 1994, namun masih bertahan hidup.
  • Mohammad Sa’id (Al-Jazair, kira-kira 1947-1995) dan Abderrazak Redjam (Al-Jazair, kira-kira 1957-1995), keduanya merupakan aktivis terkemuka dalam gerakan Islamis (Islamist movement) di Al-Jazair, dihukum mati bersama beberapa orang pengikutnya oleh sebuah faksi Islamis (Islamist faction) militan pada tahun 1995 setelah secara terbuka mereka mengajukan beberapa keberatan terhadap metode kekerasan pada faksi tersebut.
            Dalam skala kekerasan yang lebih kecil, sejumlah penulis yang termasuk dalam buku ini telah mengalami konfrontasi yang lebih dari sekedar perdebatan intelektual. Muhammad Khalaf-Allah (Mesir, lahir 1916; artikel 2) tidak hanya dipaksa untuk membakar seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan kembali keimanannya kepada Islam dan kembali memperbaharui perjanjian perkawinannya; Mehdi Bazargan (Iran, 1907-1995; artikel 7) didepak dari keperdanamenterian dan kemudian keluar dari parlemen Iran; Muhammad Shahrour (Syria, lahir 1938; artikel 15) menyaksikan karya-karyanya dilarang masuk di beberapa wilayah Timur Tengah; Abdul-Karim Soroush (Iran, lahir 1945; artikel 26) dilarang berbicara di depan publik Iran serta diancam pembunuhan.
            Sekelompok kaum liberal mengalami depresi berkaitan dengan posisi mereka yang tidak cukup menjanjikan dalam perdebatan-perdebatan Islam kontemporer. Hassan Hanafi (Mesir, lahir 1935) menempatkan pesimisme ini di jantung analisisnya tentang sejarah Islam dan berpendapat bahwa penafsiran-penafsiran kaum liberal terhadap warisan non-Arab telah begitu mengakar, sehingga orang Arab kehilangan kemampuan untuk berdebat dan belajar.35 Seorang sarjana menyimpulkan bahwa dengan kemunculan revivalis Islam tahun 1970-an, masa bagi liberalisme Islam telah lewat.36 Sarjana lainnya mengatakan bahwa Islam liberal menghadapi sebuah “kehidupan yang mustahil” (impossible life): “Bagi suatu masyarakat Islam terhadap yang lainnya, menuliskan liberalisme sama dengan menuliskan obituari (berita kematian) orang-orang yang menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mungkin, dan kemudian gagal. 37
            Akan tetapi, pada saat yang sama, terdapat indikasi bahwa pesimisme itu mungkin terlalu prematur. Pada tataran intelektual, para pemikir Islam liberal sedang membangun liberalisme yang lebih percaya-diri dan meyakinkan, yang tidak berapologi baik untuk liberalismenya maupun esensi keislamannya. Generasi kontemporer jauh lebih terbiasa dengan pendidikan dan masyarakat Barat dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak penulis dalam buku ini yang memperoleh gelar pascasarjananya di Eropa dan Amerika Utara; tidak seperti pada abad ke-19, kaum liberal menuntut pemberlakuan disiplin-disiplin keilmuan Barat yang mereka sendiri kurang begitu menguasainya. Para pengikut mereka di akhir abad ke-20 melakukan pendekatan terhadap tema-tema “modern” dari posisi jabatan mereka yang kuat. `Abdullahi Ahmed An-Na`im (Sudan-Amerika Serikat, lahir 1946), Muhammad Arkoun (Al-Jazair-Perancis, lahir 1928) dan Rahman, misalnya, telah diakui dan menempati jabatan-jabatan fakultas di beberapa universitas Barat terkemuka. Pada saat yang sama, kaum liberal kontemporer lebih yakin para pendahulunya dalam menyatakan perlunya kontribusi Islam terhadap masalah-masalah modern ketimbang para pendahulunya. Sebagian karena keterbiasaan mereka dengan Barat lebih memungkinkan untuk mengkritiknya secara lebih meyakinkan, sebagian karena harga-diri yang telah, yang awalnya diwariskan oleh kelompok revivalis Islamyang militan, kaum liberal kontemporer mampu berpendapat bahwa Barat mengalami penderitaan karena krisis spiritual ---sejumlah sumber-sumber Barat dapat dikutip sebagai pendukung- yang bisa dibantu disembuhkan oleh Islam. Sebaliknya, kaum Muslim liberal seabad yang lalu kurang kritis terhadap Barat.
            Sumber lain menyangkut optimisme terhadap Islam liberal ini adalah meningkatnya taraf pendidikan di dunia Islam. Literasi telah memungkinkan umat Islam untuk membaca al-Qur’an dan sumber-sumber Islam lainnya untuk kepentingan mereka sendiri, daripada hanya bergantung pada para `ulamâ, dan karena mazhab-mazhab tradisional telah kehilangan monopolinya terhadap dunia pendidikan pada abad lalu dengan meningkatnya jumlah Muslim yang menerapkan pendidikan non-agamanya untuk mengembangkan pendekatan-pendekatan baru terhadap Islam. Ingatlah besarnya prosentase kaum liberal pada abad ke-19 yang terlatih secara tradisional; sebaliknya, para penulis dalam volume ini merupakan produk pendidikan sekuler: Bazargan dan Shahrour terlatih sebagai insinyur, Arkoun dan Rachid Ghannouchi (Tunisia, lahir 1947) sebagai filosof,. Chandra Muzaffar (Malaysia, lahir 1947) dan Syari`ati sebagai ilmuan sosial, dan lain-lain. Disamping menghasilkan para teorisi liberalisme, perluasan sistem-sistem pendidikan turut juga mempersiapkan lahirnya kelompok pemirsanya. Sebagai contoh, buku pertama Shahrour merupakan karya terlaris di Afrika Utara, meskipun diperbanyak secara bajakan; karya Syari`ati populer terutama di kalangan mahasiswa; Soroush seringkali menjadi bahan diskusi orang-orang Iran di Internet. Faktor penyebab terakhir dari optimisme terhadap Islam liberal adalah kemunculan sebuah infrastruktur organisasi bagi Islam liberal. Organisasi-organisasi multidenominasi muncul di Malaysia (Aliran), di Philipina (Demokrasi Muslim-Kristen), di Senegal (Yewwu Yewwi), dan di tempat-tempat lain yang bertujuan untuk menggambarkan suasana hidup berdampingan secara damai di antara komunitas beragama dan memerangi intoleransi. Selain itu, sejumlah lembaga penelitian telah didirikan untuk mendukung penelitian, publikasi, penerjemahan (termasuk beberapa topik dalam buku ini), dan konferensi. Salah satu organisasi yang paling awal adalah Institut Penelitian Islam (Islamic Research Institute) di Pakistan, yang dijalankan oleh Rahman hingga kaum revivalis memaksanya untuk mengundurkan diri pada tahun 1960-an. Masih di awal tahun 1960-an, Bazargan, Mahmud Taleqani (Iran, 1911-1979), dan kaum liberal lainnya mendirikan Gerakan Kebebasan (Freedom Movement) di Iran, yang menghendaki pembaruan-pembaruan liberal, baik dalam institusi-institusi Islam maupun sekuler. Banyak organisasi yang semacam terdapat di Barat: di antaranya adalah Institut Pemikiran Islam Internasional (International Institute of Islamic Thought) di Herndon, Virginia; Institut Penelitan dan Kajian Islam (Institute for Rsearch and Islamic Studies) di Houston, Texas; Lembaga Kajian Dunia dan Islam (World and Islam Studies Enterprise) di Tampa, Florida; organisasi hak-hak asasi manusia Kemerdekaan bagi Dunia Islam (Liberty for Muslim World) di London, Inggris; dan Masyarakat Ibnu Khaldun (Ibn Khaldun Society) di London dan Washington D.C..38 Kegiatan-kegiatan organisasi ini ditujukan bagi orang-orang Barat dengan menunjukkan sisi Islam yang tdaik fanatik, dan juga kepada orang-orang Islam dalam upaya menyebarkan perspektif liberal dalam dunia Islam. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, mereka mewakili upaya nyata yang pertama sejak akhir abad ke-19 guna melahirkan sebuah gerakan ilmiah Islam liberal yang bersifat internasional.
           
            Bentuk-bentuk Islam Liberal
            Islam liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu yang berorientasi Islam dan Barat. Pada penulis dalam buku ini menempatkan penekanan masing-masing yang berbeda, tapi semuanya dapat dianalisis dalam konteks yang lainnya, sebagai kaum liberal Islam (Islamic liberals [bagian dari liberalisme]), atau sebagai kaum Muslim liberal (liberal Muslims [bagian dari Islam]). Banyak literatur akademis yang darinya para penulis mengambil beberapa pertama: Seberapa liberalkah kaum liberal Islam? Apakah varian-varian liberal Islam sesuai dengan standar liberalisme Barat? Analisis Leonard Binder yang sangat bagus dalam Islamic Liberalism mengggunakan pendekatan ini secara luas, mempertimbangkan unsur-unsur pemikiran para penulis Mesir terkemuka dalam menghadapi tradisi-tradisi Barat. Saya bermaksud untuk mengambil arah sebaliknya: menguji kaum Muslim liberal di pandang dari sudut tradisi Islam.
            Konteks ini merupakan pijakan yang paling disukai oleh kaum Muslim liberal, bahkan orang seperti Mamadiou Dia (Senegal, lahir 1911; artikel 30) yang tulisannya lebih berkaitan dengan teologi Kristen Perancis ketimbang teologi Islam. Dia dan kaum liberal lainnya kelihatan sangat sensitif untuk menunjukkan ketidakotentikan kultural dan memandang karya mereka sebagai sebuah pembaruan, bukan pelarian, dari sebuah perdebatan panjang dalam Islam. Dia menulis: “Otensititas Islam menghendaki upaya kembali kepada sumber utama al-Qur’an dan sunnah, bukan untuk mendapatkan perlindungan atau membenamkan kepedulian di sana, tetapi untuk menarik unsur-unsur bagi renovasi dan revitalisasi filsafat Islam”. Dengan menggunakan perdebatan-perdebatan Islam ini sebagai konteks, kita dapat mengidentifikasi tiga “bentuk” (modes) utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam: kitab wahyu (al-Qur’an) dan praktik-praktik dari Rasulullah saw. (sunnah) yang secara bersamaan menetapkan dasar hukum Islam (syari’ah). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari’ah; bentuk kedua menyatakan bahwa kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal yang oleh syari`ah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberikan kesan bahwa bahwa syari’ah, yang bersifat ilahiah, ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. Saya menyebut ketiga bentuk ini dengan syari`ah yang liberal, silent dan interpreted. Contoh-contoh yang dikemukakan diambil dari para penulis dalam buku ini dan dari para pemikir Islam liberal lainnya yang karya-karyanya tidak dapat dimasukkan di sini karena keterbatasan tempat, tetapi ide-ide dan reputasinya pantas diketahui secara luas.

Syari’ah Liberal (Liberal Sharî’a)
            Bentuk pertama ini menyatakan bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh, Ali Bullac (Turki, lahir 1951), salah seorang Islamis liberal terkemuka di Turki yang dalam artikel-artikel yang belum diterjemahkan sebelumnya (artikel 19) berpendapat bahwa Piagam Madinah (Medina Document) --di mana Rasulullah menjamin hak-hak non- Muslim untuk hidup di bawah pemerintahan Muslim-- menghadirkan sebuah contoh bagaimana syarî’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Abdurrahman I. Doi (India-Nigeria, lahir 1933) berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan konstitusi yang pertama di dunia, sedangkan orang-orang Kristen Eropa baru menemukan konstitusionalismenya satu abad kemudian. Maurice Bucaille (Perancis, lahir 1920) berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah, sedangkan kalangan ilmiah sekuler satu abad lebih lama untuk memahaminya. Syafique `Ali Khan (Pakistan, lahir 1936) dan Abdelkébir Alaoui M’Daghri (Maroko, lahir 1942) berpendapat bahwa syarî’ah membangun kebebasan berpikir.39
            “Liberal sharî’a”, tidak diragukan lagi, merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh. Saya mengajukan tiga penjelasan. Pertama, “liberal sharî`a” menghindari tuduhan-tuduhan ketidakotentikan otentitas dengan mendasarkan posisi-posisi liberal secara kuat dalam sumber-sumber Islam ortodoks. Kedua, “liberal sharî`a” menyatakan bahwa posisi-posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, melainkan merupakan perintah Tuhan (yang membawa pada posisi yang menyimpang, yang juga membuat liberalisme Barat menderita, yang melakukan pembenaran atas liberlisme dengan merujuk pada referensi illiberalism, seperti hak-hak yang “diberikan Tuhan”.40 Ketiga, “liberal sharî’a” itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan: berpendapat bahwa Islam liberal lebih tua dari liberalisme Barat merupakan sebuah strategi retorika yang kuat di kalangan orang-orang yang terlalu sering menginternalisasi gambaran-gambaran Barat tentang inferioritas dan keterbelakangan.

Syarî’ah yang Diam (Silent Shari’a)
            Bentuk argumentasi Islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai topik-topik tertentu. Muhammad Salim Al-`Awwa (Mesir, kontemporer), seorang sarjana hukum, meringkaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Jika Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal: apakah hal ini tidak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau kaum Muslim tidak pernah mempraktikannya sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalam masalah ibadah....Dalam kasus kedua....merupakan hal yang alamiah bahwa kaum Muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.41
            `Abdul al-Raziq (artikel 1), sarjana Mesir yang kontroversial, ikut serta memelopori penggunaan kata ini secara figuratif pada tahun 1920-an dengan berpendapat bahwa syari’ah tidak menyebutkan bentuk khusus dari negara yang harus diikuti oleh kaum Muslim, karenanya membolehkan pembentukan demokrasi-demokrasi liberal. Sebagaimana dicatat oleh Muhammad Sa’id Al-`Asmawi (Mesir, lahir 1932) dalam artikel 6: “Dari sekitar 6000 ayat al-Quran, hanya 200 ayat yang memuat aspek hukum, yaitu sepertigapuluh dari al-Qur’an termasuk ayat-ayat yang dinasakh oleh ayat-ayat sesudahnya”. Oleh karena itu, `Asmawi dan yang lainnya menyimpulkan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan untuk memberlakukan bentuk pemerintahan tertentu.
            Syarî’ah Tuhan, sebagaimana terangkum dalam al-Qur’an dan sunnah tidak mengikat manusia dalam hal mu`amalat, kecuali hanya memberikan beberapa prinsip-prinsip yang umum sebagai pedoman dan sejumlah kecil perintah. Syarî’ah jarang mempersoalkan dirinya secara terperinci. Pembatasan syari’ah untuk memperluas prinsip-prinsip dan kebisuannya dalam ruang-ruang lain disebabkan oleh kebijaksanaan dan rahmat Tuhan. ...Fakta bahwa syarî’ah itu diam dalam masalah tersebut --dan kita seharusnya mencamkannya dalam pikiran kita bahwa, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an “Tuhan tidak pernah lupa”-- berarti hanya pelaksanaan perintah-perintah syarî`ah yang umum atas perincian kehidupan manusia yang beraneka ragam, dan pertentangan mengenai masalah-masalah baru menurut ketentuan kemaslahatan umum (maslaha) telah diserahkan pada kebijaksanaan bangunan kesadaran kaum Muslim.42
            Dalam syarî`ah Islam, tidak ada sesuatu yang memaksa seseorang untuk mengikatkan agama ke dalam sebuah bentukan-negara. Syarî`ah tidak berhubungan dengan bentuk pemerintahan tertentu.43
            Al-Qur’an diturunkan kepada mereka [kaum Muslim] untuk menghentikan keraguan kepada Rasullullah saw. yang menghendaki wahyu... Menyerahkan masalah-masalah tersebut kepada masyarakat agar membuat mereka tumbuh dan berkembang, serta terbuka terhadap perubahan.44
            “Silent Sharî’a” bersandar kepada tafsir al-Qur’an untuk membentuk pikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya sedikit lebih ringan dibandingkan dengan “liberal sharî’a” yang hanya perlu menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-keputusan manusia secara abstrak, ketimbang praktek-praktek liberal secara khusus. Maka, ia memindahakan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan Qur’an, di mana pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang berbeda, dan menempatkannya dalam wilayah perdebatan publik.
            Kelemahan dari bentuk “silent sharî`a” adalah konotasinya ---yang sudah pasti ditolak oleh kaum liberal jenis ini--- bahwa wahyu Tuhan tidak lengkap. Adalah riskan untuk berargumen balik bahwa pesan-pesan Tuhan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bahwa agama serta politik tidak terpisah dalam al-Qur’an. `Abdul al-Raziq telah dikritik secara tajam melalui perspektif ini, pada tahun 1920-an, bahkan oleh kaum liberal dari kelompok “liberal sharî’a”, seperti Rasyid Ridha dan Muhammad Dia’ al-Din al-Rayyis (Mesir, pertengahana abad ke-20).45
            Pada suatu kesempatan, argumen-argumen “silent sharî’a” muncul untuk menjamin tuduhan-tuduhan permusuhan terhadap wahyu agama Islam, sebagaimana dalam kasus organisasi kaum sosialis yang disebut Komite Muslim untuk sebuah Nigeria yang Progresif (Muslim Committee for a Progressive Nigeria), yang menentang pelaksanaan hukum syarî’ah pada tahun 1970-an, atas dasar bahwa hukum tersebut “tidak menawarkan jawaban bagi masalah-masalah kronis seperti kelaparan, pengangguran, kota-kota yang centang perenang, biaya sewa yang tinggi, kegagalan UPE [Universal Primary Education], pengendalian penyakit, dan sebagainya.46 Para penulis liberal lain dari bentuk ini masih berhati-hati untuk mengungkapkan kebisuan atau diamnya syarî’ah dalam istilah yang lebih positif, yang berbicara tentang kebijaksanaan dan rahmat Tuhan, sebagaimana dikutip dari Said Ramadan (Mesir, pertengahan abad ke-20), dengan menyerahkan masalah-masalah tertentu kepada pertimbangan manusia.
            Kelemahan lainnya dari “silent sharî’a” tersebut adalah karena bentuk ini menyisakan sedikit ruang untuk menantang elemen-elemen illiberal yang tidak diam dalam syarî’ah. Sebagai contoh, dalam beberapa tempat, al-Qur’an berbicara tentang etika dalam pemilikan budak, penebusan tawanan perang dan memotong bagian tubuh tertentu bagi para pelaku kriminal; jika praktik-praktik ini secara eksplisit dibenarkan oleh wahyu Tuhan, kaum liberal dari kelompok ini (“silent sharî`a”) hanya dapat mengajukan keberatan bahwa pesan al-Qur’an terbatas pada aplikasinya. Syekh Waliyullah, misalnya, berpendapat bahwa Islam, yang universal dan abadi, mengambil bentuk menurut masyarakat dan masa tertentu di mana Islam diwahyukan untuk pertama sekali. Implikasinya, aturan-aturan dan perintah-perintah tertentu yang terdapat dalam syarî’ah mungkin sesuai dengan kondisi Arabia abad ke-7 dan tidak bersifat mengikat terhadap setiap masyarakat dan zaman. Sejumlah penulis dalam volume ini membuat argumen yang sama dengan memilih topik-topik khusus, seperti status kaum wanita. Mahmud Mohammed Taha (artikel 28), lebih jauh lagi, membuat argumen ini dengan lebih berani, dan berpendapat bahwa bagian-bagian al-Qur’an yang lebih luas hanya bersifat temporer dalam penggunaannya (yang disebut Taha sebagai Pesan Pertama [First Message] Islam), hingga komunitas Muslim siap untuk menerima kebenaran Islam yang terakhir (yang disebut Taha sebagai Pesan Kedua [Second Message]), yang lebih menjamin pilihan dan otonomi manusia. Menurut Taha, perintah-perintah yang permanen diturunkan pertama sekali pada saat Nabi Muhammad saw. tinggal di Mekkah, sebelum ia mengambil kekuasaan sementara; perintah-perintah yang bersifat sementara diturunkan kemudian, pada saat Nabi Muhammad saw. di Madinah, dan menerapkannya untuk kepentingan dan kebutuhan zaman tersebut. Taha berpendapat bahwa wahyu yang lebih awal menasakh (membatalkan) wahyu yang datang kemudian (bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh para penulis “liberal sharî’a”, seperti Bullaç, yang berpendapat bahwa pengalaman belakangan di Madinah menghapuskan pengalaman yang lebih awal).
            Posisi teoretis seperti ini merupakan hal sulit, karena beberapa hal. Pertama, ia membuat argumen-argumen yang menantang bahwa syarî’ah itu “diam”, bahkan dalam topik-topik yang dapat dibicarakan secara jelas. Kedua, ia proyeksikan kembali pendirian asal keilmuan ortodoks, yaitu analisis tekstual terhadap sumber-sumber klasik. Ketiga, ia membatasi bagian-bagian wahyu dalam suatu cara yang menurut beberapa sarjana bersifat bid’ah. Taha sendiri dihukum mati oleh penguasa Sudan, sebagai hukuman atas pendapat-pendapatnya, pada tahun 1985.

Syarî’ah yang Ditafsirkan (Interpreted Sharî`a)
            Bentuk ketiga argumentasi Islam liberal dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal Barat berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syarî’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relativisme. Namun, kaum liberal seperti Muhammad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan, lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan syarî’ah seperti hadits Rasulullah saw.: “Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umatku yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.”47 Menurut hadits Rasulullah saw. yang lain: “Al-Qur’an bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran. Oleh karena itu, tafsirkanlah menurut kemungkian cara yang terbaik”.48 Muhammad Bahrul ‘Ulum (Iraq, lahir 1927), seorang `ulamâ syi’ah terpelajar dan pendukung gerakan demokrasi Iraq yang terkemuka, mengutip dua ayat al-Qur’an dalam memandang masalah ini: ”Perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain. ‘Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. 11:118).’ ‘Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih (QS.10:19).’49
            Kaum liberal lainnya berpendapat, mengenai dasar-dasar empiris, bahwa keanekaragaman penafsiran merupakan salah satu tanda dari tradisi Islam. Secara kategoris, Arkoun mengatakan: “penyimpangan ideologis terjadi dalam kerangka pemikiran Islam setiap waktu, bahwa seorang penulis lebih kurang hanya mengumandangkan sebuah mazhab, sebuah komunitas atau sebuah tradisi secara tepat, mentransformasi wacana Qur’ani dari sistem kognitif yang terbuka kepada sistem kognitf yang tertutup”.50 Rafik Zakaria (India, lahir 1920) menyimpulkan, “Sebagaimana kita perhatikan dalam rangakian penelitian kita, mengenai isu-isu mendasar yang tidak satupun melibatkan agama dan politik, selalu ada konsensus setiap waktu di kalangan para `ulamâ.51 Ziauddin Zardar (Pakistan-Inggris, lahir 1951) berpendapat bahwa epistemologi Islam telah lama menekankan “keragaman cara untuk mengetahui”, yang “sama absahnya dalam Islam”.52 Shorous (artikel 26) berpendapat bahwa penafsiran keagamaan Islam, dan yang lainnya, selalu merupakan fenomena manusiawi dan tunduk pada perspektif yang beragam. ”Agama wahyu, tentu saja, bersifat ilahiah. Namun, tidak demikian halnya dengan ilmu agama (science of religion), yang merupakan produksi dan konstruksi manusia. Hal ini bersifat manusiawi dalam pengertian bahwa ia ditanamkan berdasarkan seluruh karakter kemanusiaan secara benar, yang baik maupun yang buruk.”
            Namun demikian, bentuk wacana Islam liberal masih sangat rentan terhadap serangan balik teoretis mengenai dasar-dasar teologi ortodoks. “Liberal sharî`a” harus dipahami sebagai lapangan rumput-rumah (home turf) dari ortodoksi, sebagaimana pada masa-masa awal Islam: analisis rinci mengenai makna al-Qur’an, penyelidikan terhadap rantai penyampaian (sanad) hadits Nabi yang dapat dipercaya, penelitian yang serius sebagai sarana pelatihan para sarjana ortodoks secara intensif. Sementara yang lainnya telah memiliki kesiapan yang lebih baik, Bullaç dan Bazargan, sebaliknya, secara otodidak berspekulasi untuk memahami analisis tekstual. Saya tidak bermaksud untuk menilai karya mereka, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa ini merupakan spekulasi intelektual yang sulit dilakukan. Berbeda dengan yang pertama ini, dua model atau bentuk Islam lainnya secara strategis mengubah lapangan perdebatan jauh dari kubu ortodok ini.
Basis “interpreted sharî’a” yang ketiga bersifat normatif: bahwa ketidaksepakatn dalam penafsiran berguna bagi komunitas Muslim. Yusuf Al-Qardhawi (Mesir-Qatar, lahir 1926), misalnya, membenarkan keanekaragaman pendapat itu dalam persoalan-persoalan praktis:
ketakutan saya yang paling buruk terhadap gerakan Islam adalah bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas di kalangan pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaruan dan ijtihad, membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang tidak menerima sudut pandang yang lain ... Hasil akhir bagi pergerakan tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.53
            Dalam alur argumentasi yang sama, Sa’id Binsa’id (Maroko) berpendapat bahwa pemahaman yang benar mengenai kebenaran-kebenaran relijius menghendaki dialog; kaum radikal yang memaksa lawan-lawannya untuk diam hanya dapat “menyembah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar