ISLAM LIBERAL
Oleh : Charles Kurzman
Ungkapan
“Islam liberal” (liberal Islam) mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi
dalam peristilahan (a contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat
mengenali Islam melalui unsur-unsurnya yang paling eksotik. Agama Islam
disamakan dengan fanatisme, sebagaimana disebut dalam karya Voltaire, Mahomet,
or Fanatism (1745). Kekuasaan politik Islam disamakan dengan kezaliman, seperti
yang sengaja diungkapkan oleh Mountesque dalam frase pleonastiknya yang
berlebihan ”kezaliman Timur” (Oriental despotism) atau definisinya Francis
Bacon (1612) : “Sebuah monarki yang, di mana tidak ada nilai-nilai
kebangsawanan sama sekali, merupakan sebuah tirani yang murni dan absolut;
sebagaimana kerajaan orang-orang Turki “. Praktek-praktek militer Islam
disamakan dengan teror dan pemerkosaan seperti yang digambarkan dalam lukisan
terkenal Eugene Delacroix “Pembantaian di Chios” (Massacre at Chios [1824]).
Tradisi Islam disamakan dengan keterbelakangan dan keprimitifan sebagaimana
terungkap dalam ceramah pengukuhan Ernest Renan di Collége de France (1862),
satu dari dokumen-dokumen temuan Orientalisme modern:
Islam
merupakan pengingkaran total terhadap Eropa…. Islam merupakan penghinaan
terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society; Islam adalah
bentuk kesederhanaan spirit bangsa Semit yang mengerikan, membatasi pemikiran
manusia, menutupnya terhadap ide-ide yang sulit, sentimen yang beradab, dan
penelitian rasional, untuk membuatnya tetap menghadapi sebuah tautologi yang
abadi : Tuhan adalah Tuhan.
Tema-tema
ini berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang
mengidentifikasi agama tersebut dengan gambaran-gambaran teokrasi dan terorisme
yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme
Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan bahwa sebuah perang
dingin baru mulai tampak. Juga dalam dunia akademik, fokus kajian Islam sangat
tercurah pada pemahaman-pemahaman yang radikal tentang Islam, sebagaimana yang
tercermin dalam karya-karya akademik dengan judul-judul yang menakutkan,
seperti Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan
Jihad (Sacred Rage). Memang sebagian kecil Muslim sepakat dengan para
Orientalis Barat bahwa Islam itu abadi dan tidak berubah, bahwa kaum Muslimin
harus menginterpretasikan firman Tuhan setepat mungkin, dan bahwa Timur dan
Barat itu eksklusif dan sangat berlawanan satu sama lain. Seorang Muslim
Pakistan, misalnya, pernah menulis: “Orang yang berpikir tentang reformasi atau
modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha-usaha mereka pasti gagal.
Mengapa harus dimodernkan, kalau Islam itu sendiri sudah sempurna dan sejati,
universal, dan berlaku untuk setiap zaman?”
Sekalipun
demikian, pandangan kaum Orientalis tentang Islam itu tidak seharusnya
dipersalahkan secara keseluruhan. Secara historis, Islam terdiri dari
pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam, di antaranya adalah sebuah tradisi
yang menyuarakan soal-soal yang paralel dengan isu-isu liberalisme Barat. Para
pendukung tradisi ini mengekspresikan kemarahan dengan pernyataan bahwa
posisi-posisi mereka “secara umum telah diabaikan oleh para sarjana Barat dan
media-media tertentu yang lebih tertarik pada wacana sensasionalisme kaum
ekstremis yang menyita perhatian masyarakat Barat”. Di antara masalah yang
menjadi perhatian tradisi yang terabaikan ini adalah oposisi terhadap teokrasi,
dukungan terhadap demokrasi, jaminan hak-hak kaum wanita dan non-Muslim di
negara-negara Islam, pembelaan terhadap kebebasan berpikir, dan kepercayaan
terhadap potensi perkembangan manusia --tema-tema yang membentuk enam bagian
volume ini. Menyuarakan isu-isu tersebut bisa jadi membahayakan di beberapa
negara, dan para pendukung tradisi ini mengalami penderitaan akibat keyakinan
mereka, sebagaimana akan didiskusikan kemudian dalam bab ini. Perlu dicatat
bahwa sebagian mereka yang lain telah memperoleh keuntungan dari hubungan
mereka dengan orang-orang Barat yang sejawat; buku ini, misalnya, mungkin dapat
memberikan legitimasi tertentu tentang para penulis yang termasuk dalam buku
ini.
Hanya
saja apa yang dikatakan tradisi ini membawa sedikit permasalahan. Saya
mengikuti saran seorang sarjana hukum Asaf `Ali Asghar Fyzee (India, 1899-1981)
yang menulis: “Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah
nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu ‘Islam Liberal’”. Saya
menggunakan istilah “liberal” dengan beberapa catatan penting: Pertama, para
penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum
liberal; kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi
liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya; ketiga, bahwa istilah
”liberal” mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia Islam
,
di mana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,
kemunafikan yang mendewakan kebenaran, dan permusuhan kepada Islam; keempat,
konsep “Islam liberal” harus dilihat sebagai sebuah alat bantu analisis, bukan
kategori yang mutlak; kelima, saya tidak membuat klaim apa pun mengenai
“kebenaran” interpretasi liberal terhadap Islam. Saya tidak punya kualisifikasi
untuk terlibat dalam perdebatan-perdebatan yang demikian; saya ingin
mendeskripsikannya saja.
Sekelompok
kecil sarjana Barat telah mulai menguji Islam liberal, dalam hal-hal yang sama
dengan paradigma yang berubah dalam studi akademis Islam. Berdasarkan
studi-studi yang lebih awal tentang keanekaragaman regional dalam Islam, fokus
baru mengenai Islam liberal menggembar-gemborkan sebuah penghargaan yang
meningkat terhadap keanekaragaman ideologis dalam Islam. Leonard Binder,
misalnya, mendiskusikan beberapa pemikir Islam yang pendapat-pendapatnya
sebagian diselimuti oleh liberalisme Barat dan hubungan ajaran-ajaran tersebut
dengan elemen-elemen Islam yang lain. Abdullah Laroui menguji perubahan konsep
kemerdekaan (liberty) dalam Islam, dan secara eksplisit mencatat perdebatan
tentang asal-usul dan aplikasi istilah itu dalam di negara-negara berbahasa
Arab. Kevin Dwyer mewawancarai para aktivis hak-hak asasi manusia di Afrika
Utara dan merinci perjuangan-perjuangan mereka dengan visi yang sangat baik
tentang kemajuan dan masyarakat yang baik. Di dalam buku ini, saya bermaksud
untuk memberikan kontribusi ke dalam proyek intelektual ini dengan menyajikan
teks-teks sebagian besar pemikir Islam liberal ke dalam bahasa Inggris dalam
bentuk sebuah bunga rampai.
Selain
itu, saya ingin memberikan kontribusi ke dalam literatur Islam liberal dengan
menekankan kontek Islamnya. Analisis tentang Islam liberal umumnya
dibandingakan dengan liberalisme Barat, dengan implikasi penilaian menurut
ukuran-ukuran Barat; karya yang demikian berisiko menimbulkan kritik seperti
yang dilontarkan terhadap seorang pengarang Barat, yang dituduh “sangat tertarik
pada Islam yang, pada pokoknya, menyatakan pendapatnya secara terus terang
mengenai apa yang ia anggap sudah sangat ia kenal, dan membuat dirinya yakin
akan supremasi nilai-nilai Baratnya sendiri. Akan tetapi, sejauh kajian Islam
liberal terfokus pada dimensi keislamannya, saya percaya hal itu akan terhindar
dari kritik yang demikian. Kesamaan Islam liberal dengan liberalisme Barat
tidak membawa implikasi bahwa kaum Muslim liberal tidak dinamis dan penjiplak
filsafat Barat. Banyak tulisan mereka benar-benar bersumber pada tafsir
al-Qur’an, kehidupan Nabi Muhammad dan orang-orang Islam paling awal, dan
bentuk-bentuk perdebatan Islam tradisional.
Bagian
selanjutnya akan mengaji perkembangan Islam Liberal dan perdebatannya yang
berkelanjutan dengan dua tradisi utama lainnya, Islam yang biasa atau Islam
adat dan Islam revivalis. Bagian ini kemudian akan mengidentifikasi tiga bentuk
Islam liberal berkaitan dengan bacaan-bacaan mereka tentang sumber-sumber Islam
yang utama. Bagian terakhir menjelaskan kriteria seleksi terhadap para penulis
dan tema-tema yang termasuk dalam volume ini dan memperkenalkannya secara
ringkas yang berkenaan dengan tiga model Islam Liberal.
Sejarah
tentang sebuah Perdebatan
Sebenarnya
setiap wilayah dunia Islam telah mengalami perdebatan-perdebatan yang paralel,
di antara tiga tradisi interpretasi sosio-religius, lebih dari dua abad yang
lalu. Tradisi-tradisi ini saling melengkapi dan jalin-menjalin dan semestinya
tidak dianggap berbeda satu sama lain atau homogen secara internal, tetapi
sebagai alat bantu ketiga jenis tradisi itu memberikan sudut pandang yang
signifikan bagi sejarah wacana Islam masa kini. Tradisi pertama bisa disebut
sebagai “Islam adat” (customary Islam), yang ditandai oleh kombinasi
kebiasaan-kebiasan kedaerahan dan kebiasaan-kebiasaan yang juga dilakukan di
seluruh dunia Islam. Di Maroko, tradisi yang umum ini mencakup penghormatan
terhadap tokoh-tokoh yang dianggap suci di mana sebagian Muslim merasa tidak
mempunyai pengetahuan dasar tentang al-Qur’an; di Indonesia, tradisi semacam
ini menyangkut juga pertunjukan-pertunjukan ritual keagamaan dan kekuatan yang
mengekpresikan tradisi-tradisi budaya daerah. Kita bisa juga menyebutkan suara
“bedug” di Islam Afrika Selatan, dan tradisi-tradisi musikal lainnya di dunia Islam,
kepercayaan orang-orang Kurdi dan umat Islam lainnya terhadap roh-roh orang,
perayaan-perayaan tahun baru Islam dan hari-hari suci lainnya di Iran dan
tempat-tempat lainnya, hirarki sosial yang menyerupai kasta di kawasan Islam
Asia Selatan, kepercayaan terhadap orang-orang dan benda-benda tertentu yang
memiliki kekuatan gaib, dan lain-lain. Kebiasaan lokal itu, tanpa disadari,
bisa jadi bertentangan dengan rukun Islam, seperti di Asia Tenggara, di mana
“di beberapa tempat menziarahi batu-batu keramat dianggap sebagai pengganti
yang cocok untuk ibadah haji (haj)” -ziarah ke Mekkah-yang “dianggap sebagai
muslihat orang Arab untuk memperdayaan orang-orang Mukmin”. Tradisi seperti ini
merepresentasikan mayoritas terbesar umat Islam di banyak tempat. Namun,
tradisi keagamaan seperti itu bukan merupakan sebuah fenomena pemersatu, karena
setiap wilayah dunia Islam memiliki praktik adatnya sendiri-sendiri. Maka,
tradisi-adat semacam itu cenderung dijustifikasi pada tingkat lokal saja, tidak
pada tingkat global: identitas (cara ”kita” melakukan sesuatu),
kehati-hatian/kebijaksanaan (“memompa” semangat orang-orang yang berkuasa), dan
pertalian-pertalian kepada masa lalu (kesetaian kepada seorang guru, gurunya
guru, dan seterusnya).
Tradisi
kedua, dan alternatif terpenting dalam Islam adat, adalah “Islam revivalis”
(revivalist Islam), juga biasa dikenal sebagai Islamisme, Fundamentalisme, atau
Wahabisme. Tradisi ini menyerang interpretasi adat (customary interpretation)
yang kurang memberi perhatian terhadap inti doktrin Islam. Menghadapi
penyimpangan-penyimpangan lokal, tradisi revivalis menginginkan penekanan
[pentingnya] bahasa Arab kembali (bahasa wahyu), kepalsuan institusi-institusi
politik lokal (sebagai “perebut” kedaulatan Tuhan), otoritas kaum revivalis sebagai
satu-satunya kelompok penafsir Islam yang memenuhi syarat, dan kebangkitan
praktik-praktik keagamaan periode awal Islam. Gerakan Muhammad Ibnu Abd Wahab
pada abad ke 18 di Arabia --prototipe untuk semua gerakan-- bertujuan
membersihkan pusat-pusat strategis tradisi Islam adat, praktik-praktik yang
tidak Islami yang berkembang beberapa abad setelah Islam diwahyukan.
Mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana masa Islam berjaya. Contoh yang lebih
akhir adalah Tayyib `Uqbi dari Aljazair (wafat 1960) yang menentang dan
menganggap Islam adat sebagai bid’ah: “Aku tidak pernah melakukan ziarah-ziarah
[ke tempat orang suci] …tidak juga memberikan sesajen-sesajen. … Aku tidak
minta pertolongan pada orang yang sudah mati … Mintalah pertolongan pada yang
engkau kehendaki, Aku tidak akan pernah tunduk pada kemusyrikanmu”. Banyak
analisis tentang perdebatan Islam terfokus pada kedua tradisi ini; antara Islam
adat dan Islam revivalis, dan mengabaikan tradisi ketiga yang menjadi focus
utama buku ini. Seperti pendukung Islam revivalis, Islam liberal (Liberal
Islam) medefiniskian dirinya berbeda secara kontras dengan Islam adat dan
menyerukan keutamaan periode Islam paling awal untuk menegaskan ketidakabsahan
praktik-praktik keagamaan masa kini. Namun, Islam liberal menghadirkan kembali
masa lalu itu untuk kepentingan modernitas, sedangkan Islam revivalis
menegaskan modernitas (seperti teknologi elektronik) atas nama masa lalu.
Terdapat berbagai versi liberalisme Islam (beberapa mode akan dibicarakan di
sini kemudian), tetapi satu elemen yang umum adalah kritiknya baik terhadap
tradisi Islam adat maupun Islam revivalis, yang oleh kaum liberal disebut
”keterbelakangan” (backwardness), yang dalam pandangan mereka menghalangi dunia
Islam untuk menikmati ”buah” modernitas : kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak
hukum, dan sebagainya. Di samping itu, tradisi liberal berpendapat bahwa Islam,
jika dipahami secara benar, sejalan dengan -atau bahkan perintis jalan bagi--
liberalisme Barat.
Ketiga
jenis pemahaman tentang Islam ini telah terlibat dalam persaingan terus menerus
selama lebih dari satu abad di seluruh dunia Islam, di mana revivalisme
kadang-kadang melakukan serangan-serangan terhadap Islam adat dan liberalisme
kurang memberikan pengaruh. Sesungguhnya, liberal Islam lebih sering menjadi
korban ketimbang. Memang, Islam liberal lebih sering menjadi korban ketimbang
jadi pemenang.
Islam
liberal muncul di antara gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18, masa yang
subur bagi perdebatan keislaman. Secara politis, saat itu dinasti-dinasti besar
Islam di lembah sungai Mediterania (Kerajaan Turki Usmani), Asia Barat-daya
(Dinasti Safawi), dan Asia Selatan (Dinasti Mongol), berada pada masa-masa
keruntuhan. Secara evangelis, Islam mengalami kemenangan berkelanjutan memasuki
Afrika Barat, di wilayah Barat, dan Asia Tenggara di wilayah Timur. Secara
teologis, peralihan pengetahuan ilmiah di seluruh dunia Islam mengalami
pencepatan, dan melahirkan sebuah komunitas `ulama (religous scholar)
internasional, baik yang belajar di pusat-pusat pengajaran di Arabia maupun
yang di bawah bimbingan seseorang yang telah belajar di sana.
Para
sarjana ini meluncurkan serangkaian pergerakan kebangkitan yang berupaya
membersihkan Islam dari praktek-praktek yang tidak Islami yang bertentangan
dengan sumber-sumber ortodoks. Menurut kaum revivalis, solusinya adalah
menggantikan tradisi Islam adat dengan ajaran Islam yang benar secara teologis
-yaitu, ajaran kaum `ulama revivalis, yang esensinya menegaskan penggantian
otoritas adat dengan otoritas sumber-sumber Islam orisinal. sebagaimana yang
dipahami oleh kaum revivalis.
Komunitas
`ulama revivalis internasional ini mempunyai pusat kegiatan intelektualnya di
sekolah terkemuka di Arabia, di mana kaum Muslim dari seluruh dunia berkunjung
ke sana sebagai jamaah haji atau tinggal sebagai mahasiswa dan kemudian kembali
ke negaranya masing-masing dan terinspirasi untuk memerangi praktek-praktek
adat yang tidak Islami: Muhammad bin `Abdul Wahhab dari daerah Nejd di Saudi
Arabia, Syaikh Jibril bin `Umar al-Aqdisi dari Afrika Barat, Haji Miskin dari
Sumatra, Haji Syari’at Allah dan Ahmad Brelwi dari Asia Selatan, dan Ma Mingxin
dari Cina.
Dalam
konteks revivalis ini, Islam liberal berakar pada diri Syah Waliyullah (India,
1703-1762). Dilahirkan pada tahun-tahun terakhir dinasti Mongol, Waliyullah
mewarisi jabatan ayahnya sebagai pimpinan sebuah sekolah menengah agama
(religious seminary). Untuk menyelesaikan pendidikannya, ia pergi ke Mekkah,
tempat suci dan pusat seminari di Saudi Arabia. Sekembalinya dari Mekkah, ia
mulai menunjukkan dukungannya terhadap bentuk revivalisme yang dikumandangkan
kemudian oleh kaum liberal belakangan sebagai “nenek-moyang” intelektual Islam
liberal. Sebagaimana kaum revivalis lainnya, Waliyullah, yang melihat bahwa
Islam sedang dalam bahaya, berupaya untuk melakukan revitalisasi komunitas
Islam melalui gabungan antara pembaruan teologi dengan organisasi sosial
politik, serta memandang tradisi Islam adat sebagai sumber utama dari semua
masalah dalam Islam.
Namun demikian, Waliyullah mengembangkan
sebuah tanggapan yang lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat,
dibandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh Wahabi dan pelopor
kebangkitan Islam lainnya. Sebagai contoh, Waliyullah relatif toleran terhadap
praktek-praktek tertentu yang oleh kaum revivalis lainnya dianggap telah
melampaui batas, dan berpendapat bahwa hukum Islam -yang di ilhami oleh wahyu--
harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia dan waktu yang berbeda.
Jika adat-kebiasaan lokal tidak sesuai dengan rumusan Islam ortodoks, “tidaklah
dianggap perlu menggantinya dengan sesuatu yang lain [hukum Islam] yang sama
sekali tidak dikenal mereka [masyarakat lokal]...Tujuan utamanya adalah bahwa
semua upaya pembaruan ini seharusnya diperkenalkan dengan cara sedemikian rupa
sehingga daya pikir [masyarakat lokal] dapat memahaminya dan tidak menolaknya”.
Pentingnya pemikiran manusia (human reasoning) merupakan sebuah penekanan yang
selalu muncul dalam karya Waliyullah dan menjadi pedoman utama bagi para
pemikir Muslim liberal belakangan, sebagaimana terdapat dalam kutipan
Waliyullah yang diterjemahkan oleh seorang pemikir liberali abad ke-20: ”Tiba
saatnya hukum Islam harus diungkap dalam pemikiran dan argumentasi secara
terbuka”. Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika Serikat, 1919-1988), seorang pemikir
liberal yang karyanya dikutip dalam bab 32, merangkum pendekatan Waliyullah
sebagai berikut:
Sejauh menyangkut Hukum, Waliyullah
tidak berhenti pada mazhab-mazhab hukum Islam abad pertengahan, tetapi kembali
kepada sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadits Nabi serta merekomendasikan ijtihad
-- pelaksanaan pendapat yang independen sebagai lawan dari taklid terhadap
otorita-otoritas abad pertengahan…Dia berpendapat bahwa sumber-sumber keagamaan
dan moral manusia yang fundamental adalah sama di setiap waktu dan iklim,
tetapi harus bisa mengatur dan mengekspresikan dirinya menurut kesanggupan
zaman dan orang tertentu….untuk menjadi sebuah agama yang universal, Islam
harus menemukan sarana untuk menyebarluaskan dirinya dan sekaligus terikat oleh
warnanya dan coraknya -tradisi dan gaya hidup Arab. Namun, dalam kultur-kultur
yang berbeda, sarana tersebut sudah pasti akan mengalami perubahan.
Namun demikian, dalam banyak hal,
Waliyullah adalah seorang revivalis. Di samping komentar-komentarnya tentang
hal-hal yang secara rasional berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan lokal yang
tidak Islami, ia sangat tidak mentolerir praktik-praktik yang menurutnya
mengarah pada kemurtadan, seperti mengunjungi makam-makam orang besar untuk
memintanya sebagai perantara. Selain komentar-komentar mengenai “zaman akal
budi” (age of reason) - yang sezaman tetapi tidak berkaitan dengan sentimen
pencerahan bangsa Eropa-- Waliyullah tidak menyiapkan persediaan bentuk-bentuk
pengetahuan ”modern” dan memandang pengetahuan keislaman tradisonal cukup untuk
memenuhi tuntutan dunia kontemporer: “Jika saya yakin bahwa kebaikan zaman ini
tergantung pada bebasnya sirkulasi matematika, astronomi, ekonomi, arsitektur,
teknologi dan rekayasa, saya akan mencurahkan tenaga saya untuk menyebarluaskannya.
Selain bentuk-bentuk baru pendidikan ini, Waliyullah menekankan pengajaran
keislaman tradisional dan berpendapat bahwa orang-orang yang lulus dari
pelatihan inilah yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad (ijtihâd).
Dalam sebuah kesempatan, Waliyullah tampaknya menyatakan bahwa dialah yang
memiliki wewenang untuk berijtihad, sedangkan orang-orang Islam lainnya harus
melaksanakan taklid (taqlid) dan mengikuti ajaran-ajarannya. Dalam pernyataan
yang mendekati faham mesianisme, Waliyullah menulis bahwa Allah SWT. hadir
dalam mimpinya dan telah menunjuknya sebagai pemimpin dunia dan pembaru Islam.
Perkembangan yang sama terjadi dalam
Islam Syiah, di mana Aqa Muhammad Baqir Bihbihoni (Iran, 1790) memainkan peran
yang sama seperti Waliyullah. Bihbihani juga dilahirkan dalam keluarga ulama
terkemuka dan terdidik dalam cara-cara tradisional. Ia juga menganut sikap atau
pemikitan yang, kemudian dikenal sebagai mazhab Ushulî, menekankan pentingnya
ijtihad. Sebagaimana Waliyullah, Bihbihani juga menggabungkan konsep taklid
yang konservatif dengan konsep ijtihad yang liberal dengan cara membatasi
praktek-praktek ijtihad hanya kepada para sarjana agama yang berkemampuan untuk
itu. Pada abad ke-19, pandangan ini berkembang menjadi sebuah pandangan yang
menyatakan bahwa setiap zaman harus mematuhi seorang `ulamâ saja sebagai
marja’-i taqlid, meskipun konsep ini tidak menyinggung satupun petunjuk ilahiah
(wahyu), sebagaimana dalam karya Waliyullah.
Akan tetapi, hanya pada abad ke-19
Islam liberal mulai membedakan dirinya secara lebih jelas dari revivalisme,
baik secara intelektual maupun institusional. Pada tataran intelektual, Islam
liberal mulai memisahkan ijtihad dari taqlid, akal dari otoritas. Kebanyakan
tokoh-tokoh utama Islam liberal abad- 19 menggaungkan tema-tema ini:
Jamaluddin al-Afghani (lahir di
Iran, 1838-1897): “Dalam keyakinan agama mereka, mereka [anggota masing-masing
komunitas] tidak boleh menduga-duga dan merasa puas dengan semata-mata taqlid
terhadap para pendahulu mereka. Karena jika manusia mempercayai sesuatu tanpa
bukti dan alasan, melakukan praktik yang mengikuti pendapat-pendapat yang tidak
terbuktikan, atau merasa puas dengan takliddan mengikuti pada pendahulunya,
sudah pasti pemikirannya akan tertinggal oleh perkembangan intelektual, dan
sedikit demi sedikit kebodohan akan menguasainya --hingga pemikirannya terhenti
dan ia tidak dapat memahami kebaikan dan keburukannya sendiri; dan kesengsaraan
serta ketidakberuntungan akan menyertainya dari segala sisi.21
Sayyid Ahmad Khan (India, 1817-1898)
dan Sayyid Mahdi Ali Khan (India, 1837-1907): “Taklid bukan merupakan kewajiban
[bagi orang yang beriman]. Setiap orang berhak untuk melakukan ijtihad dalam
masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit dalam al-Qur’an dan
sunnah.”22
Muhammad `Abduh (Mesir 1849-1905):
“Pertama, untuk membebaskan pemikiran dari belenggu taklid… untuk kembali,
dalam upaya memperoleh pengetahuan agama, pada sumber-sumber utamanya, dan
menimbangnya dengan skala pemikiran manusia, yang telah diciptaan Tuhan untuk
mencegah dampak negatif atau pemalsuan dalam agama….dan untuk membuktikannya,
dalam konteks ini, agama harus dijadikan teman bagi sains, mendorong manusia
untuk menyelidiki rahasia-rahasia eksistensi….”23
Taklid menjadi tema yang
tidak popular bagi kaum liberal pada permulaan abad ke-20, sebuah tema yang
menggambarkan pengaruh yang populer dari kalangan tradisionalis sebagai lawan
kaum liberal. Sebagai contoh, Jamaluddin al-Qasimi (Syria Utsmani, 1866-1914)
menyebut taklid “sebagai penyakit kusta yang menyebar di antara
manusia….sejenis penyakit infeksi, sebuah kelumpuhan yang umum, sebuah kegilaan
yang mengherankan dan menjerumuskan manusia ke dalam kelesuan dan
kelambanan”.24 Sebaliknya, ijtihad memungkinkan Islam untuk dipahami sesuai
dengan tuntutan pemahaman kemodernan. Meskipun demikian, terdapat
ketidaksepahaman mengenai bentuk-bentuk tuntutan itu: apakah harus menolak
kecenderungan Eropa atau mengikutinya begitu saja, apakah harus memperbarui
mazhab-mazhab tradisional ataukah mendirikan mazhab yang baru, apakah harus
mengurangi atau memperbaiki praktek-praktek keagamaan. Kaum liberal periode ini
saling mengkritik satu sama lain dengan begitu bersemangat hampir sama halnya
ketika mereka mengkritik kalangan Islam adat dan Islam revivalis.
Pengembangan hak untuk melakukan
ijtihad secara langsung merupakan ancaman terhadap otoritas para pemimpin Islam
baik yang tradisionalis maupun yang revivalis. Hal ini menuntut umat Islam
untuk mempelajari Islam bagi [kepentingan] mereka dan, pada glirannya,
membangun otoritas mereka sendiri. Namun, dari sini, sebagian kecil kalangan
liberal abad ke-19 telah mengambil kesimpulan abad-20 bahwa pendapat-pendapat
masyarakat seharusnya mengatur urusan publik. Bahkan, kelompok liberal itu
berusaha menempatkan diri mereka sendiri sebagai otoritas-otoritas yang
melindungi kepentingan umat, dan sarana utama bagi aktivisme mereka adalah
bidang reformasi pendidikan. Meskipun banyak pemikir liberal pada periode ini
merupakan produk pendidikan keagamaan tradisional, mereka memandang
institusi-insitusi ini tidak cukup untuk memenuhi tuntutan zaman berusaha
memperbaruinya atau bahkan menciptakan institusi baru yang menggabungkan
pendekatan modern dan tradisional. Sebagai contoh, Sayid Ahmad Khan mendirikan
Muhammadan Anglo Oriental College di Aligarh, India; `Abduh berusaha untuk
mereformasi Universitas al-Azhar di Cairo, Mesir; al-Afhgani terlibat pada
tahun-tahun pertama Universitas Istambul di Kerajaan Usmani. Selain itu, kita
dapat mencatat:
·Rifa`ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir,
1801-1873), terdidik di lingkungan perguruan al-Azhar Cairo, yang menetap
selama beberapa tahun di Paris sebagai guru agama untuk sebuah kelompok
mahasiswa Mesir; sekembalinya ke Mesir, ia berusaha mengembangkan sebuah sistem
pandidikan baru yang menggabungkan unsur-unsur Eropa dengan Islam.
·Shihabuddin
Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdum Danesh (Bukhara,1827-1897),
keduanya dididik di sekolah tradisional di Bukhara, yang bertugas untuk
memperbarui kurikulum di kota seminari ini dengan memperkenalkan mata pelajaran
sekular.
·Ismail
Bey Gasprinskii (Rusia, 1851-1914), terididik di sekolah dasar Islam dan
sekolah menengah Rusia, yang membangun jaringan sekolah moderen yang luas di
seluruh Rusia dan menggabungkan pendidikan secular dengan pendidikan agama.
Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin
(Sumatra-Malaysia, 1867-1957), K.H. Ahmad Dahlan (Jawa-Indonesia, 1869-1923),
dan Ahmad Surkati (Sudan-Indonesia, 1872-1943), semuanya belajar di Al-azhar
atau di Mekah dan kemudian turut mendirikan sekolah-sekolah reformis di Asia
Tenggara.
Wang Haoran (Cina, 1848-1918),
dipengaruhi oleh al-Azhar dan sentimen-sentimen Pan-Islamis yang berpusat di
Istambul, yang mendirikan sekolah-sekoah reformis dan organisasi-organisasi
Islam di Cina.
Ciri khas dari gerakan pembaruan ini
adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat tema-tema yang khas Barat terhadap
kurikulum tradisional, sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual yang
kedua dari kaum liberal: penghargaan terhadap “modernitas”. Ketika kaum
revivalis Islam berusaha untuk meyembuhkan penyakit-penyakit dunia Islam dengan
cara menekankan kembali pentingnya sumber-sumber agama Islam abad ke-17, kaum
liberal berusaha menggabungkan penekanan tersebut dengan fokus lain terhadap
disiplin-disiplin keilmuan Barat seperti ilmu rekayasa dan ilmu kemiliteran,
kedokteran dan ilmu, kajian-kajian perbandingan hukum dan ilmu sosial, dan
bahasa-bahasa moderen. Oleh karena itu, Islam liberal pada periode tersebut
secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam” (Islamic modernism).
Institusi-institusi pendidikan yang
diperbarui atau didirikan oleh kaum liberal ini melahirkan lulusan yang juga
liberal, yang membentuk basis pertama dari tiga basis institusi Islam liberal.
Menjelang awal abad ke-29, kaum liberal menguasai al-Azhar di Mesir,
sekolah-sekolah terkemuka di kerajaan Utsmani, sistem sekolah baru di
wilayah-wilayah Muslim Rusia, universitas Aligarh dan universitas-universitas
Islam terkemuka lainnya di Asia Selatan, dan sistem sekolah Muhammadiyah di Indonesia.
Dasar basis institusional yang kedua adalah jurnalisme yang cukup
menggoncangkan. Seiring dengan meningkatnya kemampuan literasi (melek huruf)
masyarakat, kaum Islam liberal menggunakan media baru ini secara aktif untuk
melakukan komunikasi dengan para pengikutnya. Nama-nama pemikir liberal
terkemuka pada zaman tersebut, tentu saja, diasosiasikan dengan sejumlah
majalah atau jurnal yang mereka miliki: Namik Kemal, Tasvir-i Efkâr (Herald of
Ideas) dan Hürriyet (Liberty), dalam bahasa Turki Utsmani, 1865-1870; Sayyid
Ahmad Khan, Tahzib al-Akhlak (Refinement of Morals), dalam bahas Urdu,
1870-1896; Gasprinskii, Tercüman/Perevodchik (The Interpreter), dalam bahasa
Turki Tatar dan Rusia, 1883-1914; Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh,
al-Urwat al-Wutsqa (The Strongest Link), dalam bahasa Arab, 1884; Mirza Malkom
Khan, Qanun (The Law), dalam bahasa Persia, 1890-1898; Muhammad Rasyid Ridha,
al-Manar (The Lighthouse), dalam bahasa Arab, 1898-1935; Jalaluddin, al-Imâm
(The Leader), dalam bahasa Melayu, 1906-1908; Rizaeddin Fakhreddin, Shurâ
(Consultation), dalam bahasa Turki Tatar, 1908-1917; Mahmud Tarzie, Siraj
al-Akhbar (The Lamp of the News), dalam bahasa Persia Afgani, 1911-1918;
Abdullah Ahmad, Al Munir El Manar (Light of Victors), dalam bahasa Indonesia,
1911-1916: yang ditulis oleh Abu`l- Kalam Azad, al-Hilal (The Crescent), dalam
bahasa Hindu, 1912-1914;) Mahmud Khaja Behbudiy, Ayina (The Mirror), dalam
bahasa Turki Uzbek, 1913-1916; dan lain-lain. Sebagian dari jurnal tersebut
tidak bertahan lama, dan sebagian lainnya harus diterbitkan di Eropa karena
tekanan politik di negara-negara Islam. Jurnal-jurnal ini masih memberi
sumbangan dan pengaruh yang luar biasa di kalangan Muslim terpelajar. Sebagai
contoh, jurnal al-Jawa’ib (Rumors) dari Ahmad Faridz al-Shidyaq, diterbitkan di
Konstantinopel, dibaca “di seluruh negara yang berbahasa Arab” pada tahun
1870-an, menurut seorang pengamat Inggris, dan ditemukan “di perumahan para
saudagar Nejd di Bombay”; jurnal al-Manar “dibaca secara luas di dunia Islam
dan merupakan faktor utama dalam pembentukan pemikiran Islam dari Afrika Utara
hingga Asia Tenggara”; Tercüman sangat berpengaruh di Cina.25
Basis institusional yang ketiga
adalah jaringan intelektual internasional yang terpusat pada Muhammad Abduh dan
murid-muridnya di Kairo. Tidak hanya kitab-kitab `Abduh dan para pengikutnya,
terutama al-Manar, yang dibaca secara luas di seluruh dunia Islam --Kairo juga
menjadi pusat studi dan kunjungan kaum liberal, sebagaimana Mekkah dan Madinnah
yang merupakan tempat bagi kaum revivalis satu abad lebih awal. Berbagai tokoh
seperti Jalaluddin, Dahlan, Syeikh Ahmad Khatib (Sumatera, 1855-1916), Abdullah
Ahmad (Sumatera, w. 1933), dan Sayyid Syeikh al-Hadi (Malaya, 1867-1934) dari
Asia Tenggara, Sayyid Ahmad bin Sumayt (Comoros-Zanzibar, 1861-1925), Muhammad
Kurd ‘Ali (Syria, 1876-1952), Abbu Syu`aib al-Dukkali (Maroko, 1878-1937),
Abdul Azis al-Thalibi (Tunisia, 1979-1944), Ha Decheng (Cina, 1888-1943), dan
Abu`l-Kalam Azad (India, 1888-1958) kembali dari Kairo untuk menyebarluaskan
pesan liberal di daerah mereka sendiri. Pusat jaringan internasional yang kedua
adalah Istambul, ibu kota Kerajaan Utsmani, yang mahasiswa-mahasiswanya yang
sangat berpengaruh, termasuk Grasprinskii dari Krimea, Mehmed Demaluddin
Causèvic (Bosnia, w. 1956), Numan Chelebi Jihan (Rusia, 1885-1918), dan Abdul
Rauf Fitrat (Bukhara, 1886-1938). Beberapa orang sarjana, seperti Musa Yarullah
Bigi (Rusia, 1874-1949), terdidik di Kairo dan Istambul. Sejumlah tokoh lainnya
tetap mempertahankan hubungan mereka dengan pusat-pusat jaringan internasional
tersebut melalui korespondensi, rapat-rapat luar negeri, dan lalu lintas
publikasi.
Kaum liberal memperoleh puncak
kekuasaannya pada dua dekade pertama abad ke-20. Selama abad ke -19, reformasi
liberal di mulai di bawah perintah raja-raja yang berpandangan modern (Mehmet
`Ali di Mesir , Mahmud II di kerajaan Utsmani, Ahmad Bey di Tunisia) yang lebih
tertarik pada persoalan kemiliteran dan efisiensi administratif daripada
liberalisme atau Islam; reformasi berlanjut di bawah dukungan para perdana
menteri (Amir Kabir di Persia, Mithat Pasa di kerajaan Utsmani, Khairuddin di
Tunisia) yang memperkenalkan reformasi pendidikan atau politik yang liberal,
tetapi hanya bertahan beberapa tahun saja. Sebaliknya, pada abad ke-20 secara
tepat Islam liberal menunjukkan pengaruh politik yang sinifikan. Di
wilayah-wilayah yang terjajah, komunitas Muslim kemudian direpresentasikan oleh
organisasi-organisasi liberal seperti Ititfaq al-Muslimin (Rusia), Muhammadiyah
(Indonesia), dan pendirian Aligarh (India). Di tanah-tanah yang masih merdeka,
kaum liberal memperoleh kekuasaan negara melalui revolusi konstitutional di
Iran (1906) dan kerajaan Usmani (1908). Tidak seperti usaha-usaha pembaruan
pada abad sebelumnya, yang dilakukan dari atas ke bawah (top-down),
revolusi-revolusi ini disisipkan melalui raja-raja yang malas dan kurang
cekatan.
Di antara para pendukung utama
gerakan konstitusional Persia adalah Sayyid Muhammad Tabataba’i (Iran,
1843-1921), Sayyid Abdulah Behbehani (Iran, 1846-1910), dan para `ulamâ yang
turut serta dalam mobilisasi revolusioner dan memainkan peran yang penting
dalam pemerintahan parlementer.26 Gerakan Turki muda di kerajaan Utsmani
memanfaatkan para administatur liberal seperti Sheyh-ül-Islam, pimpinan badan
administrasi di kerajaan tersebut, yang menceritakan kepada seorang peneliti
Inggeris: “Hukum [Islam] kami, yang dipahami secara benar, sesuai dengan
prinsip-prinsip pemerintahan perwakilan … [Kontitusi Utsmani] yang mengikat
orang-orang yang mengakui agama Islam. Khususnya orang-orang yang dituntut
untuk memimpin, yaitu `ulamâ, berkewajiban membantu secara aktif dalam
pelaksanaan kontitusi.27 Para ahli agama yang liberal bukan semata-mata sebagai
penggerak dari eksperimen-eksperimen demokrasi ini, dan banyak tokoh-tokoh
terkemuka yang harus dipaksa, oleh para aktivis, untuk mempertahankan sebuah
jalur pro-demokrasi secara konsisten di kalangan pengikut mereka. Meskipun
demikian, dukungan negara memberikan keuntungan yang luar biasa bagi kaum
liberal dalam menghadapi lawan-lawan teologis mereka.
Posisi yang menguntungkan ini hanya
bersifat sementara. Demokrasi-demokrasi baru di Iran dan kerajaan Usmani tunduk
pada kombinasi serangan gencar kaum revivalis Islam dan militer sekuler. Di
kerajaan Usmani, sebuah organisasi revivalis menghasut untuk melakukan
perberontakkan di ibu kota kerajaan tersebut yang menuntut pelaksanaan
syari’ah, hukum Islam, sebagai konstitusi. Dalam menanggapi hal tersebut, kekuatan
tentara sekuler yang cukup banyak berbaris menuju ibu-kota dan memberantas
parlemen liberal besertaaupun aliansi kependetaannya. Di Iran, kaum revivalis
secara aktif melakukan gerakan politik untuk melawan konstitusi dan parlemen
dan mendukung kudeta pada 1908 dan 1911.
Di tempat lain, kaum revivalis
menggolongkan kaum liberal sebagai kelompok yang ingkar agama (murtad),
sebagaimana terlihat dalam pernyataan seorang pemimpin Islam Rusia: “Siapa pun
yang mempercayai Tuhan dan Muhammad mestilah ia musuh kelompok modernis.
Syari’ah menuntut mereka dengan hukuman mati”.28 Tuduhan-tuduhan seperti itu
memang tidak dapat dihindarkan, karena upaya-upaya kaum liberal untuk belajar
tentang dan dari Barat membuatn mereka dituduh tidak otentik dan mengkhianati tradisi
kultural mereka sendiri. Menurut Rahman,29 ”Kaum modernis memunculkan
kecurigaan, bahkan manyangkut loyalitas mereka terhadap Islam, dan mereka
dituduh sebagai refleksi Barat yang lemah dan mengorbankan Islam di altarnya.”
Hal ini, tentu saja, merupakan gambaran Islam modernis yang mematikan.30 Banyak
Muslim liberal pada masa berikutnya membuat jarak terhadap kaum liberal pada
periode modernis. “Tragedinya,” menurut `Ali Syari’ati (Iran, 1933-1977),
”adalah bahwa, di satu sisi, orang-orang yang mengendalikan agama kita selama
dua abad terakhir telah mentransformasikannya ke dalam bentuk yang statis. Di
sisi lain, masyarakat kita yang tercerahkan, yang memahami masa kini dan
kebutuhan-kebutuhan generasi dan zaman kita, tidak memahami agama...31 Sebagian
penulis liberal dalam buku ini mengutip Muhammad `Abduh dan orang-orang yang
sezaman dengannya.
Sementara itu, tidak diragukan lagi
bahwa beberapa pemikir liberal pada zaman ini memang salah, mengadopsi
perspektif orientalis dan menyebut Islam sebagai sesuatu yang terbelakang dan
tidak menyelamatkan ¾”Tidak ada peradaban kedua; menyebut peradaban hanya
berarti peradaban Eropa,” kata seorang reformis Utsmani.32 Kebanyakan kaum
liberal pada periode modernis jauh lebih protektif terhadap agama dan kebudayaan
Islam, dibandingkan dengan apa yang secara umum dituduhkan pada mereka. Bagi
mereka, tujuan akhirnya bukanlah untuk menyingkirkan Islam, melainkan untuk
mengaktualkannya kembali.
Memang
ironis bahwa Islam liberal dituduh sebagai sekularisme, karena sekularisme
bertanggungjawab secara luas atas “penyusutan” Islam. Dimulai pada tahun
1920-an, sejumlah besar kaum Muslimin terpelajar yang dulunya tidak menganut
Islam liberal saat ini bahkan beralih kepada ideologi-ideologi sekuler, seperti
nasionalisme dan sosialisme. Sekularisasi yang tersebar luas telah memperlemah
piosisi liberalisme melalui cara kedua yaitu menciptakan sebuah sense of crisis
di dalam Islam yang menyokong kaum revivalis. “Agama (keimanan) lebih dari
sekedar penjelasan atau formulasi kepercayaan, kepastian intuitif lebih dari
sekedar isi-pemikiran diskursif yang menjadi tangisan dari sang waktu”. 33
Sebagai contoh `Ali Abdul Raziq (Mesir, 1888-1966; bab I) dipecat dari
jabatannya di al-Azhar pada tahun 1925, karena berpendapat bahwa Islam menyerahkan
bentuk pemerintahan kepada temuan pemikiran manusia. Posisi liberal ini mungkin
tidak betul-betul diangggap di luar batas dalam beberapa permulaan, sebelum
penghapusan kekhalifahan Utsmani-tua-abad ke-7 oleh para sekularis Turki.
Al-Azhar menjadi lebih konservatif; bahkan Rasyid Ridha, murid `Abduh, mengecam
`Abdul Raziq. Para pengamat Barat berpendapat bahwa Islam liberal telah mandek,
tidak lagi mengalami kemajuan.34
Para pemikir Islam liberal masih
berupaya untuk membantu menemukan gerakan-gerakan anti kolonial pada tahun
1920-an dan 1930-an: Asosiasi `Ulamâ Aljazair (Association of Algerian
Religious Scholars)-nya `Abdul Hamid Ibnu Badis, Liga Muslim (All-India Muslim
League)-nya Muhammad Iqbal, Partai Kemerdekaan (Istiqlal Party)-nya Muhammad
`Allal al-Fasi di Maroko, dan Partai Destour-nya `Abdul Aziz al-Tha`alibi di
Tunisia. Disamping itu, dekolonisasi negara-negara Islam telah memperbarui
perdebatan mengenai pemerintahan Islam, seperti perdebatan-perdebatan di India,
Indonesia, Nigeria, dan Pakistan di yang melibatkan kalangan liberal. Akan
tetapi, Islam liberal diambil alih oleh kecenderungan-kecenderungan ideologis
lainnya selama pertengahan abad ke-20.
Namun, sejak tahun 1970-an, Islam
liberal memperoleh popularitas baru. Waktunya mungkin tidak pernah diharapkan,
karena bertepatan dengan periode di mana revivalisme Islam juga memperoleh
banyak penganut. Kedua tradisi tersebut berbenturan dalam banyak kesempatan,
biasanya dalam perdebatan intelektual yang kadang-kadang juga berlangsung dengan
amat keras. Kaum liberal dari ideologi-ideologi yang berbeda juga, secara tidak
proporsional, menjadi korban kekerasan, yang tidak proporsional tersebut, di
antaranya adalah :
- Mahmoud
Muhamed Taha (Sudan, 1910-1985), yang menentang pemahaman pemerintahan
Sudan yang revivalis tentang hukum syari`ah, dieksekusi karena dinyatakan
telah murtad pada tahun 1985.
- Subhi
al-Salih (Libanon, w. 1986), seorang bekas wakil-mufti Libanon, yang
menyatakan pendapat “membuka semua pintu ijtihad” dan melarang taklid,
dibunuh oleh seorang penembak Syi`ah pada tahun 1986.
- Farag
Fuda (Mesir, 1945-1992), seorang politisi liberal dan kolumnis yang
mengkritik ekstrimisme Islam, terbunuh pada tahun 1992.
- Maulvi
Farook (India, 1945-1990) dan Qazi Nissar Ahmed (India, 1948-1994),
keduanya ahli agama Islam (`ulamâ) dan pendukung hak-hak Muslim di wilayah
Kashmir, India, secara berturut-turut dibunuh pada tahun 1990 dan 1994
karena menentang taktik-taktik kekerasan kaum separatis Islam di daerah
tersebut. Yasin Malik, pengkritik kekerasan lainnya, beberapa kali
diserang pada tahun 1994, namun masih bertahan hidup.
- Mohammad
Sa’id (Al-Jazair, kira-kira 1947-1995) dan Abderrazak Redjam (Al-Jazair,
kira-kira 1957-1995), keduanya merupakan aktivis terkemuka dalam gerakan
Islamis (Islamist movement) di Al-Jazair, dihukum mati bersama beberapa
orang pengikutnya oleh sebuah faksi Islamis (Islamist faction) militan
pada tahun 1995 setelah secara terbuka mereka mengajukan beberapa
keberatan terhadap metode kekerasan pada faksi tersebut.
Dalam skala kekerasan yang lebih
kecil, sejumlah penulis yang termasuk dalam buku ini telah mengalami
konfrontasi yang lebih dari sekedar perdebatan intelektual. Muhammad
Khalaf-Allah (Mesir, lahir 1916; artikel 2) tidak hanya dipaksa untuk membakar
seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan kembali
keimanannya kepada Islam dan kembali memperbaharui perjanjian perkawinannya;
Mehdi Bazargan (Iran, 1907-1995; artikel 7) didepak dari keperdanamenterian dan
kemudian keluar dari parlemen Iran; Muhammad Shahrour (Syria, lahir 1938;
artikel 15) menyaksikan karya-karyanya dilarang masuk di beberapa wilayah Timur
Tengah; Abdul-Karim Soroush (Iran, lahir 1945; artikel 26) dilarang berbicara
di depan publik Iran serta diancam pembunuhan.
Sekelompok kaum liberal mengalami
depresi berkaitan dengan posisi mereka yang tidak cukup menjanjikan dalam
perdebatan-perdebatan Islam kontemporer. Hassan Hanafi (Mesir, lahir 1935)
menempatkan pesimisme ini di jantung analisisnya tentang sejarah Islam dan berpendapat
bahwa penafsiran-penafsiran kaum liberal terhadap warisan non-Arab telah begitu
mengakar, sehingga orang Arab kehilangan kemampuan untuk berdebat dan
belajar.35 Seorang sarjana menyimpulkan bahwa dengan kemunculan revivalis Islam
tahun 1970-an, masa bagi liberalisme Islam telah lewat.36 Sarjana lainnya
mengatakan bahwa Islam liberal menghadapi sebuah “kehidupan yang mustahil”
(impossible life): “Bagi suatu masyarakat Islam terhadap yang lainnya,
menuliskan liberalisme sama dengan menuliskan obituari (berita kematian)
orang-orang yang menghadapi tantangan-tantangan yang tidak mungkin, dan
kemudian gagal. 37
Akan tetapi, pada saat yang sama,
terdapat indikasi bahwa pesimisme itu mungkin terlalu prematur. Pada tataran
intelektual, para pemikir Islam liberal sedang membangun liberalisme yang lebih
percaya-diri dan meyakinkan, yang tidak berapologi baik untuk liberalismenya
maupun esensi keislamannya. Generasi kontemporer jauh lebih terbiasa dengan
pendidikan dan masyarakat Barat dibandingkan generasi sebelumnya. Banyak
penulis dalam buku ini yang memperoleh gelar pascasarjananya di Eropa dan
Amerika Utara; tidak seperti pada abad ke-19, kaum liberal menuntut
pemberlakuan disiplin-disiplin keilmuan Barat yang mereka sendiri kurang begitu
menguasainya. Para pengikut mereka di akhir abad ke-20 melakukan pendekatan
terhadap tema-tema “modern” dari posisi jabatan mereka yang kuat. `Abdullahi
Ahmed An-Na`im (Sudan-Amerika Serikat, lahir 1946), Muhammad Arkoun
(Al-Jazair-Perancis, lahir 1928) dan Rahman, misalnya, telah diakui dan
menempati jabatan-jabatan fakultas di beberapa universitas Barat terkemuka.
Pada saat yang sama, kaum liberal kontemporer lebih yakin para pendahulunya
dalam menyatakan perlunya kontribusi Islam terhadap masalah-masalah modern
ketimbang para pendahulunya. Sebagian karena keterbiasaan mereka dengan Barat
lebih memungkinkan untuk mengkritiknya secara lebih meyakinkan, sebagian karena
harga-diri yang telah, yang awalnya diwariskan oleh kelompok revivalis
Islamyang militan, kaum liberal kontemporer mampu berpendapat bahwa Barat
mengalami penderitaan karena krisis spiritual ---sejumlah sumber-sumber Barat
dapat dikutip sebagai pendukung- yang bisa dibantu disembuhkan oleh Islam.
Sebaliknya, kaum Muslim liberal seabad yang lalu kurang kritis terhadap Barat.
Sumber lain menyangkut optimisme
terhadap Islam liberal ini adalah meningkatnya taraf pendidikan di dunia Islam.
Literasi telah memungkinkan umat Islam untuk membaca al-Qur’an dan
sumber-sumber Islam lainnya untuk kepentingan mereka sendiri, daripada hanya
bergantung pada para `ulamâ, dan karena mazhab-mazhab tradisional telah
kehilangan monopolinya terhadap dunia pendidikan pada abad lalu dengan
meningkatnya jumlah Muslim yang menerapkan pendidikan non-agamanya untuk
mengembangkan pendekatan-pendekatan baru terhadap Islam. Ingatlah besarnya
prosentase kaum liberal pada abad ke-19 yang terlatih secara tradisional;
sebaliknya, para penulis dalam volume ini merupakan produk pendidikan sekuler:
Bazargan dan Shahrour terlatih sebagai insinyur, Arkoun dan Rachid Ghannouchi
(Tunisia, lahir 1947) sebagai filosof,. Chandra Muzaffar (Malaysia, lahir 1947)
dan Syari`ati sebagai ilmuan sosial, dan lain-lain. Disamping menghasilkan para
teorisi liberalisme, perluasan sistem-sistem pendidikan turut juga mempersiapkan
lahirnya kelompok pemirsanya. Sebagai contoh, buku pertama Shahrour merupakan
karya terlaris di Afrika Utara, meskipun diperbanyak secara bajakan; karya
Syari`ati populer terutama di kalangan mahasiswa; Soroush seringkali menjadi
bahan diskusi orang-orang Iran di Internet. Faktor penyebab terakhir dari
optimisme terhadap Islam liberal adalah kemunculan sebuah infrastruktur
organisasi bagi Islam liberal. Organisasi-organisasi multidenominasi muncul di
Malaysia (Aliran), di Philipina (Demokrasi Muslim-Kristen), di Senegal (Yewwu
Yewwi), dan di tempat-tempat lain yang bertujuan untuk menggambarkan suasana
hidup berdampingan secara damai di antara komunitas beragama dan memerangi
intoleransi. Selain itu, sejumlah lembaga penelitian telah didirikan untuk
mendukung penelitian, publikasi, penerjemahan (termasuk beberapa topik dalam
buku ini), dan konferensi. Salah satu organisasi yang paling awal adalah
Institut Penelitian Islam (Islamic Research Institute) di Pakistan, yang
dijalankan oleh Rahman hingga kaum revivalis memaksanya untuk mengundurkan diri
pada tahun 1960-an. Masih di awal tahun 1960-an, Bazargan, Mahmud Taleqani
(Iran, 1911-1979), dan kaum liberal lainnya mendirikan Gerakan Kebebasan
(Freedom Movement) di Iran, yang menghendaki pembaruan-pembaruan liberal, baik
dalam institusi-institusi Islam maupun sekuler. Banyak organisasi yang semacam
terdapat di Barat: di antaranya adalah Institut Pemikiran Islam Internasional
(International Institute of Islamic Thought) di Herndon, Virginia; Institut Penelitan
dan Kajian Islam (Institute for Rsearch and Islamic Studies) di Houston, Texas;
Lembaga Kajian Dunia dan Islam (World and Islam Studies Enterprise) di Tampa,
Florida; organisasi hak-hak asasi manusia Kemerdekaan bagi Dunia Islam (Liberty
for Muslim World) di London, Inggris; dan Masyarakat Ibnu Khaldun (Ibn Khaldun
Society) di London dan Washington D.C..38 Kegiatan-kegiatan organisasi ini
ditujukan bagi orang-orang Barat dengan menunjukkan sisi Islam yang tdaik
fanatik, dan juga kepada orang-orang Islam dalam upaya menyebarkan perspektif
liberal dalam dunia Islam. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, mereka mewakili
upaya nyata yang pertama sejak akhir abad ke-19 guna melahirkan sebuah gerakan
ilmiah Islam liberal yang bersifat internasional.
Bentuk-bentuk Islam Liberal
Islam liberal berjalan dalam dua
konteks intelektual, yaitu yang berorientasi Islam dan Barat. Pada penulis
dalam buku ini menempatkan penekanan masing-masing yang berbeda, tapi semuanya
dapat dianalisis dalam konteks yang lainnya, sebagai kaum liberal Islam
(Islamic liberals [bagian dari liberalisme]), atau sebagai kaum Muslim liberal
(liberal Muslims [bagian dari Islam]). Banyak literatur akademis yang darinya
para penulis mengambil beberapa pertama: Seberapa liberalkah kaum liberal
Islam? Apakah varian-varian liberal Islam sesuai dengan standar liberalisme
Barat? Analisis Leonard Binder yang sangat bagus dalam Islamic Liberalism
mengggunakan pendekatan ini secara luas, mempertimbangkan unsur-unsur pemikiran
para penulis Mesir terkemuka dalam menghadapi tradisi-tradisi Barat. Saya
bermaksud untuk mengambil arah sebaliknya: menguji kaum Muslim liberal di
pandang dari sudut tradisi Islam.
Konteks ini merupakan pijakan yang
paling disukai oleh kaum Muslim liberal, bahkan orang seperti Mamadiou Dia
(Senegal, lahir 1911; artikel 30) yang tulisannya lebih berkaitan dengan
teologi Kristen Perancis ketimbang teologi Islam. Dia dan kaum liberal lainnya
kelihatan sangat sensitif untuk menunjukkan ketidakotentikan kultural dan
memandang karya mereka sebagai sebuah pembaruan, bukan pelarian, dari sebuah
perdebatan panjang dalam Islam. Dia menulis: “Otensititas Islam menghendaki
upaya kembali kepada sumber utama al-Qur’an dan sunnah, bukan untuk mendapatkan
perlindungan atau membenamkan kepedulian di sana, tetapi untuk menarik
unsur-unsur bagi renovasi dan revitalisasi filsafat Islam”. Dengan menggunakan
perdebatan-perdebatan Islam ini sebagai konteks, kita dapat mengidentifikasi
tiga “bentuk” (modes) utama Islam liberal. Hal ini melibatkan hubungan
liberalisme dengan sumber-sumber primer Islam: kitab wahyu (al-Qur’an) dan
praktik-praktik dari Rasulullah saw. (sunnah) yang secara bersamaan menetapkan
dasar hukum Islam (syari’ah). Bentuk pertama menggunakan posisi atau sikap
liberal sebagai sesuatu yang secara eksplisit didukung oleh syari’ah; bentuk
kedua menyatakan bahwa kaum Muslim bebas mengadopsi sikap liberal dalam hal-hal
yang oleh syari`ah dibiarkan terbuka untuk dipahami oleh akal budi dan
kecerdasan manusia; bentuk ketiga memberikan kesan bahwa bahwa syari’ah, yang
bersifat ilahiah, ditujukan bagi berbagai penafsiran manusia yang beragam. Saya
menyebut ketiga bentuk ini dengan syari`ah yang liberal, silent dan
interpreted. Contoh-contoh yang dikemukakan diambil dari para penulis dalam buku
ini dan dari para pemikir Islam liberal lainnya yang karya-karyanya tidak dapat
dimasukkan di sini karena keterbatasan tempat, tetapi ide-ide dan reputasinya
pantas diketahui secara luas.
Syari’ah
Liberal (Liberal Sharî’a)
Bentuk pertama ini menyatakan bahwa
syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat.
Sebagai contoh, Ali Bullac (Turki, lahir 1951), salah seorang Islamis liberal
terkemuka di Turki yang dalam artikel-artikel yang belum diterjemahkan
sebelumnya (artikel 19) berpendapat bahwa Piagam Madinah (Medina Document) --di
mana Rasulullah menjamin hak-hak non- Muslim untuk hidup di bawah pemerintahan
Muslim-- menghadirkan sebuah contoh bagaimana syarî’ah memecahkan
masalah-masalah kontemporer secara liberal. Abdurrahman I. Doi (India-Nigeria,
lahir 1933) berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan konstitusi yang pertama di
dunia, sedangkan orang-orang Kristen Eropa baru menemukan konstitusionalismenya
satu abad kemudian. Maurice Bucaille (Perancis, lahir 1920) berpendapat bahwa
al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah, sedangkan kalangan ilmiah
sekuler satu abad lebih lama untuk memahaminya. Syafique `Ali Khan (Pakistan,
lahir 1936) dan Abdelkébir Alaoui M’Daghri (Maroko, lahir 1942) berpendapat
bahwa syarî’ah membangun kebebasan berpikir.39
“Liberal sharî’a”, tidak diragukan
lagi, merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh. Saya mengajukan
tiga penjelasan. Pertama, “liberal sharî`a” menghindari tuduhan-tuduhan
ketidakotentikan otentitas dengan mendasarkan posisi-posisi liberal secara kuat
dalam sumber-sumber Islam ortodoks. Kedua, “liberal sharî`a” menyatakan bahwa
posisi-posisi liberal bukan sekedar pilihan-pilihan manusia, melainkan
merupakan perintah Tuhan (yang membawa pada posisi yang menyimpang, yang juga
membuat liberalisme Barat menderita, yang melakukan pembenaran atas liberlisme
dengan merujuk pada referensi illiberalism, seperti hak-hak yang “diberikan
Tuhan”.40 Ketiga, “liberal sharî’a” itu memberikan rasa bangga akan penemuan
yang dihasilkan: berpendapat bahwa Islam liberal lebih tua dari liberalisme
Barat merupakan sebuah strategi retorika yang kuat di kalangan orang-orang yang
terlalu sering menginternalisasi gambaran-gambaran Barat tentang inferioritas
dan keterbelakangan.
Syarî’ah
yang Diam (Silent Shari’a)
Bentuk argumentasi Islam liberal
yang kedua berpandangan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai
topik-topik tertentu. Muhammad Salim Al-`Awwa (Mesir, kontemporer), seorang
sarjana hukum, meringkaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Jika
Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal:
apakah hal ini tidak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau
kaum Muslim tidak pernah mempraktikannya sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus
yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan.
Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalam masalah ibadah....Dalam
kasus kedua....merupakan hal yang alamiah bahwa kaum Muslim seharusnya tanggap
terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.41
`Abdul
al-Raziq (artikel 1), sarjana Mesir yang kontroversial, ikut serta memelopori
penggunaan kata ini secara figuratif pada tahun 1920-an dengan berpendapat
bahwa syari’ah tidak menyebutkan bentuk khusus dari negara yang harus diikuti
oleh kaum Muslim, karenanya membolehkan pembentukan demokrasi-demokrasi
liberal. Sebagaimana dicatat oleh Muhammad Sa’id Al-`Asmawi (Mesir, lahir 1932)
dalam artikel 6: “Dari sekitar 6000 ayat al-Quran, hanya 200 ayat yang memuat
aspek hukum, yaitu sepertigapuluh dari al-Qur’an termasuk ayat-ayat yang
dinasakh oleh ayat-ayat sesudahnya”. Oleh karena itu, `Asmawi dan yang lainnya
menyimpulkan bahwa al-Qur’an tidak memerintahkan untuk memberlakukan bentuk
pemerintahan tertentu.
Syarî’ah Tuhan, sebagaimana
terangkum dalam al-Qur’an dan sunnah tidak mengikat manusia dalam hal
mu`amalat, kecuali hanya memberikan beberapa prinsip-prinsip yang umum sebagai
pedoman dan sejumlah kecil perintah. Syarî’ah jarang mempersoalkan dirinya
secara terperinci. Pembatasan syari’ah untuk memperluas prinsip-prinsip dan
kebisuannya dalam ruang-ruang lain disebabkan oleh kebijaksanaan dan rahmat
Tuhan. ...Fakta bahwa syarî’ah itu diam dalam masalah tersebut --dan kita
seharusnya mencamkannya dalam pikiran kita bahwa, sebagaimana dikatakan dalam
al-Qur’an “Tuhan tidak pernah lupa”-- berarti hanya pelaksanaan
perintah-perintah syarî`ah yang umum atas perincian kehidupan manusia yang
beraneka ragam, dan pertentangan mengenai masalah-masalah baru menurut
ketentuan kemaslahatan umum (maslaha) telah diserahkan pada kebijaksanaan
bangunan kesadaran kaum Muslim.42
Dalam syarî`ah Islam, tidak ada
sesuatu yang memaksa seseorang untuk mengikatkan agama ke dalam sebuah
bentukan-negara. Syarî`ah tidak berhubungan dengan bentuk pemerintahan
tertentu.43
Al-Qur’an diturunkan kepada mereka
[kaum Muslim] untuk menghentikan keraguan kepada Rasullullah saw. yang
menghendaki wahyu... Menyerahkan masalah-masalah tersebut kepada masyarakat
agar membuat mereka tumbuh dan berkembang, serta terbuka terhadap perubahan.44
“Silent Sharî’a” bersandar kepada
tafsir al-Qur’an untuk membentuk pikiran utamanya. Namun, beban pembuktiannya
sedikit lebih ringan dibandingkan dengan “liberal sharî’a” yang hanya perlu
menunjukkan perintah-perintah positif bagi kemampuan pembentukan-keputusan
manusia secara abstrak, ketimbang praktek-praktek liberal secara khusus. Maka,
ia memindahakan seluruh wilayah tindakan manusia dari wilayah kesarjanaan
Qur’an, di mana pendidikan-pendidikan ortodoks memiliki keuntungan yang
berbeda, dan menempatkannya dalam wilayah perdebatan publik.
Kelemahan dari bentuk “silent
sharî`a” adalah konotasinya ---yang sudah pasti ditolak oleh kaum liberal jenis
ini--- bahwa wahyu Tuhan tidak lengkap. Adalah riskan untuk berargumen balik
bahwa pesan-pesan Tuhan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan bahwa
agama serta politik tidak terpisah dalam al-Qur’an. `Abdul al-Raziq telah
dikritik secara tajam melalui perspektif ini, pada tahun 1920-an, bahkan oleh
kaum liberal dari kelompok “liberal sharî’a”, seperti Rasyid Ridha dan Muhammad
Dia’ al-Din al-Rayyis (Mesir, pertengahana abad ke-20).45
Pada suatu kesempatan,
argumen-argumen “silent sharî’a” muncul untuk menjamin tuduhan-tuduhan
permusuhan terhadap wahyu agama Islam, sebagaimana dalam kasus organisasi kaum
sosialis yang disebut Komite Muslim untuk sebuah Nigeria yang Progresif (Muslim
Committee for a Progressive Nigeria), yang menentang pelaksanaan hukum syarî’ah
pada tahun 1970-an, atas dasar bahwa hukum tersebut “tidak menawarkan jawaban
bagi masalah-masalah kronis seperti kelaparan, pengangguran, kota-kota yang
centang perenang, biaya sewa yang tinggi, kegagalan UPE [Universal Primary
Education], pengendalian penyakit, dan sebagainya.46 Para penulis liberal lain
dari bentuk ini masih berhati-hati untuk mengungkapkan kebisuan atau diamnya
syarî’ah dalam istilah yang lebih positif, yang berbicara tentang kebijaksanaan
dan rahmat Tuhan, sebagaimana dikutip dari Said Ramadan (Mesir, pertengahan
abad ke-20), dengan menyerahkan masalah-masalah tertentu kepada pertimbangan
manusia.
Kelemahan lainnya dari “silent
sharî’a” tersebut adalah karena bentuk ini menyisakan sedikit ruang untuk
menantang elemen-elemen illiberal yang tidak diam dalam syarî’ah. Sebagai
contoh, dalam beberapa tempat, al-Qur’an berbicara tentang etika dalam
pemilikan budak, penebusan tawanan perang dan memotong bagian tubuh tertentu
bagi para pelaku kriminal; jika praktik-praktik ini secara eksplisit dibenarkan
oleh wahyu Tuhan, kaum liberal dari kelompok ini (“silent sharî`a”) hanya dapat
mengajukan keberatan bahwa pesan al-Qur’an terbatas pada aplikasinya. Syekh
Waliyullah, misalnya, berpendapat bahwa Islam, yang universal dan abadi,
mengambil bentuk menurut masyarakat dan masa tertentu di mana Islam diwahyukan
untuk pertama sekali. Implikasinya, aturan-aturan dan perintah-perintah
tertentu yang terdapat dalam syarî’ah mungkin sesuai dengan kondisi Arabia abad
ke-7 dan tidak bersifat mengikat terhadap setiap masyarakat dan zaman. Sejumlah
penulis dalam volume ini membuat argumen yang sama dengan memilih topik-topik
khusus, seperti status kaum wanita. Mahmud Mohammed Taha (artikel 28), lebih
jauh lagi, membuat argumen ini dengan lebih berani, dan berpendapat bahwa
bagian-bagian al-Qur’an yang lebih luas hanya bersifat temporer dalam
penggunaannya (yang disebut Taha sebagai Pesan Pertama [First Message] Islam),
hingga komunitas Muslim siap untuk menerima kebenaran Islam yang terakhir (yang
disebut Taha sebagai Pesan Kedua [Second Message]), yang lebih menjamin pilihan
dan otonomi manusia. Menurut Taha, perintah-perintah yang permanen diturunkan
pertama sekali pada saat Nabi Muhammad saw. tinggal di Mekkah, sebelum ia
mengambil kekuasaan sementara; perintah-perintah yang bersifat sementara
diturunkan kemudian, pada saat Nabi Muhammad saw. di Madinah, dan menerapkannya
untuk kepentingan dan kebutuhan zaman tersebut. Taha berpendapat bahwa wahyu
yang lebih awal menasakh (membatalkan) wahyu yang datang kemudian (bertentangan
dengan apa yang diungkapkan oleh para penulis “liberal sharî’a”, seperti
Bullaç, yang berpendapat bahwa pengalaman belakangan di Madinah menghapuskan
pengalaman yang lebih awal).
Posisi teoretis seperti ini
merupakan hal sulit, karena beberapa hal. Pertama, ia membuat argumen-argumen
yang menantang bahwa syarî’ah itu “diam”, bahkan dalam topik-topik yang dapat
dibicarakan secara jelas. Kedua, ia proyeksikan kembali pendirian asal keilmuan
ortodoks, yaitu analisis tekstual terhadap sumber-sumber klasik. Ketiga, ia
membatasi bagian-bagian wahyu dalam suatu cara yang menurut beberapa sarjana
bersifat bid’ah. Taha sendiri dihukum mati oleh penguasa Sudan, sebagai hukuman
atas pendapat-pendapatnya, pada tahun 1985.
Syarî’ah
yang Ditafsirkan (Interpreted Sharî`a)
Bentuk ketiga argumentasi Islam
liberal dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal Barat
berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan
ini, syarî’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan
penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan.
Kesimpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan-tuduhan relativisme.
Namun, kaum liberal seperti Muhammad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan,
lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan syarî’ah seperti hadits Rasulullah
saw.: “Perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan umatku yang terpelajar
merupakan rahmat Tuhan.”47 Menurut hadits Rasulullah saw. yang lain: “Al-Qur’an
bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran. Oleh karena itu,
tafsirkanlah menurut kemungkian cara yang terbaik”.48 Muhammad Bahrul ‘Ulum
(Iraq, lahir 1927), seorang `ulamâ syi’ah terpelajar dan pendukung gerakan
demokrasi Iraq yang terkemuka, mengutip dua ayat al-Qur’an dalam memandang
masalah ini: ”Perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya diakui,
sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain. ‘Jika
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (QS. 11:118).’ ‘Manusia dahulunya
hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih (QS.10:19).’49
Kaum liberal lainnya berpendapat,
mengenai dasar-dasar empiris, bahwa keanekaragaman penafsiran merupakan salah
satu tanda dari tradisi Islam. Secara kategoris, Arkoun mengatakan: “penyimpangan
ideologis terjadi dalam kerangka pemikiran Islam setiap waktu, bahwa seorang
penulis lebih kurang hanya mengumandangkan sebuah mazhab, sebuah komunitas atau
sebuah tradisi secara tepat, mentransformasi wacana Qur’ani dari sistem
kognitif yang terbuka kepada sistem kognitf yang tertutup”.50 Rafik Zakaria
(India, lahir 1920) menyimpulkan, “Sebagaimana kita perhatikan dalam rangakian
penelitian kita, mengenai isu-isu mendasar yang tidak satupun melibatkan agama
dan politik, selalu ada konsensus setiap waktu di kalangan para `ulamâ.51
Ziauddin Zardar (Pakistan-Inggris, lahir 1951) berpendapat bahwa epistemologi
Islam telah lama menekankan “keragaman cara untuk mengetahui”, yang “sama
absahnya dalam Islam”.52 Shorous (artikel 26) berpendapat bahwa penafsiran keagamaan
Islam, dan yang lainnya, selalu merupakan fenomena manusiawi dan tunduk pada
perspektif yang beragam. ”Agama wahyu, tentu saja, bersifat ilahiah. Namun,
tidak demikian halnya dengan ilmu agama (science of religion), yang merupakan
produksi dan konstruksi manusia. Hal ini bersifat manusiawi dalam pengertian
bahwa ia ditanamkan berdasarkan seluruh karakter kemanusiaan secara benar, yang
baik maupun yang buruk.”
Namun demikian, bentuk wacana Islam
liberal masih sangat rentan terhadap serangan balik teoretis mengenai
dasar-dasar teologi ortodoks. “Liberal sharî`a” harus dipahami sebagai lapangan
rumput-rumah (home turf) dari ortodoksi, sebagaimana pada masa-masa awal Islam:
analisis rinci mengenai makna al-Qur’an, penyelidikan terhadap rantai penyampaian
(sanad) hadits Nabi yang dapat dipercaya, penelitian yang serius sebagai sarana
pelatihan para sarjana ortodoks secara intensif. Sementara yang lainnya telah
memiliki kesiapan yang lebih baik, Bullaç dan Bazargan, sebaliknya, secara
otodidak berspekulasi untuk memahami analisis tekstual. Saya tidak bermaksud
untuk menilai karya mereka, tetapi hanya ingin mengemukakan bahwa ini merupakan
spekulasi intelektual yang sulit dilakukan. Berbeda dengan yang pertama ini,
dua model atau bentuk Islam lainnya secara strategis mengubah lapangan
perdebatan jauh dari kubu ortodok ini.
Basis
“interpreted sharî’a” yang ketiga bersifat normatif: bahwa ketidaksepakatn
dalam penafsiran berguna bagi komunitas Muslim. Yusuf Al-Qardhawi (Mesir-Qatar,
lahir 1926), misalnya, membenarkan keanekaragaman pendapat itu dalam
persoalan-persoalan praktis:
ketakutan
saya yang paling buruk terhadap gerakan Islam adalah bahwa gerakan itu
menentang para pemikir bebas di kalangan pengikutnya serta menutup pintu bagi
pembaruan dan ijtihad, membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis
pemikiran yang tidak menerima sudut pandang yang lain ... Hasil akhir bagi
pergerakan tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya
mengalami stagnasi.53
Dalam alur argumentasi yang sama, Sa’id Binsa’id (Maroko)
berpendapat bahwa pemahaman yang benar mengenai kebenaran-kebenaran relijius
menghendaki dialog; kaum radikal yang memaksa lawan-lawannya untuk diam hanya
dapat “menyembah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar