Fakhruddin al-Razi Dan Kitab Tafsirnya (Mafatih al-Ghayb)
Banyak yang menganggap bahwa filsafat Islam menjadi stagnan setelah al-Ghazali menulis taha>fut al-Fala>sifah.
Banyak pula yang menganggap bahwa kala>m dan filsafat adalah dua
ilmu yang tidak pernah bisa akur. Untuk membuktikan kesalahan asumsi ini
perlu diungkapkan seorang tokoh muttakalim yang sekaligus juga filosof
yang hidup setelah zaman al-Ghazali. Tokoh tersebut adalah Muhammad Ibnu
‘Umar al-Ra>zi> al Tabrasta>ni> al Quraanaknya da’i) atau ibn Khatib al-Rayy (anaknya da’i dari
Rayy) karena ayahnya adalah penceramah ulung di Mesjid Rayy. Beliau
dijuluki juga al-Imam karena menguasai usul fiqh dan kalam dengan sangat
mendalam. Beliau digelar juga sebagai Fakhruddin (kebanggaan agama dari
Rayy) karena penguasaannya yang sangat mendalam tentang berbagai
disiplin keilmuan menyebabkannya berbeda dengan para tokoh pemikir
muslim yang berasal dari rayy. Di Hera>t, julukan beliau adalah Saikh
al-Islam karena otoritas keilmuan yang beliau miliki dalam lintas
disiplin ilmu seperti al-Qur'an, al-Hadits, tafsir, fiqh, ushul fiqh,
sastra Arab, perbandingan agama, filsafat, logika, matematika, fisika
dan kedokteran.
Beliau lahir di Rayy pada bulan
Ramadhan 544 H bertepatan dengan tahun 1149 M.[1] Sepuluh abad yang
lalu, Rayy, yang lokasinya sekarang berada di Teheran, merupakan
sejumlah sebuah kota besar berada di daerah Jibal, tenggara Teheran.[2]
Dari Rayy ini telah lahir banyak tokoh pemikir muslim terkenal
diantaranya: Abu Bakr Muhammad Ibnu Zakariya al-Razi[3] (m. 311 H/923
M), Abdurrahman Ibnu Abi Hatim al-Razi[4] (m. 327 H/938 M), Abu
al-Husayn Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya al-Razi[5] (m. 395 H/1004 M), Abu
Bakr al-Razi al-Jassas[6] (m. 370 H), Muhammad ibn Abi Bakr ibn “Abdul
Qadir” al-Razi[7] (m. 691 H/1291 M), dan Qutbuddin al-Razi[8] (m. 766
H), dan Fakhruddin al-Razi (m. 606 H/1210 M). Namun, dari tahun
kelahiran dan wafatnya Fakhruddin al-Razi hidup sejaman dengan beberapa
tokoh intelektual muslim seperti Ibn Rushd (520/1126 – 595/1198)[9], Ibn
‘Arabi (560/1165 – 638/1240).[10] Syaifuddin al-Amidi (551/1156 –
631/1233)[11] dan al-Suhrawardi (549/1154 - 587/1191)[12].
Latar belakang pendidikan dan keluarga
Karena
al-Razi merujuk pada nama tempat kelahiran, maka ia tidak dapat dipakai
untuk menentukan identitas.[13] Oleh karena itu perlu diungkapkan
latarbelakang pendidikan dan keluarganya. Fakhruddin al-Razi mendapatkan
pendidikan awal dari ayahnya. Pendidikan tersebut sangat berkesan pada
dirinya. Pada saat itu dia “al-Din” Umar, ayah Fakhruddin al-Razi adalah
seorang tokoh ulung Rayy. Sebagaimana diakui oleh Fakhruddin al-Razi
sendiri, ayahnya adalah murid dari Abu al-Qosim Sulaiman ibn Nasir
al-Ansari murid kepada Imam al-Haraimain Abu al-Ma’ali (m. 478/1085),
murid kepada Abu Ishaq Asfara ini (m. 418/1027), murid kepada Abu
al-Hasan al-Bahili, murid Abu al-Hasan “Ali Ibn” Isma’il al-Ash’ari.
Selain teologi, ayahnya juga menguasai fiqih. Ayahnya adalah murid
kepada Abu Muhammad al-Husan ibn Mas’ud al-Fara’ al-Bagawi (m.
510/1116), murid kepada al-Qodi Husain al-Marmazi, murid kepada
al-Qaffal al-Marwazi (m. 417/1026), murid kepada Abu Yazid al-Marwai,
murid kepada Abu Ishaq al-Marwazi, murid kepada Abu al-Abbas ibn Suraij,
murid kepada Abu al-Qasim al-Anmati, murid kepada Abu Ibrahim al-Muzani
(m. 264/877), murid Imam al-Shafi’i.[14]
Pengetahuan Fakhruddin
al-Razi, tentang teologi dan fiqh, sebagaimana ia akui sendiri, berasal
dan berawal dari ayahnya sendiri.[15] Dalam beberapa karyanya, ia
menggelar ayahnya sebagai al-Syaykh al-Walid, al-Ustadh al-Walid dan
al-Imam al-Said.
Ayahnya memiliki berbagai karya diantaranya
Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam (Puncak kedambaan dalam Teologi).[16]
Menurut al-Subki buku tersebut termasuk buku Ahli Sunnah yang paling
berharga dan sangat lugas (min anfus kutub ahl-Sunnah wa ashadduha tahqiqan).
Dalam pandangan al-Subkhi ayahnya memiliki kefasihan bahasa, hafalan
yang kuar, pakar dalam fiqh, usul fiqh, teologi, shufi, ceramah, hadith,
sastrawan yang prosanya sangat baik, keindahan, kecantikan serta sajak
yang memukai dari ucapannya mengingatkan kembali kepada Maqamat al-Hariri.[17]
Setelah
ayahnya meninggal pada tahun 559 H, Fakhruddin al-Razi, yang saat itu
berusia 15 tahun, merantau ke berbagai daerah. Beliau pertama kali
merantau ke Simnan dan mendalami fiqh kepada al-Kamal al-Samnani. Beliau
kemudian kembali lagi ke Rayy dan berguru kepada Majduddin
al-Jilli,[18] dalam masalah teologi dan filsafat. Ketika al-Jilli
berpindah ke Maraghah[19] untuk mengajar di sana, Fakhruddin al-Razi
ikut menemani gurunya. Salah seorang teman seperguruannya di Maragha
adalah Shihabuddin al-Suhrawardi, seorang filosof yang menengalkan
gagasan filsafat alternatif terhadap filsafat Aristoteles yang pada saat
itu cukup berpengaruh.
Di samping memiliki guru yang memang pakar
dalam bidangnya, Fakhruddin al-Razi sendiri termasuk seorang yang
pintar, cerdas dan otodidak. Fakhruddin al-Razi mengatakan: “Aku seorang
pecinta ilmu, oleh sebab itu aku tetap menulis segala sesuatu dengan
tidak memperhatikan kuantitas dan metodologinya baik itu benar atau
salah, sedikit ataupun banyak”. (Kuntu rajulan muhibban li al-‘ilm
fakuntu aktubu fi kull shay’in shay’ an la aqifu ‘ala kammiyyatihi wa
kayfiyatihi sawa’un akana haqqan aw batilan aw qhaththan aw saminan).[20]
Selain itu, Fakhruddin al-Razi kemampuan menghafal yang luar biasa. Konon ia telah menghafal karya al-Shamil fi Usul al-Din, karya Imam al-Haramain, al-Mu’tamad karya Abu al-Husain al-Bashri dan al-Mustafa Zaid karya al-Ghazali.[21]
Perjalanan karir intelektualnya
Setelah
menguasai berbagai disiplin keilmuan, Fakhruddin al-Razi merantau ke
berbagai daerah untuk meluaskan wawasannya. Ia merantau ke Khawarzm dan
berdebat di sana dengan tokoh-tokoh Muktazilah, yang saat itu sangat
berpengaruh. Selain berdebat dengan tokoh-tokoh Muktazilah, Fakhruddin
al-Razi juga berdebat dengan teolog Kristen. Dalam perdebatan tersebut,
beliau menunjukkan berbagai kesalahan mendasar dalam dogma-dogma
Kristiani serta mempertahankan kemurnian ajaran Islam.[22] Perdebatan
dengan tokoh-tokoh Muktazilah akhirnya menyebabkan Fakhruddin al-Razi
meninggalkan Khawarzm. Akhirnya, ia kembali ke Rayy.
Pada usinya
yang ke 35 tahun (pada tahun 580/1184), Fakhruddin al-Razi merantau lagi
ke Transoxiana (al-Bilad ma wara’a al-nahr) dan menetap kurang lebih
dua tahun di sana. Perjalannya ke Tranxonia, ia bertemu dengan seorantg
dokter bernama Abdurrahman ibn Abdulkarim al-Sarkhsi. Dalam pertemuan
tersebut, Fakhruddin al-Razi, yang pada saat itu juga menguasai
ilmu-ilmu kedokteran, menerangkan kepada dokter tersebut al-Qanun, sebuah magnum opus Ibn
Sina dalam bidang kedokteran.[23] Dari Sarkhes, Fakhruddin al-Razi
menuju Bukhara. Selanjutnya ia melanjutkan safari intelektualnya ke
Samarqand, Khujand, Banakit, Ghaznah dan (Barat) India.[24] Selama dalam
perjalanan tersebut, ia aktif berdialog dan berdebatan dengan para
tokoh-tokoh setempat.
Di Bukhara, Fakhruddin al-Razi berdialog
dengan sejumlah ahli-ahli fiqh dan mazhab Hanafi seperti ar-radiyy
al-Nisaburi dan Bakr al-Sabuni. Sesekali ia berkunjung ke Ghaznah dan
kembali lagi ke Bukhara untuk meneruskan dialognya dengan para pakar
fiqh dari mazhab al-Hanafi. Setelah merasa cukup lama tinggal di
Bukhara, Fakhruddin al-Razi melanjutkan safari intelektualnya ke
Samarqand, beberapa karyanya seperti al-Mubahiths al-Muashriqiyyah
(Penelitian Timur), Sharh al-Isharat wa al-Tanbihats (Komentar
terhadap Anotasi dan Peringatan) dan Mulakhkhas (Sinopsis), sudah
beredar di sana. Sehingga ketiak ia datang masyarakat sedikit banyak
telah mengenalnya.
Dari Samarqand, Fakhruddin al-Razi berkunjung
ke Ghur. Di sana ia mendapat perlindungan dari Raja Ghaznah, Shihab
al-Din al-Ghuri (m. 602H)[25] dan saudaranya Ghiyath al-Din. Fakhruddin
al-Razi berhasil mengubah keyakinan Ghiyath al-Din, dari doktrin
Karramiyyah[26] yang saat itu sangat dominan di Ghur kepada Ahli Sunnah.
Usaha Fakhruddin al-Razi tersebut membuat pengikut Karramiyyah sangat
marah kepadanya. Lebih marah lagi ketika Fakhruddin al-Razi mengkritik
tokoh mereka, Ibn Qudwah, di depan publik. Amir al-Din, sepupu sekaligus
menantu dari Ghiyath al-Din, menolong Ibn Qudwah dan selanjutnya
mengusir Fakhruddin al-Razi. Akhirnya, ia terusir dari Ghur.[27]
Akhirnya,
Fakhruddin al-Razi kembalii ke Heart dan mendapat perlindungan dari
Sultan Khurasan ‘Ala al-Din Khawarazam shah Tukush (m. 596 H). Ia
menjadi pengajar kepada anak Sultan. Ketika pangeran tersebut mewarisi
tahta pada tahun 5996 H, Fakhruddin al-Razi, mendapatkan kondisi dirinya
lebih baik.
Disebutkan bahwa ketika berada di Heart, lebih dari
300 orang murid dasn pengikutnya menemaninya ketika ia berpindah dari
satu tempat ke tempat lain. Ia menetap di Heart sehingga akhir hayatnya.
Ia meninggal di desa Muzdakhan, Heart, pada tahun 606 H/Maret 1210,
pada usianya yang ke 62 tahun.
Sekalipun jasadnya telah terbang,
pemikiran-pemikirannya akan terus dikenang. Ibn Athir (555/1160 -
626-28/1228-31), seorang sejarawan Muslim terkemuka, yang hidup sejaman
dengan Fakhruddin al-Razi, berpendapat bahwa beliau adalah seorang ahli
fiqh dari Mazhab Shafi’i, penulis karya-karya terkenal di dalam fiqh,
usul al-fiqh dan lain, dan beliau adalah tokoh dunia pada zamannya.[28]
Seorang sejarawan muslim lainnya, Ibn Khallikan (608/1211 -681/1282)
menganggap setiap karya Fakhruddin al-Razi memuskan. Bahkan
karya-karyanya yang tersebar ke berbagai Negara itu memberi kebahagiaan
yang mendalam. Yang menarik setelah masyarakat mengkaji karya-karyanya
mereka menolak buku-buku sebelumnya. Beliau adalah orang pertama yang
mengenalkan susunan yang sistematis dalam karya-karyanya, yang
sebelumnya belum seorangpun pernah melakukannya. Ia berceramah dengan
sangat mengesankan, baik dalam bahasa Arab maupun Persia. Siapapun yang
pernah mendengar ia berceramah ia akan menangis. Jika beliau menggelar
acara-acara diskusi di Kota Heart, maka para cendekiawan dan tokoh akan
menghadiri acanya. Mereka bertanya mengenai berbagai persoalan dan
mendengar darinya jawaban-jawaban spektakuler. Oleh sebab itu banyak
pengikut Karramiyyah dan pengikut Ahli Sunnah. Tak heran jika di Heart,
ia digelari Shaykh al-Islam.[29] Bagi sejarawan al-Subki (727-771 H)
Fakhruddin al-Razi adalah seorang pakar teologi yang menguasai lintas
disiplin ilmu.[30] Pujian ini memang wajar dilabelkan kepada Fakhruddin
al-Razi, sebab ia seorang filosof, teolog, pakar logika, matematika,
fisika, kedokteran, sastra Arab, fiqh, usul al-fiqh, tafsir, sejarah dan
perbandingan agama. Sekalipun puluhan karyanya telah diterbitkan,
namun sehingga kini diterbitkan, namun sehingga kini, masih banyak
karyanya yang dalam bentuk karya-karyanya yang sehingga kini masih belum
diketahui keberadaannya.
Seorang Mufassir
Fakhruddin al-Razi menulis berbagai karya berkaitan dengan Al-Qur'an. Diantaranya Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil; Khalq Al-Qur'an; Tafsir Surah al-Fatihah (manuskrip); Tafsir Surah al-Baqarah, Tafsir Surah al-Ikhlas (manuskrip); At-Tanbih ‘ala ba’d al-Asrar al-Mawdi’ah fi ba’d Ayat Al-Qur'an (manuskrip). Dalam studi Al-Qur'an, maqnum opus dari pemikiran Fakhruddin al-Razi adalah Mafatih al-Ghayb (at-Tafsir al-Kabir).
Bukut tafsir tersebut ditulis kurang lebih selama 8 tahun, yaitu dari
tahun 595 sampai 603. Ketika menulis buku tafsir terserbut, ia
mengulangi seraya memodifiksai apa yang telah ditulisnya di berbagai
buku sebelumnya seperti asas al-Taqdis, Nihayat al-Ijaz fi Dirayat
al-Ijaz, Lawami al-Bayyinat fi Sharh Asma al-Husna, Ismat al-Anbiya’,
Asrar al-Tanzil wa Anwar al-Ta’wil dan beberapa karya lainnya.[31]
Selain
itu, dalam menulis karya tafsir tersebut, Fakhruddin al-Razi banyak
memanfaatkan karya-karya para mufassir sebelumnya seperti Tafsir al-Qaffal al-Kabir, karya Muhammad ibn ‘Aliyy ibn Isma’il (m. 365 H); Tanzib Al-Qur'an al-Mata’in, karya ibn ‘Abd al-Jabar ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Jabbar al-Hamadani (m. 415 H); Tafasir al-Wahidi, karya Muhammad ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Zamaksharari (m. 532 H).[32]
Fakhruddin
al-Razi, menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai lintas
disiplin ilmu. Ia juga membahas berbagai persoalan dengan sangat
mendalam. Oleh sebab itu, karya tafsirnya termasuk unik dibanding dengan
karya tafsir yang lain. Banyak dari pembahasannya yang tidak terdapat
di dalam buku-buku tafsir sebelumnya. Mungkin, disebabkan itu, Ibn
Khallikan berpendapat bahwa karya tafsir Fakhruddin al-Razi memuat di
dalamnya segala yang aneh-aneh (jama’a fihi kullu gharib wa gharibah).
Senada dengan Ibn Khallikan, Muhammad ‘Abduh berkomentar: “Fakhr
al-Razi telah menambah bentuk lain dari Al-Qur'an dengan memasukkan ke
dalam tafsirnya ilmu-ilmu matematika, fisika dan lainnya dari ilmu-ilmu
modern yang ada pada zamannya seperti ilmu astronomi Yunani dan yang
lain.[33]
Meski karya tafsrinya mendapat pujian para ulama dan
pakar sejarah, namun ada juga yang memberikan komentar sinis. Ibn
Taimiyyah dan Abu Hayyan al-Andalusi misalnya berpendapat bahwa tafsir Mafatih al-Ghayb (al-tafsir al-kabir) memuat segala sesuatu kecuali tafsir (fihi kullu syai’ illa al-tafsir). Tapi komentar sinis ini pun segera dibantah oleh Tajudin al-Subki. Baginya di dalama al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi itu terdapat segala sesuatu sekaligus tafsir (inna al-Tafsir al-Kabir fihi kullu shai’ ma’a al-tafsir).
Perbedaan pendapat seperti itu terjadi disebabkan pendekatan Fakhruddin
al-Razi tidak terbatas kepada pendekatan tata bahasa dan riwayat saja.
Ia menafsirkan Al-Qur'an dengan menggunakan berbagai pendekatan lintas
disiplin ilmu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an diturunkan
supaya bermanfaat dan rahasia-rahasianya tersingkap, bukan untuk tujuan
dari sisi tata bahasa dan khabar saja tanpa menggunakan berbagai
disiplin keilmuan yang justru menunjukkan kekuasaan Tuhan.[34]
Dalam
pandangan Fakhruddin al-Razi, Al-Qur'an merupakan mukjizat Nabi yang
paling penting. Iman kepada syari'ah berdasarkan iman kepada Allah SWT.
siapa yang tidak mengenal para Nabi beserta kitab-kitab. Allah SWT telah
menganugerahkan akal supaya mengenal-Nya. Al-Qur'an banyak sekali
memuat bukti-bukti akal yang menunjukkan tauhid kepada-Nya, hari
kebangkitan, kenabian dan keterangan tentang sifat-sifat Allah yang
tidak ada di dalam kitab-kitab lainnya. Menegaskan pentingnya akal,
Fakhruddin al-Razi mengatakan bahwa manusia diciptakan untuk mengetahui.
Manusia diajak untuk berpikir dan merenungi untuk mengetahui hakikat
sesuatu. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, ilmu tafsir adalah termasuk
ilmu agama yang bermanfaat. Ilmu tafsir akan menggiring kepada
pengetahuan tentang Allah SWT beserta sifat-sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya. Mengetahui Allah SWT
beserta sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan hukum-hukum-Nya
adalah ilmu yang paling mulia.
Mengenai problem al-Muhkam dan al-Mutashabbih,
sebuah persoalan yang ada di dalam ilmu tafsir, Fakhruddin al-Razi
berpendapat bahwa beberapa kelompok ummat Islam memiliki
kepentingan-kepentingan tertentu dalam membahas persoalan ini. Jika ada
ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan dengan suatu mazhab tertentu,
maka ayat-ayat tersebut dianggap muhkam. Sebaliknya, jika ada ayat-ayat Al-Qur'an yang sesuai dengan musuh suatu mazhab, maka ayat-ayat tersebut dianggap sebagai mutasabbih. Untuk mengatasi masalah tersebut, Fakhruddin al-Razi memberikan solusi dengan meletakkan hukum universal (qanun kulliyy).[35]
Pendekatan
yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi ketika menafsirkan Al-Qur'an
dengan menggunakan lintas disiplin ilmu merupakan sebuah usaha yang
perlu dihargai. Apalagi, usaha beliau itu sama sekali tidak meninggalkan
pendekatan al-tafsir bi al-ma’thur. Beliau juga sangat concern
dengan disiplin bahasa ketika menafsirkan Al-Qur'an. Beliau dengan
sangat mendetil menggunakan kaidah-kaidah bahasa ketika menafsirkan
al-Fatihah. Karena pendekatannya yang mengagumkan, maka karya tafsirnya
dijadikan rujukan oleh para mufassir pada generasi berikutnya. Pengaruh
tersebut, misalnya tampak jelas dalam karya tafsir ‘Abdullah ibn ‘Umar
ibn Muhammad ibn ‘Ali al-Baydawi (m. sekitar tahun 685 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil.
Bahkan menarik juga untuk diketahui bahwa pengaruh tafsirnya tersebut
juga telah sampai ke Nusantara. Al-Nawawi al-Bantani (m. 1897), seorang
ulama di Mekkah, berasal dari Banten, menulis buku tafsir berjudul Marah Labid. Hampir 70 persen kandungan buku tafsir tersebut diambil dari buku tafsir Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghayb.[36]
Seorang Teolog dan Filosof
Selain
pakar dalam bidang tafsir, fiqh dan usul al-fiqh, Fakhruddin al-Razi
juga pakar dalam bidang teologi dan filsafat. Karyanya dalam
masalah-masalah teologis dan filosofis sangat banyak. Dalam teologi
misalnya, ia menulis al-Arba’un fi Usul al-Din; Asas al-Taqdis fi
‘Ilm al-Kalam; al-Khamsun fi Usul al-Din; al-Ma’alim fi Usul al-Din;
al-Kamaliyah fi Haqa’iq al-Ilahiyyah; al-Jabr wa al-Qadr (al-Qada wa
al-Qadr); Nihayat al-Uqul fi Dirayat al-Usul; Sharh Asma Allah al-Husna
aw lawami al-Bayyninat. Selain itu, masih banyak lagi karyanya dalam teologi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Al-Jawhar
al-Fard; Huduth al-‘Alam; Al-Isharah fi ‘ilm al-Kalam; Al- Zubdash fi
‘Ilm al-Kalam; Al-Khalq wa al-Ba’tahun; ‘Ismat al-Anbiya’ dan lain.
selain karya yang telah disebutkan, ada beberapa karyanya dalam bidang
teologi yang telah hilang seperti Tahsil al-Haq fi Tafsil al-Farq dan
lain-lainnya.
Karya Fakhruddin al-Razi dalam bidang filsafat juga banyak. Diantaranya: al-Matalib al-‘Aliyah (9 jilid); al-Mabahith al-Mashriqiyyah (2 jilid); Sharh al-Isharat wa al-Tanbihat; Muhassa Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Mutakkhirin. Selain itu, masih banyak lagi yang masih dalam bentuk manuskrip seperti Ta’jiz al-Falasifah (ditulis dalam bahasa Persia); al-Mantiq al-Kabir; al-Ayat al-Bayyinat fi al-Mantiq (al-Kabir), Masa’il al-Hudud (fi al-Mantiq) dan lain-lain.
Menerik
untuk diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis Fakhruddin al-Razi
sangat maju pada zamannya. Konsepnya mengenai waktu, misalnya, banyak
yang pararel dengan pemikiran Newton dan bahkan mendahuluinya.
Fakhruddin al-Razi membahas mengenai konsep waktu secar mendetail dalam al-Matalib al-‘Aliyah.
Dalam karyanya yang sudah tercetak itu, pembahasan mengenai konsep
waktu menghabiskan sebanyak 100 halaman. Dalam pandangan Fakhruddin
al-Razi, pada dasarnya waktu adalah substansi eternal, tanpa terkait
dengan sesuatu yang eksternal dan coraknya selalu sama. Waktu mengalir
dari tidak bermula ke tidak berakhir. Eksistensinya tidak tergantung
kepada akal manusia dan esensinya tidak tergantung kepada gerak. Ia
selalu bisa dipersepsikan sekalipun gerak tidak ada bersamanya. Waktu
adalah eksistensi aktual karena secara ontologis ia adalah absolut dan
tidak bisa dianggap sebagai suatu yang tidak ada.[37] Fakhruddin al-Razi
juga mengatakan bahwa akal manusia terbatas untuk memahami rahasia
esensi waktu (‘uqul al-khalqi qisiratun ‘an al-ihatah bi-kunbi mahiyatihi).[38]
Pendapat
Fakhruddin al-Razi mengenai ketebatasan akal manusia memahami rahasia
esensi waktu digemakan kembali sekitar 475 tahun kemudian oleh Isac
Newton (m. 1727 M), yang menulis The Mathematical Principles of Natural Philosophy, pada tahun 1685.[39] Dalam pandangan Newton, waktu yang absolut tidak tergantung kepada aspek kognitif. Akal manusia adalah ‘asymptote’
terhadap waktu yang absolut.[40] Selain itu, Newton berpendapat bahwa
waktu yang absolut adalah tidak terbatas, homogen, entitas yang
bersambung, sama sekali tidak bergantung kepada obyek yang dapat
diindera atau gerak yang dapat diukur. Waktu mengalir abadi dari abadi
ke abadi.[41] Tampaknya, studi komparatif antara Fakhruddin al-Razi dan
Newton tentang hakikat waktu menarik dan belum pernah dikaji baik dari
cendekiawan Muslim ataupun Non-Muslim. Oleh sebab itu, kajian seperti
itu akan sangat banyak manfaatnya.
Karya-karya yang Lain
Fakhruddin al-Razi adalah
penulis yang sangat produktif. Masih banyak lagi karyanya yang belum
disebutkan. Ia membahas berbagai persoalan secara mendalam. Ia menulis
mengenai sastra bahasa Arab, kedokteran, matematika, perbandingan agama
dan sekte dan lain-lainnya. Sebagian dari karya-karya sudah dicetak.
Namun, masih banyak yang dalam bentuk manuskrip dan seperti disebut di
atas ada yang sudah hilang. Dalam sastra Arab, karyanya yang sudah
diterbitkan ialah Nihayat al-Ijaz fi Dirayat al-I’jaz. Sedangkan yang
masih dalam bentuk manuskrip ialah Sharh Saqt al-Zand li Abi al-‘Ala al-Ma’ari; Sharh Nahj al-Balaghah li al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib dan Al-Muharrar fi Haqa’iq al-Nahw.
Fakhruddin al-Razi juga menulis dalam bidang kedokteran seperti Sharh al-Qonun (li Ibn Sina) (manuskrip); al-Tibb al-Kabir (manuskrip); Masa’il fi al-Tibb (manuskrip).
Ia juga menulis mengenai sejarah, matematika, astrologi, dan lain-lain.
Selain itu, sebagian dari buku-bukunya masih belum diketahui isinya,
seperti: Tahdzib al-Dalail wa ‘Uyun al-Masa’il; Jawab al-Ghaylani;
al-Ri’ayah; Risalah fi al-Su’al; al-Risalah al-Sahabiyyah; ar-Risalah
al-Majdiyyah dan Nafthat al-Masdur. Selain itu juga, masih ada seratus
buku lebih yang diragukan, namun dinisbatkan kepada Fakhruddin al-Razi.
Untuk mengetahui apakah karya-karya tersebut karyanya atau bukan, maka
manuskrip-manuskrip dari segala buku yang diragukan tersebut perlu
diedit.[42] Sebagai kesimpulan, Fakhruddin al-Razi adalah salah seorang
tokoh intelektual besar dalam sejarah pemikiran lintas ruang dan waktu.
Kajian yang mendalam terhadap pemikiran-pemikirannya masih sangat perlu
dilakukan.
Semoga Allah SWT memberi pahala atas usaha dan upayanya, Amin, ya Rabb.
[1]
Ada juga yang mengatakan Fakhruddin al-Razi lahir pada tahun 543 H.
Bagaimanapun, Muhammad Salib al-Zarkan setelah membahas secara mendetail
mengenai perbedaan tahun dan tanggal kelahirannya, beranggapan bahwa
mengenai kelahiran Fakhruddin al-Razi adalah pada tahun 544 H. lihat
Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhrudin al-Razi, 15-16.
[2] Mengenai perkembangan kota Rayy, lihat lebih detil V. Minorsky, “al-Rayy”, dalam The Enclycopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill: 1995), Jil. 8, 471-73, selanjutnya diringkas The Enclycopedia of Islam.
[3]
Beliau adalah seorang filosof dan pakar kedokteran. Di Barat, iala
dikenal sebagai Rhazes. Karyanya sangat banyak. Ia ahli dalam bidang
kedokteran. Karya madnum opusnya adalah Buku Besar tentang Medis (Kitab al-Jami’ al-Kabir). Karnya dalam bidang Ginjal dan Kandung Kemih (Kitab al-Hasa fi al-Kula wa al-Mathana), dan Buku tentang Cacar dan Campak (Kitab al-Djadari wa al-Hasba).
Buku Rhazes tersebut adalah buku pertama tentang masalah cacar dalam
kedokteran. Buku tersebut diterjemahkan lebih dari 12 kali ke dalam
bahasa Latin dan bahasa-bahasa Eropa lainnya. Lihat lebih lanjut L. E.
Goodman, “al-Razi”, The Enclyclopedia of Islam, Jil. 8: 474-77.
[4] Beliau lahir pada tahun 240 h/854 M. beliau adalah seorang ahli Hadits. Di antara karyanya dalam bidang Hadits adalah Kitab Jarh wa al-Ta’dil, 8 jilid (Hydrabad: 1952-1953); Kitab Marasil fi al-Hadith (Baghdad:
1967); Tatimmat Bayan Khata al-Bukhari fi Taikhihi (Hydrabad: 1961);
dan beberapa karya yang lain. Lihat lebih lanjut mengenai karya beliau
dalam Eerik Dickinson, The Development of Early Sunnite Hadith Criticisme (Leiden: E. J. Brill: 2001).
[5]
Beliau adalah seorang pakar bahasa. Beliau banyak menulis tentang
berbagai persoalan yang berkaitan dengan sastra dan tata bahasa Arab.
lihat lebih lanjut koleksi karya-karyanya yang sudah diterbitkan, H.
Fleisch, “Ibn Faris, The Enclyclopedia of Islam, Jil. 3: 764-65.
[6]Nama
beliau sebenarnya adalah Ahmad ibn ‘Ali. Beliau lahir pada tahun 305 H.
Seorang ahli fiqih dari mazhab Hanafi. Karyanya banyak, diantaranya
adalah Ahkam Al-Qur'an, Sharh al-Jami al-Saghir (li al-Shaybani) dan lain-lain.
[7]Beliau adalah pakar Bahasa. Karya-karyanya banyak, diantaranya: Mukhtar al-Sihah, al-Amthal wa al-Hikam, Rawdat al-Fasahah fi ‘Ilm al-Bayan, Ma’ani al-Ma’ani, Kunuz al-Bara’ah fi sharh al-Maqamat al-Haririyyah dan masih banyak lagi karya lainnya.
[8] Seorang pakar logika, komentator terhadap ar-Risalah al-Shamsiyyah karya al-Qazwani (m. 493 H).
[9]
Menurut Leon, Fakhruddin al-Razi pernah ke Mesir dengan niat
selanjunya ke Cordoba untuk berjumpa dengan Ibn Rushd. Bagaimanapun,
tidak ada seorang pun dari sejarawan Muslim yang pernah menyebutkan
bahwa Fakhruddin al-Razi pernah ke Mesir, apalagi berniat ke Cordoba
untuk bertemu dengan Ibn Rusyd. Muhammad Salih al-Zarkan menolak
pendapat Leon. Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi, 21.
[10]
Ibn ‘Arabi pernah mengirim surat kepada Fakhruddin al-Razi. Di antara
isi surat tersebut adalah pujian kepada pemikiran Fakhruddin al-Razi
seraya mengajaknya supaya masuk tasauf. Lihat Risalah al-Shaykh Muhy al-Din ibn ‘Arabyy ila al-Shaykh Fakhruddin al-Razi, Editor Muhammad Mustofa, (Kairo: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1987, cet.I), selanjunya diringkas Risalah.
[11]
Belum ada informasi yang menyebutkan beliau pernah bertemu dengan
Fakhruddin al-Razi. Menurut Hsan al-Shafi’i, mantan Rektor Universitas
Internasional Islamabad, al-Amidi mengkritik secara khusus karya
Fakhruddin al-Razi, al-Matalib al-‘Aliyah wa Naqduhu (al-Ma’akhiz).
Isi al-Ma’akhiz, yang sehingga kini masih dalam bentuk manuskrip,
persis mengikuti isi al-Matalib al-‘Aliyah, karya Fakhruddin al-Razi.
Lihat Hasan al-Shafi’i, al-Amidi wa Ara’uhu al-Kalamiyyah (Kairo: Dar
al-Salam, 1998). Cet pertama, 99-102. penting juga untuk disebutkan
bahwa al-Amidi pernah bertemu dengan al-Suhrawardi di Aleppo (Halab),
Syria. Lihat 35-36.
[12] Beliau adalah Shihabuddin
Yahya ibn Hasabh Ibn Amirak al-Suhrawardi, teman seperguruan dengan
Fakhruddin al-Razi ketika belajar bersama-sama dengan Majduddin al-Jilli
di Maraghah. Beliau adalah pendiri filsafat Cahaya (Hikmat al-Isgraq),
sebuah aliran filsafat yang menolak aliran filsafat Aristoteles, yang
saat itu dominan.
[13] Lihat Muhammad Salih al-Zarkan, Fakhruddin al-Razi wa Arauhu al-Kalamiyyah wa al-Falasifiyyah (Kairo: Dar al-Fikr, 1963), 11-12, selanjutnya diringkas Fakhruddin al-Razi.
[14] Ibn Khallikan, Wafayat al-‘A’yang wa Anba’u Abna’i al-Zaman, Editor Ihsan ‘Abbas (Qum: Mansyurat al-Razi, 1346 H), cet, kedua, Jil. 4, 252, selanjutnya diringkas Wafayat al-‘A’yan.
[15]Hal ini diungkapkan oleh Fakhruddin al-Razi di dalam karyanya Tahsil al-Haq. Sangat disayangkan, karya tersebut sehingga kini masih belum diketahui keberadaannya.
[16]
Dalam pandangan Hasan Mahmud ‘Abd al-Latif, judul buku Sayfuddin
al-Amidi adalah pinjaman dari judul buku ayah Fakhruddin al-Razi. Lihat
Sayfuddin al-Amidi, Ghayat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam, Editor Hasan Mahmud ‘Abd al-Latif (Kairo: 1971), 14.
[17]Al-Subki
mengatakan: Fasih al-lisan qawiyy al-janan faqihan usuliyyan
mutakalliman sufiyyan khatiban muhaddithan, adiban lahu nathrun fi
ghayat al-hasan tahki alfa zuhu maqmaat al-hariri min husnihi wa
halawatihi wa rashaqatihi saj’ihi, Lihat Fakhruddin al-Razi, al-Mabahith
al-Mashriqiyyah fi ‘Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat, Editor Muhammad
al-Mu’tasim Billah al-Baghdadi (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cet
pertama, 1990), 2 jilid, 1: 32, selanjutnya disingkat al-Mabahith
al-Mashriqiyyah. Abu Muhammad al-Qasim ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn ‘Uthman
ibn al-Hariri al-Basri adalah seorang filolog dan sastrawan Arab
terkemuka. Ia terkenal dengan karya-karyanya Maqamat. Pertama kali
diterjemahkan ke bahasa Latin pada tahun 1056, oleh Golius. Setelah itu
diterjemahkan berulang kali ke berbagai bahasa Eropa lainnya. Lihat D.S.
Margoliouth-Ch. Pellat, The Encyclopedia of Islam, Jilid 3: 221-222.
[18] Ia adalah teman dari pada Muhammad Ibn Yahya, muridnya al-Ghazali.
[19] Dulu Maraghah merupakan Ibukota dari Azebaijan.
[20] Ibn Abi Usaybi’ah, ‘Uyun al-Anba’ fi Tahaqat al’Atibba’, Editor Nizaral-Rida (Beirut: Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah), 467.
[21] Fathalla Kholeif, A Study on Fakrr al-Din al-Razi and His Controversies in Transoxiana (Beyrouth: Dar el-Marcheq aditeurs: 1966), selanjutnya disingkat Controbersies.
[22]Lihat lebih lengkapnya mengenai perdebatan dalam Fakhruddin al-Razi, Munazarah fi al-Radd ‘ala al-Nasara, Editor ‘Abdul al-Majid al-Najjar (Beirut: Dar Al-Gharb al-Islami, 1986).
[23] Muhammad Salih al-Zarkan , Fakhruddin al-Razi, 19.
[24] Fathalla Kholeif, Controversies, 29.
[25]
Ia adalah Muhammad ibn Sam, penguasa Ghaznah dan India. Ia suka dengan
ilmu. Keompok al-Batiniyyah membunuhnya ketika sedang sujud. Lihat Risalah, 15.
[26]
Mereka adalah pengikut Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Karram. Mereka
meyakini bahwa Allah SWT adalah antropomorphis. Mereka juga terbagi lagi
menjadi berbagai kelompok. Lihat lebih lanjut, Fakhruddin al-Razi, I’tiqadat Firaq al-Muslimin wa al-Mushrikin (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1986), cet pertama.
[27] Fathalla Kholeif, Controversies, 19.
[28] Ibn Athir menulis: “Al-faqih al-Shafi’i Sahib al-Tasanif al-mashurah fi al-fiqh wa al-usuliyyin waghayruhuma, wa kana Imam al-dunya fi ‘asrihi”. Lihat Ibn Athir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1987), cet. Pertama, Jil. 10: 350.s
[29]Ibn Khallikan menulis: “Wa
kullu kutubibi mumta’ah, wantasharat tasanifuhu fi al-bilad wa razaqa
fiha sa’adah zimah fainna al-nass ishtaghalu biha wa rafadu kutub
al-mumtaqaddimin, wa huwa awwal man ikhtara’a hadha al-tartib fi
kutubihi wa ata fiha bima lam yasbuq ilayhi. Wa kana lahu fi al-wa’z
al-yad al-bayda, wa ya’iz bi al-lisanayni al-‘arabi wa al-‘ajami, wa
kana yulhiquhu al-wajd fi hal al-wa’z wa yakthutu al-buka’u, wa kana
yahduru majlisuhu bi madinat Heart, arbab al-madhahin wa al-maqalat, wa
yas’alunahu wa huwa yujibu kulla sa’il bi ahsana ijabah, wa raja’a bi
sababihi khalq kathir min al-taifah al-Karramiyyah wa ghairihim, ila
madhab ahl sunnah, wa kana yulaqqab bi Heart Shaykh al-Islam“, Lihat Ibn Khallikan, Wafayat al-A’yan, 249-250.
[30]
Lihat lebih detil pujian al-Subki kepada Fakhruddin al-Razi. Tajudin
al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyyah al-Kubra, Editor ‘Abdul Fatah Muhammad
al-Jalw dan Mahmud Muhammad al-Tinahi (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub
al-‘Arabiyyah), Jil. 9: 81-82.
[31] Samih Dahlim, Mawsu’at Mustalahat al-Imam Fakrh al-Din al-Razi (Beirut: Maktabah Lubnan Nashiruna Sharmal, 2001), selanjutnya diringkas Mawsu’ah.
[32] Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabiyy, Cet. 3, 1999), Jil. 1: 5.
[33]Zada
al-Fakhr al-Din Sarifan Akhar ‘an al-qur’an bima Awradahu fi Tafsirihi
min al-‘Ulum al-Riyadiyyan wa al-Tabi’iyyah wa ghayruha min al-‘Ulum
al-Hadithah fi al-Millah ‘ala ma kanat ‘alayhi fi ‘adhihi kalhay’ah
al-falakiyyah wa ghayruha. Lihat Samih Daghim, Mawsu’ah, xx.
[34] Ibid., xxi.
[35]
Mengenai Qanun Kulliyy, lihat lebih detilnya dalam Fakhruddin al-Razi,
Asas al-Taqdis fi ‘Ilm al-Kalam (Beirut: Muassasah al-Kutub
al-Thaqafiyyah, 1995), Cet. Pertama 1995.
[36] Mengenai pengaruh Fakhruddin al-Razi terhadap al-Nawawi al-Bantani, lihat lebih lanjut Anthony H. Johns, “On Qur’anic Exegesis: A Case Study in Transmisiion of Islamic Learning“, di dalam buku Islam: Essays on Scripture, Thought adan Society: A Festchrift in Honour of Anthony H. Hohns, editor Peter G. Riddell and Tony Street (Leiden: E. J. Brill, 1997), 3049.
[37] Fakhruddin al-Razi, al-Matalin al-‘Aliyah min al-‘Ilm al-Ilahi, editor Ahmad Hijazi al-Saqa, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi), 9 jilid.
[38] Ibid., 5: 79.
[39] Newton menulis karyanay dalam bahasa Latin pada tahun 1685 dengan judul The Mathematical aPrinciples of Natural Philosophy.
[40]J.E. McGuire, Existence, Actuality and Necessity: Newton on Space and Time, Annals of Science 35 (1978), 507. istilah asymptote
digunakan oleh Leibniz untuk menunjukkan bahwa akal manusia hanya dapat
mengamati karakteristik-karakteristik yang tidak terbatas.
[41]
E. A. Burtt, The Metephysical Foundations of Modern Physical Science
(New York: Humanities Press Atlantic Highlands, 1932), 209-312.
[42]
Fakhruddin al-Razi, al-Mubahith al-Mashriqiyyah, 1:
52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar