Selasa, 06 Maret 2012

RENE DESCARTES DAN LOGIKA BARU



A.    Pendahuluan
Perkembangan filsafat mulai awal pertumbuhannya, memiliki karakteristik berbeda dalam setiap periode. Dari masa Yunani, Masa Skolastik, abad Pertengahan, sampai abad Modern. Perbedaan itu bisa dilihat, misalnya, pada periode Yunani klasik (pra Sokrates) filsafat lebih banyak berbicara tentang persoalan kosmologis, tentang asal usul alam semesta. Tetapi hal itu berbeda dengan periode Sokrates. Pada periode ini, filsafat sudah melangkah lebih jauh dari sebelumnya. Pembahasannya mengarah pada ranah epistemologis. Apa yang menjadi pemikiran Sokrates kemudian dikembangkan oleh murid kesayangannya, Plato. Dari sinilah perkembangan filsafat itu mulai menemukan momentumnya.
Kondisi ini terus berlanjut pada periode sesudah Sokrates. Sehingga, perkembangan berbagai aliran epistemologi yang ada sekarang merupakan anak cucu dari dua filosof besar Yunani, Plato dengan idealisme dan Aristoteles yang mengusung empirisme. Dari idealisme dan empirisme ini kemudian berkembang menjadi berbagai aliran sebagaimana yang ada sekarang. Artinya, semua aliran epistemologi semuanya bersumber pada dua mainstream tersebut.
Pertentangan keduanya masih berlanjut hingga abad modern ini. Abad pertengahan, misalnya, diakhiri dengan pertentangan antara kaum gereja (Katolik Roma) dengan para ilmuan yang lebih rasional empirik. Perseteruan Copernicus dengan gerejawan menjadi titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan empirik. Sekalipun perseteruan itu bertitik klimaks pada kemenangan gerejawan sebagai penguasa, tetapi kegiatan keilmuan tidak bisa dibendung oleh siapapun. Termasuk gerejawan sebagai pemegang otoritas.
Ditengah situasi perseteruan panas ini, Descartes lahir. Dia coba menghindari keduanya dengan konsepnya yang terkenal, keraguan (cogito). Konsep yang ditawarkannya ternyata memberikan kontribusi besar pada perkembangan pemikiran selanjutnya. Dengan keberhasilannya itu, dia dianggap sebagai pembuka rasionalitas umat manusia. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dari predikatnya sebagai bapak filsafat modern.[1]
Ia adalah filosof pertama yang kerangka pemikirannya dipengaruhi oleh fisika, astronomi, matematika, dan menolak segala tradisi Skolastik dan juga tidak menerima fondasi para pendahulunya. Hal ini dilakukan berdasarkan pada sebuah keinginan untuk membangun sebuah filsafat yang benar-benar baru. Dengan asumsi seperti itu, orang dapat bertanya apakah Descartes benar-benar memberikan sesuatu yang baru, khususnya dibidang logika? Persoalan inilah yang perlu di klarifikasi lebih jauh melalui tulisan ini.

B.     Pembahasan
Biografi Rene Descartes
Descartes yang lahir pada 31 Maret 1598 di La Haye Totiraine, sebuah daerah kecil di Prancis Tengah, adalah anak ketiga dari seorang anggota Parlemen Bretagne. Pada 1597, ketika berusia satu tahun, ibunya meninggal. Peristiwa itu sangat membekas pada dirinya dan berakibat timbulnya sifat selalu khawatir di kemudian hari. Pada 1604 hingga 1612, ia belajar di College des Jesuites de la Fleche. Disana, ia belajar logika, filsafat matematika dan fisika.[2]
Descartes sejak 1621 sering melakukan perjalanan ke berbagai Negara: Swiss, Belanda, Italia, tinggal di Prancis pada 1625-1628, serta sibuk dengan kegiatan ilmiah, khususnya di bidang ilmu eksakta dan filsafat. Pada 1628, ia pindah ke negeri Belanda dan tinggal di sana sampai 1649. Ia banyak mengarang ilmu pasti, filsafat, dan metodologi. Pada tahun 1849, hingga 1650, ia berada di Swedia selama satu tahun atas undangan Ratu Christine yang ingin mempelajari filsafat Descartes. Di sana, ia sakit radang paru-paru dan meninggal pada 11 Pebruari 1650 di usia 54 tahun.[3] Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Prancis pada 1667, dan tengkoraknya disimpan di Museum d’Histoire Naturelle, Paris.
Beberapa karyanya dapat disebutkan antara lain: Discours de la Methode yang diterbitkan pada 1637 sebagai pengantar bagi ketiga esainya: Dioptrique, Meteores, dan Geometrie (bagian dari Traite du Honde). Kemudian diikuti oleh penerbitan Meditations Methaphysiques di Paris dan Principes de la Philoshophie yang dipersembahkan kepada sahabat penanya, Putri Elizabeth de Boheme.[4] Karya-karyanya cukup banyak. Ia adalah orang yang suka bermain dengan dunia tulisan untuk menuangkan apa yang ada dalam pikirannya. Sehingga, tak heran kalau kemudian pemikirannya banyak diambil oleh orang setelahnya.
Pemikiran-pemikiran Descartes dengan rasionalitasnya telah memengaruhi generasi selanjutnya. Pengaruh itu bisa dilihat pada pemikiran yang berkembang pasca-Descartes hingga abad modern. Jean Paul Sartre dengan eksistensialismenya jelas merupakan pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran Descartes. Sartre mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih apapun yang dikehendaki selama ia masih tidak meninggalkan tanggung jawab. Tetapi kebebasan itu, kata Sartre selanjutnya, akan menjadi sebuah kesia-siaan karena setiap keinginan belum tentu tercapai semuanya.[5]
Selain itu, pengaruh Descartes juga bisa disaksikan pada pemikiran Nietzsche. Pemikir abad modern ini telah mewarnai belantika perkembangan pemikiran manusia. Ia memang seringkali menentang nalar, sehingga diberi gelar nihilis dan irrasional. Tetapi, sebenarnya yang ia tentang adalah segala sesuatu yang tidak berguna.[6] Sedangkan parameter dari sebuah nilai, adalah manusia itu sendiri.

Kepastian Pertama
Hadirnya pemikiran Descartes dalam khazanah epistemologi tidak terlepas dari ruang hampa. Untuk itu kontekstualisasi pada ranah historis menjadi sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Pemikiran Descartes merupakan bagian dari alur sejarah perkembangan pemikiran manusia. Maka tawaran konsep dari seorang tokoh pemikir seperti dia juga mesti dilihat dalam perspektif rentetan sejarah yang mendahului dan yang sedang mengitarinya. Oleh karena itu, kita harus melihat apa yang melatar belakangi munculnya pemikiran Descartes yang kemudian dianggap sebagai babak baru menuju abad modern itu.
Dalam kurun waktu dua ratus tahun, Macedonia dikalahkan Roma dan kemudian masuk ke Kaisaran Roma, yang dibangun berdasarkan kebudayaan warisan Yunani. Warisan ini paling jelas tampak pada ilmu hukum, filsafat, seni arsitektur, dan kesusastraannya. Namun ketika kemunduran dan keruntuhan kekaisaran romawi, yang telah menaklukkan Inggris, seluruh Eropa dan Timur Tengah, serta sebagian besar Afrika Utara – pada saatnya nanti akan menjadi stagnan dan dilumpuhkan oleh ketidakmampuannya dalam mengatur wilayah yang begitu luas. Kekaisaran ini dengan cepat diambil alih oleh bangsa Barbar. Kota Roma sendiri terkuasai dan dirampok oleh bangsa Visigoth pada 410 M. Pada abad V, dengan melemahnya kekaisaran, Nasrani atau Kristen menjadi agama resmi kekaisaran, dan struktur gereja menjadi organisasi paling kuat di Eropa.
Pada masa ini keyakinan dan nilai-nilai Kristen mendominasi kekaisaran Romawi. Ketika beberapa warisan peradaban Yunani dan Romawi klasik dipertahankan dan digunakan oleh gereja, banyak sekali tulisan dan karya seni Yunani dan Romawi yang dihancurkan. Pihak gereja menyatakan bahwa karya-karya tersebut termasuk karya yang berhala, anti kristus dan tak bermoral.[7] Disini terlihat jelas pertentangan gereja dengan kaum intelektual yang banyak mewarisi keilmuan peninggalan Yunani. Sampai akhirnya memuncak pada masa Copernicus dan Galileo. Keduanya dianggap sebagai ikon pertentangan kaum gereja dengan ilmuan. Apa yang diperjuangkan oleh Copernicus dan Galileo adalah sesuatu yang membawa pada pencerahan. Masa pencerahan ini disebut dengan masa renaissans yang merupakan transisi dari abad pertengahan menuju abad modern yang ditandai dengan perkembangan rasionalitas.
Zaman renaissans ini tidak hanya ditandai kembalinya pembelajaran klasik dan humanisme, namun juga disertai berbagai perkembangan lainnya, yang masing-masing meruntuhkan struktur dunia abad pertengahan yang telah melemah.[8] Kelemahan itu terletak pada pola pikir yang diselimuti oleh sesuatu yang tak rasional. Pemegang otoritas kebenaran sepenuhnya berada di kalangan kaum gereja. Segala sesuatu yang datang dari gereja diterima sebagai hal yang given. Situasi ini yang mengusik benak seorang Descartes. Dia mulai mempertanyakan kondisi yang mengkonstruk pola pikir manusia saat itu. Dunia filsafat, bagi Descartes, ternyata juga tidak mampu mendobrak tatanan yang ada.
Setelah bergelut dengan ilmu-ilmu eksakta, Descartes merasa kecewa dan tidak puas dengan filsafat yang diterimanya. Dalam pandangannya, ada jurang antara filsafat Aristoteles dan orientasi ilmiah baru. Walaupun filsafat telah ditanamkan selama berabad-abad oleh para pendahulunya, namun tidak sesuatu pun yang ditemukan darinya, karena filsafat masih mengandung perselisihan dan keraguan. Sementara matematika sangat menyenangkan karena kepastian dan kejelasannya.[9] Skolastik, sebagai masa yang menjembatani antara masa Yunani dengan abad pertengahan, tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan filsafat baru. Yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain. Descartes merasa bahwa dalam filsafat telah terjadi kekacauan dan ketidak pastian. Hal ini terjadi karena tidak adanya pangkal yang sama, yang diistilahkan oleh Descartes dengan metodos. Maka, kehadiran metodos baru menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka mencapai kepastian itu.[10] Karena itu, lama-kelamaan ia meninggalkan filsafat klasik dan lebih menekuni ilmu-ilmu eksakta dan membangun filsafat modern.
Dalam metode dan penalaran matematika, Descartes melihat adanya semacam ketepatan dan kepastian yang tidak dimiliki oleh filsafat tradisional.[11] “Rantai panjang yang terdiri dari penalaran yang sangat sederhana dan mudah, yang biasa digunakan oleh ahli geomerti untuk memecahkan persoalan-persoalan sulit, telah menjelaskan kepadaku bahwa segala sesuatu yang masih ada dalam ruang lingkup pengetahuan manusia tentu saling berhubungan dengan cara yang sama,” katanya.[12]
Dengan demikian, filsafat pada masa lampau terlalu mudah memasukkan penalaran yang bisa-jadi-benar ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Yang dicari filsafat adalah kepastian (certainly). Kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada evidensi yang mau tidak mau harus diterima dan diakui. Hanya penalaran pasti yang seharusnya menjadi bagian dan dikursus filosofis. Kalau sesuatu yang lain yang bersifat tidak pasti dimasukkan ke dalamnya, maka yang didapat adalah campuran antara yang masuk akal (reasonable) dengan yang tidak masuk akal (unreasonable), seperti yang terdapat dalam filsafat tradisional.[13]
Untuk itu, Descartes berupaya mencari kepastian dengan cara meragukan semua yang ada, termasuk tradisi filsafat yang diterimanya. Menurutnya, orang tidak harus menerima kebenaran-kebenaran yang telah dibuat sarjana-sarjana lain. Orang harus menemukan kebenaran sendiri dan harus mencari pemahaman dan keyakinan pribadi. Ia mengatakan, “Andaikata kita membaca setiap kata dari karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita sendiri, maka kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat; pengertian historis kita dapat bertambah, namun pemahaman kita tidak.”
Selain itu, Descartes juga menolak tradisi diskusi dan kerja sama yang merupakan tradisi Socrates. Baginya, kesatuan seluruh ilmu harus digarap dan dikonsepsikan oleh satu orang dengan satu metode. Kalau ilmu dibangun oleh banyak orang, tentu akan kacau, seperti gedung yang digarap oleh beberapa arsitek. Ini tidak berarti bahwa seluruh pandangan Descartes itu serba baru, akan tetapi koherensi yang tepat dari seluruh ilmu harus datang dari satu orang.[14]
Setelah menolak tradisi dan metode kerja sama Socrates, Descartes terus meragukan apa saja yang dapat diragukan. Ia meragukan segala ilmu dan hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya ini adalah kemungkinan kekeliruan pancaindra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan adanya demon jahat penipu. Ia seolah-oleh bersikap sebagai seorang skeptikus. Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, agak menjadi populer.
Descartes tampaknya diragukan oleh ketidakpastian pada masanya. Pemikiran skolastik yang diterimanya ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan positif. Ternyata, wibawa Aristoteles dalam filsafat skolastik menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Juga bentuk-bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renaissans yang saling bertentangan yang tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu pengetahuan tadi. Karena pada saat itu banyak pemikiran yang masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan, Descartes pun ingin membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan segala gagasan filsafat pada zamannya. Ia ingin memulai dengan cara yang baru. Untuk dapat memulai sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.[15]
Namun, keragu-raguan Descartes adalah keragu-raguan metodis yang dipakai sebagai alat menguji penalaran dan pemikiran untuk mendapatkan kepastian pertama yang dapat mendasari dan menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat baru. Kebenaran dan kepastian pertama itu harus ditemukan dalam kepastian dan keyakinan yang bersifat personal dan subjektif. Kebenaran itu harus dialami sehingga ia tak dapat diragukan lagi. Dengan kata lain, pengertian benar harus menjamin dirinya sendiri.[16]
Demikianlah, Descartes meragukan segala sesuatu hingga suatu ketika ia meragukan dirinya yang sedang duduk di dekat api, memakai baju panjang, memegang kertas di tangan, dan seterusnya. Tampaknya memang tidak masuk akal untuk meragukan hal-hal semacam ini, namun pada saat yang sama, ia ingat bahwa ia adalah seorang manusia yang mempunyai kebiasaan tidur dan mengalami mimpi. Dalam mimpi, ia melihat hal-hal yang sama dan mungkin lebih meyakinkan. Beberapa kali ia mengalami mimpi semacam itu, berpakain, duduk di dekat api, padahal sebenarnya ia berada di tempat tidur. Pada saat ini, katanya, tampak bahwa ia tidak dalam keadaan tidur, namun dalam beberapa kesempatan, ia sering kali tertipu dengan ilusi-ilusi serupa di saat tidur. Dengan merenungkannya secara teliti, ia melihat dengan jelas bahwa tidak ada petunjuk pasti yang dapat dipakai untuk membedakan keadaan tidur dan keadaan terjaga.[17]
Inilah yang disebut keragu-raguan mimpi Descartes. Yang dipersoalkan di sini adalah bagaimana ia tahu bahwa ia tidak selalu bermimpi? Dan bagaimana ia tahu bahwa objek di luar dirinya bukan merupakan bagian dari imajinasi dirinya sendiri? Lebih tegasnya, jangan-jangan semua hal yang hingga saat ini diyakininya sebagai sesuatu yang jelas dan benar itu kenyataannya adalah hasil pikirannya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi. Kalau kesadarannya ini benar, terbukti bahwa semua yang semula ia kira berbeda dari dirinya tidak lain hanyalah bayang-bayang yang ia temui di dalam mimpi yang tidak berbeda dari dirinya dan merupakan proyeksi dari dirinya sendiri.
Namun, akal budi tidak menyerah begitu saja. Meskipun ia sedang bermimpi, masih terdapat kebenaran-kebenaran yang tidak hancur di dalam malapetaka itu, yaitu kebenaran yang bisa ditegaskan tanpa syarat. “Dua kali dua sama dengan empat” adalah kebenaran yang terjadi baik dalam keadaan terjaga maupun mimpi. Apakah ada cara untuk meragukan keberanan yang kokoh itu? Akhirnya, Descartes sampai pada hipotesis mengenai si jenius yang jahat yang selalu mempermainkan semua bentuk keyakinan kosong. Mungkin dirinya, katanya, hanya merupakan satu-satunya pribadi di dalam kenyataan, sedangkan seluruh pengalamannya hanyalah khayalan, suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh sebuah kekuatan yang dengan kejahatannya menipunya terus-menerus. Padahal sebenarnya, tidak ada objek sama sekali di luar dirinya.
Kalau demikian, apakah ini sama dengan kekosongan total? Masih adakah sesuatu yang tahan dari keraguan total ini? Hanya ada satu yang tidak dapat diragukan. Tentang satu hal ini, tak seorang pun dapat menipu dirinya, bahwa ia ragu-ragu akan segala sesuatu. “Aku ragu-ragu atau aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum). Memang apa saja yang ia pikirkan dapat saja hanya khayalan, tetapi ia berpikir merupakan suatu kenyataan, bukan khayalan. Tidak peduli betapa keraguan menggerogoti semua yang ada, keraguan ini tidak dapat menelan habis dasar dari keberadaannya, yaitu eksistensi dari orang yang meragukan. Inilah kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum)[18] yang tidak dapat diragukan lagi oleh Descartes. Cogito Ergo Sum mengandung kekuatan dominan, yaitu kemampuan akal pikiran untuk mencapai pengetahuan.[19]

Menuju Logika Baru
Cogito (aku berpikir) adalah kepastian. Karena cogito jelas dan terpilah-pilah (Claire et Distince), maka cogito adalah sebuah kebenaran. Dengan menemukan kepastian pertama ini, Descartes seolah memberikan fondasi kepastian secara metafisik bagi seluruh sistem filsafatnya.[20] Dan dari kepastian pertama ini, dibangunlah sebuah logika baru yang sesuai dengan semangat ilmu pengetahuan eksakta. Menurutnya, ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak ilmu pasti. Ilmu pasti selain dapat dijadikan sebagai contoh bagi cara mengenal atau mengetahui yang sudah maju, juga dapat dipandang sebagai penerapan yang paling jelas dan merupakan metode yang ilmiah.
Filsafat Descartes diawali dengan tuntutan bahwa kita masing-masing menetapkan bagi diri kita sendiri kebenaran yang kita percayai. Untuk tujuan ini, ia menemukan metode radikal, metode keraguan. Ia memberikan sebuah logika baru dalam sistem berpikir kita. Descartes, mengingatkan kita bahwa ia sering di bohongi atau diberi keterangan salah oleh orang lain.[21]
Dalam Discourse, setidaknya ada empat aturan umum yang dapat disebut sebagai aturan-aturan logika Descartes. Pertama, tidak pernah menerima apa saja sebagai hal yang benar bila tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Orang harus menghindari dengan cermat kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi-prakonsepsi yang terburu-buru dan tidak memasukkan apa pun ke dalam pertimbangannya lebih dari pada yang terpapar sehingga dengan begitu tidak perlu diragukan lagi. Kedua, memecahkan setiap kesulitan sebanyak mungkin menjadi bagian dari sebanyak yang dapat dilakukan untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik. Ketiga, mengarahkan pemikiran secara tertib dari objek yang paling sederhana dan mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks dan dengan mengandaikan suatu urutan di antara objek yang sebelumnya tidak memiliki ketertiban kodrati. Keempat, membuat penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin dan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga orang dapat merasa pasti dan tidak ada sesuatu pun yang ketinggalan.[22]
Aturan-aturan ini selanjutnya disyarah oleh Antoine Arnould dan Pierre Nicole dalam buku La Logozue on L’Art de Penser menjadi beberapa kaidah: 1) tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena tidak ada definisinya; 2) di dalam definisi hanya menggunakan istilah yang mudah dan benar-benar dikenal atau dijelaskan; 3) hanya menggunakan hal-hal yang sungguh-sungguh terbukti sebagai aksioma-aksioma; 4) menerima sebagai bukti hanya apa yang mudah dikenal sebagai betul; 5) membuktikan semua proposisi yang tidak jelas dengan cara membuat definisi dulu yang cocok dengan aksioma-aksioma dan proposisi yang sudah dibuktikan; 6) menghilangkan equivokasi istilah-istilah dengan definisi-definisi yang restriktif; 7) sedapat mungkin bertitik tolak dari yang paling umum dan sederhana, dari genus ke spesies; 8) membagi tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan ke dalam bagiannya, dan tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.[23]
Sebagai contoh, bagi manusia, ide atau pengertian pertama yang jelas dan terpilah-pilah adalah ide tentang Tuhan sebagai zat yang sempurna, tidak terbatas, dan berada di mana-mana. Dalam jiwa kita, secara alami ada ide tentang sesuatu yang sempurna dan tidak terbatas. Karena manusia adalah makhluk terbatas, tidak mungkin ide itu berasal dan pikirannya sendiri. Yang menyebabkan adanya ide semacam itu tentu adalah sesuatu yang tak terbatas itu sendiri. Jika zat yang tak terbatas itu jelas ada dan jelas dapat dibedakan dengan pengertian-pengertian lain, maka zat itu adalah Allah.[24]
Dari contoh ini, timbul pertanyaan, dari mana orang mengetahui adanya ide tentang Tuhan sebagai hal yang jelas dan terpilah-pilah? Inilah yang disebut dengan ide bawaan (innate ideas). “ide bawaan adalah butir-butir kebenaran yang pasti yang secara alami ada, atau diajarkan oleh Tuhan, dalam jiwa kita,” kata Descartes. Dari ide-ide itulah metafisika dan fisika dapat dibangun. Tegasnya, seluruh ide yang jelas dan terpilah-pilah adalah ide-ide bawaan. Dan seluruh pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berasal dan bersumber dari ide-ide bawaan itu. Ide tentang Tuhan, misalnya, adalah ide bawaan. Disebut ide bawaan bukan dalam pengertian bahwa ide-ide itu sudah ada dalam pikiran seorang bayi sebagai ide yang sudah jelas, tetapi sebagai potensi yang dapat diproduksi dan dikembangkan ketika muncul kesempatan berupa pengalaman.[25]
Descartes berpendapat bahwa di dalam diri kita dapat ditemukan tiga ide bawaan, tiga ide yang sudah ada dalam diri saya sejak lahir, yakni:
  1. Ide pemikiran. Justru karena manusia telah mengerti kalau ia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat diri manusia. Dengan hakikat yang dimiliki ini, manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan.
  2. Ide Allah sebagai “wujud yang seluruhnya sempurna”. Manusia mempunyai ide sempurna. Maka disimpulkan bahwa mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain, kecuali Allah.
  3. Ide keluasan. Manusia mengerti materi keluasan atau ekstensi (extention), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli ilmu ukur.[26]
Karena itu, contoh di atas itulah yang disebut dengan metode analitis. Menurut Descartes, ada ketersusunan alami dalam kenyataan yang berhubungan dengan pengertian manusia. Metode atau “logika” ini dimaksudkan bukan hanya sebagai metode penelitian ilmiah, melainkan sebagai metode penelitian rasional dimana saja dan kapan saja. Jadi, ini adalah sebuah logika secara umum (logic in general).[27] Sebab, akal budi manusia selalu sama. Mereka bersama-sama mewujudkan pohon pengetahuan metafisika sebagai akar; fisika sebagai batang; dan ilmu-ilmu lainnya sebagai dahan dan ranting.
Oleh karena itu, Descartes berteori bahwa seluruh ilmu pengetahuan pada akhirnya adalah satu dan metode ilmiahnya pun juga satu. Inilah yang membedakannya dengan Aristoteles yang meyakini bahwa perbedaan persoalan itu terjadi karena perbedan ilmu yang menuntut sebuah metode yang berbeda pula. Sebagai contoh, orang tidak dapat menerapkan dalam etika sebuah metode yang dipakai dalam matematika. Namun, inilah yang diserang Descartes. Ia begitu yakin, karena ia dapat menunjukkan sebuah proposisi dalam geometri yang dapat dibuktikan juga dalam aritmatika. Sedangkan Aristoteles, yang menjelaskan bahwa geometri dan aritmatika adalah ilmu yang berbeda, mengingkari bahwa proposisi dalam geometri dapat dibuktikan secara aritmatika.[28]
Logika inilah yang diharapkan dapat menggantikan silogisme Aristoteles. Saat itu, ia memuji dirinya sendiri karena menggeser logika lama dengan seperangkat aturan yang sangat padat. Logika Aristoteles dipandang tidak dapat membawa ke pengertian baru, karena kesimpulan yang diambil sebenarnya sudah termuat dalam premis. Logika semacam itu hanya berguna untuk menguraikan hal yang sudah diketahui, tetapi tidak menemukan pengertian yang belum diketahui. Walaupun metode ini disebut analitis, sebenarnya merupakan semacam deduksi,[29] akan tetapi bukan seperti deduksi klasik dalam logika klasik.
Namun, kepadatan ini ternyata menimbulkan kebingungan dengan mempertanyakan pernyataan Descartes bahwa ia telah meringkas sebuah metode yang matang. Selain itu, apa yang dimaksudkan dengan menyatakan bahwa metodenya akan membangun sebuah logika baru? Pertanyaan ini sekurang-kurangnya dapat terjawab, kata Sorell, dengan pernyataan bahwa bila orang tidak menarik kesimpulan kecuali yang diizinkan oleh aturan-aturannya, maka kesimpulan itu dapat diperagakan dan dibuktikan secara nyata. Akan tetapi, Descartes sendiri telah menunjukkan problem yang menghadang metodenya. Problem itu adalah bahwa hanya penalaran murni matematis saja yang sebenarnya dianggap sebagai yang tidak dapat dipertentangkan. Bila penalaran itu mengandalkan penalaran ekstramatematis, maka penalaran itu kehilangan kepastian yang diperlukan agar tidak bisa diperdebatkan.[30]

Kesimpulan
Dari pembicaraan tentang logika Descartes, paling tidak dapat diambil kesimpulan bahwa Descartes telah berhasil memberikan fondasi kepastian bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebuah dasar yang belum pernah ditemukan oleh para pendahulunya. Karena itulah, orang dapat melihat kejelasan dan kepastian itu dalam aturan-aturan logikanya. Descartes telah menemukan sesuatu yang tak terpikir oleh filsafat klasik, sebuah cara penalaran baru yang dapat menjamin kebenaran dirinya sendiri secara pasti. Memang, sejak awal Descartes ingin mencari yang pasti dalam filsafat dan hal itu sudah ia temukan dan terapkan sehingga dunia filsafat hingga sekarang tidak mungkin melupakan dirinya sebagai the founder of modern philosophy.



DAFTAR PUSTAKA


Adian, Donny Gahral, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan, Teraju, Jakarta, 2002
Dister, Nico Syukur, “Descartes, Hume dan Kant; Tiga Tonggak Filsafat Modern” dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Jakarta, 2002
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2002
Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986
Copleston, Frederick, A History of Philosophy, vol. IV, Search Press, London, 1958
Descartes, Rene, Risalah tentang Metode, ter. Ida S. Husen dan Rahayu S. Hidayat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989
Gallagher, Kenneth T., Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter. Hardono Hadi, Kanisius, Yogyakarta, 1994
Hadiwiyono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Jackson, Roy, Friederick Nietzsche, Bentang Budaya, Jakarta, 2003
Lavine, T.Z., Descartes; Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern, Jendela, Yogyakarta, 2003
Marazi, Hamidullah, “Some Reflections on Descartes’s Method and Source of Knowledge”, dalam Islam and The Modern Age, vol. XVIII, No. 4, 1987
Muzairi, Drs. H. MA., Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Poedjowijatna, Prof, R., Logika Filsafat Berfikir, Rineka Cipta, Jakarta, 1992
----------------------------, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Rineka Cipta, Jakarta, 1990
Russerl, Bertrand, History of Western Philosophy, vol. I George Allen and Unwin Ltd., London, 1961
Salam, Burhanuddin, Drs., Pengantar Filsafat, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2003
Santoso, Listiyono, “Kritik Hasan Hanafi atas Epistemologi Rasionalitas Modern” dalam Epistemologi Kiri, ar-Ruzz, Yogyakarta, 2006
Soekadijo, R.G., Logika Dasar, Gramedia, Jakarta, 1991
Solomon, Robert C., dkk., Sejarah Filsafat, ter, Sant Pasaribu, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000
Sorell, Tom, Descartes Saya Berpikir Maka Saya Ada, ter. A. Hadyana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991
Suhartono. Suparlan, Ph.D, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ar-Ruzz, Yogyakarta, 2005
Suseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 2002


[1] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2003), 194.
[2] Bertrand Russerl, History of Western Philosophy, vol. I (London; George Allen and Unwin Ltd., 1961), 542. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta; Kanisius, 2002), 69-71.
[3] Anton Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986), 68.
[4] Rene Descartes, Risalah tentang Metode, ter. Ida S. Husen dan Rahayu S. Hidayat, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 1989), 63-85.
[5] Muzairi, Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002), 79.
[6] Roy Jackson, Friederick Nietzsche, (Jakarta; Bentang Budaya, 2003), 91.
[7] T.Z. Lavine, Descartes; Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern, (Yogyakarta; Jendela, 2003), 17-18.
[8] Dalam masa yang disebut dengan renaissans ini, banyak hal yang perlu dilihat relevansinya dengan keberhasilan yang diperoleh dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada saat itu, telah ditemukan percetakan, bubuk mesiu, dan juga pengembangan kompas. Temuan kompas ini menjadi hal yang menjadikan penjelajahan semakin meningkat. Penjelajahan yang dilakukan oleh Columbus dan penerusnya, serta penjelajahan rute perairan ke India dan ke Timur Jauh, dan sekitar Tanjung Harapan adalah contoh kecil dari semangat penjelajahan itu. Penjelajahan itu telah mengakhiri rezim feodal abad Pertengahan dan merupakan kebangkitan orde social yang baru. Ibid., 28.
[9] Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. IV, (London; Search Press, 1958), 63-64.
[10] Poejawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta; Rineka Cipta, 1990), 99-100.
[11] Hamidullah Marazi, “Some Reflections on Descartes’s Method and Source of Knowledge”, dalam Islam and The Modern Age, vol. XVIII, No. 4 (1987), 248.
[12] Ibid., 189.
[13] Kenneth T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter. Hardono Hadi, (Yogyakarta; Kanisius, 1994), 30.
[14] Anton Bakker, Metode ……………, 72. paradigma Cartesian ini yang kemudian memberikan manusia rasionalitas bagi pembentukan peradaban barat modern. Sebuah peradaban sebagai hasil bentukan gagasan-gagasan rasional-positivistik. Lihat Listiyono Santoso, “Kritik Hasan Hanafi atas Epistemologi Rasionalitas Modern” dalam Epistemologi Kiri, (Yogyakarta; ar-Ruzz, 2006), 287.
[15] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta; Kanisius, 1980), 20.
[16] Anton Bakker, Metode ………, 73. Bangkitnya abad modern ditandai dengan perkembangan rasionalitas pada manusia. Munculnya rasionalitas yang mendominasi ini berawal dari konsep keragu-raguan Descartes tersebut. Dalam hal ini Descartes telah dianggap sebagai avant-garde hadirnya rasionalitas manusia yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Lihat Donny Gahral Adian, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Teraju, 2002), 11.
[17] Kenneth, Epistemologi ……………., 30-31.
[18] Ibid., 31-33. Lihat juga Hadiwiyono, Sari Sejarah …………., 21.
[19] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta; ar-Ruzz, 2005), 87.
[20] Hamidullah, Islam and ………….., 249.
[21] Robert C. Solomon, dkk., Sejarah Filsafat, ter, Sant Pasaribu, (Yogyakarta; Yayasan Bentang Budaya, 2000), 359. lihat juga R. Poedjowijatna, Logika Filsafat Berfikir, (Jakarta; Rineka Cipta, 1992), 23.
[22] Tom Sorell, Descartes Saya Berpikir Maka Saya Ada, ter. A. Hadyana, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 1991), 57-58.
[23] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia Pustaka Umum, 2002), 523-524.
[24] Hadiwiyono, Sari Sejarah …………., 2.
[25] Frederick, A History …………., 82-84.
[26] Nico Syukur Dister, “Descartes, Hume dan Kant; Tiga Tonggak Filsafat Modern” dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, (Jakarta; Kanisius, 2002), 58.
[27] Bakker, Metode ………., 71.
[28] Frederick, A History …………., 70-71.
[29] Ibid., 73-74. Bentuk-bentuk penalaran itu bervariasi; silogisme, logika simbolik, logika kuantifikasional, dan logika induktif dan lain-lain. Untuk lebih jelasnya lihat R.G. Soekadijo, Logika Dasar, (Jakarta; Gramedia, 1991), 21.
[30] Tom Sorell, Descartes ……………, 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar