A.
Pendahuluan
Perkembangan filsafat mulai awal pertumbuhannya, memiliki karakteristik
berbeda dalam setiap periode. Dari masa Yunani, Masa Skolastik, abad
Pertengahan, sampai abad Modern. Perbedaan itu bisa dilihat, misalnya, pada
periode Yunani klasik (pra Sokrates) filsafat lebih banyak berbicara tentang
persoalan kosmologis, tentang asal usul alam semesta. Tetapi hal itu berbeda
dengan periode Sokrates. Pada periode ini, filsafat sudah melangkah lebih jauh
dari sebelumnya. Pembahasannya mengarah pada ranah epistemologis. Apa yang
menjadi pemikiran Sokrates kemudian dikembangkan oleh murid kesayangannya,
Plato. Dari sinilah perkembangan filsafat itu mulai menemukan momentumnya.
Kondisi ini terus berlanjut pada periode sesudah Sokrates. Sehingga,
perkembangan berbagai aliran epistemologi yang ada sekarang merupakan anak cucu
dari dua filosof besar Yunani, Plato dengan idealisme dan Aristoteles yang
mengusung empirisme. Dari idealisme dan empirisme ini kemudian berkembang
menjadi berbagai aliran sebagaimana yang ada sekarang. Artinya, semua aliran
epistemologi semuanya bersumber pada dua mainstream tersebut.
Pertentangan keduanya masih berlanjut hingga abad modern ini. Abad
pertengahan, misalnya, diakhiri dengan pertentangan antara kaum gereja (Katolik
Roma) dengan para ilmuan yang lebih rasional empirik. Perseteruan Copernicus
dengan gerejawan menjadi titik tolak perkembangan ilmu pengetahuan empirik.
Sekalipun perseteruan itu bertitik klimaks pada kemenangan gerejawan sebagai
penguasa, tetapi kegiatan keilmuan tidak bisa dibendung oleh siapapun. Termasuk
gerejawan sebagai pemegang otoritas.
Ditengah situasi perseteruan panas ini, Descartes lahir. Dia coba
menghindari keduanya dengan konsepnya yang terkenal, keraguan (cogito).
Konsep yang ditawarkannya ternyata memberikan kontribusi besar pada
perkembangan pemikiran selanjutnya. Dengan keberhasilannya itu, dia dianggap
sebagai pembuka rasionalitas umat manusia. Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan dari predikatnya sebagai bapak filsafat modern.[1]
Ia adalah filosof pertama yang kerangka pemikirannya dipengaruhi oleh
fisika, astronomi, matematika, dan menolak segala tradisi Skolastik dan juga
tidak menerima fondasi para pendahulunya. Hal ini dilakukan berdasarkan pada
sebuah keinginan untuk membangun sebuah filsafat yang benar-benar baru. Dengan
asumsi seperti itu, orang dapat bertanya apakah Descartes benar-benar
memberikan sesuatu yang baru, khususnya dibidang logika? Persoalan inilah yang
perlu di klarifikasi lebih jauh melalui tulisan ini.
B.
Pembahasan
Biografi Rene
Descartes
Descartes yang lahir pada 31 Maret 1598 di La Haye Totiraine, sebuah
daerah kecil di Prancis Tengah, adalah anak ketiga dari seorang anggota
Parlemen Bretagne. Pada 1597, ketika berusia satu tahun, ibunya meninggal.
Peristiwa itu sangat membekas pada dirinya dan berakibat timbulnya sifat selalu
khawatir di kemudian hari. Pada 1604 hingga 1612, ia belajar di College des
Jesuites de la Fleche. Disana, ia belajar logika, filsafat matematika dan
fisika.[2]
Descartes sejak 1621 sering melakukan perjalanan ke berbagai Negara:
Swiss, Belanda, Italia, tinggal di Prancis pada 1625-1628, serta sibuk dengan
kegiatan ilmiah, khususnya di bidang ilmu eksakta dan filsafat. Pada 1628, ia
pindah ke negeri Belanda dan tinggal di sana sampai 1649. Ia banyak mengarang
ilmu pasti, filsafat, dan metodologi. Pada tahun 1849, hingga 1650, ia berada
di Swedia selama satu tahun atas undangan Ratu Christine yang ingin mempelajari
filsafat Descartes. Di sana, ia sakit radang paru-paru dan meninggal pada 11
Pebruari 1650 di usia 54 tahun.[3] Jenazahnya
kemudian dipindahkan ke Prancis pada 1667, dan tengkoraknya disimpan di Museum
d’Histoire Naturelle, Paris.
Beberapa karyanya dapat disebutkan antara lain: Discours de la Methode
yang diterbitkan pada 1637 sebagai pengantar bagi ketiga esainya: Dioptrique,
Meteores, dan Geometrie (bagian dari Traite du Honde).
Kemudian diikuti oleh penerbitan Meditations Methaphysiques di Paris dan
Principes de la Philoshophie yang dipersembahkan kepada sahabat penanya,
Putri Elizabeth de Boheme.[4]
Karya-karyanya cukup banyak. Ia adalah orang yang suka bermain dengan dunia
tulisan untuk menuangkan apa yang ada dalam pikirannya. Sehingga, tak heran
kalau kemudian pemikirannya banyak diambil oleh orang setelahnya.
Pemikiran-pemikiran Descartes dengan rasionalitasnya telah memengaruhi
generasi selanjutnya. Pengaruh itu bisa dilihat pada pemikiran yang berkembang
pasca-Descartes hingga abad modern. Jean Paul Sartre dengan eksistensialismenya
jelas merupakan pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran Descartes. Sartre
mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih apapun yang
dikehendaki selama ia masih tidak meninggalkan tanggung jawab. Tetapi kebebasan
itu, kata Sartre selanjutnya, akan menjadi sebuah kesia-siaan karena setiap
keinginan belum tentu tercapai semuanya.[5]
Selain itu, pengaruh Descartes juga bisa disaksikan pada pemikiran
Nietzsche. Pemikir abad modern ini telah mewarnai belantika perkembangan
pemikiran manusia. Ia memang seringkali menentang nalar, sehingga diberi gelar
nihilis dan irrasional. Tetapi, sebenarnya yang ia tentang adalah segala
sesuatu yang tidak berguna.[6]
Sedangkan parameter dari sebuah nilai, adalah manusia itu sendiri.
Kepastian
Pertama
Hadirnya pemikiran Descartes dalam khazanah epistemologi tidak terlepas
dari ruang hampa. Untuk itu kontekstualisasi pada ranah historis menjadi
sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Pemikiran Descartes merupakan bagian dari
alur sejarah perkembangan pemikiran manusia. Maka tawaran konsep dari seorang
tokoh pemikir seperti dia juga mesti dilihat dalam perspektif rentetan sejarah
yang mendahului dan yang sedang mengitarinya. Oleh karena itu, kita harus
melihat apa yang melatar belakangi munculnya pemikiran Descartes yang kemudian
dianggap sebagai babak baru menuju abad modern itu.
Dalam kurun waktu dua ratus tahun, Macedonia dikalahkan Roma dan kemudian
masuk ke Kaisaran Roma, yang dibangun berdasarkan kebudayaan warisan Yunani.
Warisan ini paling jelas tampak pada ilmu hukum, filsafat, seni arsitektur, dan
kesusastraannya. Namun ketika kemunduran dan keruntuhan kekaisaran romawi, yang
telah menaklukkan Inggris, seluruh Eropa dan Timur Tengah, serta sebagian besar
Afrika Utara – pada saatnya nanti akan menjadi stagnan dan dilumpuhkan oleh
ketidakmampuannya dalam mengatur wilayah yang begitu luas. Kekaisaran ini
dengan cepat diambil alih oleh bangsa Barbar. Kota Roma sendiri terkuasai dan
dirampok oleh bangsa Visigoth pada 410 M. Pada abad V, dengan melemahnya
kekaisaran, Nasrani atau Kristen menjadi agama resmi kekaisaran, dan struktur
gereja menjadi organisasi paling kuat di Eropa.
Pada masa ini keyakinan dan nilai-nilai Kristen mendominasi kekaisaran Romawi.
Ketika beberapa warisan peradaban Yunani dan Romawi klasik dipertahankan dan
digunakan oleh gereja, banyak sekali tulisan dan karya seni Yunani dan Romawi yang
dihancurkan. Pihak gereja menyatakan bahwa karya-karya tersebut termasuk karya
yang berhala, anti kristus dan tak bermoral.[7] Disini
terlihat jelas pertentangan gereja dengan kaum intelektual yang banyak mewarisi
keilmuan peninggalan Yunani. Sampai akhirnya memuncak pada masa Copernicus dan
Galileo. Keduanya dianggap sebagai ikon pertentangan kaum gereja dengan ilmuan.
Apa yang diperjuangkan oleh Copernicus dan Galileo adalah sesuatu yang membawa
pada pencerahan. Masa pencerahan ini disebut dengan masa renaissans yang
merupakan transisi dari abad pertengahan menuju abad modern yang ditandai
dengan perkembangan rasionalitas.
Zaman renaissans ini tidak hanya ditandai kembalinya pembelajaran klasik
dan humanisme, namun juga disertai berbagai perkembangan lainnya, yang
masing-masing meruntuhkan struktur dunia abad pertengahan yang telah melemah.[8]
Kelemahan itu terletak pada pola pikir yang diselimuti oleh sesuatu yang tak
rasional. Pemegang otoritas kebenaran sepenuhnya berada di kalangan kaum
gereja. Segala sesuatu yang datang dari gereja diterima sebagai hal yang given.
Situasi ini yang mengusik benak seorang Descartes. Dia mulai mempertanyakan
kondisi yang mengkonstruk pola pikir manusia saat itu. Dunia filsafat, bagi
Descartes, ternyata juga tidak mampu mendobrak tatanan yang ada.
Setelah bergelut dengan ilmu-ilmu eksakta, Descartes merasa kecewa dan
tidak puas dengan filsafat yang diterimanya. Dalam pandangannya, ada jurang
antara filsafat Aristoteles dan orientasi ilmiah baru. Walaupun filsafat telah
ditanamkan selama berabad-abad oleh para pendahulunya, namun tidak sesuatu pun
yang ditemukan darinya, karena filsafat masih mengandung perselisihan dan
keraguan. Sementara matematika sangat menyenangkan karena kepastian dan
kejelasannya.[9]
Skolastik, sebagai masa yang menjembatani antara masa Yunani dengan abad
pertengahan, tak dapat memberi keterangan yang memuaskan kepada ilmu dan
filsafat baru. Yang dimajukan ketika itu kerapkali bertentangan satu sama lain.
Descartes merasa bahwa dalam filsafat telah terjadi kekacauan dan ketidak
pastian. Hal ini terjadi karena tidak adanya pangkal yang sama, yang
diistilahkan oleh Descartes dengan metodos. Maka, kehadiran metodos baru
menjadi sebuah keniscayaan dalam rangka mencapai kepastian itu.[10] Karena
itu, lama-kelamaan ia meninggalkan filsafat klasik dan lebih menekuni ilmu-ilmu
eksakta dan membangun filsafat modern.
Dalam metode dan penalaran matematika, Descartes melihat adanya semacam
ketepatan dan kepastian yang tidak dimiliki oleh filsafat tradisional.[11] “Rantai
panjang yang terdiri dari penalaran yang sangat sederhana dan mudah, yang biasa
digunakan oleh ahli geomerti untuk memecahkan persoalan-persoalan sulit, telah
menjelaskan kepadaku bahwa segala sesuatu yang masih ada dalam ruang lingkup
pengetahuan manusia tentu saling berhubungan dengan cara yang sama,” katanya.[12]
Dengan demikian, filsafat pada masa lampau terlalu mudah memasukkan
penalaran yang bisa-jadi-benar ke dalam khazanah penalaran yang sebenarnya
dikhususkan bagi penalaran yang pasti. Yang dicari filsafat adalah kepastian (certainly).
Kepastian itu hanya mungkin bila didasarkan pada evidensi yang mau tidak mau
harus diterima dan diakui. Hanya penalaran pasti yang seharusnya menjadi bagian
dan dikursus filosofis. Kalau sesuatu yang lain yang bersifat tidak pasti
dimasukkan ke dalamnya, maka yang didapat adalah campuran antara yang masuk
akal (reasonable) dengan yang tidak masuk akal (unreasonable),
seperti yang terdapat dalam filsafat tradisional.[13]
Untuk itu, Descartes berupaya mencari kepastian dengan cara meragukan
semua yang ada, termasuk tradisi filsafat yang diterimanya. Menurutnya, orang
tidak harus menerima kebenaran-kebenaran yang telah dibuat sarjana-sarjana
lain. Orang harus menemukan kebenaran sendiri dan harus mencari pemahaman dan
keyakinan pribadi. Ia mengatakan, “Andaikata kita membaca setiap kata dari
karya-karya Plato dan Aristoteles tanpa kepastian pendapat kita sendiri, maka
kita tidak maju satu langkah pun dalam berfilsafat; pengertian historis kita dapat
bertambah, namun pemahaman kita tidak.”
Selain itu, Descartes juga menolak tradisi diskusi dan kerja sama yang
merupakan tradisi Socrates. Baginya, kesatuan seluruh ilmu harus digarap dan dikonsepsikan
oleh satu orang dengan satu metode. Kalau ilmu dibangun oleh banyak orang,
tentu akan kacau, seperti gedung yang digarap oleh beberapa arsitek. Ini tidak
berarti bahwa seluruh pandangan Descartes itu serba baru, akan tetapi koherensi
yang tepat dari seluruh ilmu harus datang dari satu orang.[14]
Setelah menolak tradisi dan metode kerja sama Socrates, Descartes terus
meragukan apa saja yang dapat diragukan. Ia meragukan segala ilmu dan
hasil-hasilnya seperti adanya kosmos fisik, termasuk badannya, dan bahkan
adanya Tuhan. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk mendukung keragu-raguannya
ini adalah kemungkinan kekeliruan pancaindra, kemungkinan ia sedang mimpi, dan
adanya demon jahat penipu. Ia seolah-oleh bersikap sebagai seorang skeptikus.
Dan, memang pada saat itu, ajaran skeptisisme, agak menjadi populer.
Descartes tampaknya diragukan oleh ketidakpastian pada masanya. Pemikiran
skolastik yang diterimanya ternyata tidak tahu bagaimana harus menangani
hasil-hasil ilmu pengetahuan positif. Ternyata, wibawa Aristoteles dalam
filsafat skolastik menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Juga bentuk-bentuk
yang bermacam-macam dari filsafat Renaissans yang saling bertentangan yang
tidak berhasil memberi tempat kepada hasil-hasil ilmu pengetahuan tadi. Karena
pada saat itu banyak pemikiran yang masih dipengaruhi oleh khayalan-khayalan,
Descartes pun ingin membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional dan
segala gagasan filsafat pada zamannya. Ia ingin memulai dengan cara yang baru.
Untuk dapat memulai sesuatu yang baru, ia harus memiliki suatu pangkal
pemikiran yang pasti. Pangkal yang pasti itu dapat ditemukan lewat keragu-raguan.[15]
Namun, keragu-raguan Descartes adalah keragu-raguan metodis yang dipakai
sebagai alat menguji penalaran dan pemikiran untuk mendapatkan kepastian
pertama yang dapat mendasari dan menjadi titik pangkal mutlak bagi filsafat
baru. Kebenaran dan kepastian pertama itu harus ditemukan dalam kepastian dan
keyakinan yang bersifat personal dan subjektif. Kebenaran itu harus dialami
sehingga ia tak dapat diragukan lagi. Dengan kata lain, pengertian benar harus
menjamin dirinya sendiri.[16]
Demikianlah, Descartes meragukan segala sesuatu hingga suatu ketika ia
meragukan dirinya yang sedang duduk di dekat api, memakai baju panjang,
memegang kertas di tangan, dan seterusnya. Tampaknya memang tidak masuk akal
untuk meragukan hal-hal semacam ini, namun pada saat yang sama, ia ingat bahwa
ia adalah seorang manusia yang mempunyai kebiasaan tidur dan mengalami mimpi.
Dalam mimpi, ia melihat hal-hal yang sama dan mungkin lebih meyakinkan.
Beberapa kali ia mengalami mimpi semacam itu, berpakain, duduk di dekat api,
padahal sebenarnya ia berada di tempat tidur. Pada saat ini, katanya, tampak
bahwa ia tidak dalam keadaan tidur, namun dalam beberapa kesempatan, ia sering
kali tertipu dengan ilusi-ilusi serupa di saat tidur. Dengan merenungkannya
secara teliti, ia melihat dengan jelas bahwa tidak ada petunjuk pasti yang
dapat dipakai untuk membedakan keadaan tidur dan keadaan terjaga.[17]
Inilah yang disebut keragu-raguan mimpi Descartes. Yang dipersoalkan di
sini adalah bagaimana ia tahu bahwa ia tidak selalu bermimpi? Dan bagaimana ia
tahu bahwa objek di luar dirinya bukan merupakan bagian dari imajinasi dirinya
sendiri? Lebih tegasnya, jangan-jangan semua hal yang hingga saat ini
diyakininya sebagai sesuatu yang jelas dan benar itu kenyataannya adalah hasil
pikirannya sendiri, seperti yang terjadi dalam mimpi. Kalau kesadarannya ini
benar, terbukti bahwa semua yang semula ia kira berbeda dari dirinya tidak lain
hanyalah bayang-bayang yang ia temui di dalam mimpi yang tidak berbeda dari
dirinya dan merupakan proyeksi dari dirinya sendiri.
Namun, akal budi tidak menyerah begitu saja. Meskipun ia sedang bermimpi,
masih terdapat kebenaran-kebenaran yang tidak hancur di dalam malapetaka itu,
yaitu kebenaran yang bisa ditegaskan tanpa syarat. “Dua kali dua sama dengan
empat” adalah kebenaran yang terjadi baik dalam keadaan terjaga maupun mimpi.
Apakah ada cara untuk meragukan keberanan yang kokoh itu? Akhirnya, Descartes
sampai pada hipotesis mengenai si jenius yang jahat yang selalu mempermainkan
semua bentuk keyakinan kosong. Mungkin dirinya, katanya, hanya merupakan
satu-satunya pribadi di dalam kenyataan, sedangkan seluruh pengalamannya hanyalah
khayalan, suatu lapisan ilusi yang ditanamkan oleh sebuah kekuatan yang dengan
kejahatannya menipunya terus-menerus. Padahal sebenarnya, tidak ada objek sama
sekali di luar dirinya.
Kalau demikian, apakah ini sama dengan kekosongan total? Masih adakah sesuatu
yang tahan dari keraguan total ini? Hanya ada satu yang tidak dapat diragukan.
Tentang satu hal ini, tak seorang pun dapat menipu dirinya, bahwa ia ragu-ragu
akan segala sesuatu. “Aku ragu-ragu atau aku berpikir, maka aku ada (cogito
ergo sum). Memang apa saja yang ia pikirkan dapat saja hanya khayalan,
tetapi ia berpikir merupakan suatu kenyataan, bukan khayalan. Tidak peduli
betapa keraguan menggerogoti semua yang ada, keraguan ini tidak dapat menelan
habis dasar dari keberadaannya, yaitu eksistensi dari orang yang meragukan.
Inilah kebenaran filsafat yang pertama (primum philosophicum)[18] yang
tidak dapat diragukan lagi oleh Descartes. Cogito Ergo Sum mengandung
kekuatan dominan, yaitu kemampuan akal pikiran untuk mencapai pengetahuan.[19]
Menuju Logika
Baru
Cogito (aku berpikir) adalah kepastian. Karena cogito jelas
dan terpilah-pilah (Claire et Distince), maka cogito adalah
sebuah kebenaran. Dengan menemukan kepastian pertama ini, Descartes seolah
memberikan fondasi kepastian secara metafisik bagi seluruh sistem filsafatnya.[20] Dan
dari kepastian pertama ini, dibangunlah sebuah logika baru yang sesuai dengan
semangat ilmu pengetahuan eksakta. Menurutnya, ilmu pengetahuan harus mengikuti
jejak ilmu pasti. Ilmu pasti selain dapat dijadikan sebagai contoh bagi cara
mengenal atau mengetahui yang sudah maju, juga dapat dipandang sebagai
penerapan yang paling jelas dan merupakan metode yang ilmiah.
Filsafat Descartes diawali dengan tuntutan bahwa kita masing-masing
menetapkan bagi diri kita sendiri kebenaran yang kita percayai. Untuk tujuan
ini, ia menemukan metode radikal, metode keraguan. Ia memberikan sebuah logika
baru dalam sistem berpikir kita. Descartes, mengingatkan kita bahwa ia sering
di bohongi atau diberi keterangan salah oleh orang lain.[21]
Dalam Discourse, setidaknya ada empat aturan umum yang dapat
disebut sebagai aturan-aturan logika Descartes. Pertama, tidak pernah
menerima apa saja sebagai hal yang benar bila tidak mempunyai pengetahuan yang
jelas mengenai kebenarannya. Orang harus menghindari dengan cermat
kesimpulan-kesimpulan dan prakonsepsi-prakonsepsi yang terburu-buru dan tidak
memasukkan apa pun ke dalam pertimbangannya lebih dari pada yang terpapar
sehingga dengan begitu tidak perlu diragukan lagi. Kedua, memecahkan
setiap kesulitan sebanyak mungkin menjadi bagian dari sebanyak yang dapat
dilakukan untuk mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik. Ketiga,
mengarahkan pemikiran secara tertib dari objek yang paling sederhana dan mudah
diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap ke
pengetahuan yang paling kompleks dan dengan mengandaikan suatu urutan di antara
objek yang sebelumnya tidak memiliki ketertiban kodrati. Keempat,
membuat penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin dan tinjauan
ulang secara menyeluruh sehingga orang dapat merasa pasti dan tidak ada sesuatu
pun yang ketinggalan.[22]
Aturan-aturan ini selanjutnya disyarah oleh Antoine Arnould dan Pierre
Nicole dalam buku La Logozue on L’Art de Penser menjadi beberapa kaidah:
1) tidak boleh ada istilah yang tidak jelas atau tidak dikenal karena tidak ada
definisinya; 2) di dalam definisi hanya menggunakan istilah yang mudah dan
benar-benar dikenal atau dijelaskan; 3) hanya menggunakan hal-hal yang
sungguh-sungguh terbukti sebagai aksioma-aksioma; 4) menerima sebagai bukti
hanya apa yang mudah dikenal sebagai betul; 5) membuktikan semua proposisi yang
tidak jelas dengan cara membuat definisi dulu yang cocok dengan aksioma-aksioma
dan proposisi yang sudah dibuktikan; 6) menghilangkan equivokasi
istilah-istilah dengan definisi-definisi yang restriktif; 7) sedapat
mungkin bertitik tolak dari yang paling umum dan sederhana, dari genus ke
spesies; 8) membagi tiap genus ke dalam semua spesiesnya, tiap keseluruhan ke
dalam bagiannya, dan tiap masalah ke dalam kasus-kasusnya.[23]
Sebagai contoh, bagi manusia, ide atau pengertian pertama yang jelas dan
terpilah-pilah adalah ide tentang Tuhan sebagai zat yang sempurna, tidak terbatas,
dan berada di mana-mana. Dalam jiwa kita, secara alami ada ide tentang sesuatu
yang sempurna dan tidak terbatas. Karena manusia adalah makhluk terbatas, tidak
mungkin ide itu berasal dan pikirannya sendiri. Yang menyebabkan adanya ide
semacam itu tentu adalah sesuatu yang tak terbatas itu sendiri. Jika zat yang
tak terbatas itu jelas ada dan jelas dapat dibedakan dengan
pengertian-pengertian lain, maka zat itu adalah Allah.[24]
Dari contoh ini, timbul pertanyaan, dari mana orang mengetahui adanya ide
tentang Tuhan sebagai hal yang jelas dan terpilah-pilah? Inilah yang disebut
dengan ide bawaan (innate ideas). “ide bawaan adalah butir-butir
kebenaran yang pasti yang secara alami ada, atau diajarkan oleh Tuhan, dalam
jiwa kita,” kata Descartes. Dari ide-ide itulah metafisika dan fisika dapat
dibangun. Tegasnya, seluruh ide yang jelas dan terpilah-pilah adalah ide-ide
bawaan. Dan seluruh pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang berasal dan
bersumber dari ide-ide bawaan itu. Ide tentang Tuhan, misalnya, adalah ide
bawaan. Disebut ide bawaan bukan dalam pengertian bahwa ide-ide itu sudah ada
dalam pikiran seorang bayi sebagai ide yang sudah jelas, tetapi sebagai potensi
yang dapat diproduksi dan dikembangkan ketika muncul kesempatan berupa
pengalaman.[25]
Descartes berpendapat bahwa di dalam diri kita dapat ditemukan tiga ide
bawaan, tiga ide yang sudah ada dalam diri saya sejak lahir, yakni:
- Ide pemikiran. Justru karena manusia telah mengerti kalau ia adalah sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima bahwa pemikiran merupakan hakikat diri manusia. Dengan hakikat yang dimiliki ini, manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan.
- Ide Allah sebagai “wujud yang seluruhnya sempurna”. Manusia mempunyai ide sempurna. Maka disimpulkan bahwa mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain, kecuali Allah.
- Ide keluasan. Manusia mengerti materi keluasan atau ekstensi (extention), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli ilmu ukur.[26]
Karena itu, contoh di atas itulah yang disebut dengan metode analitis.
Menurut Descartes, ada ketersusunan alami dalam kenyataan yang berhubungan
dengan pengertian manusia. Metode atau “logika” ini dimaksudkan bukan hanya
sebagai metode penelitian ilmiah, melainkan sebagai metode penelitian rasional
dimana saja dan kapan saja. Jadi, ini adalah sebuah logika secara umum (logic
in general).[27]
Sebab, akal budi manusia selalu sama. Mereka bersama-sama mewujudkan pohon
pengetahuan metafisika sebagai akar; fisika sebagai batang; dan ilmu-ilmu
lainnya sebagai dahan dan ranting.
Oleh karena itu, Descartes berteori bahwa seluruh ilmu pengetahuan pada
akhirnya adalah satu dan metode ilmiahnya pun juga satu. Inilah yang membedakannya
dengan Aristoteles yang meyakini bahwa perbedaan persoalan itu terjadi karena
perbedan ilmu yang menuntut sebuah metode yang berbeda pula. Sebagai contoh,
orang tidak dapat menerapkan dalam etika sebuah metode yang dipakai dalam
matematika. Namun, inilah yang diserang Descartes. Ia begitu yakin, karena ia
dapat menunjukkan sebuah proposisi dalam geometri yang dapat dibuktikan juga
dalam aritmatika. Sedangkan Aristoteles, yang menjelaskan bahwa geometri dan aritmatika
adalah ilmu yang berbeda, mengingkari bahwa proposisi dalam geometri dapat
dibuktikan secara aritmatika.[28]
Logika inilah yang diharapkan dapat menggantikan silogisme Aristoteles.
Saat itu, ia memuji dirinya sendiri karena menggeser logika lama dengan
seperangkat aturan yang sangat padat. Logika Aristoteles dipandang tidak dapat
membawa ke pengertian baru, karena kesimpulan yang diambil sebenarnya sudah
termuat dalam premis. Logika semacam itu hanya berguna untuk menguraikan hal
yang sudah diketahui, tetapi tidak menemukan pengertian yang belum diketahui.
Walaupun metode ini disebut analitis, sebenarnya merupakan semacam deduksi,[29] akan
tetapi bukan seperti deduksi klasik dalam logika klasik.
Namun, kepadatan ini ternyata menimbulkan kebingungan dengan
mempertanyakan pernyataan Descartes bahwa ia telah meringkas sebuah metode yang
matang. Selain itu, apa yang dimaksudkan dengan menyatakan bahwa metodenya akan
membangun sebuah logika baru? Pertanyaan ini sekurang-kurangnya dapat terjawab,
kata Sorell, dengan pernyataan bahwa bila orang tidak menarik kesimpulan
kecuali yang diizinkan oleh aturan-aturannya, maka kesimpulan itu dapat
diperagakan dan dibuktikan secara nyata. Akan tetapi, Descartes sendiri telah
menunjukkan problem yang menghadang metodenya. Problem itu adalah bahwa hanya
penalaran murni matematis saja yang sebenarnya dianggap sebagai yang tidak
dapat dipertentangkan. Bila penalaran itu mengandalkan penalaran ekstramatematis,
maka penalaran itu kehilangan kepastian yang diperlukan agar tidak bisa
diperdebatkan.[30]
Kesimpulan
Dari pembicaraan tentang logika Descartes, paling tidak dapat diambil
kesimpulan bahwa Descartes telah berhasil memberikan fondasi kepastian bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, sebuah dasar yang belum pernah ditemukan oleh
para pendahulunya. Karena itulah, orang dapat melihat kejelasan dan kepastian
itu dalam aturan-aturan logikanya. Descartes telah menemukan sesuatu yang tak
terpikir oleh filsafat klasik, sebuah cara penalaran baru yang dapat menjamin
kebenaran dirinya sendiri secara pasti. Memang, sejak awal Descartes ingin
mencari yang pasti dalam filsafat dan hal itu sudah ia temukan dan terapkan
sehingga dunia filsafat hingga sekarang tidak mungkin melupakan dirinya sebagai
the founder of modern philosophy.
DAFTAR
PUSTAKA
Adian, Donny Gahral, Menyoal Obyektivisme Ilmu Pengetahuan,
Teraju, Jakarta, 2002
Dister, Nico Syukur, “Descartes, Hume dan Kant; Tiga Tonggak Filsafat
Modern” dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Kanisius, Jakarta, 2002
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta,
2002
Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1986
Copleston, Frederick, A
History of Philosophy, vol. IV, Search Press, London, 1958
Descartes, Rene, Risalah tentang Metode, ter. Ida S. Husen dan
Rahayu S. Hidayat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989
Gallagher, Kenneth T., Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter.
Hardono Hadi, Kanisius, Yogyakarta, 1994
Hadiwiyono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius,
Yogyakarta, 1980
Jackson, Roy, Friederick Nietzsche, Bentang Budaya, Jakarta,
2003
Lavine, T.Z., Descartes; Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia
Modern, Jendela, Yogyakarta, 2003
Marazi, Hamidullah, “Some Reflections on Descartes’s Method and Source
of Knowledge”, dalam Islam and The Modern Age, vol. XVIII, No. 4, 1987
Muzairi, Drs. H. MA., Eksistensialisme Jean Paul Sartre,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002
Poedjowijatna, Prof, R., Logika Filsafat Berfikir, Rineka
Cipta, Jakarta, 1992
----------------------------, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat,
Rineka Cipta, Jakarta, 1990
Russerl, Bertrand, History of Western Philosophy, vol. I George
Allen and Unwin Ltd., London, 1961
Salam, Burhanuddin, Drs., Pengantar Filsafat, PT. Bumi Aksara,
Jakarta, 2003
Santoso, Listiyono, “Kritik Hasan Hanafi atas Epistemologi
Rasionalitas Modern” dalam Epistemologi Kiri, ar-Ruzz, Yogyakarta, 2006
Soekadijo, R.G., Logika Dasar, Gramedia, Jakarta, 1991
Solomon, Robert C., dkk., Sejarah Filsafat, ter, Sant Pasaribu,
Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta 2000
Sorell, Tom, Descartes Saya Berpikir Maka Saya Ada, ter. A.
Hadyana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1991
Suhartono. Suparlan, Ph.D, Filsafat Ilmu Pengetahuan, ar-Ruzz,
Yogyakarta, 2005
Suseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius,
Yogyakarta, 2002
[1]
Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, (Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2003),
194.
[2] Bertrand
Russerl, History of Western Philosophy, vol. I (London; George Allen and
Unwin Ltd., 1961), 542. Lihat juga Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai
Ilmu Kritis, (Yogyakarta; Kanisius, 2002), 69-71.
[3] Anton
Bakker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986), 68.
[4] Rene
Descartes, Risalah tentang Metode, ter. Ida S. Husen dan Rahayu S.
Hidayat, (Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 1989), 63-85.
[5] Muzairi,
Eksistensialisme Jean Paul Sartre, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2002),
79.
[6] Roy
Jackson, Friederick Nietzsche, (Jakarta; Bentang Budaya, 2003), 91.
[7] T.Z.
Lavine, Descartes; Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern,
(Yogyakarta; Jendela, 2003), 17-18.
[8] Dalam
masa yang disebut dengan renaissans ini, banyak hal yang perlu dilihat
relevansinya dengan keberhasilan yang diperoleh dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Pada saat itu, telah ditemukan percetakan, bubuk mesiu, dan juga
pengembangan kompas. Temuan kompas ini menjadi hal yang menjadikan penjelajahan
semakin meningkat. Penjelajahan yang dilakukan oleh Columbus dan penerusnya,
serta penjelajahan rute perairan ke India dan ke Timur Jauh, dan sekitar
Tanjung Harapan adalah contoh kecil dari semangat penjelajahan itu.
Penjelajahan itu telah mengakhiri rezim feodal abad Pertengahan dan merupakan
kebangkitan orde social yang baru. Ibid., 28.
[9]
Frederick Copleston, A History of Philosophy, vol. IV, (London; Search
Press, 1958), 63-64.
[10] Poejawijatna,
Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta; Rineka Cipta, 1990), 99-100.
[11]
Hamidullah Marazi, “Some Reflections on Descartes’s Method and Source of
Knowledge”, dalam Islam and The Modern Age, vol. XVIII, No. 4 (1987),
248.
[12] Ibid.,
189.
[13] Kenneth
T. Gallagher, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, ter. Hardono Hadi,
(Yogyakarta; Kanisius, 1994), 30.
[14] Anton
Bakker, Metode ……………, 72. paradigma Cartesian ini yang kemudian
memberikan manusia rasionalitas bagi pembentukan peradaban barat modern. Sebuah
peradaban sebagai hasil bentukan gagasan-gagasan rasional-positivistik. Lihat
Listiyono Santoso, “Kritik Hasan Hanafi atas Epistemologi Rasionalitas Modern”
dalam Epistemologi Kiri, (Yogyakarta; ar-Ruzz, 2006), 287.
[15] Harun
Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta; Kanisius, 1980),
20.
[16] Anton
Bakker, Metode ………, 73. Bangkitnya abad modern ditandai dengan
perkembangan rasionalitas pada manusia. Munculnya rasionalitas yang mendominasi
ini berawal dari konsep keragu-raguan Descartes tersebut. Dalam hal ini
Descartes telah dianggap sebagai avant-garde hadirnya rasionalitas
manusia yang sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Lihat Donny Gahral Adian, Menyoal
Obyektivisme Ilmu Pengetahuan, (Jakarta; Teraju, 2002), 11.
[17]
Kenneth, Epistemologi ……………., 30-31.
[18] Ibid.,
31-33. Lihat juga Hadiwiyono, Sari Sejarah …………., 21.
[19]
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta; ar-Ruzz,
2005), 87.
[20]
Hamidullah, Islam and ………….., 249.
[21] Robert
C. Solomon, dkk., Sejarah Filsafat, ter, Sant Pasaribu, (Yogyakarta; Yayasan
Bentang Budaya, 2000), 359. lihat juga R. Poedjowijatna, Logika Filsafat
Berfikir, (Jakarta; Rineka Cipta, 1992), 23.
[22] Tom
Sorell, Descartes Saya Berpikir Maka Saya Ada, ter. A. Hadyana,
(Jakarta; Pustaka Utama Grafiti, 1991), 57-58.
[23] Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta; Gramedia Pustaka Umum, 2002), 523-524.
[24]
Hadiwiyono, Sari Sejarah …………., 2.
[25]
Frederick, A History …………., 82-84.
[26] Nico
Syukur Dister, “Descartes, Hume dan Kant; Tiga Tonggak Filsafat Modern” dalam Para
Filsuf Penentu Gerak Zaman, (Jakarta; Kanisius, 2002), 58.
[27] Bakker,
Metode ………., 71.
[28]
Frederick, A History …………., 70-71.
[29] Ibid.,
73-74. Bentuk-bentuk penalaran itu bervariasi; silogisme, logika simbolik,
logika kuantifikasional, dan logika induktif dan lain-lain. Untuk lebih
jelasnya lihat R.G. Soekadijo, Logika Dasar, (Jakarta; Gramedia, 1991),
21.
[30] Tom
Sorell, Descartes ……………, 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar