Jumat, 13 Januari 2012

KONSEP PENDIDIKAN BERBASIS KECAKAPAN HIDUP



A.    Landasan Pendidikan Kecakapan Hidup

1. Landasan Historis Pendidikan Kecakapan Hidup
Secara historis pendidikan sudah ada sejak manusia ada dimuka bumi ini. Ketika kehidupan masih sederhana, orang tua mendidik anaknya, atau anak belajar kepada orang tuanya atau orang lain yang lebih dewasa di lingkungannya, seperti cara makan yang baik, cara membersihkan badan, bahkan tidak jarang anak belajar dari lingkungannya atau alam sekitarnya. Anak-anak belajar bercocok tanam, berburu dan berbagai kehidupan keseharian. Intinya anak belajar agar mampu menghadapi tugas-tugas kehidupan, mecari solusi untuk memecahkan dan mengatasi problem yang dihadapi sehari-hari.[1]
            Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Maka dalam sejarah pertumbuhan masyarakat, pendidikan senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka memajukan kehidupan generasi demi generasi sejalan dengan tuntutan kemajuan masyrakat.
            Menurut keyakinan kita, sejarah pembentukan masyarakt dimulai sejak kelaurga Adam dan Hawa sebagai unit kecil dari masyarakat besar umat manusia dimuka bumi ini. Dalam keluarga Adam itulah telah dimulai proses kependidikan umat manusia, meskipun dalam ruang lingkup terbatas sesuai dengan kebuTuhan untuk mempertahankan kehidupannya.
            Dasar minimal dari usaha memertahankan hidup manusia terletak pada orientasi manusia kearah tiga hubungan, yaitu:
a.      Hubungan manusia dengan yang maha pencipta yaitu Tuhan sekalian alam.
b.      Hubungan dengan sesama manusia. Dalam keluarga Adam, hubungan tersebut terbatas pada hubungan anggota keluarga.
c.      Hubungan dengan alam sekitar yang terdiri dari berbagai unsur kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, binatang dan kekuatan alamiah yang ada.[2]
Dari tiga prinsip hubungan inilah, kemudian manusia mengembangakan proses pertumbuhan kebudayaannya. Proses ini yang mendorong manusia kearah kemajuan hidup sejalan dengan tuntutan yang semakin meningkat.
Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan-kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraanya.
Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya disegala bidang.
Sarana utama yang dibutuhkan untuk mengembangkan kehidupan manusia tiadak lain adalah pendidikan, dalam dimensi yang setara dengan tingkat daya cipta, daya rasa dan daya karsa masyrakat serta anggota-anggotanya. 
Oleh karena itu antara manusia dan tuntutan hidupnya saling berpacu berkat dari dorongan ketiga daya tersebut., maka pendidikan menjadi semakin penting. Bahkan boleh dikata pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup umat manusia sepanjang sejarah.
Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitive) yang berlangsung dari zaman dimana manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuan pun amat terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahan hidup dari ancaman alam sekitar). Yaitu keterampilan membuat alat-alat untuk mencari dan memproduksi bahan-bahan kebutuhan hidup, beserta pemeliharaanya, serta disesuaikan dengan kebutuhannya.
Akan tetapi ketika manusia telah dapat membentuk masyrakat yang semakin berbudaya dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, maka pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan kemapuan-kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berfikir ilmiah,[3] atau lebih jelasnya masalah kehidupan dan fenomina alam kemudian diupayakan dapat dijelaskan secara keilmuan.   
Persoalan pendidikan pada hakekatnya merupakan persoalan yang berhubungan langsung dengn kehidupan manusia dan mengalami perubahan serta perkembangan sesuai dengan kehidupan tersebut baik secara teori maupun secara konsep oprasionalnya.[4]      
Pendidikan secara dinamis akan bermetamorfosa menjadi formal dan bidang keilmuan diterjemahkan menjadi mata pelajaran, mata kuliah, mata diklat di sekolah. Mata pelajaran, mata kuliah, mata diklat berfungsi untuk menjelaskan fenomena alam kehidupan sehinga lebih mudah dipahami dan lebih mudah dipecahkan problemnya. Dengan kata lain, mata pelajaran, mata kuliah, mata diklat adalah alat untuk membentuk kecakapan, kemampuan yang dapat membantu mengembangkan dan memecahkan serta mengatasi permasalahn hidup dan kehidupan.[5]
Pendidikan merupakan salah satu unsur dari aspek sosial budaya yang berperan sangat starategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyrakat, atau bangsa. Kestrategisan peranan ini pada intinya merupakan suatu ikhtiar yang dilaksanakan secara sadar, sistematis, terarah dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik serta menjadikan mereka sebagai kholifah dimuka bumi dengan berbekal kecakapan hidup.   
                       
2. Landasan Filosofis Pendidikan Kecakapan Hidup
Pendidikan berjalan pada setiap saat dan disegala tempat. Setiap orang, baik anak-anak maupun orang dewasa akan megalami proses pendidikan, lewat apa yang dijumpainya atau apa yang dikerjakannya. Walau tidak ada pendidikan yang sengaja diberikan, secara alamiah setiap orang akan terus belajar dari lingkungannya.
 Pendidikan sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan sistemasi dari proses perolehan pengalaman. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai suatu proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, sehingga siap digunakan untuk memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik diharapkan juga mengilhami mereka ketika mengahadapi problem dalam kehidupan sesungguhnya.
            Dalam pendidikan formal disekolah adalah membantu anak didik untuk mengetahui sesuatu, terutama pengetahuan. Secara sederhana bagaimana membantu anak didik untuk menguasai bahan pelajaran yang diberikan guru. Tugas guru adalah mentaransfer pengetahuan itu kedalam otak anak didik, sehingga anak didik menjadi tahu. Maka dalam hal ini anak didik tinggal membuka otaknya untuk menerima pengetahuan yang ditrasfer oleh guru tersebut. Sedangkan tugas guru adalah memberikan tulisan-tulisan pada kertas kosong tersebut.
            Selama ini strategi pembelajaran dalam pendidikan formal didominasi oleh faham strukturalisme, obejektivisme, behavioristik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk bahwa dalam pembelajaran pendidikan formal hanya bertujuan siswa mengingat informasi yang faktual. Buku tek dirancang, siswa membaca atau diberi informasi, selanjutnya terjadi proses memorisasi. Tujuan-tujuan pembelajaran dirumuskan secara jelas untuk keperluan merekam informasi. Pembelajaran dilaksanakan dengan mengikuti urutan kurikulum secara ketat. Aktivitas belajar mengikuti buku teks. Tujuan pembelajaran menekankan pada penambahan pengetahuan, dan seseorang dikatakan telah belajar apabila ia mampu mengungkapkan kembali apa yang telah dipelajarinya.
            Menurut faham konstruktivistik berbeda dengan faham klasik, pengetahuan itu adalah bentukan (konstruksi) siswa sendiri yang sedang belajar.[6] Atau dengan kata lain, manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan cara mencoba memberi arti pada pengetahuan sesuai dengan pengalamnnya. Pengetahuan itu rekaan dan tidak stabil, oleh karena itu pengetahuan adalah konstruksi manusia dan secara konstan manusia mengalami pengalaman-pengalaman baru, maka pengetahuan itu tidak pernah stabil. Oleh karena itu pemahan yang kita peroleh senantiasa bersifat tentative dan tidak lengkap, pemahaman kita akan semakin mendalam dan kuat jika diuji melalui pengalaman-pengalaman baru.[7]   
Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks. Pengetahuan siswa akan anjing adalah bentukan siswa sendiri yang terjadi karena siswa mengolah, mencerna, dan akhirnya merumuskan dalam otaknya pengertian akan anjing. Pengetahuan itu kebanyakan dibentuk lewat pengalaman inderawi, lewat melihat, menjamah, membau, mendengar, dan akhirnya merumuskan dalam pikiran. Dalam pengertian konstuktivisme, pengetahuan itu merupakan proses menjadi, yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar.[8]

Konstuktualisme merupakan landasan berfikir (filsafat), pengetahuan dibangun oleh manusia secara sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstuksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.[9] Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi (personal) siswa itu sendiri yang membentuknya.[10]
Dalam proses pembelajaran dan arahan guru hanya merupakan bahan yang harus diolah dan dirumuskan oleh siswa sendiri. Tanpa siswa sendiri aktif mengelola, mempelajari dan mencerna ia tidak akan menjadi tahu. Maka dalam hal ini pendidikan atau pengajaran harus membantu anak didik aktif belajar sendiri. Dan pengetahuan juga bisa dibentuk secara sosial (bersama). Vygotsky mengatakan bahwa pengetahuan anak dibentuk dalam kerjasama dengan teman lain. Hal ini terutama berlaku pada pembelajaran bahasa. Orang akan hanya bisa lebih maju dalam bidang bahasa bila ia belajar bersama orang lain. Maka, Vygotsky menekankan pentingnya dalam kerja sama, studi kelompok. Dalam studi kelompok itu siswa dapat saling mengoreksi, menungkapkan gagasan, dan saling meneguhkan.
Siswa yang merupakan elemin penting dalam proses pendidikan, maka siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstuksi pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks kesituasi lain, dan apabila dikehendaki, inforamasi itu menjadi milik mereka sendiri.[11]
Peran guru atau pendidik dalam aliran konstuktivisme ini adalah sebagai fasilitator atau moderator. Tugasnya adalah merangsang, membantu siswa untuk mau belajar sendiri, dan merumuskan pengertiannya. Guru jua mengevaluasi apakah gagasan siswa itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak, sedangkan tugas siswa adalah aktif belajar dan mencerna.[12]
Dengan dasar itu, pembelajaran, pendidikan harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru. Bentuk pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran siswa yang aktif dan kritis. Siswa tidak kosong, tetapi sudah punya pengertian awal tertentu yang harus dibatu untuk berkembang. Maka modelnya adalah model doalogal, model konsistensi, model mencari bersama antara siswa dan guru.[13]
Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa dituntut benar-benar mngerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, maka harus bekerja untuk memecahkan maslah, menemukan sesuatu untuk dirinya sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidik tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi kedalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.[14]
Maka, model pembelajaran yang baik adalah model demokratis dan dialogis. Siswa dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap tidak tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Maka model pendidikan yang membuat siswa bisu (budaya bisu) tidak zamannya lagi. Pendidikan yang benar harus mebebaskan siswa tidak dijadikan penurut dan jadi robot, tetapi menjadi pribadi yang dapat berpikir, memilih, dan menentukan sikap.
Model pembelajaran seperti ini juga berlaku dalam bidang kemanusiaan yang lain, dalam penanaman nilai moral, nilai kebaikan, spritualitas, sosialitas, dan lain-lain. Semua nilai kemanusiaan yang mau dikembangkan perlu dibantu oleh pendidik dengan cara yang demokratis.[15]
Landasan berfikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis dalam hal tujuan pembelajaran. Kaum objektivis lebih menekankan pada hasil pembelajaran yang berupa pengetahuan. Dalam pandangan konstruktivistik starategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu menurut faham konstruktivisme tugas guru adalah menfasilitasi proses tersebut dengan cara.
a.      Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.
b.      Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan
c.      Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.[16]
Pada dasarnya dalam pandangan konstruktivisme, pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman, maka dalam hal ini ada empat konsep dasar Jean Piaget yang dapat diaplikasikan pada pendidikan dalam berbagai bentuk dan bidang studi, yang berimplikasi pada organisasi lingkungan pendidikan, isi kurikulum, dan  urutan-urutannya, metode mengajar, dan evaluasi. Keempat konsep dasar tersebut adalah (a) Skemata, (b) Asimilasi, (c) Akomodasi, (d) Ekuilibrium.
a.                    Skemata
Manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Manusia cenderung mengorganisasikan tingkah laku dan pikirannya. Secara sederhana skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep atau katagori yang digunakan individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Skemata ini berfungsi melakukan adaptasi dengan lingkungan dan menata lingkungan itu secara intelektual.
Dalam hal ini Jean Piaget mengatakan bahwa skemata orang dewasa berkembang mulai skemata anak melalui proses adaptasi sampai pada penataan atau organisai. Dengan demikian, skemata adalah struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Proses yang menyebabkan adanya  perubahan itu adalah asimilasi dan akomodasi.
b.                    Asimilasi
Asimilasi dimaksudkan sebagai suatu proses kognitif dan penyerapan pengalaman baru, dimana seseorang memadukan stimulus atau persepsi kedalam skemata atau prilaku yang telah ada.
Pada dasarnya asimilasi tidak mengubah skemata, tetapi mempengaruhi atau memungkinkan pertumbuhan skemata. Dengan demikian, asimilasi adalah proses kognitif individu dalam usahanya untuk mengadaptasi diri dengan lingkungannya. Asimilasi terjadi secara kontinyu, berlangsung terus menerus dalam perkembangan kehidupan intelektual anak.
c.                    Akomodasi
Akomodasi adalah suatu proses struktur kognitif yang berlangsung sesuai dengan pengalaman baru. Proses kognitif tersebut menghasilkan terbentukya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Di sini tampak terjadi perubahan secara kuantitatif, sedangkan pada asimilasi terjadi perubahan secara kuantitatif.
Jadi pada hakekatnya akomodasi menyebabkan terjadinya perubahan atau pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi, ketika anak menerima stimulus yang baru, struktur mentalnya menjadi goyah, beru seterusnya asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus mnerus. Dengan demikian skemata berkembang sepanjang waktu bersama-sama dengan bertambahnya pengalaman.
d.                   Equilibrium (keseimbangan)
Dalam proses adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam artian bahwa  terjadi keseimbangan antara proses asimilasi dan roses akomodasi. Seandainya hanya terjadi asimilasi secara kontinyu, maka yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata yang global dan tidak mampu melihat perbedaan-perbedaan antara berbagai hal.
Dengan adanya keseimbanga ini maka efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan ligkungannya dapat tercapai dan dapat terjamin. Dengan kata lain terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal.[17]
            Dari faham konstruktivistik, proses pendidikan menekankan pada perkembangan intelektual yang dihasilkan dari interaksi antara individu dengan lingkungannya, sehingga kemudian melalui pengalaman tersebut pengetahan akan tumbuh dan akan berkemabang.
 Pendidikan sebagai sebuah sistem, pada dasarnya merupakan sistemasi dari proses pengalaman pendidikan. Oleh karena itu secara filosofis pendidikan diartikan sebagai proses perolehan pengalaman belajar yang berguna bagi peserta didik, dan pengalaman tersebut diharapkan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik sehingga siap digunakan untuk memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Dengan alasan tersebutlah faham kontruktivime ini dijadikan landasan filosofis dalam pengembangan pendidikan kecakapan hidup (Life Skill).

3. Landasan Yuridis Pendidikan Kecakapan Hidup.
            Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut merupakan salah satu aplikasi dari tuntutan reformasi.
            Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Sehingga kemudian sistem pendidikan nasional diharapkan mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efesiensi menejemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai degan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
             Pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya dimasa yang akan datang.  Karena kecakapan hidup merupakan kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia, serta mampu memecahkan persoalan hidup dan kehidupan tanpa adanya tekenan.[18]
            Salah satu tujuan dari pendidikan kecakapan hidup adalah memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi  dari stakeholders.[19]
            Dengan ini landasan yuridis pendidikan kecakapan hidup dapat mengacu kepada UU nomor 2 Tahun 1989 tentang pendidikan nasional. Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.[20] Dan landasan tersebut diperkuat dalam UU Sisdiknas BAB I pasal 1 ayat 1.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[21]
            Dari dasar tersebut pada akhirnya tujuan pendidikan adalah membantu peserta didik agar nantinya mampu meningkatkan dan mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri, sebagai anggota masyarakat dan sebagai anggota masyrakat.                 Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otoda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. yang dikenal dengan sistem desentralisasi, yang diharapkan bisa berjalan secara simultan.
Landasan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.[22]
Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).[23] Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2).[24]
Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).[25]
Dari landasan yuridis tersebut jelas kiranya bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraklak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demogratis serta bertanggung jawab, sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan kecakapan hidup.
Secara eksplisit pendidikan kecakapan hidup mampu memberikan manfaat pribadi bagi peserta didik dan manfaat sosial bagi masyarakat.  Bagi peserta didik, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik.  Peningkatan kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang, pengembangan diri, kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi.  Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator adanya: peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni.


B. Konsep dan Unsur-Unsur Pendidikan Kecakapan Hidup
Tantangan pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dari waktu ke waktu meliputi empat hal, yaitu: (1) pemerataan kesempatan, (2) kualitas, (3) efisiensi, dan (4) relevansi. Dari berbagai indikator tersebut, problem pendidikan yang selama ini mencuat yaitu pendidikan yang selama ini dilaksanakan tidak berpijak pada kehidupan nyata sehingga pelaksanakan pendidikan tidak mempunyai relevansi sama sekali dengan kehidupan nyata, sehingga ada indikasi pendidikan hanya merupakan panggung pentas untuk memperoleh, dan mempertahankan juara, akibatnya sekolah bukan lagi menjadi tempat belajar, dan tempat mencari pengalaman, sehingga anak kehilangan hak-haknya sebagai anak, yang seharusnya pendidikan dituntut menjadikan anaknya atau siswanya menjadi manusia yang nantinya mampu memecahkan masalah kehidupan untuk mempertahankan eksistensi hidup mereka.       
 Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (Life Skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat.  Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas.  Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga tamatan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata.  Suatu pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut berpijak pada  kehidupan nyata. Maka dalam hal ini untuk merumuskan tentang pendidikan kecakapan hidup perlu adanya rumusan dan pengertian kecakapan hidup itu sendiri.  
Meskipun kecakapan hidup telah didefinisikan berbeda-beda, namun esensi pengertiannya sama. Maka dalam hal ini  Brolin (1989) mendefinisikan kecakapan hidup adalah merupakan kontinum pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang untuk berfungsi secara independen dalam kehidupan.  Pendapat lain mengatakan bahwa kecakapan hidup adalah kecakapan sehari-hari yang diperlukan oleh seseorang agar sukses dalam menjalankan kehidupan.  Malik Fajar mendefinisikan kecakapan hidup sebagai kecakapan untuk bekerja selain kecakapan untuk berorientasi ke jalur akademik.[26]  Sementara itu Tim Broad-Based Education  menafsirkan kecakapan hidup sebagai kecakapan yang dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan kehidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya.[27]
Meskipun terdapat perbedaan dalam pengertian kecakapan hidup, namun esensinya sama yaitu bahwa kecakapan hidup adalah kemampuan, kesanggupan, dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia. 
Oleh karena itu, pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang memberi bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan sehari-hari agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupannya yaitu dapat menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. 
Dengan definisi tersebut, maka pendidikan kecakapan hidup harus mampu merefleksikan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari, baik yang bersifat preservatif maupun progresif.  Pendidikan perlu diupayakan relevansinya dengan nilai-nilai kehidupan nyata sehari-hari.  Dengan cara ini, pendidikan akan lebih realistis, lebih kontekstual, tidak akan mencabut peserta didik dari akarnya, sehingga pendidikan akan lebih bermakna bagi peserta didik dan akan tumbuh subur.  Seseorang dikatakan memiliki kecakapan hidup apabila yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjalankan kehidupan dengan nikmat dan bahagia.  Kehidupan yang dimaksud meliputi kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, kehidupan tetangga, kehidupan perusahaan, kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, dan kehidupan-kehidupan lainnya. 
Pengertian kecakapan hidup, lebih luas dari keterampilan dari bekerja. Orang tidak bekerja, misalnya ibu rumah tangga atau orang yang sudah pensiun tetap memerlukan kecakapan hidup. Seperti halnya orang yang bekerja, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Orang yang sedang menempuh pendidikan pun memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu memiliki permasalahannya sendiri.[28]
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia memang selalu dihadapkan pada problem hidup, untuk memecahkan problem kehidupan seperti itu seseorang akan berusaha mencermati kemampuan apa yang mereka miliki sehingga sukses, atau setidaknya dapat bertahan hidup dalam situasi yang serba berubah, orang tersebut bisa sukses karena memiliki banyak kiat (kecakapan hidup) sehingga mampu mengatasi masalah dihadapinya, pandai melihat dan memanfaatkan peluang, serta pandai bergaul dan bermasyarakat. Kiat-kiat seperti itulah yang merupakan inti kecakapan hidup. Artinya kecakapan yang selalu diperlukan oleh seseorang dimanapun ia berada, baik bekerja atau tidak bekerja dan apapun profesinya.[29] Maka dalam hal ini   kecakapan hidup dapat dipilih menjadi empat jenis, sebagaimana yang diungkapkan oleh Suryadi bahwa keterampilan hidup meliputi beberapa kemampuan dasar yaitu: ketrampilan sosial, vokasional, intelektual dan akademis.[30]  Unsur-unsur keterampilan hidup itu pun diperkuat oleh Tim Broad Based Education Dipdiknas sebagai berikut:
a. Kecakapan personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal  
    diri (self awareness) dan kecakapan berfikir rasional (thinking skill);
b. Kecakapan sosial (sosial skill).
c. Kecakapan akademik (academic skill).
d. Kecakapan vokasional (vocational skill).
            Kecakapan kesadaran diri itu pada dasarnya merupakan  penghayatan diri sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta menyadari dan mensukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.
            Kecakapan berfikir rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan informasi (information seacrhing), kecakapan mengolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and decion making skill), serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill). Dua kecakapan tersebut (kesadaran diri dan berfikir rasional) merupakan kecakapan personal.
Kecakapan sosial atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill) mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati (commonicaton skill). Empati, sikap penuh pengertian dan seni komonikasi dua arah, perlu ditekankan karena yang dimaksud berkomunikasi di sini bukan sekedar menyampaikan pesan, tetapi isi dan sampainya pesan dan disertai dengan kesan baik yang akan menumbuhkan hubungan harmonis.
            Kecakapan bekerjasama sangat diperlukan karena sebagai mahluk sosial, dalam kehidupan sehari-hari manusia akan selalu bekerjasam dengan manusia lain. Kerjasama bukan sekedar "kerja sama" tetapi yang di sertai dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu.
Dua kecakapan hidup yang disampaikan di atas (kecakapan personal dan kecakapan sosial) biasanya disebut sebagai kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan hidup generic (general Life Skill / GLS). kecakapan hidup tersebut diperlukan oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sedang menempuh pendidikan.
            Kecakapan hidup yang bersifat spesifik (spesifik Life Skill / SLS) diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu. Untuk mengatasi problema "mobil yang mogok" tentu diperlukan kecakapan yang khusus tentang mesin mobil, untuk memecahkan masalah dagangan yang tidak laku, tentu diperlukan kecakapan pemasaran, untuk mampu melakukan pengembangan biologi molekuler tentunya diperlukan keahlian di bidang bio- teknologi.
            Kecakapan hidup yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetesi tekhnis (tekhnikal competencies) yang terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tetentu dan pendekatan pembelajaranya. Seperti disebut di bagian depan, spesifik life skill (SLS) mencakup kecakapan pengembangan akademik (kecakapan akademik) dan kecakapan vokasional yang terkait dengan pekerjaan tertentu.
            Kecakapan akademik (academic skill) yang juga sering disebut kemampuan berfikir ilmiah, pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berfikir rasional pada global life skill. Jika kecakapan berfikir rasional masih bersifat umum, maka kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik / keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identivikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomina tertentu (identifying variable and describing relationship among them), merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian (contructing hypotheses), serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan suatu gagasan atau keingintahuan (designing and implementing a research).
            Kecakapan vokasional (vocational skill) sering pula disebut dengan "kecakapan kejuruan" artinya kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.[31] Maka dalam hal ini Gainer mengklasifikasikan kecakapan vokasional menjadi empat area: kompetensi individu, meliputi (a) keterampilan berkomunikasi, berfikir kompherensif. (b) keterampilan kepercayaan diri, meliputi menejemen diri, etika dan kematangan diri. (c) keterampilan penyesuaian secara ekonomis, meliputi pemecahan masalah, pembelajaran, kemempuan kerja dan pengembangan karir. (d) keterampilan dalam kelompok dan berorganisasi meliputi, keterampilan interpersonal, organisasional, negosiasi, kreativitas dan kepemimpinan.[32]
            Dari seluruh kecakapan baik kecakapan general maupun kecakapan spesifik dalam kehidupan nyata berfungsi secara terpadu serta tidak terpisah-pisah, sehingga dengan peleburan tersebut menyatu menjadi tindikan individu yang melibatkan aspek fisik, mental, emosional dan intelektual.
            Kecakapan-kecakapan hidup tersebut masih bersifat umum, untuk memperoleh gambaran yang jelas dan lebih rinci, maka pada uraian berikutnya dikemukakan gambaran atau potret seseorang yang terdidik dengan baik melalui pendidikan kecakapan hidup Life Skill. Maka dalam hal ini kecakapan-kecakapan tersebut mencakup: (a) belajar sepanjang hayat, (b) berikir kompleks, (c) komunikasi secara efektif (d) kolaborasi atau kerjasama (e) warga Negara yang bertanggung jawab (f) dapat dipekerjakan (g) pengembangan karakter / etika atau tata susila.
1.                              Kecakapan sepanjang hayat
Seseoarang belajar sepanjang hayat telah memperoleh pengetahuan dasar dan mengembangkan kecakapan-kecakapan belajar individu yang mendukung pendidikan secara berkelanjutan, mendorong partisipasi yang efektif dalam masyarakat demokratis dan mendapatkan peluang-peluan pekerjaan sebanyak mungkin, dengan cirri-ciri sebagai berikut:
a.      Memulai belajar sendiri, yang meliputi: (1) mendemonstrasikan sikap yang positif dan bertanggung jawab pribadi untuk belajar dan mengembangkan pribadinya. (2) mengambil resiko untuk memaksimalkan belajar dan perbaikan diri yang positif, (3) menggunakan strategi yang tepat untuk mengindetifikasi dan memenihi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan, (4) mengorganisasikan sumber-sumber yang waktu yang efisien, (5) menggunakan refleksi atau pemikiran dan umpan balik untuk pertumbuhan dan evaluasi diri, (6) memperbaiki atau perhalusan kecakapan dan bakatnya secara terus menerus, (7) beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
b.      Mencapai tingkat kemampuan baca tulis yang tinggi, meliputi: (1) mendemonstrasikan kecakapan-kecakapan dasar yang memenuhi standar bidang pelajaran atau persoalan yang esensial, (2) menggunakan starategi mengelola informasi yang efektif dan efesien dalam mengaitkan inforamasi dan pengalaman, (3) menerapkan pengetahuan dan informasi dengan situasi-situasi yang baru, (4) menghargai berbagai konstribusi budaya dan pengungkapan artistik, (5) menerapkan teknologi untuk hidup, belajar dan bekerja dengan suksek dalam suatu masyarakat yang semakin kompleks dan kaya informasi.
c.      Mengelola informasi, yang meliputi: (1) menggunakan strategi pencarian informasi yang tepat, (2) mengevaluasi, menginterpretasi, mengorganisasi dan mensintesis informasi, (3) menyajikan informasi dalam berbagai bentuk.
d.     Mendemonstrasikan kesadaran estetis yang meliputi: (1) mengembangkan dan menggunakan kreteria untuk mengevaluasi kebenaran / keaslian, subtansi dan keunggulan, (2) mengembangkan suatu penghargaan terhadap keindahan yang halus yang melekat dalam kehidupan sehari-hari, (3) mengajak dan ikut serta dalam kegiatan estetis untuk kesenangan dan pertumbuhan pribadi.

2. Kecakapan berfikir komleks
a.      Mendemonstrasikan berbagai proses berfikir, meliputi: (1) menggukan berbagai kecakapan berfikir, (2) memadukan berbagai kecakapan berfikir dalam proses yang menyeluruh, (3) menggukan proses berfikir dalam hal-hal yang kongkrit dan abstrak.
b.      Memadukan informasi yang baru dalam pengetahuan dan pengalaman dan pengelaman yang ada: (1) menggunakan proses berfikir untuk menafsirkan informasi, (2) mengorganisasi dan mengelola informasi (3) menggabungkan informasi dalam cara-cara yang baru dan baik.
c.      Menerapkan kecakapan berfikir secara tragis, meliputi: (1) mengakui dan memonitor penggunaan proses berfikir sendiri, (2) memprediksi konsekwensinya ketika membuat keputusan (3) mepertimbangkan ide-ide baru dan pandangan yang bervariasi untuk memperluas wawasan dan penambahan pemahaman, (4) menyeimbangkan rasio dan emosi dalam membuat keputusan, (5) memadukan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang ada.

3. kecakapan berkomunikasi yang efektif
            Seorang komunikator yang efektif mampu berinteraksi dengan yang lain dengan menggunkan berbagai media.
a.      Menggunakan metode yang tepat dalam berkomunikasi dengan yang lain, meliputi: (1) merencanakan, mengorganisasikan dan menyeleksi ide-ide untuk berkomunikasi, (2) fleksibel dan bertangung jawab dalam berkomunikasi, (3) memilih metode komunikasi yang tepat untuk mencapai tujuan, (4) mengakui atau menghargai sifat-sifat audiens, (5) berkomunikasi secara jelas dalam ucapan, artistik, bentuk-bentuk tulisan dan non verbal, (6) mengespresikan gagasan , perasaan dan kepercayaan (keyakinan) secara estetis, (7) berkomonikasi dengan yang lain dalam suatu cara yang beradab, penuh penghargaan dalam bekerja dan berjalan ke arah tujuan yang sama.
b.      Merespon secara tepat ketika menerima komunikasi, meliputi: (1) menerima dan menghargai ide-ide yang berkomunikasikan melalui berbagai mode / cara, (2) mengakses pengetahuannya perlu untuk menafsirkan informasi dan membangun makna, (3) mendukung komunikasi yang efektif melalui pencarian klasifikasi untuk memberikan umpan balik yang tepat, (4) mengakui atu menghargai komuniksi yang efektif, (5) beradaptasi dan menyesuaikan komunikasi sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dari audiens yang dimaksud.    

4. Kecakapan kolaborasi
            Seorang kolaborator bekerja secara efektif dengan yang lain untuk mengindetifikasi dan mencapai hasil-hasil yang ditetapkan, ciri-ciri sebagai berikut:
a.      Memahami dan melayani dalam berbagai hal, meliputi: (1) mengambil peran sebagai pemimpin atau partisipan secara tepat, (2) merubah atau menggeser peran-peran secara halus, (3) mengajar kecakapan-kecakapan yang baru kepada yang lain dan memprosesnya.
b.      Mengindetifikasi kelompok secara efektif, meliputi: (1) menjelaskan tujuan (2) mempertimbangkan berbagai ide dan mengusulkan modifikasi, (3) menemukan pokok pembicaraan umum di antara berbagai perhatian yang berbeda, (4) menghasilkan sekumpulan pilihan, (5) mevaluasi kualitas ide-ide dan hasil-hasil yang potensi, (6) melaksanakan cara mengakhiri perdebatan atau perselisihan dengan tepat, (7) meninjau kembali proses kelompok dengan menganilisis efektivitasnya.
c.      Menggunakan sumber-sumber secara efektif, meliputi: (1) mengindetifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk memecahkan masalah, (2) bekerja secara efektif di dalam sumber-sumber yang terbatas.
d.     Bekerja dengan berbagai penduduk, meliputi: (1) menghargai perbedaan dan kesamaan di antara anggota-anggota kelompok, (2) membedakan individu dari peran kelompoknya, (3) menggunakan pengalaman latar belakang individual untuk meningkatkan proses kelompok, (4) menghargai perbedaan budaya dan etnik dan memanfaatkan mereka dalam cara-cara yang positif, (5) memperlakukan yang lain dengan kasih sayang.
e.      Merespon secara tepat terhadap hubungan timbal balik yang kompleks, meliputi: (1) menyeimbangkan kebutuhan pribadi dengan kelompok, (2) membangun konsensus, (3) mengakui peranan dari dinamika kelompok, (4) menyelesaikan beberapa konflik secara positif.

5. Kecakapan warga Negara yang bertanggung jawab.
            Seorang warga Negara yang bertanggung jawab berpartisipasi dalam unit lokal dan dunia untuk mempromusikan kepentingan pribadi dan umum, dengan ciri-ciri:
a.      Mendemontrasikan tanggung jawab individu, meliputi: (1) mengakui martabat, bakat dan keterampilan sendiri, (2) mendemonstrasikan integritas  dan ketergantungan, (3) menggunakan starategi yang tepat untuk menyelesaikan konflik, (4) mengakui pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan individu yang berpengaruh terhadap diri, keluarga dan masyarakat, (5) mengambil inisiatif terhadap dan mengikuti isu dan peristiwa yang diperbincangkan yang mempengaruhi masyarakt.
b.      Mempraktekkan gaya hidup sehat, meliputi: (1) mengakses, menganalisis dan menggunakan sumber-sumber untuk mempromusikan kesehatan, (2) terlibat dalam kegiatan yang mempromusikan kesehatan fisik, spiritual, sosial dan emosional, (3) mendemonstrasikan kemampuan mengenali, menghindari atau meminij situasi yang berisiko, (4) menyeimbangkan kerja, tanggung jawab pribadi dan kegiatan waktu luang.
c.      Memahami dan mempromusikan prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan persamaan yang demokratis, meliputi: (1) mengakui bahwa semua orang memiliki nilai bawaan, (2) mendemontrasikan penghargaan terhadap mertabat, kebutuhan dan hak asasi manusia, (3) mempromusikan hukum dan tatanan di masyarakat, (4) menghargai dan mempertahankan hak-hak dan kekayaan individu, (5) mempraktekkan proses demokratis.
d.     Berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang mempromusikan kepentingan umum, meliputi: (1) memahami sistem ekonomi, politik, sosial dan lingkungan, (2) mengenali dan bertindak untuk menemukan kebutuhan komunitas, (3) mengenali dan mengakses sumber-sumber untuk memecahkan problem, (4) melakukan perbaikan di masyarakat, (5) mendemonstrasikan tanggung jawab global dan pemahaman lintas budaya.

6. Kecakapan dapat bekerja
Seorang idividu yang dapat dipekerjakan adalah dipersiapkan dengan baik untuk mendapatkan dan menjaga atau memelihara pekerjaan sesuai dengan minat dan mampu mengubah karir dan mencari pelatihan tambahan sesuai dengan yang dibutuhkan, dengan ciri-ciri:
a.      Merencanakan suatu karir, meliputi: (1) mengenali minat, kemampuan dan kualitas karakter pribadi yang membawa kejejak karir, (2) memperoleh pengetahuan untuh memilih di antara berbagai jejak karir, (3) bertanggung jawab terhadap pertumbuhan pribadi.
b.      Berfungsi secara efektif dalam suatu sistem, meliputi: (1) mengalisis dan mengevaluasi budaya organisasi dan struktur sistem, (2) mengevaluasi peranan dirinya dalam sisitem, (3) keterikatan diri terhadap tujuan, nilai dan etika sistem, (4) bekerja dalam sistem untuk menimbulkan perubahan, (5) bekerja sama untuk mencapai tujuan-tujuan sistem.[33]
            Dipihak lain Slamet PH merumuskan kecakapan hidup menjadi dua kategori, yaitu kecakapan hidup yang bersifat dasar dan instrumental.  Kecakapan hidup yang bersifat dasar yaitu kecakapan yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, tidak tergantung pada perubahan waktu dan ruang, dan merupakan fondasi bagi tamatan sekolah agar bisa mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental.  Kecakapan hidup yang bersifat instrumental yaitu kecakapan yang bersifat relatif, kondisional, dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan ruang, waktu, situasi, dan harus diperbaharuhi secara terus-menerus sesuai dengan derap perubahan.
Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka diperlukan kecakapan-kecakapan yang mutakhir, adaptif dan antisipatif.  Adapun kategori dimensi kecakapan hidup yang bersifat dasar dan instrumental yang dimaksud adalah sebagai berikut.

1. Kecakapan Dasar
a. Kecakapan belajar terus-menerus
Kecakapan belajar terus menerus (sepanjang hayat) adalah kecakapan yang paling penting dibandingkan dengan semua kecakapan hidup lainnya.  Pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kehidupan berubah makin cepat sehingga menuntut tamatan sekolah memiliki kemampuan untuk belajar terus-menerus. 
Kecakapan ini merupakan kunci yang dapat membuka kesuksesan masa depan.  Dengan kecakapan ini, tamatan sekolah mudah menguasai kecakapan-kecakapan lainnya.  Karena itu, tamatan sekolah perlu diberi bekal dasar tentang strategi, metode, dan teknik belajar untuk memperoleh dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam kehidupannya.

b. Kecakapan membaca, menulis, menghitung
Tamatan Sekolah diharapkan memiliki kecakapan membaca dan menulis secara fungsional, baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Jepang, Mandarin, atau yang lain. 
Kecakapan membaca memahami dan menafsirkan informasi tertulis dalam surat kabar, majalah, jurnal, dan dokumen.  Menulis mengkomunikasikan pikiran, ide-ide, informasi, dan pesan-pesan tertulis dan membuat dokumen-dokumen seperti surat, arahan, bimbingan, pedoman kerja, manual, laporan, grafik, dan diagram alir. 
Kecakapan menghitung, kemampuan dasar menghitung dan memecahkan masalah-masalah praktis, dengan memilih secara tepat dari teknik-teknik matematika yang ada, dengan atau tanpa bantuan teknologi.

c. Kecakapan berkomunikasi: lisan, tertulis, tergambar, mendengar
Manusia berinteraksi dengan manusia lain melalui komunikasi langsung, baik secara lisan, tertulis, tergambar, dan bahkan melalui kesan pun bisa.  Mengingat manusia menggunakan sebagian besar waktunya untuk berkomunikasi dengan orang lain, maka kecakapan berkomunikasi termasuk kecakapan mendengar harus dimiliki oleh tamatan sekolah. 
Suatu studi menyimpulkan bahwa kelemahan berkomunikasi akan menghambat pengembangan personal dan profesional seseorang.  Bahkan para pebisnis memperkirakan bahwa kelemahan berkomunikasi akan menambah pembiayaan usahanya akibat kesalahan yang dibuat.  Mengingat era globalisasi telah bergulir, maka penguasaan salah satu bahasa asing (Inggris, Perancis, Arab, Jepang, Jerman, Mandarin, dsb.) oleh peserta didik merupakan keniscayaan.

d. Kecakapan berpikir
Tingkat kecakapan berpikir seseorang akan berpengaruh terhadap kesuksesan hidupnya.  Mengingat kehidupan manusia sebagian besar dipengaruhi oleh cara berpikir, maka peserta didik perlu diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan cara yang benar tentang kecakapan berpikir deduktif, induktif, ilmiah, kritis, nalar, rasional, lateral, sistem, kreatif, eksploratif, discovery, inventory, reasoning, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.  Selain itu, peserta didik harus diberi bekal dasar tentang kecintaan terhadap kebenaran, keterbukaan terhadap kritik dan saran, dan berorientasi kedepan. 

e. Kecakapan kalbu: iman (spiritual), rasa dan emosi
Memiliki kecakapan kalbu yang baik,  merupakan aset kualitas batiniyah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa.  Kecakapan kalbu yang terdiri dari iman (spiritual), rasa, dan emosi merupakan unsur-unsur pembetuk jiwa selain akal.  
Pada dasarnya, jiwa merupakan peleburan iman, rasa, emosi, dan akal.  Jiwa merupakan sumber kekuatan dan kendali bagi setiap manusia dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.  Bahkan, baik buruknya suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh baik buruknya kalbu bangsa yang bersangkutan.  Erosi kalbu akan berpengaruh sangat dahsyat karena apapun tingginya derajad berpikir seseorang, tetapi jika tidak dilandasi oleh moral, spiritual dan emosional yang baik, hanya kehancuran yang terjadi.  Untuk itu, peserta didik perlu diberi bekal dasar dan latihan-latihan dengan cara yang benar tentang kecakapan moral, emosional dan spiritual.  Integritas, kejujuran, solidaritas, kasih sayang pada orang lain, kesopanan, disiplin diri, menghargai orang lain, hak asasi, kepedulian, toleransi, dan tanggung jawab.

f. Kecakapan mengelola kesehatan badan
Di mana terdapat kesehatan badan, di situlah terdapat kesehatan jiwa.  Manusia diciptakan oleh-Nya dengan martabat tertinggi sehingga yang bersangkutan harus memelihara kesehatan dirinya lebih baik dari pada memelihara barang-barangnya.   Oleh karena itu, peserta didik sudah selayaknya diberi bekal dasar tentang pengelolaan kesehatan badan agar yang bersangkutan memiliki kesehatan badan yang prima, bebas penyakit, dan memiliki ketahanan badan yang kuat.  Berolahraga secara teratur, makan yang bergizi dan bervitamin, menjaga kebersihan, dan beristirahat cukup merupakan pendidikan kecakapan mengelola kesehatan badan yang harus diterapkan dalam kehidupan peserta didik.

g. Kecakapan merumuskan keinginan dan upaya-upaya untuk mencapainya
Dua hal yang karakteristik sifatnya dalam kehidupan adalah: (1) adanya keinginan baru, dan (2) upaya-upaya yang diperlukan untuk mencapai keinginan baru tersebut.  Kecakapan merumuskan dua hal yang karakteristik ini merupakan bagian penting bagi kehidupan seseorang.  Dalam kehidupan banyak dijumpai orang-orang yang kurang mampu merumuskan tujuan hidup yang realistik, dan kalaupun tujuan yang dirumuskan cukup realistik, tidak jarang pula upaya-upaya yang ditempuh kurang sesuai.  Kecakapan semacam ini perlu diajarkan kepada peserta didik agar yang bersangkutan mampu menjalani kehidupan secara realistis. 

f. Kecakapan berkeluarga dan sosial
Peserta didik hidup dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.  Dalam keluarga, siswa tersebut berinteraksi dengan ayah, ibu, dan saudara-saudaranya.  Peserta didik harus memahami, menghayati, dan menerapkan nilai-nilai kasih sayang, kesopanan, toleransi, kedamaian, keadilan, respek, kecintaan, solidaritas, dan tatakrama sebagai anak terhadap kedua orang tuanya maupun sebagai saudara terhadap saudaran-saudaranya. 
Dalam sekolah, peserta didik harus memahami, menghayati, dan menerapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku di sekolah. Dalam masyarakat, peserta didik harus memahami, menghayati dan menerapkan nilai-nilai sosial sebagai berikut: menjunjung tinggi hak asasi manusia, peduli terhadap barang-barang milik publik, kerjasama, tanggungjawab dan akuntabilitas sosial, keterbukaan, dan apresiasi terhadap keanekaragaman.  Peserta didik harus mampu berkomunikasi, baik secara verbal maupun non-verbal. 
Kelancaran berkomunikasi, selain memperbanyak kawan, juga untuk memupuk kesehatan mental.  Karena peserta didik hidup dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan, maka dia harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan dipimpin.

2.  Kecakapan Instrumental
a. Kecakapan memanfaatkan teknologi dalam kehidupan
Teknologi telah merambah ke segala kehidupan dan merupakan alat penggerak utama kehidupan.  Bahkan keunggulan teknologi merupakan salah satu faktor daya saing yang ampuh.  Salah satu faktor yang membuat negara berkembang tertinggal dengan negara maju adalah ketertinggalan teknologi. 
Generasi muda harus diberi bekal agar mengapresiasi pentingnya teknologi bagi kehidupan dan mempersiapkannya untuk mempelajari dan mengembangkan teknologi yang ada.  Mereka harus dididik bagaimana bekerja dengan jenis-jenis teknologi dan disiapkan agar mereka memiliki kemampuan memanfaatkan teknologi dalam berbagai kehidupan (pertanian, perikanan, peternakan, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, komunikasi, industri, perdagangan, kesenian, pertunjukan, olah raga, konstruksi, transportasi, dan perbankan).  Peserta didik perlu dibekali cara-cara memilih teknologi, menggunakannya untuk tugas-tugas tertentu dan cara-cara memeliharanya.   

b. Kecakapan mengelola sumber daya
Peserta didik perlu diberi bekal tentang arti, tujuan, dan cara-cara mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan, dan mengalokasikan sumber daya. Lebih spesifiknya, siswa perlu dilatih: (1) mengelola sumber daya alam; (2) mengelola waktu; (3) mengelola uang, dengan melatih mereka membuat rencana teknis dan anggaran, penggunaannya, dan membuat penyesuaian-penyasuaian untuk mencapai tujuan; (4) mengelola sumber daya ruang, (5) mengelola sumber daya sosial-budaya, (6) mengelola peralatan dan perlengkapan, dan (7) mengelola lingkungan. 

c. Kecakapan bekerjasama dengan orang lain
Kehidupan, baik perusahaan, bank, pendidikan, maupun yang lain, yang akan dimasuki oleh tamatan sekolah kelak pada umumnya bersifat kolektif.  Tamatan Sekolah hanyalah merupakan bagian dari kehidupan tersebut.  Mereka nantinya harus bisa bekerjasama secara harmonis dengan orang lain.  Karena itu, sejak dini mereka perlu diberi bekal dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar tentang cara-cara bekerjasama, menghargai hak asasi orang lain, pentingnya kebersamaan, tanggungjawab, dan akuntabilitas perbuatan, keterbukaan, apresiasi keanekaragaman, kemauan baik yang kreatif, kepemimpinan, manajemen negosiasi, dan masih banyak hal-hal lain yang perlu diajarkan.

d. Kecakapan memanfaatkan informasi
Saat ini dan lebih-lebih di masa mendatang, informasi akan mengalir secara cepat dan deras dalam berbagai kehidupan.  Siapa yang tertinggal informasi akan tertinggal pula dalam kehidupannya.  Jadi, informasi sudah merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang.  Untuk itu, peserta didik perlu dibekali cara-cara mendapatkan dan memanfaatkan aneka ragam informasi yang ada.  Mereka harus dididik cara-cara mendapatkan dan mengevaluasi informasi, mengorganisasi dan memelihara informasi, menafsirkan dan mengkomunikasikan informasi, dan menggunakan komputer untuk mengolah data agar menjadi informasi. 

e. Kecakapan menggunakan sistem dalam kehidupan
Kehidupan diciptakan oleh-Nya dalam serba sistem.  Oleh karenanya, jika ingin mengenali hakikat (kebenaran seutuhnya) segala yang ada dalam kehidupan, harus mengenali sampai pada sistemnya.  Mengenali sampai pada sistemnya ditempuh melalui perbuatan berpikir sistem.  Berpikir sistem adalah berpikir membangun keberadaan hal menurut kriteria sistem.  Sistem adalah kumpulan proses berstruktur hirarkis yang terikat pada tujuan.  Peserta didik perlu memahami, menghayati, dan menerapkan sistem dalam kehidupannya.  Mereka perlu diberi bekal dasar tentang cara berpikir, cara mengelola, dan cara menganalisis kehidupan sebagai sistem.  Mereka harus memahami cara kerja sistem-sistem kehidupan seperti misalnya bank, perusahaan, sekolah, pertanian, peternakan, dan keluarga.  Bahkan, dirinya sebagai sistem harus dikenalinya secara baik.

f. Kecakapan berwirausaha
Kecakapan berwirausaha adalah kecakapan memobilisasi sumber daya yang ada di sekitarnya, untuk mencapai tujuan organisasinya atau untuk keuntungan ekonomi.  Siswa harus dibekali kecakapan berwirausaha. Kewirausahaan memiliki ciri-ciri: (1) bersikap dan berpikir mandiri, (2) memiliki sikap berani menanggung resiko, (3) tidak suka mencari kambing hitam, (4) selalu berusaha menciptakan dan meningkatkan nilai sumber daya, (5) terbuka terhadap umpan balik, (6) selalu ingin perubahan yang lebih baik, (7) tidak pernah merasa puas, terus menerus melakukan inovasi dan improvisasi demi perbaikan selanjutnya, dan (8) memiliki tanggung jawab moral yang baik. 

g. Kecakapan kejuruan, termasuk olahraga dan seni (cita rasa)
Tidak semua peserta didik menyukai keterampilan berpikir, sebagian dari mereka menyukai keterampilan-keterampilan kejuruan seperti misalnya pertanian, peternakan, kerajinan, bisnis, boga, busana, industri, olahraga, dan kesenian (seni kriya, seni musik, seni tari, seni lukis, seni suara, seni pertunjukan, dan sebagainya).  Juga, tidak semua peserta didik melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan karenanya perlu diberi bekal keterampilan kejuruan agar mereka memiliki kemampuan untuk mencari nafkah.  Lebih-lebih bagi peserta didik yang berasal dari kalangan marginal secara ekonomi-sosial, maka dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi dan mereka akan terjun dalam kehidupan.  Untuk itu, mereka jelas membutuhkan keterampilan kejuruan yang secara praktis dapat digunakan untuk mencari nafkah.

h. Kecakapan memilih, menyiapkan dan mengembangkan karir
Setiap tamatan Sekolah kelak berharap memiliki karir yang sesuai dengan potensi dirinya dan sesuai dengan peluang yang ada.  Selain itu, karir yang dimiliki diharapkan dapat memberikan penghargaan yang layak.  Untuk sampai pada harapan tersebut, peserta didik perlu dikenalkan tentang potensi dirinya, jenis-jenis karir yang ada dalam kehidupan, persyaratan untuk memasuki jenis karir tertentu, dan disiapkan agar kelak setelah lulus sekolah mampu memilih, menyiapkan, dan mengembangkan karir yang sesuai dengan potensi dirinya. 

i. Kecakapan menjaga harmoni dengan lingkungan
Peserta didik hidup dalam lingkungan nyata dan lingkungan maya sekaligus.  Lingkungan nyata berupa fisik yang dapat dirasakan oleh panca indera, seperti tanah, air, dan udara.  Terhadap lingkungan fisik, peserta didik harus mampu menjaga kesehatan dirinya (kebersihan, ketegaran badan) dan keharmonisan dengan alam sekitarnya (memelihara lingkungan).  Lingkungan maya, adalah suasana sosial yang dapat ditangkap oleh otak dan dirasakan oleh hati.  Terhadap lingkungan maya, peserta didik harus mampu menjaga keharmonisan dengan masyarakat di sekitarnya.

j. Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila
Negara Kesatuan Repuplik Indonesia terdiri dari keanekaragaman / kebhinekaan dalam suku, agama, ras, dan asal-usul tetapi harus tetap menjadi satu (bhineka tunggal ika).  Untuk mencapai bhineka tunggal ika diperlukan upaya-upaya nyata.  Peserta didik perlu diberi bekal kemampuan mengintegrasikan kebhinekaan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila. 
 Menghargai perbedaan agama, menunjung tinggi hak asasi manusia, menjaga kesatuan bangsa, demokrasi, keadilan sosial, kecintaan terhadap negaranya, kepahlawanan dan apresiasi terhadap para pahlawan, apresiasi terhadap peninggalan budaya, kebebasan dan tanggungjawab, kesadaran sebagai warganegara, adalah contoh-contoh kecakapan hidup untuk menyatukan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila.[34]
Dari berbagai katagori pendidikan kecakapan hidup diatas baik kecakapan general, spesifik, dasar maupun instrumental, semuanya mensyaratkan adanya keseimbangan antara teori dan praktek, atau ilmu dan amal dalam kehidupan sehari-hari, dan pelaksanaa kecakapan hidup memerlukan adanya konsistensi dan berjalan secara integaral, sehingga antara kecakapan yang satu dengan yang lainnya tidak berjalan secara terpisah, dari sinilah kemudian  jati diri dan kepribadian akan terbentuk, guna menumbuh kembangkan penghayatan nilai-nilai etika, sosial, religius yang merupakan bagian integral dari pendidikan di semua jenis dan jenjang.

C. Tujuan Dan Manfaat Pendidikan Kecakapan Hidup
1. Tujuan pendidikan kecakapan hidup
Seperti juga pada pengertian kecakapan hidup, tujuan pendidikan kecakapan hidup juga bervariasi sesuai dengan kepentingan yang akan dipenuhi.  Naval Air Station Antlanta menuliskan bahwa tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah:
To promote family strength and growth through education; to teach concepts and principles relevant to family living, to explore personal attitudes and values, and help members understand and accept the attitudes and values of others; to develop interpersonal skills which contribute to family well-being; to reduce marriage and family conflict and thereby enhance service member productivity; and to encourage on-base delivery of family education program and referral as appropriate to community programs.[35]
Untuk meningkatkan jumlah anggota dan perkembangan melalui pendidikan; dan untuk mengajarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang relevan pada kehidupan keluarga; dan untuk meneliti sikap dan nilai-nilai pribadi, dan membantu anggota mengerti dan menerima nilai dan sikap tersebut satu sama lain; dan untuk mengembangkan kemampuan antar pribadi yang mengkonstribusikan pada kesejahteraan keluarga, dengan cara demikian, hal itu meningkatkan pelayanan produktivitas anggota; dan untuk mendorong angka kelahiran yang berdasarkan program pendidikan keluarga; dan semestinya program tersebut mengacu kepada komunitas.[36]    
Sementara itu, Tim Broad-Based Education Depdiknas mengemukakan secara umum pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa yang akan datang, secara khusus pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
a.      Mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi,
b.      Memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel, sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas, dan
c.      Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya di lingkungan sekolah, dengan memberi peluang pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.[37]
Dari hasil rumusan tujuan pendidikan kecakapan hidup, yang ditulis oleh Naval Air Station Antlanta dan Tim Broad Based Education Depdiknass, lebih spesifik Slamet PH merumuskan tujuan pendidikan kecakapan hidup, dapat dikemukakan sebagai berikut. 
a.      Memberdayakan aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui pengenalan (logos), penghayatan (etos), dan pengamalan (patos) nilai-nilai kehidupan sehari-hari sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya. 
b.      Memberikan wawasan yang luas tentang pengembangan karir, yang dimulai dari pengenalan diri, eksplorasi karir, orientasi karir, dan penyiapan karir. 
c.      Memberikan bekal dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai nilai-nilai kehidupan sehari-hari yang dapat memampukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi kehidupan masa depan yang sarat kompetisi dan kolaborasi sekaligus. 
d.     Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya sekolah melalui pendekatan manajemen berbasis sekolah dengan mendorong peningkatan kemandirian sekolah, partisipasi stakeholders, dan fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah. 
e.      Memfasilitasi peserta didik dalam memecahkan permasalahan kehidupan yang dihadapi sehari-hari, misalnya kesehatan mental dan fisik, kemiskinan, kriminal, pengangguran, lingkungan sosial dan fisik, narkoba, kekerasan, dan kemajuan ipteks.[38]
Meskipun sangat bervariasi dalam menyatakan tujuan pendidikan kecakapan hidup, namun dari pernyataan tersebut, konvergensinya sudah begitu jelas bahwa tujuan utama pendidikan kecakapan hidup adalah menyiapkan peserta didik agar yang bersangkutan mampu, sanggup, dan terampil menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya di masa datang, serta esensi dari pendidikan kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik preservatif maupun progresif. 

2. Manfaat pendidikan kecakapan hidup
Secara umum manfaat pedidikan berorientasi kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problem hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyrakat, maupun sebagai sebagai warga Negara.[39]
Lebih jauh lagi Slamet PH memberikan diskripsi tentang memfaat dari pendidikan yang berorientasi kepada kecakapan hidup sebagai berikut.  Pertama, peserta didik memiliki aset kualitas batiniyah, sikap, dan perbuatan lahiriyah yang siap untuk menghadapi kehidupan masa depan sehingga yang bersangkutan mampu dan sanggup menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.  Kedua, peserta didik memiliki wawasan luas tentang pengembangan karir dalam dunia kerja yang sarat perubahan yaitu yang mampu memilih, memasuki, bersaing, dan maju dalam karir.  Ketiga, peserta didik memiliki kemampuan berlatih untuk hidup dengan cara yang benar, yang memungkinan peserta didik berlatih tanpa bimbingan lagi.  Keempat, peserta didik memiliki tingkat kemandirian, keterbukaan, kerjasama, dan akuntabilitas yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dan perkembangannya.  Kelima, peserta didik memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup yang dihadapi.[40]
Dari berbagi rumusuan di atas, baik yang dideskripsikan oleh Tim Broad Based Education Depdiknas maupun dari Slamet Ph, esensi dari  Pendidikan kecakapan hidup, mampu memberikan manfaat pribadi peserta didik dan manfaat sosial bagi masyarakat.  Bagi peserta didik, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kualitas berpikir, kualitas kalbu, dan kualitas fisik.  Peningkatan kualitas tersebut pada gilirannya akan dapat meningkatkan pilihan-pilihan dalam kehidupan individu, misalnya karir, penghasilan, pengaruh, prestise, kesehatan jasmani dan rohani, peluang, pengembangan diri, kemampuan kompetitif, dan kesejahteraan pribadi.  Bagi masyarakat, pendidikan kecakapan hidup dapat meningkatkan kehidupan yang maju dan madani dengan indikator-indikator yang ada: peningkatan kesejahteraan sosial, pengurangan perilaku destruksif sehingga dapat mereduksi masalah-masalah sosial, dan pengembangan masyarakat yang secara harmonis mampu memadukan nilai-nilai religi, teori, solidaritas, ekonomi, kuasa dan seni.
Pendidikan kecakapan hidup memang bukan sesuatu yang baru.  Yang benar-benar baru adalah bahwa kita mulai sadar dan berfikir bahwa relevansi antara pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata perlu ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya.  Karena itu, yang diperlukan adalah membawa sekolah sebagai bagian dari masyarakat dan bukannya menempatkan sekolah sebagai sesuatu yang berada di masyarakat.  Pendidikan harus merefleksikan nilai-nilai kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat preservatif dan progresif.  Sekolah harus menyatu dengan nilai-nilai kehidupan nyata yang ada di lingkungannya dan mendidik peserta didik sesuai dengan tuntutan nilai-nilai kehidupan yang sedang berlaku.  Ini menuntut proses belajar mengajar dan masukan instrumental sekolah seperti misalnya kurikulum, guru, metodologi pembelajaran, alat bantu pendidikan, dan evaluasi pembelajaran benar-benar realistik, kontekstual, dan bukannya artifisial.
Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan pada lapangan pekerjaan yang sudah ada, sebagai akibat dari banyaknya pengangguran, dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap. 

D. Pola Pelaksanaan Pendidikan Kecakapan Hidup
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang demikian pesat mengakibatkan inovasi pengetahuan begitu melimpah. Perubahan yang sangat mendalam dan pesat, mengharuskan manusia belajar hidup dengan perubahan terus menerus, dengan ketidak pastian, dan dengan unpredicatability (ketidak mampuan untuk memeperhitungkan apa yang akan terjadi). Persoalan yang dihadapi oleh manusia dan kemanusiaan tersebut tak pelak juga melibatkan persoalan pendidikan didalamnya, yaitu sejauh mana pendidikan mampu berperan mengantisipasi dan mengatasi persoalan itu. Persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan terus digambarkan oleh John Vaizey dengan mengatakan bahwa setiap orang yang pernah menghadiri konferensi internasional ditahun-tahun terakhir pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan yang memenuhi agenda. Makin lama makin jelas bahwa organisasi-organisasi internasional itu mencerminkan apa yang terjadi disemua Negara didunia. Hampir tidak ada satu Negara pun dewasa ini dimana pendidikan tidak merupakan topik utama yang diperdebatkan.[41]
Diantara tanggungjawab lembaga pendidikan adalah membina siswa supaya berani berdiri sendiri dan berusaha sendiri; maka kemampuan secara mandiri dan kritis (independent critical thinking) yang menjadi landasan mutlak untuk semuanya ini tidak hanya memerlukan kebebasan akademis, tetapi juga kebudayaan akademis yang merangsang berfikir mandiri dan kritis. Oleh karena itu pendidikan memegang kedudukan sentral dalam proses pembangunan dan kemajuan dalam menanggapi tantangan masa depan. Hal itu membawa konsekwensi dalam bidang pendidikan, pendidikan tidak lagi dapat mengharapkan peserta didik untuk mempelajari seluruh pengetahuan, karaena itu harus dipilih bagian-bagian esensial yang menjadi pondasinya.
Disamping kecakapan hidup secara umum, kiranya perlu dikembangkan pada kemampuan belajar bagaimana cara belajar (learning how tolearn) dengan harapan dapat digunakan untuk belajar sendiri, jika seseorang ingin mengembangkan diri dikemudian hari. Pengetahuan itulah yang mendasari konsep pendidikan kecakapan hidup, disamping itu pendidikan harus mendasarkan pada kebutuhan masyarakat secara luas dengan menekankan pada penguasaan kecakapan hidup generik sebagai fondasi pengembangan diri lebih lanjut, serta menggunakan prinsip menejemen berbasis sekolah sebagai pelaksana penerapan menejemen pendidikan kecakapan hidup, pendidikan kontektual (contextual teaching and learning) serta pembelajarannya menggunakan empat pilar pendidikan yang dicanangkan oleh UNISCO.[42]

1. Penerapan  Menejemen Sekolah.
            Menejemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematis dan koprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sementara menejemen berbasis sekolah sebagaimana yang diungkapkan oleh E. Mulyasa adalah pemberian otonomi luas pada tingkat sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta lebih tangap terhadap kebutuhan setempat.[43]
            Penerapan menejemen dalam pendidikan sangat penting, karena pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia, bahkan merupakan salah satu dinamisator pembangunan itu sendiri, sehingga dapat dikatakan menejemen pendidikan merupakan sub sistem dari menejemen pembangunan nasional.[44] 
            Berdasarkan atas apa yang tercakup dalam pengertian menejemen berbasis sekolah, nampak bahwa menejemen berbasis sekolah itu meliputi berbagai aspek yang sangat luas sekali, dalam hal ini seluruh komponen-komponen sekolah itu sendiri:

a. Menejemen kurikulum dan program pengajaran.
Pengembangan kurikulum biar efektif dan program pengajaran dapat terjamin, maka kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru-guru harus menjabarkan isi kurikulum secara jelas dan terperinci dengan memperhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:
1)      Tujuan yang dikehendaki harus jelas, makin oprasional tujuan yang dirumuskan, maka makin mudah terlihat dan makin tepat program-program yang dikembangkan untuk mencapai tujuan.
2)      Program harus sederhana dan fleksibel
3)      Program-program yang disusun dan dikembangkan harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
4)      Program yang dikembangkan harus menyeluruh dan harus jelas pencapaiannya.
5)      Harus ada koordinasi antar komponen pelaksana program di sekolah.[45]
Jadi yang dimaksud dengan menejemen kurikulum dan program pengajaran dalam menejemen berbasis sekolah adalah kewenangan sekolah untuk meminej, mengelola kurikulum dan program pengajaran untuk disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan sekolah.

b. Menejemen tenaga kependidikan
            Menejemen tenaga kependidikan atau menejemen personalia pendidikan bertujuan untuk mendayagunakan tenaga kependidikan secara efektif dan efesien untuk mencapai hasil yang optimal. Menejemen personalia dilaksanakan oleh seorang menejer agar kinerja mereka dapat dipertahankan dan semakin meningkat.
            Kualitas program pendidikan tidak hanya tergantung pada konsep-konsep yang cerdas, akan tetapi juga pada personil pengajar yang mempunyai keinginan dan kesanggupan untuk berprestasi. Menejemen tenaga kependidikan mencakup: (1) perencanaan pegawai (2) pengadaan pegawai (3) pembinaan dan pengembangan pegawai, (4) konpensasi, dan (5) penilaian pegawai.[46]
            Dalam kaitannya dengan menejemen tenaga kependidikan tugas kepala sekolah sebagi top menejer di sekolah bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena selain dia mengusahakan tercapainya tujuan sekolah tetapi sesorang kepala sekolah juga harus memikirkan tujuan tenaga kependidikan secara pribadi. Oleh karena itu kepala sekolah dituntut untuk mengerjakan instrumen pengelolaan tenaga kependidikan untuk membantu terlaksananya menejemen berbasis sekolah yang dipimpinnya.
c. Menejemen Kesiswaan 
Menejemen kesiswaan adalah penataan dan pengaturan terhadap kegiatan yang berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai keluarnya peserta didik dari sekolah.[47]
            Dalam pelaksanaan menjemen kesiswaan sebagai kepala sekolah setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu menerima siswa baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin, atau dalam pengelolaannya tanggung jawab kepala sekolah dapat dijabarkan sebagai berikut:
1)      Kehadiran murid di sekolah dan masalah-masalah yang berhubungan dengan itu;
2)      Penerimaan, orientasi, klasifikasi, dan penunjukan murid kekelas dan program studi;
3)      Evaluasi dan pelaporan kemajuan belajar;
4)      Program supervisi bagai murid yang mempunyai kelainan, seperti pengajaran, perbaikan dan pengajaran luar biasa;
5)      Pengendalian disiplin murid;
6)      Program bimbingan dan penyuluhan;
7)      Program kesehatan dan keamana;
8)      Penyesuaian pribadi, sosial, dan emosional.
Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan tidak hanya bertanggung jawab memberikan ilmu pengetahuan kepada para siswanya, akan tetapi juga bertanggung jawab dalam pemberian bimbingan dan bantuan terhadap peserta didik yang mempunyai permasalahan sehingga siswa dapat berkembang secara optimal sesuai dengan bakat masing-masing.

d. Menejemen keuangan
            komponen keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan salah satu komponen produksi yang menentukan kesuksesan dalam pelaksanaan kegiatan bejalar mengajar. Oleh karna itu dalam menejemen keuangan haruslah memperhatikan komponen utama menejemen, meliputi: (1) prosedur anggaran (2) prosedur akuntansi keuangan (3) pembelajaran, pergudangan, dan prosedur pendistribusian, (4) prosedur investasi, (5) prosedur pemeriksan.[48]

e. Menejemen Sarana dan Prasarana
Pelaksanaan menejemen sarana dan prasarana yang baik di sekolah yaitu yang menciptakan sekolah yang bersih, rapi, dan indah sehingga menciptakan situasi dan kondisi yang menyenangkan bagi warga sekolah. Selain itu dengan tersedianya perlengkapan dan  fasilitas belajar yang memadai di sekolah diharapkan akan semakin meningkatkan semangat dan kualitas pendidikan di sekolah. Karena menejemen sarana dan prasarana pendidikan dapat memberikan konstribusi secara optimal pada jalannya proses belajar mengajar.[49]     
f. Menejemen hubungan sekolah dengan masyarakat.
            Hubungan sekolah dengan masyarakat ini pada hakekatnya adalah suatu sarana yang cukup mempunyai peranan yang menentukan dalam rangka usaha dalam pembinaan pertumbuhan dan perkembangan siswa di sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan antara lain untuk (1) memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat, (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.[50]                 

g. Menejemen layanan khusus
            Layanan khusus ini diberikan sekolah kepada para siswanya dengan tujuan agar dengan tersedianya beberapa layanan ini akan menambah semangat dan mutivasi belajar yang pada akhirnya akan semakin meningkatkan prestasi belajarnya.
            Jadi yang dimaksud menejemen layana khusus adalah kewenangan sekolah untuk memberikan berbagai layanan khusus kepada siswanya untuk menambah semangat dan mutivasi belajar siswa dalam meningkatkan prestasi belajar.
            Dalam sistem otonomi pendidikan, dimana dalam penerapannya menggunakan menejemen berbasis sekolah, pendidikan tidak dikendalikan secara hirarkis vertikal oleh pejabat, akan tetapi lebih menggunakan paradigma heterarkis dengan pengendalian oleh "dewan pengedali" yang unsur-unsurnya dapat terdiri dari jenis, (1). kepala sekolah, (2). unsur guru, (3) unsur siswa, (4) unsur orang tua, (5) unsur masyarakat, (6) unsur lain yang dianggap perlu.
            Dewan pengendali bertugas merumuskan (1). apa yang dibutuhkan siswa (2) apa yang dibutuhkan orang tua dan masyarakat (3) apa yang dibutuhkan oleh sekolah dijenjang atasnya, serta kebutuhan yang dianggap perlu.[51]

2. Pola Pembelajaran dalam Pendidikan Life Skill
Untuk mengantisipasi tantangan global, Departemen Pendidikan Nasional telah menyusun konsep bertajuk Pendidikan Berbasis Kecakapan Hidup (Life-Skill Based Education). Di satu sisi, konsep ini diperlukan untuk menyongsong kecenderungan global dan membekali siswa dengan berbagai keterampilan sesuai program pengembangan di daerah-daerah kabupaten, maupun untuk memperluas kompetensi siswa yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi, dalam implementasinya harus dalam kerangka pendidikan semesta yang menghasilkan keterampilan belajar (learning to learn) terus menerus.
Dalam proses pembelajaran, paling tidak siswa memerlukan empat pilar yakni pengetahuan, keterampilan, kemandirian, dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dan bekerjasama.  Hal ini sejalan dengan penegasan UNESCO dalam konverensi tahunannya di Melbourne yang menekankan perlunya Masyarakat Belajar yang berbasis pada empat kemampuan yakni: (a) belajar untuk mengetahui, (b) belajar untuk dapat melakukan, (c) belajar untuk dapat mandiri, dan (d) belajar untuk dapat bekerjasama.
Empat kemampuan tersebut di atas merupakan pilar-pilar belajar yang akan menjadi acuan bagi sekolah dalam menyelenggarakan kegiatan belajar-membelajarkan yang akan bermuara pada hasil belajar aktual yang diperlukan dalam kehidupan manusia.
Dalam proses Pembelajarannya, pendidikan kecakapan hidup menggunakan model pembelajaran kontekstual (Contextual teaching and learning). Dalam pendidikan dikelas, penerapan pembelajaran konstektual muncul dalam lima langkah pembelajaran:
a.  Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, dalam artian guru perlu mengetahui Prior knowledge siswa, karena struktur-struktur pengetahuan awal pengetahuan yang sudah dimiliki akan menjadi sentuhan dasar untuk mempelajari informasi baru. Struktur-struktur tersebut perlu dibangkitkan sebelum informasi baru diberikan.
b. Pemerolehan pengetahuan baru, artinya pemerolehan pengetahuan perlu dilakukan secara keseluruhan, tidak dalam paket-paket yang terpisah.
c.  Pemahaman pengetahuan, dalam memahami pengetahuan siswa perlu menyelidiki  dan menguji semua hal yang memungkinkan dari pengetahuan baru, dengan melalaui tahapan (1). Konsep sementara (2). Melakukan sering kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) (3). Konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. (4). Menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh (5). Melakukan releksi.[52]
       Sekolah sebagai agen perubahan dan tempat berkembagnya aspek intelektual (head-on), moral (heart-on) dan keterampilan (hand-on) tidak dapat direduksi hanya untuk salah satu tujuan belajar saja.  Sekolah akan kehilangan makna jika menekankan  pada salah satunya dengan mengabaikan yang lain, karena tujuan awal diadakannya sekolah ialah untuk membekali siswa dengan berbagai aspek intelektual dan emosional yang fundamental sehingga ia cerdas, bermoral dan terampil.[53]
Pembelajaran kontekstual dirasa sebagai salah satu kebutuhan mendasar bagi negara maju dalam menyongsong era global sebagaimana penegasan Goh Chok Tong, P.M. Singapore,  pada The Singapore Expo (2001), bahwa kurikulum harus lebih menekankan pada kemampuan berpikir kreatif dan kritis serta pemecahan masalah.  Kemampuan ini dapat tumbuh jika siswa menghargai keterkaitan antar disiplin ilmu, menggunakan prosedur pemecahan masalah dan keterampilan berkomunikasi serta mau bekerja dalam kelompok kerja.  Dorongan terhadap siswa untuk menghargai berbagai disiplin, tertib prosedur, serta berbagai aspek lain yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi dengan sesamanya menunjukan bahwa siswa perlu memiliki berbagai keterampilan yang kompleks.[54]
Dalam pelaksanaannya pembelajaran kontekstual menempatkan siswa di dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peranan guru. Sehubungan dengan itu maka pendekatan pengajaran kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagaimana berikut:
a.      Belajar berbasis masalah (problem-based learning) yaitu suatu pendekatan pengajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pegumpulan informasi yang berkaitan dengan pertanyaan, mensintesis, dan mempresentasikan penemuannya kepada orang lain.
b.      Pengajaran autentik (authentic instruction)  yaitu pendekatan pengajaran yang memperkenalkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna, ia mengembangkan keterampilan berfikir dan pemecahan masalah yang penting dalam kehidupan nyata.
c.      Belajar berbasis inquiri (inquri-based learning) yang menumbuhkan strategi pengajaran yang mengikuti metodelogi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
d.     Belajar berbasis proyek/tugas (project-based learning) yang membutuhkan suatu pendekatan pegajaran kompherensip dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah authentik termasuk pendalaman meteri dari suatu topik mata pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dan mengkonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengkulminasikan dalam prodek nyata.
e.      Belajar berbasis kerja (work-based learning) yang memerlukan suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali ditempat kerja. Jadi dalam hal ini, tempat kerja atau sejenisnya dan berbagi aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
f.       Belajar berbasis jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengkombinasikan jasa layanan masyarakat dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut, jadi penekanannya hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembelajaran akademis.
g.      Belajar kooperatif (cooperative lerning) yang memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.[55]
Pembelajaran kontekstual tidak hanya menuntut siswa untuk mengikuti pengajaran dengan konteks lingkungan mereka sendiri, dalam artian pembelajaran kontekstual menuntut siswa mengeksplorasi makna konteks itu sendiri, tujuannya untuk menyadarkan siswa bahwa mereka memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk mempengaruhi dan membentuk susunan konteks yang beragam, mulai keluarga, ruang kelas, kelompok, tempat kerja, komunitas. sehingga dengan demikian pembelajaran akan lebih bermakna.
      Untuk menampung siswa putus sekolah serta tamatan SLTP dan sekolah menengah yang tidak melanjutkan, maka dapat dikembangkan suatu lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) yang mampu membekali mereka dengan kecakapan vokasional yang disebut dengan (Community College).
      Community college merupakan tempat atau wadah dimana para peserta didik dapat mengikuti diklat kompetensi dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Dengan kata lain community college dapat disebut Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan Terpadu (PPKT).[56] Sehingga dengan terbentukanya Community college yang terkoordinir dan menejemen maka akan menghasilkan tamatan yang kompeten sesuai dengn tuntutan pasar kerja dan kebutuhan masyarakat sekitar.           





[1] Tim Broad Based Education Depdiknas, Kecakapan Hidup Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas, SIC, Surabaya, 2002, hlm. 14.
[2] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 1-2.
[3]Ibid, hlm. 2-3.
[4] Munzir Hitami, Mengonsep Kembali Pendidikan Islam, Infinite Press, Riau, 2004, hlm. 1.
[5] Tim Broad Based Education Depdiknas.op.cit., hlm. 14-15.
[6]Paul Suparno, dkk, Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Kanisius, 2000, hlm. 15.
[7] Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Konstektual Dalam Penerapannya Dalam KBK, Universitas Negeri Malang, Malang 2004, hlm. 33.
[8]Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 15.

[9]Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, Pembelajaran Konstektual Dalam Penerapannya Dalam KBK, Universitas Negeri Malang, Malang, 2004, hlm. 33.
[10]Paul Suparno, dkk. Op.cit., hlm. 16. 
[11]Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 33. 
[12] Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 16. 
[13]Ibid, hlm. 16.  
[14]Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 34.
[15]Paul Suparno, dkk, op.cit., hlm. 17.  
[16]Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 34. 
[17]Ibid, hlm. 36-39.
[18] Slamet PH, Pendidikan Kecakapan Hidup: Konsep Dasar, (http//www. Depdiknas.go.id/jurnal/37/pendidikan-kecakapan-hidup.htm).
[19] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 8. 
[20]Ibid, hlm. 15.   
[21] Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, Citra Umbara, Bandung, 2003, hlm. 3.
[22]Ibid, hlm. 7-8.
[23] Ibid, hlm. 35.
[24] Ibid, hlm. 36.
[25]Ibid, hlm. 37.

[26] Slamet PH., op.cit.
[27]Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 9.   
[28]Ibid, hlm. 10.    
[29] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa, Bandung, 2003, hlm. 157.
[30]  Tekad Wahyono. Program Keterampilan Hidup (Life Skill Program) Untuk Meningkatkan Kematangan Vokasional Siswa,  ANIMA Indonesian Psychological Journal, 2002, Vol. 17, No 4, hlm. 387.
[31] Tim Broad Based Education Depdiknas. Op.cit., hlm. 10-12.    
[32] Tekad Wahyono, op.cit., hlm.389.
[33]Muhaimin,  Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, Nuansa, Bandung, 2003, hlm.159-163.
[34] Slamet PH., op.cit.
[37]Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 7-8.
[38] Slamet PH., op.cit.
[39] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 8.

[40]Slamet PH.op.cit.
[41] Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif, Safiria Insania Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 2-3.
[42] Tim Broad Based Education Depdiknas, Pola Pelaksanaan  Pendidikan Kecakapan Hidup, SIC, Surabaya, 2003, hlm. 3.
[43] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003, hlm. 19.
[44] H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, PT. Remaja Sosdakarya, Bandung, 199, hlm. 2-3.
[45]E. Mulyasa. op.cit., hlm. 41.
[46] Ibid, hlm. 42.
[47] Ibid, hlm. 45.
[48] Ibid, hlm. 49.
[49] Ibid, hlm. 50.
[50] Ibid, hlm. 50.
[51] Djohar, Pendidikan Strategik: Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, LEFSI, 2003, hlm. 146.
[52]Nurhadi, Agus Gerrad senduk. op.cit., hlm. 39-40.
[53]Dwi Nogroho Hidayanto, Belajar Keterampilan Berbasis Keterampilan Belajar, (http//www. Depdiknas.go.id/jurnal/37/belajar-berbasis-keterampilan-belajar .htm).

[55] Nurhadi, Agus Gerrad Senduk, op.cit., hlm. 19-20.
[56] Tim Broad Based Education Depdiknas, op.cit., hlm. 34-35.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar