Pendahuluan
Dalam suatu diskusi dengan topik hujan buatan, yang
dihadiri oleh beberapa mahasiswa aktivis kampus, seorang peserta diskusi
melontarkan pandangannya tentang hukum hujan buatan menurut syariat Islam. Dalam pandangan sang mahasiswa tadi, yang
kebetulan jebolan pesantren kenamaan di Jawa, hujan buatan itu hukumnya haram,
karena mendahului kehendak Tuhan, yang berkuasa menurunkan hujan. Pada
kesempatan lain, seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa mempelajari
hukum positif seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi,
haram hukumnya menurut ajaran Islam.
Dalam pandangan sang kyai, hukum yang boleh dipelajari hanyalah hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kedua ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya
pemahaman sebagian umat Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang hingga kini. Bahkan seolah
memberi kesan bahwa ada sebagian umat Islam yang masih anti ilmu pengetahuan
dan teknologi, dan lebih menyenangi hidup konservatif seperti zaman dahulu. Walaupun
kadang-kadang pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak konsisten. Sebagai
contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan sendok dan garpu pada
saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah
SAW. Namun anehnya, mereka kemana-mana
tidak berjalan kaki atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah, melainkan
naik motor atau mobil, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan
sejarah peradaban umat manusia, maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi
semua peradaban di dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah
menimbulkan korban pada berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda
dengan keyakinan agama yang berkembang saat itu. Dalam Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan
menjadi korban, oleh karena
memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam
pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan
tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.
Sejarah telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif
terhadap pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam
masa-masa kegelapan. Sejarah Islam telah
mencatat bahwa masa keemas-an Islam (The Golden Age of Islam) terjadi
pada masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang sangat terbuka terhadap
perkembangan berbagai pemikiran baru.
Bersamaan dengan dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami
kemunduran, hingga terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat.
Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu
penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti
Jamaluddin al Afghani dan Muhammad
Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan membuka
diri kepada munculnya ide-ide baru.
Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut
ini akan dipaparkan bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya
dahulu terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk
meluruskan pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Istilah filsafat
mulai dikenal pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo
yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran. Jadi orang yang mempelajari filsafat adalah
orang yang cinta kebenaran. Untuk
mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan. Orang yang mengetahui
sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut
menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu
benar menurut orang lain. Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu
adalah bagian dari pengetahuan.
Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara
menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu
bermain musik atau ilmu melukis. Oleh
karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni. Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan
tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan
memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut
telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah
menjadi urusan agama.
Filsafat adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai disiplin ilmu
yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal
dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya
bernama filsafat moral (moral philosophy). Durant, mengibaratkan filsafat sebagai
pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan
infanteri.
Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Ilmulah yang
membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi
pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf
peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit
dan sektoral. Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur
etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi
hajat hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih
menyandarkan dirinya pada norma filsafat.
Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan
dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai
dengan tabiat alam apa adanya. Pada
tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan
deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang
dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.
Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan
pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu : tahap religius, metafisik dan
positif. Pada tahap pertama postulat
ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi)
dari ajaran agama. Pada tahap kedua
postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai
eksistenis obyek yang ditelaah. Pada
tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang
digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.
Sumbangan
Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat dari filosof
Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 –
524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah
belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama
Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat
Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan
oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang
dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya
kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan di Eropah,, maka John Salisbury, seorang guru besar filsasat di
Universitas Paris, tidak akan menyalin
kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa
Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali
belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 –
400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 –
457 SM). Setelah itu diteruskan oleh
muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak
mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab
filsafat karangan Plato dan Aristoteles.
Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah,
Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke
dalam Bahasa Arab.
Sejarawan menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama
yang mempelajari filsafat. Ibnu
Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam
filsafat alam (natural philosophy).
Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai
penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam
Bahasa Arab. Disamping sebagai
penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah. Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul
makalah yang ditulis Al-Kindi dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai
lagi, karena raib entah kemana. Nama
Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan. Bukunya yang telah
disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi
uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron
dan Ptolemeus. Salah satu orang yang
sangat kagum pada berbagai tulisannya adalah filosof kenamaan Roger Bacon.
Beberapa kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah
seorang filosof sejati. Dr. Ibrahim
Madzkour, seorang sarjana filsafat
lulusan Peran-cis yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih tepat
dika-tegorikan sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi dan
astronomi) daripada seorang filosof.
Hanya saja karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan
Aristoteles kedalam Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama
kali memperkenalkan filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.
Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan
Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan
tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat
dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa
waktu dan benda adalah kekal. Dan
untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan
matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula
dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari
wujud, serta pendapat Plato yang
menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan. Menurut Al-Kindi alam semesta ini
merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada).
Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga
bukan merupakan sebab wujud.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan
yang terus mengembangkan filsafat.
Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan
mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories,
Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi
kedalam Bahasa Arab. Al-Farabi telah
membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun
induktif. Disamping itu beliau dianggap
sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang
telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras.
Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang
gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai
adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan. Al-Farabi telah memberikan
definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada
zamannya. Al-Farabi mengklasifikasi ilmu
kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika,
metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa,
gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam :
ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca
dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai
dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam beberapa bagian yaitu : aritmatika,
geometri, astronomi, musik, hizab (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan
tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.Politik dikatakan
sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari
bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang
berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan
untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.
Ilmu
agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin
untuk konsumsi Bangsa Eropa dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan
kedalam Bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti
ilmu kimia, optik dan geologi.
Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna.
Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair.
Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya
yang termasyhur Canon fi al-Tib, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini kemudian menjadi buku teks (text
book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di
Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah
menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat
suatu obat. Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat
tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan
kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh
Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka
bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika,
fisika dan De Anima. Ibnu Sina
membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang bersifat
praktis. Bagian yang bersifat teoritis meliputi:
matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi
: politik dan etika.
Dalam hal logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan
para filosof Islam lainnyanya seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd,
yang beranggapan bahwa logika adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan
dalam syairnya.
Perlulah manusia mempunyai alat
Pelindung akal dari yang palsu
Imu logika namanya alat
Alat pencapai semua ilmu
Berbeda dengan
filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu
Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol).
Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace)
dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu bajah dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme
Aristoteles. Menurut Ibnu Tufail,
manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan
petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan
dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy
yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat
menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal
yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu. Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi
sahabat.
Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol
meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul
Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu
Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles,
yaitu : komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam
tiga bahasa: Arab, Latin dan Yahudi.
Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite
karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir.
Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister
Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu
Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan
jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh
oleh ahli agama, telah memancing kemarahan
pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula
(First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat
menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang
tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd
dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya
karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian
digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas
di Eropah pada Zaman Renaisance.
Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan
seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai
kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf
(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali
ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut
(The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd
telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan
Islam. Hoesin menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu
Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh
maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri
yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan
berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropa
mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan
karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina
dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa
kebudayaan bangsa-bangsa Eropa. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara
lain dilakukan di Toledo, ketika Raymond menjadi uskup Besar Kristen di Toledo
pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar
sampai ke Italia. Dante menulis Divina
Comedia setelah terinspirasi oleh Hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad
SAW. Universitas Paris menggunakan buku
teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam
Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam,
berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman
kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan
dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun
1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor
terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham
pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya. Kalangan yang
menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas,
Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka
yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak
lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
Penutup
Uraian diatas menunjukkan kepada kita betapa besar
sumbangan peradaban Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan,
yang kita kenal sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kecenderungan
untuk menafikan pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan. Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene Sedillot, yang
menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban umat manusia,
hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal
tanah pun ditanami.
Semangat mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir
Yunani dan hampir padam oleh karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali
dalam kebudayaan Islam. Wells menyatakan
bahwa jika orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah
Bapak Angkat Metode Ilmiah. Metode Ilmiah diperkenalkan ke dunia barat
oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya dimantapkan sebagai paradigma
ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).
Semangat para filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan tidak lepas dari semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para
pemeluknya belajar segala hal, sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana
perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Mengenai pertentangan yang terjadi antara kaum filosof
dengan kaum tasawuf, mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari
kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat
dihindari, bilamana kedua belah pihak
menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca
otak) dan hati/kalbu. Kedua potensi itu
bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah
satu potensi lebih berkembang daripada lainnya.
Orang yang sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang
menggunakan akalnya itu untuk memecahkan sesuatu. Orang demikian ini lebih senang melakukan
olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran sejati dan sangat
berbakat menjadi pemikir atau filosof. Sementara itu orang yang sangat
berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang mengeksplorasi perasaannya
untuk memecahkan suatu masalah. Orang
demikian ini amat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio, untuk menemukan
kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi seniman atau ahli tasawuf.
Oleh karena itu seharusnya tidak perlu terjadi pertentangan
antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya adalah anugerah tuhan
yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur. Seharusnya filosof dan ahli
tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi diantara
keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang
telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.
Daftar
Pustaka
Hoesin, O.A., Filsafat
Islam. Penerbit Bulan Bintang,
Djakarta, 1961.
Suriasumantri, J.S. Filsafat
ilmu, sebuah pengantar populer, cetakan ke-15. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002.
Wells, H.G., The out line of history, (Cassel and
Company, London, 1951), 34.
O.A. Hoesin,
Filsafat Islam. Penerbit Bulan
Bintang, Djakarta, 1961, 23.
O.A. Hoesin, Filsafat
Islam, (Penerbit Bulan Bintang, Djakarta, 1961), 87.
J.S. Suriasumantri,
Filsafat ilmu, sebuah pengantar populer, cetakan ke-15.(Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2002), 46.