A. PENDAHULUAN
Gema Martin menjelaskan, persaingan hegemoni politik dan ekonomi antara
dunia Barat-Kristen abad pertengahan dan kekaisaran Arab-Isla>m ditafsirkan sebagai sebuah
konfrontasi antar peradaban, yang menyebabkan kesadaran barat memahami Isla>m dengan permusuhan dan
ketidak percayaan.[1]
Benturan kebudayaan dewasa ini diakibatkan oleh kesalahpahaman tersebut. Teori
ini memberikan sebuah penafsiran terhadap sejarah berdasarkan konfrontasi dan
sebuah konsepsi etnosentris terhadap saling menghargai di antara berbagai
kebudayaan.
Ketersinggungan kebudayaan ini, berdasarkan realitas historis, tidak bisa
dinafikan. Ia terus bergulir sepanjang sejarah peradaban manusia. Keilmuan Isla>m yang muncul dan berkembang
sehingga mencapai puncak keemasannya pada masa Abba>siyah telah memberikan kontribusi berharga bagi
peradaban Eropa.
Asumsi ini bisa disesuaikan dengan pandangan barat-Kristen, yaitu
Orientalisme yang dianggap telah menjadi awal eksistensi formalnya dengan
keputusan Dewan Gereja Wina pada tahun 1312 M. untuk mengajarkan bahasa Arab,
Yunani, Ibrani, dan Syria di Paris, Oxford dan sebagainya.[2] Dengan
demikian, bisa dipahami bahwa obyek kajian mereka bukan hanya pada sisi ide
lapangan kajian itu sendiri, yang dilandaskan pada unit geografis, budaya,
linguistik dan etnik yang dinamakan “Timur”.
Dari kajian-kajian terhadap ilmu yang merupakan karya orang Arab-Isla>m itulah mereka mulai terbuka
mata melihat berbagai keilmuan. Pada akhirnya, keilmuan itu mereka pelajari
dengan penuh semangat dengan hasil yang cukup gemilang.
Kontribusi inilah yang akan menjadi kajian pada tulisan ini. Tetapi,
karena tema itu terlalu luas, maka kajian hanya difokuskan pada kontribusi yang
diberikan salah satu ilmuwan Muslim, yaitu Ibn Si>na> dengan berbagai karya
monumentalnya yang telah dijadikan rujukan sampai abad ke-17 kemarin. Ada
beberapa hal yang menjadi alasan pemilihan pemikiran Ibn Si>na> dalam tulisan ini, pertama, diantara
sekian pemikir Muslim abad pertengahan yang memiliki pengaruh besar terhadap
keilmuan dan peradaban Eropa adalah Ibn Si>na>. Ia merupakan ahli
kesehatan, spesialis medis[3] dan juga
ahli optik[4] muslim
terkemuka. Pengaruhnya yang besar masih bisa dirasakan sampai sekarang.
Karya-karyanya, seperti al-Qa>nu>n fi al-Thib menjadi
referensi utama di Universitas-universitas Eropa sampai abad modern ini.
Kedua, selama ini yang seringkali diangkat dan dibahas oleh
beberapa kalangan, termasuk umat Isla>m
sendiri, adalah karya dan pemikiran Ibn Rusyd (yang paling banyak), sedangkan
yang lainnya masih jarang, bahkan bisa dibilang tidak ada. Oleh karena itu,
penulis coba mengangkat pemikir yang jarang menjadi perhatian, tapi urgensitas
kontribusinya tidak kalah dengan pemikir yang lain. Bahkan bisa saja Ibn Si>na> adalah satu-satunya orang yang telah berjasa
banyak dalam bidang kedokteran modern, terutama dunia Eropa. Dengan dilatari
alasan tersebut penulis termotivasi untuk memilih Ibn Si>na>,
dengan harapan hal ini menjadi awal yang indah untuk selanjutnya menarik
penulis lainnya untuk meneliti.
B. PEMBAHASAN
1. Biografi
Ibn Si>na>
Nama lengkap Ibn Si>na> adalah Abu> Ali> al-Husayn bin Abdulla>h bin Si>na>[5] atau
yang secara umum dikenal dengan nama Ibn Si>na> atau Avicenna (bahasa latin)
yang terdistorsi dari bahasa Hebrew Aven Sina) adalah seorang ensiklopedis,
filosof, fisiologis, dokter, ahli matematika, astronomer dan sastrawan. Bahkan,
dibeberapa tempat ia lebih terkenal sebagai sastrawan daripada seorang filosof.
Dia adalah ilmuwan dan filosof muslim yang sangat terkenal dan salah seorang
ilmuwan dan filosof muslim yang terbesar sepanjang masa. Diakui oleh semua
orang bahwa pikirannya merepresentasikan puncak filsafat Arab. Dia dipanggil
oleh orang Arab dengan sebutan al-Syaikh al-Rai>s.[6]
Dia lahir di Afsana, Bukha>ra>, Transoxiana (Persia Utara).
Dia mengajar kedokteran dan filsafat di Isfahan, kemudian tinggal di Teheran.
Dia adalah seorang dokter ternama, dimana mulai abad ke-12 sampai abad ke-17
bukunya dalam bidang pengobatan, al-Qa>nu>n fi> al-Thibb, menjadi
rujukan di berbagai universitas Eropa.
Dia lebih menekankan pada rasionalitas dari pada keyakinan buta.
Disinilah Ibn Si>na> banyak mendapat serangan
dari kalangan muslim ortodoks. Bahkan, ia dituduh ateis.[7] Karena
itu, ia lebih dikenal di dunia Barat dan Timur. Pengaruhnya di Barat karena
buku-bukunya banyak diterjemahkan dalam bahasa Latin.
Ibn Si>na> menjadi sahabat dan orang
dekat raja Samanid[8]
dari Bukha>ra>, Nu>h ibn Mansu>r,
karena keahliannya dalam pengobatan. Ketika raja itu terbaring dalam keadaan
kritis di peraduannya, dan para tabib istana telah menyatakan tak sanggup
berbuat apa-apa, Ibn Si>na> yang masih berusia 17 tahun
dihadapkan ke kamar raja yang sedang sakit. Majelis orang-orang berpangkat, dokter-dokter
ahli, cerdik-cendikiawan, dan para bangsawan istana kagum dengan kemampuan Ibn
Si>na> tersebut. Dengan
keberhasilannya menyembuhkan raja itu, ia mendapat kehormatan dan martabat
tinggi di istana. Ia diberi hak istimewa menggunakan perpustakaan raja, yang
dipandang sebagai anugerah tertinggi untuk pekerjaannya yang besar itu.[9]
Sejak saat itulah ia semakin tekun membaca buku, dan menulis
pemikiran-pemikirannya. Buku pertamanya yang ditulis tentang masalah psikologi
dipersembahkan untuk raja, dengan judul Hadiyah al-Rai>s al-Ami>r.[10]
Didorong oleh tenaga luar biasa untuk menyerap dan menguasai ilmu
pengetahuan, ia dengan cepat menguasai bermacam-macam materi intelektual yang
terdapat di perpustakaan kerajaan. Dari sanalah ia mulai berkarya. Sehingga
muncul karya-karyanya yang monumental. “Saya pergi kesana,” tulis Ibn Si>na>, dan menemukan sejumlah kamar penuh dengan buku
dikemas di dalam peti. Saya kemudian membaca katalogus para pengarang purba
itu, dan mendapatkan semua yang saya inginkan. Saya banyak menemukan judul buku
yang tidak diketahui orang, juga buku-buku yang belum pernah saya lihat selama
ini,” katanya.[11]
Setelah ayahnya wafat, ia meninggalkan Bukha>ra>
karena gangguan politik, dan tiba di kota Gorgan yang tercatat dengan
kebudayaannya yang tinggi. Di Gorgia dia membuka praktek dokter, bergerak dalam
bidang pendidikan, dan menulis buku. Disinilah ia bertemu dengan sahabat karib
dan sekaligus muridnya, Abu>
Uaid Jawaz Jami. Merasa kekurangan perlindungan dan apresiasi terhadap karya
ilmiahnya, ia meninggalkan Gorgan dan pergi ke Rayy. Di sini ia diterima
penguasa Dalamite, Majdul Dawlah. Ia hanya tinggal sebentar di Rayy, kemudian
pindah ke Hamadan. Di Hamadan ia berdiam lebih lama, dan berhubungan baik
dengan penguasa Sahamsud Dawlah, yang telah disembuhkan Ibn Si>na> dari penyakit perutnya. Di tempat Ibn Si>na> menyelesaikan karya monumentalnya di bidang
kedokteran, al-Qa>nu>n fi> al-Tibb. Setelah itu ia
pindah ke Isfahan, dan meneruskan tugasnya menulis karya-karyanya yang lain.
Banyak bepergian dan menghabiskan tenaganya pada keasyikan politik dan
intelektual membuat kesehatannya menurun ia menderita sakit perut, dan berusaha
mengatasinya, tapi gagal. Sehingga akhirnya ia wafat pada tahun 1037 M, dalam
usia 57 tahun.[12]
Di antara karya di bidang filsafat Ibn Si>na> adalah al-Syifa>[13]
dan al-Naja>t.
Ia juga memiliki karya tentang etika. Ia menulis risalah tentang geometri, ilmu
hisa>b dan musik.
Ia mengemukakan beberapa hal baru dalam ilmu hisa>b dan menyangkal sejumlah teori yang dibuat oleh
Euclid. Ia menulis dua buku tentang zoologi dan botani selama perjalanan ke
Shaphur Khwast bersama pelindungnya, Alaud Dawlah. Selama perjalanan itu juga
ia mengarang kitab al-Naja>t.
Di Isfahan, ia menulis Danish Nami Alai, kita>b al-Insa>f, dan karya-karya
tentang kesusasteraan dan leksikografi. Ia dianggap sebagai bapak ilmu geologi,
mengingat bukunya yang tak ternilai perihal gunung, yang menjelaskan hal-ihwal
kerak bumi, dan menguraikan penyebab gempa secara ilmiah.[14]
2. Kontribusi
Ibn Si>na> Kepada Dunia Eropa
Negeri-negeri Eropa tersentak bangun oleh gaung para ilmuwan dan filosof
muslim yang mengkaji ilmu-ilmu di masjid Savilla, Cordoba, Granada, dan
lain-lainnya. Semangat yang dimiliki umat Isla>m
sangat tinggi. Sehingga wajar kemudian pada akhirnya mereka mencapai tingkat
keilmuan yang sangat tinggi. Sebagai implikasi langsung dari capaian itu, umat
Isla>m pada akhirnya
memiliki tingkat peradaban jauh diatas apa yang dicapai Eropa pada saat itu.
Semangat terus menggali dan mengkaji ilmu pengetahuan terus meningkat
apalagi pada saat pemerintahan bani>
Abba>siyah penghargaan
terhadap ilmuwan sangat tinggi. Para khali>fah
Abba>siyah cukup
apresiatif dengan para peneliti dan pengkaji ilmu. Selain itu, lembaga penerjemahan
dikalangan umat Isla>m
mulai menjamur. Dari kegiatan penerjemahan yang demikian umat Isla>m banyak mengambil sumber
keilmuan, terutama filsafat. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa abad.
Sehingga kegemilangan yang terjadi pada masyarakat muslim ini membuat bangsa
Eropa melirik dengan keberhasilan itu. Mereka ingin menimba banyak hal dari
orang-orang Isla>m.
Keinginan itu, benar-benar direalisasikan. Banyak orang Eropa
berbondong-bondong ke dunia Timur untuk belajar. Pelopor-pelopor barat yang belajar
di sekolah-sekolah kita sangat mengagumi ilmu-ilmu itu. Mereka menyimaknya
dalam suasana kebebasan yang tidak mereka alami di negeri asal mereka.
Pada saat para ilmuwan kita (Islam) berbicara dalam majelis-majelis
keilmuan dan karangan-karangan mereka mengenai peredaran bumi dan keadaannya
yang bulat, gerakan-gerakan bintang dan benda-benda langit, akal orang-orang
Eropa masih dipenuhi khurafat dan takha>yul tentang kenyataan-kenyataan ini. Oleh
karena itu, waktu itu di kalangan orang barat muncul gerakan penerjemah dari
bahasa Arab ke bahasa Latin, dan mulailah buku-buku para ilmuwan muslim
diajarkan di perguruan-perguruan tinggi barat.[15]
Buku-buku filsafat bahkan terus berlangsung penerjemahannya lebih banyak lagi.
Bangsa barat belum pernah mengenal filsafat-filsafat Yunani kuna, kecuali
melalui karangan dan terjemahan-terjemahan umat Isla>m. Sehingga pada abad XII di terjemahkanlah kitab
al-Qa>nu>n fi> al-Tibb karya Ibn Si>na> mengenai kedokteran.[16] Dari
sinilah orang barat mulai menekuni bidang keilmuan ini sehingga mereka mampu
mengembangkannya lebih jauh lagi dengan tingkaian keberhasilan sebagaimana yang
terlihat saat ini.
Keberhasilan itu, kalau mau jujur, akan ditemukan bahwa sumber pertama
kali adalah berdasarkan pada karya-karya orang Isla>m. Disini yang menjadi fokus perhatian adalah
Ibn Si>na> dengan karya-karyanya yang
telah nyata memberikan kontribusi besar kepada dunia barat. Walaupun seringkali
mereka berupaya menghindar dari realitas yang sebenarnya. Mereka tidak ingin
disebut sebagai pengambil keilmuan dengan implikasi pengagungan terhadap dunia
Isla>m. Karena selama
ini, yang diinginkan mereka tetap menempati posisi superior dalam segala hal.
Akhirnya, semua disiplin keilmuan yang ada dan berkembang saat ini merupakan
sesuatu yang muncul dari diri orang barat secara intenal.
Pandangan-pandangan tersebut terus dipertahankan oleh sebagian bangsa
barat secara subyektif. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan superioritas
mereka dimata dunia. Disamping itu, masih ada sebagian ilmuwan memandang secara
obyektif akan sumber referensi keilmuan yang ada saat ini. Mereka melihatnya
berdasarkan pada realitas historis yang terjadi.
Banyak orang barat yang secara jujur mengakui bahwa pada abad-abd
pertengahan, kita (kaum muslimi>n)
adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Hal
itu bisa dilihat pada masa kegelapan di daerah Eropa. Mereka benar-benar
tertidur dalam kebodohan. Ilmu pengetahuan hanya dimiliki oleh beberapa elit
agama (baca: gereja). Kalangan agamawan ini mempunyai otoritas tersendiri untuk
melakukan pengguliran wacana dalam segala hal. Sehingga, ia berimplikasi pada
terkontaminasinya ilmu pengetahuan oleh persoalan teologis. Tidak ada ilmu
pengetahuan yang secara bebas berbicara berdasarkan pada landasan pengetahuan
secara murni.
Kondisi itu berlangsung dalam beberapa abad. Seakan ilmu pengetahuan
tidak akan pernah lagi muncul sebagai pembuka mata umat manusia demi
terciptanya tatanan sosial yang lebih bermakna. Baru setelah Isla>m datang dan memberikan
tawaran-tawaran menarik untuk lebih aktif dan bebas dalam mengembangkan segala
apa yang menjadi milik diri (belonging). Gustave Lebon mengatakan bahwa
terjemahan buku-buku bangsa Arab (Isla>m)
terutama buku-buku keilmuan hampir menjadi sumber satu-satunya bagi pengajaran
di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu seperi ilmu
kedokteran masih berlanjut hingga sekarang. Buku-buku karangan Ibn Si>na> pada akhir abad yang lalu masih diajarkan di Montpellier.[17]
Sebagaimana Lebon, Humbold juga mengakui dengan jujur bagaimana Isla>m banyak memberikan sumbangan
terhadap peradaban barat. Ia mengatakan: “Bangsa Arablah yang menciptakan
apotek kimia. Dari merekalah datangnya wasiat-wasiat pertama yang sempurna yang
dianut oleh sekolah Salermo sehingga tersebar di Eropa Selatan beberapa lama
kemudian. Pengetahuan yang mereka peroleh sama sekali belum pernah dikenal oleh
bangsa Yunani.[18]
Ibn Si>na>, raksasa intelektual terbesar
dari abad pertengahan, dan salah seorang tokoh terbesar sepanjang zaman, adalah
jenius yang mahir dalam berbagai bidang yang memengaruhi berbagai jalan
pikiran. Ia seorang pembuat ensiklopedi terkemuka, dan memberikan sumbangan
abadi di dunia kedokteran, filsafat, logika, okultasi, matematika, astronomi,
musik, dan puisi. Ia seorang ahli filsafat rasional yang ulung, menemukan
pelbagai hal tak ternilai diberbagai cabang ilmu pengetahuan, merangsang banyak
penemuan di kemudian hari, dan menempatkan dirinya di antara bimasakti abadi
para ilmuwan ulung dan pemikir dunia. Ia menduduki tempat penting bagaikan
Ensiklopedi Universal.
Sumbangannya yang utama adalah di bidang pengobatan dan filsafat. Dia
menulis paling tidak delapan risalat ilmu kedokteran lengkap, yang menempati
kedudukan terkemuka dalam sejarah ilmu kedokteran abad pertengahan. Salah satu
risalah itu membicarakan penyakit usus, yang merupakan spesialisasinya. Risalat
lain memuat bab tentang kemungkinan gejala fisik yang luar biasa. Karya
raksasanya, al-Qa>nu>n fi> al-Tibb, merupakan
puncak dan mahakarya sistemtisasi Arab.
Dari abad ke-12 sampai abad ke-17, karya ini dipakai sebagai panduan
utama ilmu kedokteran di Barat, dan masih sering dipakai di dunia Timur yang
muslim. Dalam kata-kata DR. Osler, karya tersebut tetap merupakan “Kitab suci
ilmu kedokteran yang masa berlakunya lebih lama ketimbang karya
lain.”Kemasyhuran buku besar ini mungkin bisa diukur dari kenyataan bahwa selama
30 tahun terakhir abad ke-15, buku ini dicetak 16 kali, dan 20 kali pada abad
ke-16 dalam berbagai bahasa Eropa.[19]
Pengaruh pemikiran-pemikiran Ibn Si>na> masih dirasakan sampai saat
ini. Orang-orang Barat sadar bahwa pemikirannya banyak memberikan kontribusi
kepada tingkat peradaban yang dicapai Barat. Dari karya-karya yang telah
dihasilkan Ibn Si>na>, barat mengambil pelajaran
berbagai hal. Dengan jasa-jasa itulah orang-orang Barat, yang mau obyektif
mengakuinya, akan mengatakan bahwa Barat sebenarnya memang telah berhutang budi
kepada Isla>m (baca: Ibn
Si>na>). Sebagian penulis Eropa
yang mau melakukan introspeksi secara obyektif mengakui kehebatan dari
pemikiran dan karya Ibn Si>na>, “Mungkin belum ada karya
kedokteran yang begitu banyak dipelajari seperti buku ini. Pengaruh Ibn Si>na> terhadap pengobatan Eropa sangat besar.”
Sir Jadu Nath Sircar, sejarawan terkemuka India, mempersembahkan
puji-pujian kepada Ibn Si>na> dengan kata-kata: “Avicenna
memiliki kecerdasan intelektual terbesar sepanjang abad pertengahan. ”Avicenna
bertanggung jawab bagi terangkatnya ilmu kedokteran Isla>m sampai ke titik puncak, dan potret dirinya,
bersama al-Ra>zi>, tetap menghiasi Balai Agung
fakultas kedokteran Universitas Paris.
Karya filosofinya yang terkemuka ialah kitab al-Syifa> al-Naja>r dan Isha>ra>t. Bukunya, kita>b al-Syifa> yang mengandung
pengetahuan tak terhingga tentang logika, fisika, dan metafisika, mempunyai
pengaruh yang luas terhadap filsafat Barat dan Timur.
Ibn Si>na> melakukan klasifikasi ilmu
berdasarkan materialisme. Berbeda dengan yang dilakukan Aristoteles. Ia
mengakui kenyataan adanya “dunia luar”, dan menemukan hubungan antara waktu dan
gerak. Menurut dia, waktu hanya bisa dipahami bila dihubungkan dengan gerak.
Tidak ada gerak bila tidak ada waktu. Dia menyangkal teori Aristoteles, bahwa
sumber gerak adalah kekuatan yang tidak terlihat, yaitu Tuhan. Bagi Ibn Si>na> hukum alam sudah diciptakan untuk mengatur
dirinya sendiri.
Karya-karya Ibn Si>na> “banyak dibaca, dicatat dan
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat. Tulisannya memengaruhi seluruh
Eropa, walaupun ia sendiri tidak pernah beranjak dari kesunyian Asia tengah,
sampai ajal menjemputnnya.[20]
Ibn Si>na> adalah filosof dan dokter
dari Persia. Barangkali dialah filosof dan dokter di dunia Isla>m yang paling terkenal. Sumbangannya
untuk dunia Barat bisa dirasakan sampai saat ini. Pemikiran-pemikirannya banyak
dimanfaatkan bukan cuma orang-orang Isla>m
sendiri. Tapi juga non Muslim. Orang pertama yang mengetahui pentingnya upaya
Ibn Si>na>, dan kemungkinan pemanfaatan
pemikiran teologisnya untuk orang Kristen ialah pendeta Jerman, Alberta yang
Agung (w. 1280 M) dan muridnya sendiri, Thomas Aquinas yang digelari bapak
teologi dan peletak dasar ilmu ketuhanan di Katolik.[21] Hal ini
juga menjadi salah satu bukti bahwa keahlian Ibn Si>na>
tidak hanya pada bidang kedokteran saja. Ia juga menekuni disiplin keilmuan
yang lain. Dalam berbagai bidang yang ia geluti itu, ia berkarya. Sehingga,
karya-karyanya meliputi banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Hanya saja, Ibn Si>na>, mungkin lebih dikenal
dengan keahliannya dibidang kedokteran dan filsafat. Walaupun ia adalah seorang
pengarang besar, ia tetap dikenal sebagai tokoh dalam bidang kedokteran dan
filsafat. Kondisi ini, muncul sebagai implikasi langsung dari karya-karyanya
yang banyak dipakai generasi selanjutnya adalah bidang kedokteran, yaitu
terutama kita al-Qa>nu>n fi> al-Tibb dan al-Syifa>.[22] Dalam
karya dibidang kedokteran, memang masih dipengaruhi oleh pemikiran filsafat.
Pada saat itu, pemikiran filsafat, memang lagi berpengaruh besar terhadap pola
pikir umat manusia (orang-orang Arab). Sehingga, bukan sesuatu yang mustahil ia
pada akhirnya juga dikenal sebagai ahli filsafat.
Dalam bukunya al-Qa>nu>n, ia menyediakan beberapa
bab mengenai farmasi dan deskripsi yang berkaitan mengenai tanaman-tanaman yang
merupakan bahan obat-obatan, cara membuatnya menjadi obat-obatan dan
penggunaannya untuk pengobatan medis. Demikian juga dalam bukunya al-Syifa> ia menyediakan bagian
yang cukup besar untuk kajian-kajian botani dan zoologi, dimana ia menjelaskan
tentang berbagai macam tanaman, cara mereka menyerap makanannya, dan penyebaran
makanan tersebut ke bagian-bagiannya. Ibn Si>na> juga membahas pengaruh
lingkungan terhadap tanaman, dan cara tanaman membiak dan hidup. Ia juga
menjelaskan tentang ratusan hewan, burung-burung, binatang-binatang laut dan
darat, tentang tulang rawan, tulang belulang, urat darah halus, urat darah
besar, saraf, jaringan, urat daging, dan sistem tubuh, sistem pencernaan,
peredaran darah reproduksi, keringat, dan sistem otot.[23]
Ilmu yang telah diwariskan Ibn Si>na> dalam karya-karyanya telah
memberikan keuntungan sangat besar bagi kemajuan peradaban Barat. Kitab al-Qa>nu>n dan al-Syifa>’ itu menjadi referensi
utama mengembangan ilmu kedokteran. Bahkan sampai abad modern pun mereka tetap
berpedoman pada kitab tersebut. Sehingga kitab al-Qa>nu>n itu, di Barat dikenal
dengan sebutan Canon.
Kontribusi umat Isla>m
secara umum dan Ibn Si>na> secara khusus dengan ilmu
kedokterannya bisa dilihat pada akar sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa Abba>siyah
ilmu pengetahuan dunia Isla>m
berkembang sangat pesat. Situasi ini didukung oleh kebijakan pemerintahan pada
saat itu dalam memberikan kebebasan kepada para ilmuwan untuk mengembangkan
potensi keilmuan masing-masing. Keberhasilan itu terus menyebar menerangi
kegelapan jagad raya. Hingga akhirnya mulailah peradaban Isla>m menyinari negeri-negeri itu
dari langit Andalusia, disusul kemudian oleh munculnya sinar pengetahuan Isla>m dari arah Timur.
3. Sebuah
Ironi; Pemikiran Yang Terlupakan
Sekalipun Isla>m
merupakan agama yang muncul terakhir, tapi ia telah membangun peradaban lebih
unggul daripada agama lain. Perkembangan keilmuan berkembang pesat dikalangan
umat Isla>m dengan
penuh. Semangat untuk meneliti dan menggali kandungan al-Qur’a>n menjadi modal utama pada
masa awal pekembangan agama ini seperti filsafat, hukum, seni, arsitektur,
estetika dan sebagainya. Keberhasilan tersebut telah menyumbangkan keilmuan
yang tidak sedikit terhadap perkembangan peradaban selanjutnya. Contoh kecil
dari hal itu adalah sebagaimana diungkapkan Yacoub Zaki, nama Universitas yang
dipakai oleh generasi sekarang, adalah berasal dari bahasa Arab Madrasah
Kuliyah yang berarti tempat belajar.[24] Ini
adalah salah satu bukti dari pengaruh Arab terhadap dunia termasuk di dalamnya
bidang pendidikan.
Salah satu keberhasilan perkembangan ilmu pengetahuan Isla>m yang sekaligus
menyumbangkan kepada dunia secara keseluruhan adalah ekspansi Isla>m yang dilakukan pada abad 7
dan 8 Masehi. Umat Isla>m
pada saat itu mulai menguasai propinsi Byzantium di Syria, Tanah Suci, Mesir dan
kearah barat di Afrika Selatan, Spanyol dan Sisilia. Kegiatan ekspansi itu
telah membawa pengaruh terhadap perkembangan keilmuan Isla>m, karena dengan kondisi itu,
orang-orang Eropa mengenal dan belajar ilmu pengetahuan. Sehingga pada abad ke-11
dan 13 kristen membalas dendam dengan balik menyerang yang diistilahkan dengan
perang salib.[25]
Perang ini tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan agama. Dibalik itu ada
semangat pencarian keilmuan, yaitu merebut ilmu pengetahuan yang dihasilkan
umat Isla>m.
Dengan kemengan diraih mereka dalam peperangan itu mengakibatkan
perpindahan pusat ilmu pengetahuan di Timur Tengah ke daerah Eropa. Mereka
banyak membawa karya-karya orang Isla>m
saat itu. Sampai sekarang unversitas Eropa masih mempertahankan bahasa Arab[26] sebagai
bahasa asli karya tersebut. Termasuk di dalamnya adalah karya Ibn Si>na>. Sehingga gagasan Ibn Si>na>
tentang intention diambil alih oleh Albertus Magnus.[27] Hanya
saja, pengambilan seperti itu tak pernah diakui oleh para pemikir Eropa. Bahkan
mereka menganggap bahwa konsep demikian asli dari pemikiran mereka. Sebuah
plagiasi yang dilegalkan.
Hegemoni pengetahuan bangsa Eropa terus diupayakan untuk tetap bertahan
sampai masa modern ini. Segala teori pengetahuan seringkali disebutkan sebagai
bersumber dari pemikir Eropa. Tidak satupun yang diambil dari pemikiran orang
Isla>m. hal ini bisa
dilihat pada teori-teori pengetahuan yang berkembang saat ini yang banyak menggunakan
kerangka teori demikian sebagai justifikasi sebuah pemikiran. Sebaliknya, jika
sebuah sebuah karya tidak menggunakan teori tertentu yang berasal dari pemikir
Eropa dianggap tidak memenuhi standar Ilmiah. Inilah salah satu bentuk hegemoni
mereka. Kondisi ini diperparah mulai sekitar abad ke-13 ketika Isla>m mulai lemah, sedangkan
Eropa mulai ada tanda-tanda kebangkitan hingga sampai pada masa yang disebut
dengan Renaissans.[28] Sebuah
masa yang menandai kebangkitan bangsa Eropa menuju kemajuan sebagaimana yang
terlihat sampai sekarang.
Kebangkitan Eropa itu, diakui atau tidak, merupakan hasil dari perjuangan
mereka untuk terus menggali khazanah keilmuan yang dimiliki umat Isla>m. Apalagi setelah peristiwa
perang salib dengan posisi sebagai pemenang telah memberikan peluang bagi Eropa
untuk membawa segala sesuatu yang diperlukan untuk kemajuan peradaban mereka
terutama bidang ilmu pengetahuan yang merupakan hasil karya umat Isla>m.
Tetapi hal ini tidak pernah diakui oleh mereka (bangsa Eropa). Mereka
tetap memandang sebagai pihak inferior terhadap umat Isla>m. Terjemahan yang di lakukan
Eropa dulu tak mau diakui sebagai sebuah hutang budi. Padahal tanpa terjemahan
dari karya muslim, mungkin tidak akan ada Renaissans di Eropa.[29] Ibn Si>na> adalah salah satu kontributor terbesar dalam
hal ini dengan karya-karyanya yang sangat dihargai oleh orang Eropa modern.
Hanya saja yang diambil orang-orang Eropa hanya ilmu pengetahuan dari
karya Ibn Si>na>, sedangkan semangat keimanan
(tauhi>d) yang
menyatu secara integral dalam karya-karya itu tidak diambil. Penyaringan
seperti ini berimplikasi pada keringnya jiwa mereka dalam bidang spiritual.[30]
Semangat keilmuan yang tidak dilandasi dengan semangat spiritualitas ini
membawa pada dekadensi moral dikalangan manusia modern seperti yang terjadi
sekarang. Pemikiran Ibn Si>na> yang telah menjadi referensi
utama dalam bidang kesehatan, optik dan sebagainya tidak diakui sebagai sebuah
rujukan yang telah mengantarkan bangsa Eropa pada tingkat peradaban tinggi.
Keberhasilan mencapai tingginya tingkat peradaban itu dipandang muncul secara
tiba-tiba dari diri mereka sendiri. Tak ada perasaan hutang budi terhadap Ibn
Si>na> dalam hal ilmu kedokteran
atau kesehatan.
Perilaku ini merupakan bentuk pengkhianatan besar bangsa Eropa terhadap
keilmuan orang-orang Isla>m.
orang-orang Eropa berupaya menghilangkan jejak-jejak warisan apapun yang berbau
Arab-Isla>m. Kita bisa
melihat bagaimana upaya itu diwujudkan di Prancis dengan munculnya larangan
memakai jilbab,[31]
misalnya, atau isu-isu terorisme dengan mengidentikkannya pada orang-orang
Muslim. Isla>m
digambarkan layaknya agama yang menakutkan dan mengancam kedamaian dunia.
Sebuah phobia terhadap Isla>m
yang terlalu dan dibuat-buat. Kecurigaan yang tak beralasan.
Dilain pihak, perilaku demikian adalah sebagai upaya membendung
kebangkitan kesadaran bahwa Isla>m
adalah memberikan kontribusi besar terhadap peradaban dunia. Munculnya
kesadaran itulah yang membuat orang-orang Eropa memakai strategi dengan
mengkambing hitamkan Isla>m.
Akhirnya, sebagai akibatnya, Ibn Si>na> tidak lagi menempati posisi
penting sebagai tokoh sentral dan rujukan keilmuan dalam bidang kedokteran.
Kehadiran karya-karyanya dianggap hilang sekalipun masih diperlukan.
Dan lebih ironis lagi, kondisi ini justru diperparah oleh kalangan umat
Isla>m sendiri. Tradisi
keilmuan para pendahulu tidak diteruskan oleh generasi selanjutnya.[32]
Sehingga perkembangan keilmuan menjadi stagnan. Para tokoh muslim yang banyak
berkarya dengan kebebasan berpikir mereka yang terutama setelah dipengaruhi
filsafat Yunani dianggap sebagai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
ajaran agama. Akhirnya hasil pemikiran-pemikirannya tidak dipakai oleh generasi
selanjutnya.
Respon negatif kebebasan berpikir dari kalangan Isla>m sendiri bisa dilihat pada
kritik yang dilakukan al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat Ibn Rusyd.[33] Banyak
kalangan yang memandang kritik al-Ghaza>li> itu merupakan awal stagnasi
perkembangan pemikiran. Apalagi kemudian disertai dengan karyanya yang lain yang
berjudul Ihya>’
Ulu>m al-Di>n. Hal ini kemudian
berakibat juga pada pemikiran-pemikiran lainnya termasuk Ibn Si>na>. Sehingga ilmu kedokteran kurang, atau bahkan
sama sekali, tidak berkembang di dunia Isla>m.
C. KESIMPULAN
Ibn Si>na> adalah tokoh Muslim yang
terlahir di daerah Persia. Ia menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan.
Karya-karyanya memberikan kontribusi terhadap dunia Eropa. Karyanya terutama kitab
al-Qa>nu>n fi> al-Tibb dan al-Syifa>’ yang membahas tentang
pengobatan telah dijadikan referensi utama oleh dunia Barat selama beberapa
abad lamanya.
Disamping itu, masih banyak karya-karya Ibn Si>na>
yang dikaji orang Eropa dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi, karya
tentang pengobatan itulah yang lebih berpengaruh. Hanya saja, sebagai bentuk
kebejatan dunia modern, pemikiran itu tidak pernah menjadi sesuatu dihargai
sebagai sebuah karya Ibn Si>na>. Sikap acuh tak acuh
terhadap pemikiran Ibn Si>na> itu bisa tidak hanya oleh
orang-orang Eropa sendiri, tapi juga dari kalangan Isla>m. Terutama dari kalangan mereka yang tidak sepakat
dengan pemikiran filsafat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Isla>m,
Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, ter. Haris Fadillah, PT. Raja
Grafindo, Jakarta, 2005
Afnan, Suheil M., Avicenna; His Life and Works, George Allen
and Unwin LTD, London, 1958
Ahmad, Jami>l, Seratus
Muslim Terkemuka, ter. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Pustaka Firdaus,
Jakarta, 1994
Ahmed, M. Khalafalla>h
(editor), Sumbangan Isla>m
kepada Ilmu dan Kebudayaan, Komisi Nasional, Mesir
Al-Siba>’i>, Musthafa> Husni, DR., Khazanah
Peradaban Isla>m,
ter. Abdullah Zaky, Pustaka Setia, Bandung, 2002
Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh dalam Sejarah Isla>m, ter. Bahruddin
Fannani, Rosdakarya, Bandung, 1999
Armanto, Nina M., et.al., (editor), Ensiklopedi Isla>m, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2005
Bosworth, M. C.E., The Islamic
Dynasties, Edinburgh University Press, 1967
Esposito, John L., “Benturan Peradaban” dalam Media dan Citra
Muslim dan Spiritualitas Untuk Berperang Menuju Spiritualitas Untuk Berdialog,
Jalasutra, Yogyakarta, 2005
Glasse, Cyril, Ensiklopedi Isla>m, ter. Ghufron A. Mas’adi, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1999
Hamdi>, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim,
LKiS, Yogyakarta, 2004
Haque, M. Atiqul, Wajah Peradaban; Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi
Besar Isla>m,
ter. Budi Rahmat, et.al., Zaman, Bandung, 1998
Hourani, Albert, Isla>m
dalam Pandangan Eropa, ter. Ima>m
Baihaqi>, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 1998
Kertanegara, Mulyadhi, “Renaissans Ketiga: Membaca Warisan Tradisi Intelektual
Masa Isla>m” dalam Isla>m dalam Pengembangan Disiplin
Ilmu, LPPI UMY, Yogyakarta, 2003
Madjid, Nurcholis, Isla>m Kemodernan dan
Keindonesiaan, Mizan, Bandung, 1998
Munoz, Gema Martin, “Isla>m
dan Barat” dalam John L. Esposito, et.al., Dialektika Peradaban, terj.
Ahmad Syahidah, Qalam, Yogyakarta, 2002
Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Isla>m atas Dunia Intelektual Barat, Risalah
Gusti, Surabaya, 1996
Nasution, Hasyimsyah, DR., MA., Filsafat
Isla>m, Gaya
Media Pratama, Jakarta, 1999
Turner, Howard R., Sains Isla>m
yang Mengagumkan, Sebuah Catatan Terhadap Abad Pertengahan, ter. Zulfahmi
Andre, Penerbit Nuansa, Bandung, 2004
Verdiansyah, Veri, et.al, Isla>m
dan Barat; Membangun Teologi Dialog, LSIP, Jakarta, 2004
Watt, William Montgomery, Prof., Fundamentalisme Isla>m dan Modernitas,
ter.Taufik Adnan Amal, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1997
Zaki, Yacoub, Pro., “Isla>m
dan Peradaban” dalam Berpaling Kepada Isla>m, Rosdakarya, Bandung, 1997
[1] Gema
Martin Munoz, “Isla>m
dan Barat” dalam John L. Esposito, et.al., Dialektika Peradaban, terj.
Ahmad Syahidah, (Yogyakarta; Qalam, 2002), 5.
[2] Veri
Verdiansyah, et.al, Isla>m
dan Barat; Membangun Teologi Dialog, (Jakarta; LSIP, 2004), 91.
[3] Howard
R. Turner, Sains Isla>m
yang Mengagumkan, Sebuah Catatan Terhadap Abad Pertengahan, ter. Zulfahmi
Andre, (Bandung; Penerbit Nuansa, 2004), 147.
[4] Ibid.,
208.
[5] DR.
Hasyimsyah Nasution, MA., Filsafat Isla>m,
(Jakarta; Gaya Media Pratama, 1999), 66. Lihat juga Cyril Glasse, Ensiklopedi
Isla>m, ter.
Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1999), 155.
[6] Ahmad
Zainul Hamdi>, Tujuh
Filsuf Muslim, (Yogyakarta; LKiS, 2004), 89. lihat juga Nina M. Armanto,
et.al., (editor), Ensiklopedi Isla>m,
(Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 103.
[7] M.
Atiqul Haque, Wajah Peradaban; Menelusuri Jejak Pribadi-pribadi Besar Isla>m, ter. Budi Rahmat,
et.al., (Bandung; Zaman, 1998), 67.
[8] Dinasti
Samaniyah adalah salah satu dinasti kecil Isla>m
yang didirikan oleh Saman Khuda di Transoxiana. Ia berdiri pada tahun 204-395
H./819-1005 M. C.E. Bosworth, The Islamic Dynasties, (Edinburgh
University Press, 1967), 101.
[9] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, ter. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus,
(Jakarta; Pustaka Firdaus, 1994), 140.
[10] Hamdi, Tujuh
Filsuf ………., 90.
[11] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim ……………., 141.
[12] Ibid.,
141.
[13]
Judu-judul dari kitab al-Syifa>’
ini terdiri dari tiga macam; yaitu: al-Syifa> al-Riya>diya>t, al-Syifa> al-Ila>hiya>t, dan al-Syifa> al-Thabi>’iya>t.
[14] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim ……………., 142. Untuk lebih jelasnya tentang
karya-karya Ibn Si>na> baca juga Nina M. Armanto,
et.al., (editor), Ensiklopedi Isla>m,
103.
[15] DR.
Musthafa> Husni al-Siba>’i>, Khazanah Peradaban Isla>m, ter. Abdullah Zaky,
(Bandung; Pustaka Setia, 2002), 41.
[16] M.
Khalafallah Ahmed (editor), Sumbangan Isla>m kepada Ilmu dan Kebudayaan, (Mesir, Komisi
Nasional, tt.), 228.
[17]
Musthafa Husni, Khazanah …………., 42.
[18] Ibid.,
43.
[19] Ibn Si>na> lebih dikenal oleh orang-orang barat.
Pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi ilmu dan peradaban barat yang
dicapai saat ini. Baik dalam bidang kedokteran atau dalam bidang lainnya.
Sehingga, ia dianggap setingkat dengan Aristoteles, Euclides dan Ptolemeus.
Sedangkan di Timur sendiri, ia hanya dikenal sebagai filosof yang berusaha
menggabungkan antara filsafat Plato, Aristoteles dan Neoplatonis. Lihat, Cyril,
Ensiklopedi Isla>m,
155.
[20] Jamil
Ahmad, Seratus Muslim ……………., 144-145.
[21] Husayn
Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Isla>m, ter. Bahruddin Fannani, (Bandung;
Rosdakarya, 1999), 157-159.
[22] Suheil
M. Afnan, Avicenna; His Life and Works, (London; George Allen and Unwin
LTD, 1958), 68.
[23]
Berdasarkan apa yang telah penulis lihat dalam kitab al-Qa>nu>n fi> al-Tibb isinya sangat
lengkap mengenai berbagai hal dalam bidang pengobatan. Disamping menerangkan
macam-macam obat berbagai penyakit, disana juga dijelaskan bagaimana tata cara
seorang dokter mengobati pasiennya. Lihat M. Khalafallah Ahmad, Sumbangan
Isla>m ……….,
196.
[24] Pro.
Yacoub Zaki, “Isla>m dan
Peradaban” dalam Berpaling Kepada Isla>m,
(Bandung; Rosdakarya, 1997), 215.
[25] Albert
Hourani, Isla>m
dalam Pandangan Eropa, ter. Ima>m
Baihaqi>, (Yogyakarta;
Pustaka Pelaja, 1998), 9.
[26] Ibid.,
38.
[27] Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Isla>m
atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya; Risalah Gusti, 1996), 235.
[28] Ibid.,
250.
[29]
Mulyadhi Kertanegara, “Renaissans Ketiga: Membaca Warisan Tradisi Intelektual
Masa Isla>m” dalam Islam
dalam Pengembangan Disiplin Ilmu, (Yogyakarta; LPPI UMY, 2003), 2.
[30]
Nurcholis Madjid, Isla>m
Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung; Mizan, 1998), 275-276.
[31] John L.
Esposito, “Benturan Peradaban” dalam Media dan Citra Muslim dan
Spiritualitas Untuk Berperang Menuju Spiritualitas Untuk Berdialog,
(Yogyakarta; Jalasutra, 2005), 7.
[32]
Muhammad Abduh, Isla>m,
Ilmu Pengetahuan dan Masyarakat Madani, ter. Haris Fadillah, (Jakarta; Raja
Grafindo, 2005), 202.
[33]
Diantara karya al-Ghaza>li> yang mengkritik filsafat itu
adalah Maqa>shid
al-Fala>sifah
dan Taha>fut
al-Fala>sifah.
Lihat Prof. William Montgomery Watt, Fundamentalisme Isla>m dan Modernitas,
ter.Taufik Adnan Amal, (Jakarta; PT. Raja Grafindo, 1997), 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar