ABID AL-JABIRI " NALAR POLITIK ARAB'
MOHAMMAD Abied Al-Jabiri adalah
seorang pemikir Arab kontemporer (asal Maroko) yang memproyeksikan diri
dalam proyek pemikiran yang spesifik selain Hasan Hanafi (asal Mesir)
dan Muhammad Arkoun (asal Aljazair). Ketiga-tiganya dapat dikatakan
sebagai “pemikir proyek”. Jabiri lahir di Figuig,
sebelah selatan Maroko, tanggal 27 Desember 1935. Pendidikannya dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi lebih banyak ditempuh di tanah
kelahirannya di Maroko. Dia pernah setahun menempuh pendidkan filsafat
di Universitas Damaskus, Siria (tahun 1958).
Setelah
itu dia melanjutkan pendidikan diploma Sekolah Tinggi Filsafat Fakultas
Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, (1967) dan meraih gelar master
dengan tesis tentang “Filsafat Sejarah Ibn Khaldun” (Falsafatut Târîkh
‘inda Ibn Khaldûn). Doktor bidang Filsafat, dia raih di Fakultas Sastra
Universitas Muhammad V, Rabat (1970), dengan disertasi yang masih
membahas seputar pemikiran Ibn Khaldun, khususnya tentang Fanatisme
Arab. Desertasinya berbicara tentang “Fanatisme dan Negara:
Elemen-Elemen Teoritik Khaldunian dalam Sejarah Islam” (Al-‘Ashabiyyah wad Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikhil Islâmî).
Disertasi tersebut kemudian dibukukan tahun 1971. Al-Jabiri, hanya
menguasai tiga bahasa: Arab (bahasa ibu), Perancis (baca dan tulis), dan
Inggris (baca saja).
Al-Jabiri muda adalah seroang
aktivis politik berideologi sosialis yang sempat bergabung dalam partai
Union Nationale des Forces Popularies (UNFP) yang kemudian berubah nama
menjadi Union Sosialiste des Forces Popularies (USFP). Pada tahun 1975,
dia sempat menjadi anggota biro politik USFP. Selain pernah aktif di
dunia politk, Al-Jabiri sesungguhnya lebih dikenal sebagai seorang
akademisi yang sempat menjabat Pengawas dan Pengarah Pendidikan bagi
Guru-guru Filsafat di tingkat menengah atas, sejak tahun 1965-1967.
Sampai sekarang dia masih menjadi Guru Besar Filsafat dan Pemikiran
Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabat, sejak 1967.
Banyak karya yang telah ditulis oleh Al-Jabiri. Tema sentral dalam
karyanya terkonsentrasi pada filsafat dan epistimologi Islam dengan
sentuhan sejarah dan sosiologi yang cukup kental. Sampai sekarang dia
masih aktif menulis beberapa artikel lepas di beberapa media massa Arab.
Tulisan ini berkonsentrasi dalam mengulas salah satu karya terpenting
Al-Jabiri, yaitu soal nalar politik Arab (Al-‘Aqlu al-Siyâsi al-‘Arabî) yang masuk dalam lingkup proyek “Kritik Nalar Arab” yang dia rancang.
Konsep dan Pendekatan
Nalar politik Arab yang dimaksud Al-Jabiri dalam bukunya Al-‘Aqlus Siyâsil ‘Arabî tak lain adalah “motif-motif (Muhaddidât) tindakan politik (cara menjalankan kekuasaan dalam sebuah masyarakat), serta manifestasi (tajalliyât) teoritis dan praksisnya yang bersifat sosiologis”. Disebut “nalar” (‘aql),
karena motif-motif tindakan politik dan manifestasinya tersebut, semua
tunduk dan dijalankan atas sebentuk logika internal yang mengorganisasi
hubungan antar pelbagai unsurnya. Logika ini pada akhirnya berupa
prinsip-prinsip yang dapat disifati dan dianalisis secara kongkrit.
Dikatakan sebagai “politik” (siyâsî) karena tugasnya bukanlah
mereproduksi pengetahuan, tapi menjalankan sebentuk kekuasaan; sebuah
otoritas pemerintahan atau menjelaskan tata cara pelaksanaannya. Pada
akhirnya, buku ini mengulas tentang “nalar realitas Arab” (‘aqlul wâqi’il ‘arabî), bukan nalar teoritik Arab sebagaimana dia ulas dalam bukunya “Formasi Nalar Arab” (Takwînul ‘Aqlil ‘Arabî) dan “Struktur Nalar Arab” (Bunyatul ‘Aqlil ‘Arabî).
Arti kata, bahasan buku ini mengacu pada bagaimana mengungkap
motif-motif penyelenggaraan politik dan bentuk-bentuk manifestasinya
dalam rentang sejarah panjang peradaban Arab-Islam sampai saat ini.
Dalam buku yang cenderung menggunakan pendekatan fungsional dalam ilmu
sosiologi ini, Al-Jabiri menggunakan beberapa perangkat konsep (al-jihâzul mafâhimi)
yang terdiri dari dua sumber. Pertama, dari pemikiran ilmu sosial
politik kontemporer; dan kedua, dari sumber-sumber tradisi Arab-Islam
sendiri. Al-Jabiri sadar betul bahwa konsep-konsep yang dipinjam dari
ilmu sosial-politik kontemporer yang notabene bersumber dari Barat punya
keunikan-keunikan tersendiri yang tidak mungkin diterapkan secara
semena-mena ketika mengkaji objek kajian yang berbeda (masyarakat
Arab-Islam). Dia sedari awal tahu, upaya mengungkap nalar politik
mayarakat prakapitalis, negara peradaban Timur lama, masyarakat Arab
dalam Abad Pertengahan dan Modern, yang biasa disebut “Dunia Ketiga”
akan berbeda sekali dengan penelitian atas mayarakat kapitalis yang
sudah maju pesat.
Sadar akan kenyatan itu, dia
melakukan beberapa “polesan” pada konsep-konsep yang dia pinjam dari
Barat. Misalnya, dia memoles konsep “bawah sadar politik” (alâ syu‘ûrus siyâsî)
yang dia pinjam dari kajian Regis Debray (seorang guru filsafat dan
scolar asal Perancis) yang menggunakan konsep tersebut untuk mengungkap
bawah sadar politik masyarakat Barat. Dalam konsep bawah sadar politk
Debray, fenomena politik tidak dibentuk oleh kesadaran manusia;
gagasan-gagasan ataupun obsesi-obsesi mereka. Dia juga tidak dibentuk
oleh apa yang melandasi kesadaran itu sendiri, seperti relasi sosial
ataupun kepentingan kelas. Tapi, penggerak utama dari sebuah fenomena
politik adalah apa yang disebut bawah sadar politik. Konsep bawah sadar
politik ibarat struktur yang terdiri dari relasi-relasi materi bersifat
kolektif yang memainkan peran bersifat koersif atas kesadaran
individu-individu dan tidak dapat dibendung; sebentuk pola hubungan pada
masyarakat suku dan beberapa pola hubungan sekterian yang sempit.
Struktur hubungan yang terbentuk dari relasi yang tidak disadari ini
akan selalu hidup, sekalipun suprastruktur masyarakat sudah mengalami
perubahan sebagai bentuk respons atas perkembangan infrastruktur dalam
masyarakat tersebut. Intinya, bentuk solidaritas kelompok dan fanatisme
etnik, dan obsesi mereka untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan dan
kepentingan-kepentingan akan selalu eksis baik secara laten maupun
manifes dalam sebuah kelompok, baik dalam masyarakat feodal, kapitalis
ataupun sosialis.
Al-Jabiri tidak mengadopsi konsep
Debray secara bulat-bulat. Dia coba “menyimpangkannya” sebatas kebutuhan
atas objek yang dia kaji (masyarakat Arab-Islam). Menurut Al-Jabiri,
Debray menerapkan konsepnya dalam masayarakat industrial Eropa, dimana
hubungan sosial seperti relasi keluarga dan etnik menempati posisi di
belakang hubungan ekonomi: relasi produksi. Sementara, dalam masyarakat
Arab-Islam yang menjadi objek kajiannya, baik dulu maupun sekarang,
kenyataannya berbalik sama sekali. Hubungan sosial yang bersifat
kekeluargaan dan etnik tersebut, dalam kehidupan politik masyarakat
Arab, masih saja menempati posisi yang esensial dan kentara. Sementara,
relasi produksi tidak mendominasi masyarakat kecuali sebagian saja.
Maka dari itu, dengan mengambil posisi yang berbeda dari Debray yang
berusaha mengungkap “apa yang bersifat keluarga dan agama dalam dunia
politik Eropa kontemporer”, konsep bawah sadar politik digunakan
Al-Jabiri untuk mengungkap “apa yang politis dalam perilaku atau tindak
tanduk agama dan keluarga dalam masyarakat Arab dan Islam”. Ini dia
anggap penting, sebab kehidupan politik dalam objek kajiannya,
pertama-tama dijalankan berdasarkan pertimbangan agama dan kesukuan;
demikian arus utamanya masih berlaku sampai detik ini. Maka dari itu,
Al-Jabiri menyimpulkan bahwa “bawah sadar politik yang menjadi pembentuk
nalar politik Arab, tidak harus dicarikan dari tindakan-tindakan yang
agamis dan sukuis.” Lebih penting dari Al-Jabiri berupaya mengungkap
sisi politik yang menjadi lokomotif penggerak sektarianisme agama dan
fanatisme kelompok dalam objek kajiannya. Jadi, kalau Debray membuat
urut-urutannya kajiannya dari “yang politik” menuju “yang ideologi”
untuk sampai pada “yang agama”, maka Al-Jabiri membaliknya dengan hasil
yang bertolak belakang sama sekali. Di Masyarakat Arab, kata Al-Jabiri,
“yang sosiologis” itulah justu yang membentuk “yang politik”; yang
politik kemudian membentuk ideologi, dan ideologi lantas membentuk pola
keagamaan. Sebab, dalam konteks masyarakat Arab, apa yang dipermukaan
dianggap sebagai gejala sektarianisme agama, bukanlah merupakan pilihan
politik. Makanya, bawah sadar politik masyarakat Arab tidak selamanya
dibentuk oleh agama sebagaiamana Eropa, tapi justru sebaliknya:
sektarianisme agama yang menjadi topeng dan menyembunyikan bawah sadar
politik. Maka dari itu, dalam kajiannya ini, Al-Jabiri berusaha mencari
apa yang berada dalam bawah sadar politik masyarakat Arab-Islam.
Dalam bukunya ini, Al-Jabiri juga menggunakan konsep imajinasi sosial (imaginaire social atau al-mikhyâlul ijtimâ‘i)
untuk mengkaji bawah sadar politik Arab-Islam. Konsep ini merupakan
referensi utama bagi nalar politik Arab. Imajinsai sosial lah yang
memberikan kerangka bagi alam bawah sadar politik Arab-Islam, dan
menjelma menjadi semacam tanah air (mauthin) bagi jiwa atau
sanubari tiap-tiap kelompok. Istilah imajinasi sosial ini juga dia
pinjam dari ilmu sosial kontemporer. Jelasnya, makna imajinasi sosial
adalah “sekumpulan imajinasi yang memenuhi kepala bangsa Arab, baik
dalam bentuk peristiwa-peristiwa, kisah kepahlawanan, ataupun pelbagai
kegetiran yang mereka hadapi. Sekumpulan imajinasi itu
dipersonifikasikan dalam sosok-sosok legendaris masa lampau Arab,
seperti As-Syanfari, Imru’ul Qais, ‘Amr ibn Maktum, Hatim Atthai’,
tragedi keluarga Amr bin Yaser, Umar bin Khattab, Khalid bin Walid, Umar
bin Abdul Aziz, Harun Al-Rasiyid, Kisah 1001 Malam, Shalahuddin
Al-Ayyubi, wali-wali yang saleh, Gamal Abdul Naser, dan lain-lain.
Khusus untuk imajinasi Syiah, tersebutlah nama-nama sosok keluarga Ali
sebagai titik sentralnya.
Dari konsep tentang
imajinasi sosial ini, Al-Jabiri hendak menegaskan bahwa nalar politik
Arab sebagai sebuah praksis dan ideologi, sebagai sebuah fenomena yang
kolektif, akan diketemukan referensinya dari “imajinasi sosial”
masyarakat itu sendiri, bukan dari struktur ilmu mereka. Maka dari itu,
dia mendefenisikan konsep “imajinasi sosial” sebagai “sejumlah
pandangan, simbol-simbol, ndilalah, norma-norma dan nilai-nilai yang
memasok struktur bawah sadar politik masyarakat Arab dalam fase sejarah
tertentu atau di kalangan komunitas masyarakat yang terorganisasi.
Sebagai sebuah imajinasi kolektif, yang menjadi objek analisis bagi
nalar politik adalah “soal keyakinan” (tidak peduli keyakinan itu benar
atau salah, karena yang penting darinya hanya efektivitasnya untuk
memobilisasi emosi massa, misalnya).
Dua
konsep yang sudah diulas tadi (bawah sadar politik dan imajinasi
sosial), kemudian dijadikan Al-Jabiri sebagai konsep prosedural yang
menghubungkan nalar politik Arab-Islam dengan morif-motif (muhaddidât)
dan bagaimana manifestasinya (tajalliyât) dalam kenyataan. Motif-motif
dan manifestasi politik ini, dalam pandangan Al-Jabiri merupakan sisi
yang psikologis sekaligus sosiologis (jânib nafsî ijtimâ‘i), unsur yang
individual dan kolektif (al-‘unshurus dzâtî wal jamâ‘î) dari fenomena
politik Arab.
Konsep ketika yang digunakan Al-Jabiri
di sini adalah konsep “domain politik” (almajâlus siyâsî, political
sphere). Di sini, Al-Jabiri kembali membedakan antara domain politik
dalam masyarakat Eropa dengan domain politik dalam masyarakat Islam. Dia
mencermati, bahwa dalam masyarakat Eropa, domain politik tumbuh dan
sangat kuat relasinya dengan berdirinya sistem kapitalis. Salah satu
karakteristik sistem kapitalisme antara lain, diferensiasi dua hal dalam
masyarakatnya yang sangat jelas: infrastruktur atau landasan ekonomi
(tulang pungungnya adalah insdustri), dan suprastruktur berupa perangkat
negara, institusi, dan ideologi yang menjadi landasannya. Sementara,
masyarakat yang belum sampai pada fase kapitalisme (murni?), seperti
masyarakat Arab dan umumnya Dunia Ketiga, perbedaan yang esensial antara
dua struktur itu tidak begitu kentara. Bahkan, biasanya kedua struktur
itu saling tumpang-tindih (tadâkhul) bahkan seperti sebuah struktur yang
menyatu. Maka dari itu, sudah menjadi konsensus dalam ilmu sosial,
bahwa masyarakat prakapitalis mempunyai spesifikasi tertentu, di
antaranya:
Satu, kesatuan antara infrastruktur dan
suprastrukur masyarakatnya, atau paling tidak dia mesti dilihat sebagai
sebuah kesatuan yang rumit, yang hubungan antara unsur-unsurnya saling
berdialektika: saling mempengaruhi dan saling bertukar tempat. Kedua,
kuatnya peranan kekerabatan dalam masyarakat prakapitalis. Bahkan,
saking kuatnya peran kekerabatan tersebut, terkadang dia mesti dilihat
tidak hanya sebagai suprastruktur, tapi juga bagian dari infrastruktur
masyarakat itu sendiri, dan menjadi kerangka hubungan produksi. Ketiga,
kuatnya peran agama sebagai keyakinan dan sebagai bagian dari organisasi
sosial yang memendam makna politis, baik secara eksplisit maupun
implisit. Dalam masyarakat Eropa, agama dianggap “unsur yang terbungkam”
(al-makbût), dan menjadi bagian dari bawah sadar politik. Makanya,
Debray dalam kajiannya berusaha mengungkap faktor yang terbungkam itu.
Sementara dalam masyarakat Arab-Islam, agama bukanlah bagian yang
terbungkam, tapi justru menjadi sangat jelas. Sehingga, bahwa sadar di
balik kegiatan keagamaan itu mesti diungkap supaya jelas isinya.
Dari proses adopsi konsep dan “penyimpangan-penyimpangan” yang
dilakukan secara sengaja oleh Al-Jabiri tadi, yang dia ingin hanyalah
agar dia dapat mendekati objek kajianya sebagai seorang mujtahid, bukan
sebagai pembebek (muqallid). Konsep-konsep yang dia pinjam tadi, dia
gunakan tak lain hanya untuk lebih mendekatkan diri, mencerdaskan dan
menghidupkan tradisi permikiran sosial Islam yang sudah pernah dirintis
oleh Ibn Khaldun. Sebab, menurut Al-jabiri, dalam pemikiran Islam, sosok
Ibn Khaldun, khususnya dalam kajiannya tentang ilmu peradaban manusia
(ilmul ‘umrânil basyarî) telah berjasa mengungkap beberapa motif-motif
di balik nalar politik sebuah peradaban manusia, tak terkecuali
peradaban Islam. Hal itu paling tidak tergambar dari penegasannya
tentang pentingnya perananan fanatisme (al-‘ashabiyyah), faktor
kekerabatan (al-qarâbah), dan peranan dakwah keagamaan dalam formasi
sebuah negara dan kekuasaan. Maka dari itu, rujukan teoritis Al-Jabiri
dalam kajiannya ini diperkaya oleh Ibn Khaldun. Dan bahkan, menurutnya,
kembali mencermati pemikiran Ibnu Khaldun dapat diabsahkan dan sangat
relevan, khususnya ketika memperhatikan realitas sosial politik yang
berlangsung di negara Arab dan Islam. Problem-problem Arab dan Islam
kontemporer, seperti soal kekerabatan, etnisitas, dan fundamentalisme
keagamaan, yang muncul kembali ke permukaan, seakan memberi legitimasi
untuk kembali merujuk kepada Ibn Khaldun; dan itu bukan lagi bagian dari
perbincangan yang kemaruk dan mundur ke belakang.
Makanya, bermodal jargon Marx, “analisis atas masa kini akan menyuguhkan
kunci-kunci (penjelasan) masa silam” (tahlîlul hâdlir yuqaddim lanâ
mafâtîhul mâdlî), Al Jabiri menganalisis masa kini Arab-Islam, untuk
kembali menghadirkan beberapa kunci penjelasan masa silam Islam, kalau
bukan kunci dasarnya (al-mafâtîhur ra’îsiyyah), berdasarkan apa yang
pernah dikemukakan Ibn Khaldun secara kurang teoritis. Paling tidak,
terdapat tiga kunci penjelasan mendasar yang digunakan Ibnu Khaldun
dalam menganalisis sejarah Arab-Islam. Dua diantaranya, yaitu konsep
fanatisme kelompok (al-‘asyabiyyah al-qabiliyyah) dan dakwah keagamaan
(ad-da‘wah ad-dîniyyah), sangat eksplisit digunakan oleh
penjelasan-penjelasan Ibn Khaldun tentang sejarah masyarakat Arab-Islam.
Sementara kunci ketiga, yaitu fakor ekonomi, yang pada masa Ibn Khaldun
belum hadir sebagai faktor penjelas yang berdiri sendiri (apalagi dalam
masyarakat prakapitalis), dan juga belum dianggap sebagai faktor
determinan dalam penjelasan hubungan dalam masyarakat, sayup-sayup juga
sudah dikemukakan oleh Ibn Khaldun. Al-Jabiri kemudian mengangkat faktor
ekonomi itu menjadi faktor penjelas dalam analisisnya tentang nalar
politik Arab dalam bukunya ini. Bagi Al-Jabiri, secara implisit Ibn
Khaldun telah menyebut “cara produksi yang khas dalam masyarakat Arab”;
sistem perekonomian yang bergantung pada suasana peperangan, atau dengan
cara menabung surplus produksi melalui kekuasaan: kekuatan pemimpin,
kepala suku, atau negara. Sistem ekonomi seperti inilah yang disebut Ibn
Khaldun sebagai sumber mata pencarian (ekonomi) yang tidak wajar
(madzhab fil ma‘âsy ghairat thabî‘i). Dalam peristilahan masa kini,
sistem perekonomian seperti ini disebut sebagai “sistem ekonomi rente”
(al-iqtishâd ar-rî’iy), sementara negara yang menjalankan sistem
perekonomian demikian disebut dengan “negara rente” (ad-daulah
al-rî’iyyah).
Berangkat dari tiga kunci yang sempat
dikemukakan Ibn Khaldun itu, Al-Jabiri kembali menggunakannya dalam
terma yang agak berbeda, demi menjelaskan nalar politik Arab-Islam. Dia
menggubah tiga konsep tersebut dengan istilah yang lebih fungsional dan
akrab di telinga dan tradisi masyarakat Islam. Konsep Ibn Khaldun
tentang pernanan dakwah keagamaan (ad-da’wah ad-diniyyah) dia ubah
menjadi kategori akidah (al-‘aqîdah), solidaritas kesukuan
(al-‘ashabiyyah al-qabiliyyah) dia singkat menjadi kategori kabilah
(al-qabîlah atau suku), sementara untuk menjelaskan sistem ekonomi yang
disebut Ibn Khaldun “tidak wajar” tadi, dia menggunakan nomenklatur
fikih Islam, yaitu kategori ghanimah, harta rampasan perang
(al-ghanîmah).
Kabilah. Yang dimaksud kategori kabilah
adalah peran yang dapat dimainkan faktor kekerabatan (dalam perspektif
antropologi modern), atau soal fanatisme (‘ashabiyyah) sebagaimana yang
telah disinggung Ibn Khaldun, ataupun koncoisme (asyâ’iriyyah) ketika
kita berbicara tentang cara memerintah atau perilaku politik yang
mengandalkan kaum kerabat, dibandingkan para ahli kompetensi dan mereka
yang berpengalaman dan terpercaya. Dalam masyarakat industri yang maju,
soal kabilah merupakan bagian dari pembentuk bawah sadar politik mereka.
Sementara dalam negara agraris, persoalan kabilah tidak hanya menempati
pojokan kesadaran politik, tapi menempati ulu hati kesadaran politik
itu sendiri.
Ghanimah. Yang dimaksud ghanimah di sini
adalah peran yang dimainkan faktor ekonomi dalam sebuah masyarakat yang
sistem ekonominya pada prinsipnya bergantung pada unsur kharaj (land tax
atau pajak tanah) atau ri’i (revenue, income, atau pendapatan rutin),
bukan atas dasar hubungan produksi seperti patron-klien, feodalis
(al-iqthâiy) dan hamba (al-qinn), ataupun pemodal dan buruh. Yang
dimakusud ghanimah ini juga tidak hanya terbatas pada sumber
pendapatannya, tapi juga mencakup bagaimana cara menggunakannya (logika
pendapatan berbeda dengan logika produksi). Jadi yang dimaksud ghanimah
lebih lengkapnya adalah jenis pemasukan yang khusus, cara menggunakannya
dan logika yang menyertainya.
Akidah. Yang dimaksud
dengan kategori akidah bukanlah segepok kandungan tertentu dari
keyakinan (baik yang diwahyukan atau bukan) tapi adalah efektivitas
sebuah doktrin itu sendiri dalam rangka mengukuhkan keyakinan atau
kemazhaban. Akidah melingkupi sesuatu yang mampu menggerakkan suatu
komunitas, sehingga nyaris menjadi semacam kabilah spiritual (qabîlah
rûhiyyah). Pertanda yang paling jelas dari akidah adalah beraninya orang
menyabung nyawa untuk membelanya. Unsur kebenaran dan pembuktian akan
sebuah akidah tidak penting di bahas di sini. Yang penting adalah gejala
di mana sebuah komunitas berani mati untuk hal yang mereka yakini,
bukan hal yang mereka ketahui secara pasti.
Tiga
katgori itulah yang menjadi kunci penjelas yang digunakan Al-Jabiri
untuk menelaah sejarah politik Arab. Ketiga hal itu, dalam pandangan
Al-Jabiri merupakan motif bawah sadar yang melandasi sebuah tindakan
seorang individu (menurut ahli psikoanalisis). Bedanya, dia tidak
berkaitan dengan data-data psikologis, tapi struktur simbol yang
menemppati imajinasi sosial suatu kelompok, bukan akal, atau pemahaman.
Jadi, ketiganya ibarat bawah sadar politik (imajinasi sosial) yang
menggerakkan kegiatan politik sebuah kelompok atau individu-individu.
Adapun manifestasi motif-motif yang sudah diterangkan tadi, dalam
rentang sejarah politik Islam, akan dibagi Al-Jabiri menjadi dua bagian.
Pertama, bagian yang berisifat teoritis, yaitu menyangkut ideologi
politik. Dan bagian yang praksis, yaitu peristiwa-peristiwa politik yang
diselap-selipkan dalam pembahasan tentang tiga motif yang diterangkan
tadi.
Dalam setiap bahasan dan buku yang dia
terbitkan, Al-Jabiri selalu terlihat ketat dalam menggunakan teori,
konsep dan pendekatan tertentu. Kenyataan bahwa dia seorang akademisi
yang tekun dan taat asas berpikir bukan lagi rahasia. Lebih dari itu,
bagi Al-Jabiri mengembangkan analisis atas teks-teks sejarah dengan cara
yang metodologis, tidak kalah pentingnya dari melakukan analisis
langsung yang memberikan horison baru bagi wawasan kita. Makanya,
Al-Jabiri menghimpun kedua cara itu: melakukan “investasi teks” dengan
cara yang metodologis, sekaligus melakukan analisis yang mendalam atas
teks tersebut.
Aplikasi Konsep: Dari Dakwah Menuju Dawlah
PENJELASAN AKIDAH: Pada bahasan ini, Al-Jabiri berusaha mengungkap
pelbagai gejala politik (al-madzharus siyâsî) dari dakwah Nabi.
Pembahasannya menukik pada segala aksi dan reaksi yang memiliki
kandungan politis dan berperan dalam membentuk imajinasi sosial-politik
komunitas muslim pertama di satu sisi, dan menggerakkan reaksi
musuh-musuhnya (elit Quraisy) di sisi lain. Beberapa riwayat menyebutkan
bahwa sebelum Nabi menjadi seorang yang sukses menggalang massa untuk
mendukung dakwahnya, di kalangan elit Quraisy sudah muncul desas-desus
bahwa Nabi akan menjadi seorang penguasa yang akan menaklukkan Dinasti
Romawi maupun Parsi.
Tapi menurut Al-Jabiri, meskipun
tidak ada referensi yang dapat diandalkan untuk mendukung asumsi bahwa
dakwah Nabi bermuatan proyek politik tertentu, dia tetap melakukan
pembacaan politik (qirâ’ah siyâsiyyah) terhadap kiprah Nabi dalam
batas-batas tertentu. Sebab, sangat jelas terlihat bahwa penentang
dakwah Nabi dari kalangan elit Quraisy, sejak detik pertama sudah
membaca dakwahnya sebagai sebuah proyek politik. Untuk itu, mereka
melancarkan siasat untuk menentangnya. Pesan yang mereka tangkap dari
dakwah Nabi adalah, dia akan meruntuhkan fondasi struktur ekonomi
mereka, selanjutnya menguasai otoritas politik, bahkan eksistensi mereka
sendiri. Maka dari itu, menurut Al-Jabiri, menghadapi siasat para elit
Mekkah itu, tidak mungkin dakwah Nabi mengambil posisi yang pasif.
Makanya, masuk akal, bahkan semestinya Nabi mengunakan senjata yang sama
dengan yang mereka gunakan, di antaranya senjata politik. Maka dari
itu, dalam bahasan ini, Al-Jabiri mengungkapkan bagian yang politis dari
apa yang dipermukaan terlihat sebagai agamis dalam dua pososi yang
berlawanan itu: dakwah Muhammad di satu sisi dan tanggapan Quraisy di
sisi lain.
Al-Jabiri membagi dakwah Nabi pada periode
Mekkah ke dalam dua fase. Pertama, fase dakwah gerilya (sirran); dan
kedua, dakwah terang-terangan (jahran). Peran akidah dalam membentuk
nalar politik komunitas Muslim pertama –yang oleh Al-Jabiri disebut
sebagai “komunitas spiritual” (jamâ‘ah rûhiyyah)– akan sangat terlihat
dalam fase dakwah pertama ini. Al-Jabiri mencermati bahwa ikatan
solidaritas yang paling dominan dalam mengikat generasi Muslim pertama
tak lain adalah unsur akidah: keimanan pada Allah, Nabi dan wahyu.
Sementara peran kabilah dan ghanimah belum terlihat pada mereka, dan
justru sangat menonjol pada kubu musuh: elit Quraisy. Makanya,
pertarungan politik pada masa ini dapat dikatakan sebagai pertarungan
antara kategori akidah melawan qabilah dan ghanimah.
Di dalam fase dakwah gerilya (kurang lebih selama 3 tahun), ayat-ayat
yang turun sebagai formasi akidah masih sangat menjauh dari kesan
konfrontasi atas elit Quraisy. Nabi pun mengambil strategi yang menjauh
dari konfrontasi dengan kaumnya tersebut. Akhirnya, dia tidak banyak
dapat merebut hati orang Mekkah untuk mengamini dakwahnya. Di antara
orang yang berhasil direbut hatinya, Khadijah (isteri Nabi sendiri), Ali
bin Abi Thalib (10 tahun, sepupu Nabi), Zaid bin Haritsah (budak kecil
yang diberikan kepada Khadijah dan lalu dibebaskannya), Abu Bakr bin
Qahafah (38 tahun, dari kabilah kecil, Thaim), Utsman bin Affan (34
tahun, dari kabilah terkuat Quraisy, Bani Umayyah), Zubeir bin Awwam
(seumur Ali, dari bani Asad, anak bibi Nabi), Abdurrahman bin ‘Auf (30
tahun) dan Sa’ad bin Abi Waqash (seumur Ali, dari Bani Zuhrah), Thalhah
bin ‘Ubaidillah (sebaya Ali, dari kabilah Taim sebagaimana Abu Bakr).
Ditambah dengan Amar bin Yaser, Shuhaib bin Sinan, Bilah bin Rabah
al-Habasyi (dari kalangan budak), kesemuanya merupakan generasi paling
awal dalam memeluk Islam, semata-mata karena unsur akidah tanpa
hitung-hitungan kabilah dan ghanimah.
Kandungan
politis dari dakwah Nabi pada fase pertama ini dapat dicermati dari
ayat-ayat Qur’an yang membuat kesal kaum Quraisy, karena menegaskan
bahwa kaum pagan dan kafir akan mendapat sanksi dunia dan akhirat, bukan
hanya karena kekufuran dan paganisme yang mereka anut, tapi juga
disebabkan penguasaan mereka atas sumber-sumber kekayaan, dan
ketidakpedulian atas kaum fakir miskin.
Pada fase
kedua dakwah periode Mekkak (fase terang-terangan), yang berlanjut dari
tahun keempat kenabian sampai tahun 13, mulai terjadi konfrontasi
langsung pada level akidah antara generasi awal Islam dengan elit
Quraisy. Pada fase ini, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun sudah mulai
melakukan kecaman-kecaman dan secara eksplisit bertentangan dengan
kepercayaan dan kepentingan kaum Quraisy. Fase ini disebut oleh
Al-Jabiri sebagai fase dakwah terang-terangan dan konfrontasi atas
berhala-berhala kaum kafir Mekkah. Pada fase ini juga reaksi Quraisy
semakin keras, dari bentuk ejekan dan caci maki sampai pada penyiksaan
jasmani. Sosok-sosok seperti Abu Lahab (paman Nabi sendiri), dan
isterinya Ummu Jamil (saudara Abu Sufyan), elit-elit pembesar Quraisy
seperti Walid bin Mughirah mulai tampil sebagai sosok-sosok yang
memberikan tanggapan yang keras terhadap dakwah Nabi. Suatu kali, Walid
bin Mughirah pernah merasa iri pada Nabi Muhammad. Dia lantas berkata,
“Mengapa pula Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad, dan menacuhkan aku
sebagai pembesar Mekkah dan Urwah bin Mas’ud, pembesar Thaif.” Pada masa
inilah dimulai penyiksaan terhadap komunitas Muslim pertama, khususnya
kaum lemah (tidak mendapatkan proteksi kabilah, atau kaum pendatang)
sepeti Ammar bin Yaser dan Bilal bin Rabah. Tekanan-tekanan ekonomi juga
dilangsungkan untuk melakukan gangguan psikologis atas generasi awal
Islam, sehingga beberapa kalangan Islam yang lemah terpaksa melakukan
beberapa kali eksodus, terutama ke Habasyah dan Thaif.
PENJELASAN KABILAH: Dalam bagian ini, Al-Jabiri menerangkan bagaimana
peran unsur kekerabatan baik bersifat positif maupun negatif dalam
perilaku politik atau memainkan otoritas kelompok yang dirasakan atau
dimanfaatkan oleh Nabi, sejak awal mula dakwah sampai terbentuknya
negara Madinah.
Domain kabilah ini terbatas pada
suku-suku Quraisy di Mekkah, dan interaksi mereka dengan beberapa
kelompok di Madinah. Efektivitas unsur akidah bersifat alamiah belaka,
tapi digerakkan oleh unsur kekerabatan atau loyalitas, aliansi ataupun
kedekatan jarak antar individu. Sebagaimana dimaklumi, dalam masyarakat
kabilah, berlaku hukum perseteruan antarkabilah (qânûn shirâ‘il qabilî).
Dan dalam sistem kabilah, berlaku prinsip yang menunjukkan solidaritas
kesukuan, seperti ungkapan “anâ wa akhî ‘alâ ibn ‘ammî, wa anâ wa ibn
‘ammî alal gharîb” (aku dan saudaraku [berpihak] pada anak pamanku; dan
aku besarta anak pamanku berpihak pada yang [bermusuhan] dengan orang
asing).
Pada periode Mekkah, kabilah Quraisy merupakan
kabilah yang paling kuat. Kata Quraisy sendiri merupakan penamaan untuk
sekumpulan kabilah-kabilah yang dinisbatkan langsung ke sosok Fahr,
nenek moyang suku-suku Arab Mekkah yang telah mendiami Mekkah sebelum,
ketika dan sesudah meningalnya Nabi. Konfigurasi suku-suku yang menghuni
Mekkah ketika itu akan menunjukkan secara jelas bagaimana peran
kesukuan dalam masyarakat Mekkah. Sebagaimana diterangkan Karena
Armstong, di dalam etika masyarakat suku, individualitas melebur di
dalam kolektivitas suku. Solidaritas suku amat kuat dan bersifat koersif
dalam menggerakkan emosi individu-individu. Perseteruan antarsuku
merupakan hal biasa, dan hanya dapat diredam oleh mekanisme vendetta
(al-tsa’r). Pendek kata, betapapun buruknya persepsi tentang vendetta,
dia merupakan salah satu mekanisme untuk bertahan hidup dalam komunitas
kesukuan.
Setidaknya ada dua belas suku yang mendiami
Mekkah masa dakwah Nabi di Mekkah. Mereka hidup di Mekah tanpa otoritas
yang tersentralisasi. Untuk melakukan pelbagai perundingan untuk
kepentingan mereka, Quraisy (kakek keempat Nabi) mendirikan “padepokan
perundingan” (dârun nadwah). Dalam masyarakat kabilah, juga sudah
dikenal aliansi-aliansi antarsuku untuk saling membantu. Aliansi itulah
yang lantas memberikan semacam proteksi kepada tiap-tiap individu dalam
sebuah kabilah agar tidak diperlakukan secara semena-mena oleh kabilah
lainnya. Sebab dalam hal ini berlaku prisip: menyentuh salah seorang
individu dalam sebuah kabilah akan berakibat pada reaksi seluruh anggota
kabilah, dan potensial menyulut perang saudara. Pola hidup kesukuan
seperti ini, sedikit banyak bersifat positif untuk keselamatan Nabi dan
beberapa pengikutnya. Mereka yang merupakan anggota keluarga salah satu
kabilah Quraisy tidak akan diperlakukan secara semena-mena. Paling
tidak, ini terlihat dari peran Abu Thalib, paman Nabi yang gigih dalam
memproteksi Nabi dari ancaman-ancaman penentangnya. Proteksi relatif
atas Nabi dari kabilahnya ini agak kontras dengan para muslim dari kaum
yang tidak punya tulang punggung dari kabilahnya sendiri, seperti Ammar,
Bilal, dan Shuhaib. Intinya, Nabi mendapatkan perlindungan dari
kerabatnya (Bani Hasyim dan Bani Muthallib) sekalipun mereka tidak turut
serta mengamini dakwahnya.
Kuatnya peran positif
kabilah dalam dakwah Nabi juga dapat dicermati dari dua peristiwa
penting: keislaman Hamzah paman Nabi dan Umar bin Khattab. Hamzah masuk
Islam secara tidak sengaja, dalam rangka menggertak kabilah yang
mengejek dan menyakiti Nabi. Ketika itu, tersiat kabar bahwa Abu Jahl
(klan Makhzum) mengejek dan mencerca Nabi kala berpapasan di bukit
Shaffa. Berita itu sampai ke telinga Hamzah dari mulut sorang budak
Abdullah ibn Jad’an (bani Taim, sekutu Bani Hasyim). Seketika itu juga
Hamzah naik pitam dan mencari batang hidung Abu Jahal. Ketika berjumpa
dia mengatakan, “Berani sekali Engkau mencercanya, sementara aku sudah
menganut agamanya (padahal dia belum menganut Islam ketika itu), dan aku
mengatakan apa yang dia katakan. Berikan padaku reaksi yang serupa
kalau kau memang benar jantan!” Ketika itu, beberapa orang dekat Abu
Jahal bereaksi untuk membela Abu Jahal, tapi mereka dilarang Abu Jahal,
kuatir terjadi pertempuran berdarah antar kabilah yang potensial untuk
tidak berkesudahan.
Kisah keislaman Umar juga
memberikan indikasi kuat tentang peran dominan kabilah dalam masyarkat
Arab dan pengaruhnya terhadap dakwah Nabi. Suatu ketika Umar sudah siap
menghunuskan pedangnya untuk membunuh Nabi yang dia sebut sebagai
“seorang Shabean yang telah memecah-belah harmoni Quraisy”. Dalam
perjalanan menuju Nabi, dia diingatkan oleh Na’im bin Abdullah bahwa
Bani Abdi Manaf (bukan hanya bani Hasyim) tidak akan membiarkan Umar
hidup bebas tanpa membuat perhitungan atas kematian Muhammad. Umar
akhirnya mengurungkan niatnya dan justru masuk Islam setelah tersentuh
secara spiritual oleh makna Al-Qur’an dalam surat Thaha.
Pada akhirnya, Al-Jabiri berkesimpulan bahwa hubungan kesukuan yang
sangat rumit itu tidak memungkinkan suku Quraisy untuk membersihkan
aktivis-aktivis dakwah yang berada bersama Nabi. Maknanya, dakwah Nabi
dapat tetap bertanah hidup –juga– dalam naungan solidaritas kerabat
dalam sistem kabilah. Bahkan, hubungan dengan Madinah, terutama dengan
kabilah Aus dan Khazraj juga tidak lepas dari soal perimbangan kekuatan
kabilah setelah Nabi merasa tidak lagi mempunyai kekuatan yang memadai
sebagai penopang dakwahnya di Mekkah.
Tapi yang
menarik, setelah pindah ke Madinah, Nabi relatif berhasil mengembangkan
sistem persaudaraan lintaskabilah antara komunitas Muslim pertama (kaum
Muhajirin dan Anshor), dan kaum Muslim dengan kabilah-kabilah Yahudi di
Mekkah melalui Piagam Madinah (mitsâqul madînah). Intinya, pada periode
Madinah, Nabi cukup berhasil mengantikan solidaritas kesukuan menjadi
solidaritas lain yang bersiafat ideologis, yaitu solidaritas ummah atau
millah. Bahkan, Nabi berhasil membentuk semacam “pakta pertahanan
bersama” antara kaum muslim dengan Yahudi, untuk sama-sama memproteksi
wilayah Madinah dari kemungkinan serangan Quraisy Mekkah.
Hanya saja, di samping peran-peran positif tadi, kabilah juga punya
beberapa peran negatif. Sulitnya Nabi menembus proteksi kabilah terhadap
individu-individu dalam kelompok kesukuan tersebut untuk menganut Islam
termasuk di antara peran negatif kabilah. Penjelasannya tak lain karena
individu-individu dalam sebuah kabilah bukanlah sosok-sosok yang otonom
atau independen dari komunitasnya. Pilihan untuk mengambil arus yang
berlawanan dan berbeda dari prinsip umum kabilah merupakan tindak bunuh
diri (asybah bil intihâr). Di sinilah rahasia mengapa dakwah Islam
kemudian mesti melakukan terobosan-terobosan dan penaklukan-penaklukan
terhadap sistem kabilah yang menjadi tembok penghadang sesungguhnya.
Tapi persoalan kabilah saja tidak cukup menjadi motif mengapa mereka
sulit menerima dan ditembus. Lebih esensial dari sekedar kabilah adalah
persoalan qhanimah; soal sumber-sumber ekonomi yang perlu dipertahankan
dan belum adanya tanda dan jaminan bahwa hidup mereka akan lebih membaik
dengan ikut terlibat dalam solidaritas keislaman. Dari sinilah perlunya
membahas lebih lanjut faktor penjelas lainya, yaitu ghanimah.
PENJELASAN GHANIMAH: Suatu ketika, seorang penguasa Bani Umayyah
bernama Abdul Malik bin Marwan menanya Urwah bin Zubeir tentang mengapa
kaum Quraisy menentang dakwah Nabi. Urwah menjawab, “Ketika Nabi menyeru
kaumnya dengan petunjuk dan pencerahan yang diturunkan kepadanya,
mereka mulanya tidak menjauh, dan nyaris akan menanggapinya. Sampai
kemudian Nabi menyebut-nyebut berhala mereka, maka datangnya sekelompok
orang berharta melimpah mengingatkan mereka akan bahaya dakwah tersebut.
Sejak saat itulah mereka menghindar dari Nabi, kecuali sedikit yang
dijaga oleh Allah”. Di sini, sebenarnya terlihat sekali kontras luar
biasa antara keyakinan (celaan terhadap berhala-berhala mereka) dengan
kedatangan orang kaya yang umumnya tak lebih penting bagi mereka kecuali
keselamatan harta benda mereka.
Menurut Al-Jabiri dan
beberapa kajian tentang keyakinan Quraisy di masa Nabi, berhala-berhala
bagi kaum Quraisy tidak sampai derajat “yang sakral” sehingga seseorang
rela mati untuk mempertahankan kesakralannya. Berhala-berhala tersebut
tak lebih dari simbol untuk menjaga sumber pendapatan dan tulang
punggung ekonomi mereka. Mekkah merupakan sentra berhala masing-masing
kabilah; tempat mereka berkumpul dalam ritual haji yang banyak
mendatangkan devisa bagi suku-suku Quraisy. Rasionalisasi kekhawatiran
mereka akan berhala tersebut tak lebih karena itu sama artinya dengan
bertindak lancang atas sumber pendapatan dalam haji dan aktivitas
ekonomi yang berkaitan denganya. Kekuatiran akan kehilangan
sumber-sumber pendapatan mereka, membuat Quraisy dengan keras menentang
dakwah Nabi.
Makanya, Al-Jabiri berpendapat bahwa
perpindahan Nabi dari Mekkah ke Madinah juga dapat dibaca sebagai proses
menjalankan dakwah dengan cara yang lain, seperti megutus ekspedisi dan
menyerang kafilah dagang Quraisy, bukan semata-mata karena takut dan
melarikan diri dari kejaran Quraisy. Cara-cara berdakwah seperti itu,
ketika itu “dapat dibenarkan” sebagai bentuk “embargo” ekonomi atas
Mekkah, demi menanti penyerahan total secara politis agar mereka
selanjutnya memeluk Islam. Dari dalam penjelasan ini,
pemikiran-pemikiran tentang qhanimah sudah muncul dalam nalar politik
Islam permulaan. Kenyataan itu pulalah yang sudah dideteksi secara jeli
oleh Nabi. Beberapa serangan Nabi atas kafilah Quraisy, misalnya yang
terjadi di Buwath, dan beberapa perang seperti Perang Badar, tak lain
demi memberikan pukulan ekonomis terhadap kaum Quraisy. Ini jugalah yang
dapat dipahami dari penentangan Quraisy terhadap cercaan ayat-ayat
Qur’an terhadap berhala-berhala mereka. Menyentuh persoalan berhala
mereka, dalam pemahaman Quraisy tak lain adalah pengumuman perang
terhadap sumber-sumber ekonomi mereka.
Dari perspektif
ghaniman ini, Al-Jabiri menyatakan bahwa ghanimah pada awalnya bukanlah
tujuan utama Nabi. Hanya saja, pukulan-pukulan terhadap kepentingan
ekonomi Quraisy perlu dilancarkan demi menaklukkan mereka, sembari
menegaskan bahwa hanya dengan Islam mereka akan dapat diuntungkan.
Islamnya kaum Quraisy sangat berarti untuk mengislamkan suku-suku lain,
karena mereka adalah suku yang berkuasa di Mekkah. Maka dari itu, proses
penghadangan terhadap ekspedisi perniagaan Quraisy perlu dilancarkan
dari Madinah, sebab jalur perdagangan antara Mekkah dan Syam (Syiria
sekarang) akan melewati jalur Madinah. Nabi paham betul, bahwa strategi
perang yang paling menyakitkan bagi Quraisy adalah yang dapat
menyadarkan bahwa kepentingan niaga mereka akan benar-benar terancam.
Beberapa perang, seperti perang Badr benar-benar telah memberikan harta
rampasan perang yang memadai bagi kaum Muslim di Madinah. Ketika itu
pulalah, kekuatan Abu Jahal dan sukunya, Bani Makhzum benar-benar luluh
lantak, dan Bani Umayyah kemudian menguasai Mekkah secara penuh. Setelah
perang Badr dan banyaknya harta rampasan perang, turun surat Al-Anfal
yang memberikan tuntunan teknis distribusi jatah ghanimah, yaitu 4/5
untuk yang ikut berperang, dan 1/5 untuk Allah dan Rasulnya. Sejak saat
itu, persoalan ghanimah sudah menjadi bagian penting dari “bibit negara
Madinah”, bahkan, bagi kalangan Muslim baru, menjadi salah satu stimulan
untuk masuk ke dalam pangkuan Islam. Al-Jabiri juga menyebutkan
sebanyak 17 ghazwah dan sirriyyah yang dilancarkan Nabi terhadap
suku-suku badui sekitar Mekkah dan Madinah, dilancarkan untuk “memberi
pelajaran” kepada mereka agar mau memeluk Islam, menambah wibawa Islam,
atau untuk menjamin keamanan jalur perdagangan Islam dari Madinah ke
Syam.
Hanya saja, persoalan ghanimah selain berperan
positif juga punya dampak-dampak negatif terhadap perkembangan Islam
selanjutnya. Al-Jabiri menyebutkan, banyaknya ghanimah yang dihasilkan
dalam beberapa penaklukan, dan berduyun-duyunnya orang memeluk Islam
tidak dapat mengiring mereka untuk melampaui derajat “Islam
politis-perang” menuju Islam pada level akidah dan keimanan. Sisi-sisi
negatif dari faktor ghanimah ini akan ikut andil dalam perpecahan kaum
Muslim awal, bahkan sejak Nabi masih hidup. Cerita tentang ghanimah
Hunain menjadi bukti akan hal ini. Sebelumnya, perang Uhud juga menjadi
bukti bahwa faktor ghanimah selain merupakan faktor kekuatan, juga
menjadi kelamahan di kemudian hari. Sisi-sisi negatif aspek berlanjut
dalam kasus perang Tabuk dan Mu’tah (untuk melawan Imperium Romawi), dan
bagaimana tanggapan kaum Muslim awal dalam peristiwa tersebut. Ketika
Nabi mempersiapkan diri untuk berperang, banyak dari kaum Muslim baru
yeng derajat keislamannya masih pada level loyalitas politik, enggan
ikut perperang. Surat At-Taubah yang turun setahun menjelang wafatnya
Nabi, menjadi bukti sejarah dan nyaris seperti laporan kritis tentang
kondisi internal negara dakwah Nabi.
Pada tahun
kesepuluh Hijriah, menjelang wafatnya Nabi, nyaris semua kabilah di
Jazirah Arab sudah tunduk dan loyal kepada kepemimpinan politik Nabi.
Nabi juga telah mengutus dan menempatkan wakil-wakilnya di tiap-tiap
wilayah sebagai dutanya. Hanya saja, masuk akal kalau dikatakan bahwa
Islamnya beberapa kabilah di Jazirah Arab itu –seperti islamnya kaum
A’râb, kaum munafik Madinah, dan kaum Quraisy ketika penaklukan Mekkah
dan suku Tsaqif– semuanya dapat dikatakan sebagai bentuk Islam politis
ketimbang Islam ideologis. Kala itu, salah satu pertanda loyalitas
kepada suku yang menang (Nabi di Madinah) adalah dengan cara memberikan
upeti secara rutin, tidak beraliansi dengan musuh, dan tidak menunjukkan
permusuhan nyata. Hanya saja, sebagaimana biasanya, loyalitas itu akan
berhenti dengan matinya sang pemimpin/penakluk. Inilah yang terjadi
kemudian dengan negara dakwah Nabi. Demi mendengar sakitnya Nabi,
beberapa kabilah tersebut bergegas murtad lagi (membelot dari Islam),
para dukun mengaku diri sebagai nabi baru, dan beberapa kepala suku
melakukan pemberontakan.
Tapi yang menarik, kebanyakan
kabilah yang membelot dari “kekuasan sentral” tersebut tidak termasuk
dua kabilah besar, Quraisy dan Tsaqib; dua kabilah yang dulunya menjadi
musuh bebuyutan Nabi. Ini disebabkan, kekuasaan di pusat telah berjalan
mengarah pada prakondisi menuju negara Quraisy sejati.
Dari Riddah Ke Fitnah
PENJELASAN KABILAH: Dalam bahasan ini Al-Jabiri menjelaskan problem
suksesi kepemimpinan politik setelah mangkatnya Nabi. Menurut Al-Jabiri,
kajian atas beberapa riwayat tentang suksesi kepemimpinan politik
setelah mangkatnya Nabi dan bagaimana prosesi pengangkatan Abu Bakr
sebagai pengganti Nabi dalam urusan kepemimpinan negara baru Madinah,
menunjukkan bahwa faktor kabilah –berbeda dari bahasan sebelumnya yang
menempatkan akidah sebagai bahasan awal– merupakan faktor determinan
dalam prosesi tersebut. Data-data sejarah tentang perdebatan sengit
antara kalangan Anshar dan Muhajirin dalam penentuan siapa yang paling
berhak memangku kepemimpinan politik setelah Nabi, menunjukkan secara
terang benderang determinasi faktor kabilah (soal dari kabilah apa,
unsur kedekatan dengan Nabi, kepermulaan masuk Islam, dan perimbangan
kekuatan) dalam menentukan siapa yang paling berhak menjadi pemimpin.
Problem ini muncul karena kematian Nabi bagi rata-rata umat Islam kala
itu memang mengejutkan, lebih-lebih Nabi tidak mewasiatkan tentang siapa
yang akan memangku jabatan pemimpin untuk melanjutkan misi Islam
setelah dia wafat. Akhirnya, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tertentu, Abu Bakar keluar sebagai pemenang “pemilu sederhana” dalam
masyarakat yang masih kuat mempertimbangkan faktor kabilah itu.
Menariknya, Al-Jabiri justru mengemukakan, selain karena kedekatan
dengan Nabi, kewibawaan dan faktor-faktor lainnya, Abu Bakr juga dipilih
karena dia berasal dari kabilah Taim yang kurang berpengaruh. Pemilihan
itu didasarkan atas asumsi bahwa dengan tampilnya Abu Bakar yang
notabene dari kabilah Taim yang kecil dan kurang berpengaruh, kedengkian
kabilah yang lebih besar seperti Bani Umayyah dari kalangan Muhajirin
dan Khazraj dari kalangan Anshar menjadi tidak beralasan. Dalam
pandangan mereka, Abu Bakar tidak akan memimpin secara semena-mena dan
bersikap memihak pada salah satu kabilah. Ini artinya, proses suksesi
kepemimpinan dijalankan dengan logika politik belaka. Logika politik
yang paling dominan ketika itu tak lain adalah logika kesukuan atau
kabilah. Artinya, faktor akidah (wasiat Nabi, Hadis-hadis tentang
keutamaan Quraisy, atau ayat-ayat, tidak digunakan dalam perdebatan
pelik itu), dan faktor ghanimah belum menjadi pertimbangan penting.
Artinya, para sahabat menganggap suksesi kepemimpinan tersebut sebagai
masalah ijtihadi dan menggunakan mekanisme itu sembari tidak melupakan
soal perimbangan kekuatan (mizânul quwâ), kemampuan (maqdirah),
kecakapan (kafâ’ah), dan kepentingan negara (mashlahatud daulah). Hanya
saja, semua itu tetap berada dalam kerangka kabilah, lazimnya dalam
sebuah masyarakat kesukuan. Selain soal determinasi kabilah, Al-Jabiri
juga tidak lupa mengatakan bahwa dakwah Nabi Muhammad telah berhasil
melampaui logika kabilah (dalam maknanya yang sempit), dan
menggantikannya dengan logika ummah sebagai proyek masa depan Islam.
Hanya saja, proses suksesi kepemimpinan kepada Abu Bakar meskipun
berlangsung aman dan lancar di pusat (poros kekuasaan), tetap saja
menimbulkan beberapa pergolakan di wilayah-wilayah (daerah satelit).
Pemberontakan yang dalam terma fikih disebut sebagai soal kemurtadan
(riddah, irtidâd), terjadi di pelbagai daerah, kecuali di Mekkah,
Madinah dan Thaif. Persolan inilah tantangan pertama yang dihadapi Abu
Bakr: merekonstruksi fondasi negara (i‘âdat binâ’id daulah) ataupun
“penaklukan ulang” (i‘âdatul fath).
Pada masa
pemerintahan Umar, negara Islam betul-betul sudah berada di dalam
genggaman Quraisy, tanpa pesaing berarti. Merekalah orang-orang yang
bergiat melakukan gerakan penumpasan atas pemberontakan-pemberontakan di
pelbagai wilayah. Di Irak dan Syam, mereka berhasil menaklukkan
kekuasaan dua imperium besar Parsi (di Irak) dan Romawi (di Syam). Yang
menarik, setelah Umar wafat, terjadi persaingan kepentingan antara Ali
bin Abi Thalib (klan Hasyim) dengan Utsman bin Affan (klan Umayyah).
Persaingan ini mengingatkan kembali persaingan antara kedua klan
tersebut pada era sebelum Islam, yang dimenangkan klan Hasyim dan
menyingkirnya klan Umayyah ke Syam. Tapi kali ini, klan Umayyah
tergolong lebih kuat dari klan Hasyim. Beberapa pembesar klan Umayyah
adalah orang-orang yang berjasa dalam penaklukan Islam dan menjadi
penguasa Islam di beberapa wilayah taklukan. Sementara Ali lebih banyak
berada di Madinah, tidak terlalu berpolitik, dan lebih banyak aktif
dalam kegiatan sosial, umpamanya mengelola panti kaum yang lemah. Inilah
agaknya rahasia mengapa klan Umayyah berikutnya lebih berkuasa dan
berhasil mengalahkan Ali dalam pelbagai percaturan politik kekuasaan.
Faktor kabilah masih juga terlihat jelas baik dalam kebijakan Abu
Bakar, Umar maupun Utsman. Abu Bakar bersikap keras terhadap para
pemberontak dan kemudian memperlakukan mereka –setelah takluk– ibarat
perlakuan atas para pecundang sebagai sanksi atas pembelotan mereka.
Mereka juga tidak diikutsertakan dalam penaklukan-penaklukan besar
seperti terhadap Irak ataupun Syam. Ketika Umar memerintah, “mereka yang
pesakitan itu” kembali diikutsertakan dalam proses penaklukan Irak dan
Syam. Pada masa Utsman, kendali Quraisy atas Arab lainnya, terutama klan
Umayyah lebih menonjol dan lebih kentara lagi. Al-Jabiri menafsrikan
bahwa pemberontakan di pelbagai daerah taklukan Islam, juga berarti
pemberontakan Arab lainnya atas kekuasaan Quraisy. Selain, di Syam yang
relatif dapat dikendilan oleh klan Umayyah, Kufah, Bashrah dan Mesir,
masih merupakan barak golongan Arab non-Quraisy (lebih spesifik
non-Umayyah) yang merasa sesaknya nafas berada di bawah hegemoni
Quraisy-Umayyah. Mereka merasakan jerih payah menaklukkan daerah-daerah
tersebut dengan tenaga mereka sendiri, tapi jatah ghanimah, kharâj, dan
jizyah selalu terbang ke kekuatassn pusat Quraisy di Madinah.
Pada episode sejarah selanjutnya, pemberontakan mereka akan terlihat
lebih nyata lagi dalam peristiwa persekutuan beberapa kabilah yang
mendendam terhadap Quraisy, dan khususnya kebijakan politik Utsman yang
benar-benar mengukuhkan kekuasaan Umayyah. Kabilah-kabilah Arab di
Kufah, Bashrah dan Mesir, bersepakat menuju Madinah dengan berkedok
ritual umrah pada tahun 35 Hijrah. Mereka menuntut Utsman untuk mengubah
kebijakan, mundur dan memecat beberapa penguasa Umayyah yang berada di
tempat mereka masing-masing (baik di Syam, Kufah, Bashrah maupun Mesir).
Tapi ketika itu perundingan mengalami jalan buntu (deadlock) sehingga
berakhir tragis dengan kematian Utsman.
Lalu Ali
tampil ke tampuk pimpinan khilafah. Kondisi sudah terlalu runyam untuk
bisa dikendalikan. Jelas sekali, saat itu konflik utama berlangsung
antara klan Umayyah melawan suku-suku Arab yang banyak berpihak kepada
Ali. Peperangan akhirnya meletus antara pasukan Ali melawan koalisi
Zubeir, Thalhah dan Aisyah di Kufah (Perang Unta). Ali juga berperang
melawan Muawiyah di Syam (perang Shiffin). Menariknya, Al-Jabiri
menyebutkan bahwa kekalahan Ali melawan Muawiyah, pada titik akhirnya
lebih disebabkan “kontradiksi internal” di dalam pasukan Ali sendiri
yang terdiri dari persekutuan beberapa suku Arab non-Umayyah. Dalam
artian, Ali tidak mampu melakukan harmonisasi yang memadai antar
pelbagai kepentingan suku yang berperang di pihaknya. Kenyataan ini
dalam analisis Al-Jabiri lebih disebabkan karena Ali bukan seorang
politisi ulung sebagaimana Muawiyah. Dia lebih tepat dikatakan sebagai
seorang “pekarja sosial” yang tiba-tiba menjadi politisi setelah
mengalami pelbagai kekalahan dalam prosesi suksesi kepemimpinan puncak.
“Ketidakcakapan Ali” dalam melakukan harmonisasi antarkabilah yang
berperang bersamanya itu kemudian berbuntut pada hilangnya nyawanya
sendiri. Peristiwa itu terkait erat dengan dendam kelompok Khawarij yang
diperangi Ali dalam perang Nahrawan. Ali dibunuh oleh Abdurrahman bin
Muljam pada bulan Ramadan tanun 40 Hijriah. Pada akhirnya, dengan
terbunuhnya Ali, melalui usaha yang keras, Muawiyah berhasil mengambil
tampuk kekuasaan dan meredam pelbagai peperangan. Muawiyah datang ke
Kufah untuk kemudian dibaiat oleh umat Islam, lantas menetapkah tahun
tersebut (41 Hijriah) sebagai “tahun rekonsiliasi” (‘âmul jamâ’ah).
Dengan tampilnya Muawiyah dalam pentas sejarah kekuasaan politik Islam,
dimulilah era baru bagi sebuah “negara-raja-politikus” (daulatul malikis
siyâsî).
PENJELASAN GHANIMAH: Umum diketahui, dua
prasyarat utama untuk menopang sebuah negara adalah tentara dan kekuatan
finansial (al-jund wal mâl). Dalam konteks itu, dalam sebuah adagium
Arab tersiar istilah “al-mulk bil jund wal jund bil mâl” (sebuah
kerajaan mesti [ditopang oleh] prajurit, dan prajurit mesti [ditopang
dengan] duit). Dalam sejarah Islam awal, sumber pendapatan negara yang
utama adalah ghanimah, zakat dan pendapatan lainnya.
Zakat dalam pandangan kabilah-kabilah Arab ketika itu setara saja dengan
upeti (itâwah) yang berlaku sebelum Islam, dan dipersembahkan bagi
sebuah suku terkuat, selagi perimbangan kekuatan mensyaratkan itu.
Pembelotan kabilah-kabilah pada masa Abu Bakar dapat dilihat dari
perspektif ini. Bagi kabilah-kabilah yang membelot, loyalitas politik
berikut “upetinya” hanya berlaku sepanjang hayat masih dikandung badan
Muhammad. Untuk itu, tidak ada keharusan bagi mereka untuk melanjutkan
setoran kepada Abu Bakar setelah Muhammad wafat.
Tapi
dalam pandangan Abu Bakar, meremehkan persoalan zakat berkaitan erat
dengan persoalan otoritas, atau setara dengan menyerahkan sebagian
otoritas negara kepada kaum pemberontak. Abu Bakar yang ahli tentang
sistem hidup kabilah tahu betul logika berpikir itu. Makanya, sedikit
unjuk kekuatan menjadi penting untuk mengikat loyalitas mereka,
sekalipun kebijakan tersebut pada mulanya ditentang keras oleh Umar,
mengingat mereka juga telah mengucap dua kalimat syahadat. Tapi, dalam
pandangan Abu Bakar, perang melawan kaum pembelot merupakan upaya
rekonstruksi terhadap fondasi negara yang sudah dirintis oleh Nabi.
Logika ghanimah pertama kali dalam Islam terlihat kentara ketika Abu
Bakar membujuk kabilah-kabilah Arab di Mekkah, Thaif, Yaman, Nejd, Hijaz
dan lainnya untuk berjihad dengan iming-iming harta rampasan perang
Romawi. Lebih lanjut, di masa Umar pun iming-iming harta rampasan perang
masih digunakan dalam rangka penaklukan kekuasan Parsi di Irak. Asumsi
utama Al-Jabiri menyebutkan, terdapat prasyarat objektif dan subjektif
(di antaranya untuk mendapatkan mati syahid atau hidup senang) ketika
kaum muslim bergiat melakukan penaklukan-penaklukan tersebut. Asumsinya
lebih lanjut mengatakan bahwa pada generasi-generasi awal, faktor akidah
(demi tersiarnya Islam) memang sangat dominan. Tapi pada generasi Islam
berikutnya, khususnya pada kabilah-kabilah yang secara massal masuk
Islam, sangat sulit untuk menafikan dorongan ghanimah dari alam bawah
sadar mereka.
Pada masa Abu Bakar, kekayaan yang
berasal dari ghanimah tidak seberapa. Tapi pada masa Umar, ghanimah
berlimpah ruah, karena menyangkut warisan dua imperim besar yang
rampasan perangnya lebih berkilau dibandingkan rampasan perang hasil
penaklukan kabilah-kabilah di Jazirah Arab yang tandus. Pendek kata,
Al-Jabiri ingin menegaskan bahwa persoalan ghanimah tidak bisa
dilepaskan dari nalar Arab sama sekali dalam proses
penaklukan-penaklukannya terhadap beberapa wilayah.
Tapi persoalan ghanimah menjadi masalah khususnya dalam kebijakan
penguasa dalam soal distribusinya. Di masa Abu Bakar, semua hasil
ghanimah diberikan secara merata kepada kaum muslim dan tanpa tesisa
sedikitpun untuk Baitul Mal. Jatah per kepala pun disamakan antara semua
yang ikut serta dalam perang (prinsip sama rata sama rasa?). Kebijakan
Abu Bakar ini, tentu punya kelemahan dan kelebihan tersendiri.
Kelebihannya, jurang antara yang miskin dan kaya di kalangan umat Islam
relatif bisa dibendung. Sementara kekurangannya, dia mendapat kritik
dari banyak kalangan, khususnya kaum Muslim awal; bagaimana mungkin Abu
Bakar memberi jatah yang sama antara mereka yang dulu masuk Islam dengan
para mualaf atau yang menganut Islam politis?
Kebijakan soal ghanimah berubah di masa pemerintahan Umar. Kriteria
kedekatan dengan Nabi (al-qarâbah) dan asas permulaan memeluk Islam
(‘aqîdah) mulai diberlakukan. Umar juga berinisiatif membuat “Kantor
Distribusi” (diwânul ‘athâ’) setelah semakin banyak harta rampasan yang
perlu dimenej. Al-Jabiri mencermati, bahwa persoalan distribusi rampasan
perang menjadi landasan pada perkembangan selanjutnya dalam
pengorganisasian kabilah dan rekonstruksinya. Pada titik ini, pada era
Umar muncul persoalan pelik menyangkut bagaimana mengorganisasi
tanah-tanah pertanian hasil rampasan perang di Irak, Syam dan Mesir yang
terkenal subur itu. Umar mengambil kebijakan hasil olah pikirnya, yang
bertentangan dengan makna literal yang ditetapkan Al-Quran dalam soal
itu. Semestinya, tanah-tanah tersebut, menjadi hak para prajurit yang
ikut dalam pepeperangan. Tapi Umar mengambil kebijakan lain mengingat
para tentara tersebut terdiri dari kabilah-kabilah Badui yang tidak
biasa bercocok tanam. Kalaupun mereka dianggap bisa bercocok tanam,
siapa yang akan memangku tugas untuk berjihad?
Sebuah
tantangan berada di pundak Umar, apalagi banyak para sahabat yang ingin
menerapkan prinsip teks-teks Al-Qur’an secara literer (mereka mendapat
bagian 4/5). Tapi Umar relatif mampu menanggulangi kemelut itu walau
dengan susah payah. Sekarang, sumber pendapatan negara Islam menjadi
dua: baitul mâl (pendapatan dari pajak tanah) di samping ghaniman dan
pendapatan-pendapatan temproral lainnya. Tapi kebijakan Umar tadi,
ditambah kebijakan-kebijakan lainnya yang dianggap mengekang kebebasan
individu untuk menggunakan hartanya, juga ditentang oleh kebanyakan
sahabat. Bahkan, Al-Jabiri menyebut kemungkinan adanya “konspirasi elit
Quraisy” dalam pembunuhan Umar yang dilakukan Abu Lu’lu putra Mughirah,
pembesar Quraisy yang dulu pernah menjadi saudagar kaya di Mekkah era
Jahiliyah .
Pasca Umar, kebijakan Utsman yang
berlatarbelakangan seorang pedagang dalam soal perekonomian negara
berbeda dengan Umar. Umar masih mampu menahan lajunya konglomerasi di
dalam negara. Tapi pada masa Utsman, konglomerasi mulai muncul ke
permukaan. Utsman tidak terlalu berhitung dengan harta, dalam artian
tidak terlalu ambil pusing dengan soal manejemen keuangan. Dia masih
mengikuti pola Umar dalam distribusi kekayaan, tapi melampauinya sampai
pada tingkat kroniisme yang akut dengan memberikan banyak previlese
kepada para kerabatnya, khususnya klan Umayyah, dari dana Baitul Mal,
seakan-akan harta pribadinya. Bahkan, ketika protes di sana-sisi atas
kebijakannnya dalam mendistribusikan kekayaan negara, dia malah
mengatakan, “Mengapa aku tidak berhak untuk menggunakan sisa kekayaan
itu sesuai yang aku mau; untuk apa aku menjadi pemimpin?!” Utsman juga
mulai membuka ruang buat berkuasanya kembali para spekulan lama dalam
dunia perekonomian Mekkah zaman Jahiliyah. Kebijakan-kebijakan
ekonominya dipandang kurang berpihak kepada kaum lemah. Ketika itulah,
mulai terkonsentrasi kekayaan masyarakat pada segelitir orang dari
pembesar Quraisy. Jurang antara yang berpunya dan yang papa semakin
menganga. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang kurang berpihak pada
orientasi pemerataan, ditambah penempatan beberapa wakilnya yang tidak
cakap dari sisi kredibilitas keislaman inilah yang menjadi motor
penggerak pemberontakan di daerah-daerah satelit terhadap kebijakan
poros kekuasaan Madinah.
Pasca kematian Utsman, tidak
gampang bagi Ali untuk memerintah dalam suasana yang relatif chaos. Dia
dituntut dari berbagai sisi untuk menuntaskan banyak perkara; menegakkan
sanksi bagi pembunuh Utsman, tapi sekaligus juga menenangkan para
pemberontak yang sudah menguasai Madinah. Ali didesak oleh
sahabat-sahabat seperti Thalhah dan Zubeir untuk menuntaskan kasus
Utsman. Tapi dia juga dikepung oleh pemberontak yang merasakan kebijakan
distribusi kekayaan yang salah pada masa pemerintahan Utsman. Makanya,
sambil berkelit Ali suatu kali berkata, “Aku tidak meyuruh mereka
memberontak, tapi kenapa Engkau menyalahkan aku?!” Ali kemudian
mengambil kebijakan radikal dengan memecat beberapa orang kepercayaan
Utsman, walaupun kekuasaan sesungguhnya tidak lagi di tangannya. Memang,
Ali dikenal sebagai orang yang sangat dekat dengan kalangan pemberontak
yang bergerak atas motif kemiskinan yang sudah mendera mereka. Dia juga
menjadi simbol penuntut keadilan. Hanya saja, prinsip keadilan selalu
dipersepsi macam-macam. Ali tetap setia dengan keadilan hakiki tanpa
pretensi lainnya yang cenderung abstrak, sementara para pemberontak
menuntut keadilan dalam bentuk kongkritnya: soal penambahan pendapatan
(ziyâdatul ‘athâ’i). Artinya, Ali gagal menangkap kebutuhan material
para pemberontak, dan tidak berhasil mendamaikan antara unsur akidah,
ghanimah dan kabilah. Muawiyah pada akhirnya berhasil memungsikan semua
motif-motif tersebut untuk memenangkan pertarungan politik.
PENJELASAN AKIDAH: Menurut Al-Jabiri, kekacauan yang terjadi dalam
sejarah Islam yang telah diulas di atas tidak hanya karena faktor
dominasi Quraisy terhadap qhanimah, tapi juga disebabkan protes pada
level akidah; bagaimana harus memimpin atas dasar Kitab, Sunnah dan
tradisi Abu Bakar dan Umar.
Pada bahasan kategori
akidah ini, Al-Jabiri menguraikan iklim umum budaya Arab yang ikut
berperan dalam menggerakkan kalangan yang mendakwakan diri sebagai
nabi-nabi pasca Muhammad. Intinya, berdasarkan penjelasan kultural itu,
beberapa kabilah Arab memandang bahwa soal kenabian hanyalah “fenomena
biasa” yang masuk dalam bingkai gerakan hunafâ’ yang tidak terpisah dari
hidup pertapaan ala Kristen. Fantas-fantasi lama Arab tentang kenabian
sebagai sebuah fenomena biasa tidak bisa dilenyapkan sama sekali. Dalam
sejarah Islam tercatat, mereka yang masuk Islam dalam suasana penaklukan
di masa Abu Bakar, dan mereka sibuk dengan peperangan di masa Umar
tidak cukup waktu untuk mengukuhkan keyakinan Islam pada level akidah.
Jadi pada level akidah, masuk akal kalau mereka belum betul-betul dapat
terlepas dari fantasi-fantasi lama mereka. Di sini, Al-Jabiri juga
mengulas secara panjang lebar tentang peran sosok-sosok seperti Abdullah
bin Saba’ dalam memberikan kerangka kultural bagi terciptanya
fantasi-fantasi tentang kenabian, dan beberapa pemikiran yang relatif
aneh di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Sebagian dari klaim-klaim
Abdullah bin Saba’ tersebut nantinya akan berkembang juga dalam sejarah
Islam, sebagaimana diulas Al-Jabiri dalam bahasan tentang mitologi
pemimpin.
Sementara pada level kebijakan khalifah,
Al-Jabiri memaparkan protes-protes Ammar bin Yaser, Abu Dzar Al-Ghifari
dari kalangan yang terpinggirkan dengan menggunakan terma-terma agama.
Menurut Al-Jabiri, kalangan mustadh’afin dulunya itu, termasuk kalangan
yang ekstrem dalam soal keyakinan. Pendek kata, Ammar dan kawan-kawan,
dalam istilah Al-Jabiri menggunakan logika kaum revolusioner (manthiquts
tsaurah) merujuk pada kenangan mereka yang belum lenyap tentang
revolusi atas berhala-berhala Mekkah. Sementara, Utsman dan beberapa
kerabatnya berpikir menurut alur logika aparatur negara (manthiqut
daulah). Dua logika yang sulit bertemu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar