CATATAN AKHIR
M. FUDHOLI
Dalam Nicomachaean Ethic, Aristoteles ketika berbicara tentang teori
etikanya, membedakan kebijaksanaan menjadi dua macam, pertama,
bijaksana secara teoritis (sophous), yaitu kebijaksanaan yang hanya ada
dalam taraf ide, teori saja tanpa termanifestasikan dalam tingkah laku.
Artinya, baik sercara sophous itu hanyalah kebaikan yang dimiliki
manusia hanya sebatas teori, sedangkan tingkah lakunya tidak menunjukan
nilai-nilai yang ada dalam teori tersebut. Aristoteles mencontohkan
Anaxagoras dan Thales sebagai orang yang bijaksana secara sophous,
mereka bijaksana dan baik secara teoritis, tetapi tidak secara prkatis
karena tingkah lakunya tidak mencerminkan kebijaksanaan. Apa yang telah
mereka kuasai hanyalah sekedar teori belaka, “tidak bermanfaat” dan
mempengaruhi tingkah lakunya. Kebijaksanaan teoritis (sophous) dapat
dicapai dengan belajar atau pengajaran, maka yang dibutuhkan adalah
pengalaman dan waktu. Kedua, bijaksana secara praktis (phronimous),
yaitu kebijaksanaan yang bukan hanya sebatas teori tetapi
terimplementasikan dalam perbuatan dan tingkah laku.
Phronimous ini merupakan kebijaksaan yang paling sempurna, karena tidak
hanya sebatas ide saja, tetapi dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan kebijaksanaan praktis (phronimous) selain dihasilkan karena
kesadaran dari pembelajaran, yang lebih penting adalah karena kebiasaan.
Teori pembiasaan dalam melakukan hal-hal yang baik agar seseorang mampu
menjadi bijaksanan secara praktis inilah yang disebut Aristoteles dalam
teorinya sebagai habitus. Aristoteles bukan hanya seorang
filosof yang hanya mementingkan akal dan segala tetek bengek teori
filsafat, tetapi dia adalah seorang yang benar-benar sholih secara
individual dan sosial. Dia selalu menekankan bahwa perbuatan secara
nyata demi kemaslahatan pribadi dan orang lain yang didasari oleh ilmu
pengetahuan adalah puncak dari filsafat sendiri. Maka tidak heran,
kalau dalam pembagian filsafatnya, sekali lagi dia membagi filsafat
menjadi tiga, yang salah satunya adalah filsafat praktis; yaitu filsafat
yang berhubungan dengan realitas tingkah laku manusia, atau dengan
bahasa lain filsafat yang bukan mengawang hanya teori belaka, tetapi
filsafat yang menjelma menjadi tingkah laku. Itulah sosok Aristoteles
yang menurut Aku adalah salah satu dari “Nabi” yang dianugrahkan Tuhan
pada manusia di bumi. Pada era sekarang ini, jargon-jargon
humanisme, pluralisme, demokrasi begitu gegap gempita disuarakan oleh
beberapa kalangan. Aku bukan termasuk orang yang “alergi” terhadap
jargon-jargon tersebut, tetapi kadang tertawa sembari geleng kepala,
karena orang-orang yang menyuarakan jargon-jargon agung tersebut,
ternyata ibarat pepatah, jauh panggang daripada api. Mereka menyerukan
faham humanisme, tetapi tidak pernah “menyentuh” kepala anak yatim,
selalu menggerutu ketika dimintai sodaqah fakir miskin, dan tidak pernah
menyapa-walau dengan recehan-kepada anak-anak kecil yang kepanasan di
perempatan jalan. Mereka menyerukan pluralisme, tetapi selalu merasa
benar sendiri, ingin menang sendiri. Baginya, partai radikal adalah
keliru, eksklusivisme harus dihilangkan. Bukankah ini sendiri lambang
ketidak pluralisan. Kalau memang pluralis sejati, maka biarkanlah orang
yang tidak pluralis tetap eksis, dia hanya cukup menunjukan bahwa “aku
tidak marah dan bisa menerima keekstriman pendapatmu”. Mereka juga
mengatakan “tegakan demokrasi”, tetapi tidak mau berbeda pendapat, tidak
ingin didebat dan sekedar mendengarkan pendapat orang lain.
Ketidak singkronan antara ucapan dan perbuatan inilah yang menurutku,
menjadikan jargon-jargon itu kosong mlompong- pluralisme kosong,
humanisme tanpa ruh, dan demokrasi maya. Melihat orang yang semacam ini,
Aku menjadi “kasihan” dengan humanisme dan konco-konconya yang
sebenarnya merupakan ide-ide agung, lagi suci, tapi ternoda oleh orang
yang mengusungnya. Dan Aku pun yakin seribu yakin (haqq al-yaqin)
pluralisme, humanisme, dan demokrasi yang diusung oleh orang-orang
seperti ini, tidak akan banyak memberikan makna bagi orang lain. Orang
yang mendengarkannya, hanya bagaikan mendengar nyanyian gembala di
padang datar, yang lantas hilang tak berbekas disaput angin lembah.
Kidung pluralisme dan humanisme yang dinyanyikan hanya menjadi debu yang
“mengotori” altar kemanusiaan, yang mudah sekali hilang dengan hanya
sekali tiupan angin. Ini akan sangat berbeda dengan
teriakan dan nyanyian orang yang memang tingkah lakunya mencerminkan
nilai-nilai humanis, pluralis, dan demokratis. Teriakannya mengandung
gema lintas waktu dan teritorial, yang mampu menggetarkan ribuan jiwa
walau ribuan tahun telah berlalu. Jejak-jejak humanisnya akan selalu
dipunguti oleh orang-orang yang lahir kemudian, walau dia telah menyatu
dengan bumi. Hembusan nilai pluralisnya akan selalu membangunkan setiap
nafas kehidupan dan ajaran demokratisnya akan mampu menggelegakan
semangat insan di maya pada. Hal ini karena teriakannya tentang
humanisme tidak kosong, tetapi mempunyai ruh spiritualitas yang tinggi
sehingga menyebarkan aura gema. Spiritualitas yang begitu menggema ini
adalah merupakan hasil dan implikasi dari tindakan dan tingkah lakunya
yang humanis, pluralis, serta demokratis tersebut. Nyanyiannya tentang
nilai-nilai agung tersebut akan menjadi angin prahara yang mampu
mencairkan kerepresifan, melunakan truth claim, dan meluruhkan
nilai-nilai kemanusiaan dalam hati manusia. Ini bisa
kita lihat pada para filosof dan sufi, seperti Ibn Arabi, al-Hallaj dan
Jalaluddin Rumi. Ibn ‘Arabi yang sudah ribuan tahun dahulu menyanyikan
kidung pluralisme dengan konsep “agama universal”nya benar-benar telah
menggetarkan dunia, bahkan teori-teorinya hingga saat ini masih
dipunguti banyak orang dan menggema dalam detak jantung para
pengagumnya. Pluralismenya tergambar dalam sya’irnya yang terkenal:
Sungguh hatiku telah menerima berbagi bentuk Tempat penggembala bagi
kijang Biara bagi pendeta Rumah bagi berhala Dan Ka’bah bagi yang
thawaf Sabak bagi Taurat, dan mushhaf bagi alQur’an, Aku beragama
dengan agama cinta Cinta itulah agama dan imanku. Al-Hallaj juga
memperkenalkan pluralisme sejati dengan konsep wahdat adyan, bahwa
sumber agama adalah satu, yaitu Tuhan yang sama, sehingga wujud agama
hanya bungkus lahirnya saja. Rumi tidak kalah pluralisnya, ia
berpendapat setiap yang disembah adalah teofani Tuhan, oleh karenanya
tidak masalah apapun bentuknya. Syairnya yang terkenal berbunyi
demikian: Aku adalah seorang Muslim, Tetapi aku juga seorang
Nashrani, Brahmanisme dan Zaratustraisme Aku pasrah kepada Mu al-Haq
Yang Mulia. Aku hanya mempunyai satu tempat ibadah, Masjid, Gereja,
atau rumah berhala. Tujuanku hanya kepada Dzat Yang Maha Mulia.
Kesemua faham yang dianut oleh orang-orang shalih ini masih sering
dikutip oleh banyak orang, di “amini” oleh generasi berikutnya, dan
menarik orang untuk mengikutinya. Hal ini karena mereka bukan hanya
ngomong ( OT: Omong Thok) tetapi terimplementasi dalam perbuatannya.
Karena saking pluralis dan humanisnya, Hallaj sampai rela mati di tiang
gantungan, dan Rumi dikecam banyak orang. Mereka itulah, menurut Aku,
pluralis, humanis, dan demokrat sejati yang menjadi kebanggaan kita umat
Islam. Mereka bijaksana, baik dan shaleh tidak sebatas teori saja,
tetapi juga secara prkatis, dengan kesesuaian antara teori dengan
perbuatannya. Mereka benar-benar memahami dan mengamalkan dengan tulus
apa yang diteorikan. Sesuatu yang dikatakan adalah sesuatu yang
dilakukan pula. Jadi antara perkataan (teori) itu seiring sejalan dengan
perbuatan. Mereka telah muncul lebih dahulu menyerukan nilai-nilai
humanis dan pluralis dengan tingkah lakunya sebelum Barat dengan gigih
menyerukannya. Orang seperti merekalah sebenarnya yang pantas menerima
sematan bintang jasa sebagai penegak humanisme, pluralisme, dan
demokrasi. Ini sungguh berbeda dengan Barat dan orang-orang
yang mengikutinya. Mereka meneriakan issu demokratisasi, pluralisme, dan
humanisme, tetapi ternyata sikapnya tidak mencerminkan sama sekali.
Mereka mengatakan dirinya sebagai kampium demokrasi, tetapi berbuat
arogan dengan menyerang dan menjajah negara lain. Mereka mengatakan
negara humanis, tetapi membunuh ribuan anak-anak dan wanita yang tanpa
dosa dalam peperangan. Kontradiksi antara teori dan praktek dalam
perbuatan inilah yang disesalkan Aristoteles dalam teori etikanya.
Maka, andai di dunia “sana” orang-orang yang menjadi
pluralis, humanis, dan demokrat sejati bertemu dengan “Sang Nabi”
Aristoteles, maka Aku yakin “Sang Nabi” akan tersenyum bangga, mengusap
kepala mereka, sambil berkata: “Kalian semua, adalah murid-muridku yang
dapat dibanggakan. Kalian telah mencapai kebaijaksanaan sejati, baik
secara teoritis (sophous) maupun secara praktis (phronimous). Aku
bangga…. Aku bangga”. Sedangkan ketika orang-orang yang hanya
meneriakan slogan humanisme, pluralisme, dan demokrasi tanpa tindakan
nyata, bertemu dengan Aristoteles, maka Aku yakin, “Sang Nabi” akan
membuang muka, dan seandainya sudi berkata, maka hanya akan mengatakan:
“Kalian bukan muridku, etikaku bukan hanya sophous, tetapi pronimous,
silahkan menjadi murid Anaxagoras dan Thales, yang hanya pandai berteori
dan tidak dalam bertindak.(catatan akhir perjalanan kul s2 iain
surabaya 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar