Rabu, 11 Januari 2012

CATATAN AKHIR

 CATATAN AKHIR
  M. FUDHOLI

Dalam Nicomachaean Ethic, Aristoteles ketika berbicara tentang teori etikanya, membedakan kebijaksanaan menjadi dua macam, pertama, bijaksana secara teoritis (sophous), yaitu kebijaksanaan yang hanya ada dalam taraf ide, teori saja tanpa termanifestasikan dalam tingkah laku. Artinya, baik sercara sophous itu hanyalah kebaikan yang dimiliki manusia hanya sebatas teori, sedangkan tingkah lakunya tidak menunjukan nilai-nilai yang ada dalam teori tersebut. Aristoteles mencontohkan Anaxagoras dan Thales sebagai orang yang bijaksana secara sophous, mereka bijaksana dan baik secara teoritis, tetapi tidak secara prkatis karena tingkah lakunya tidak mencerminkan kebijaksanaan. Apa yang telah mereka kuasai hanyalah sekedar teori belaka, “tidak bermanfaat” dan mempengaruhi tingkah lakunya. Kebijaksanaan teoritis (sophous) dapat dicapai dengan belajar atau pengajaran, maka yang dibutuhkan adalah pengalaman dan waktu. Kedua, bijaksana secara praktis (phronimous), yaitu kebijaksanaan yang bukan hanya sebatas teori tetapi terimplementasikan dalam perbuatan dan tingkah laku. Phronimous ini merupakan kebijaksaan yang paling sempurna, karena tidak hanya sebatas ide saja, tetapi dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kebijaksanaan praktis (phronimous) selain dihasilkan karena kesadaran dari pembelajaran, yang lebih penting adalah karena kebiasaan. Teori pembiasaan dalam melakukan hal-hal yang baik agar seseorang mampu menjadi bijaksanan secara praktis inilah yang disebut Aristoteles dalam teorinya sebagai habitus. Aristoteles bukan hanya seorang filosof yang hanya mementingkan akal dan segala tetek bengek teori filsafat, tetapi dia adalah seorang yang benar-benar sholih secara individual dan sosial. Dia selalu menekankan bahwa perbuatan secara nyata demi kemaslahatan pribadi dan orang lain yang didasari oleh ilmu pengetahuan adalah puncak dari filsafat sendiri. Maka tidak heran, kalau dalam pembagian filsafatnya, sekali lagi dia membagi filsafat menjadi tiga, yang salah satunya adalah filsafat praktis; yaitu filsafat yang berhubungan dengan realitas tingkah laku manusia, atau dengan bahasa lain filsafat yang bukan mengawang hanya teori belaka, tetapi filsafat yang menjelma menjadi tingkah laku. Itulah sosok Aristoteles yang menurut Aku adalah salah satu dari “Nabi” yang dianugrahkan Tuhan pada manusia di bumi. Pada era sekarang ini, jargon-jargon humanisme, pluralisme, demokrasi begitu gegap gempita disuarakan oleh beberapa kalangan. Aku bukan termasuk orang yang “alergi” terhadap jargon-jargon tersebut, tetapi kadang tertawa sembari geleng kepala, karena orang-orang yang menyuarakan jargon-jargon agung tersebut, ternyata ibarat pepatah, jauh panggang daripada api. Mereka menyerukan faham humanisme, tetapi tidak pernah “menyentuh” kepala anak yatim, selalu menggerutu ketika dimintai sodaqah fakir miskin, dan tidak pernah menyapa-walau dengan recehan-kepada anak-anak kecil yang kepanasan di perempatan jalan. Mereka menyerukan pluralisme, tetapi selalu merasa benar sendiri, ingin menang sendiri. Baginya, partai radikal adalah keliru, eksklusivisme harus dihilangkan. Bukankah ini sendiri lambang ketidak pluralisan. Kalau memang pluralis sejati, maka biarkanlah orang yang tidak pluralis tetap eksis, dia hanya cukup menunjukan bahwa “aku tidak marah dan bisa menerima keekstriman pendapatmu”. Mereka juga mengatakan “tegakan demokrasi”, tetapi tidak mau berbeda pendapat, tidak ingin didebat dan sekedar mendengarkan pendapat orang lain. Ketidak singkronan antara ucapan dan perbuatan inilah yang menurutku, menjadikan jargon-jargon itu kosong mlompong- pluralisme kosong, humanisme tanpa ruh, dan demokrasi maya. Melihat orang yang semacam ini, Aku menjadi “kasihan” dengan humanisme dan konco-konconya yang sebenarnya merupakan ide-ide agung, lagi suci, tapi ternoda oleh orang yang mengusungnya. Dan Aku pun yakin seribu yakin (haqq al-yaqin) pluralisme, humanisme, dan demokrasi yang diusung oleh orang-orang seperti ini, tidak akan banyak memberikan makna bagi orang lain. Orang yang mendengarkannya, hanya bagaikan mendengar nyanyian gembala di padang datar, yang lantas hilang tak berbekas disaput angin lembah. Kidung pluralisme dan humanisme yang dinyanyikan hanya menjadi debu yang “mengotori” altar kemanusiaan, yang mudah sekali hilang dengan hanya sekali tiupan angin. Ini akan sangat berbeda dengan teriakan dan nyanyian orang yang memang tingkah lakunya mencerminkan nilai-nilai humanis, pluralis, dan demokratis. Teriakannya mengandung gema lintas waktu dan teritorial, yang mampu menggetarkan ribuan jiwa walau ribuan tahun telah berlalu. Jejak-jejak humanisnya akan selalu dipunguti oleh orang-orang yang lahir kemudian, walau dia telah menyatu dengan bumi. Hembusan nilai pluralisnya akan selalu membangunkan setiap nafas kehidupan dan ajaran demokratisnya akan mampu menggelegakan semangat insan di maya pada. Hal ini karena teriakannya tentang humanisme tidak kosong, tetapi mempunyai ruh spiritualitas yang tinggi sehingga menyebarkan aura gema. Spiritualitas yang begitu menggema ini adalah merupakan hasil dan implikasi dari tindakan dan tingkah lakunya yang humanis, pluralis, serta demokratis tersebut. Nyanyiannya tentang nilai-nilai agung tersebut akan menjadi angin prahara yang mampu mencairkan kerepresifan, melunakan truth claim, dan meluruhkan nilai-nilai kemanusiaan dalam hati manusia. Ini bisa kita lihat pada para filosof dan sufi, seperti Ibn Arabi, al-Hallaj dan Jalaluddin Rumi. Ibn ‘Arabi yang sudah ribuan tahun dahulu menyanyikan kidung pluralisme dengan konsep “agama universal”nya benar-benar telah menggetarkan dunia, bahkan teori-teorinya hingga saat ini masih dipunguti banyak orang dan menggema dalam detak jantung para pengagumnya. Pluralismenya tergambar dalam sya’irnya yang terkenal: Sungguh hatiku telah menerima berbagi bentuk Tempat penggembala bagi kijang Biara bagi pendeta Rumah bagi berhala Dan Ka’bah bagi yang thawaf Sabak bagi Taurat, dan mushhaf bagi alQur’an, Aku beragama dengan agama cinta Cinta itulah agama dan imanku. Al-Hallaj juga memperkenalkan pluralisme sejati dengan konsep wahdat adyan, bahwa sumber agama adalah satu, yaitu Tuhan yang sama, sehingga wujud agama hanya bungkus lahirnya saja. Rumi tidak kalah pluralisnya, ia berpendapat setiap yang disembah adalah teofani Tuhan, oleh karenanya tidak masalah apapun bentuknya. Syairnya yang terkenal berbunyi demikian: Aku adalah seorang Muslim, Tetapi aku juga seorang Nashrani, Brahmanisme dan Zaratustraisme Aku pasrah kepada Mu al-Haq Yang Mulia. Aku hanya mempunyai satu tempat ibadah, Masjid, Gereja, atau rumah berhala. Tujuanku hanya kepada Dzat Yang Maha Mulia. Kesemua faham yang dianut oleh orang-orang shalih ini masih sering dikutip oleh banyak orang, di “amini” oleh generasi berikutnya, dan menarik orang untuk mengikutinya. Hal ini karena mereka bukan hanya ngomong ( OT: Omong Thok) tetapi terimplementasi dalam perbuatannya. Karena saking pluralis dan humanisnya, Hallaj sampai rela mati di tiang gantungan, dan Rumi dikecam banyak orang. Mereka itulah, menurut Aku, pluralis, humanis, dan demokrat sejati yang menjadi kebanggaan kita umat Islam. Mereka bijaksana, baik dan shaleh tidak sebatas teori saja, tetapi juga secara prkatis, dengan kesesuaian antara teori dengan perbuatannya. Mereka benar-benar memahami dan mengamalkan dengan tulus apa yang diteorikan. Sesuatu yang dikatakan adalah sesuatu yang dilakukan pula. Jadi antara perkataan (teori) itu seiring sejalan dengan perbuatan. Mereka telah muncul lebih dahulu menyerukan nilai-nilai humanis dan pluralis dengan tingkah lakunya sebelum Barat dengan gigih menyerukannya. Orang seperti merekalah sebenarnya yang pantas menerima sematan bintang jasa sebagai penegak humanisme, pluralisme, dan demokrasi. Ini sungguh berbeda dengan Barat dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka meneriakan issu demokratisasi, pluralisme, dan humanisme, tetapi ternyata sikapnya tidak mencerminkan sama sekali. Mereka mengatakan dirinya sebagai kampium demokrasi, tetapi berbuat arogan dengan menyerang dan menjajah negara lain. Mereka mengatakan negara humanis, tetapi membunuh ribuan anak-anak dan wanita yang tanpa dosa dalam peperangan. Kontradiksi antara teori dan praktek dalam perbuatan inilah yang disesalkan Aristoteles dalam teori etikanya.   Maka, andai di dunia “sana” orang-orang yang menjadi pluralis, humanis, dan demokrat sejati bertemu dengan “Sang Nabi” Aristoteles, maka Aku yakin “Sang Nabi” akan tersenyum bangga, mengusap kepala mereka, sambil berkata: “Kalian semua, adalah murid-muridku yang dapat dibanggakan. Kalian telah mencapai kebaijaksanaan sejati, baik secara teoritis (sophous) maupun secara praktis (phronimous). Aku bangga…. Aku bangga”. Sedangkan ketika orang-orang yang hanya meneriakan slogan humanisme, pluralisme, dan demokrasi tanpa tindakan nyata, bertemu dengan Aristoteles, maka Aku yakin, “Sang Nabi” akan membuang muka, dan seandainya sudi berkata, maka hanya akan mengatakan: “Kalian bukan muridku, etikaku bukan hanya sophous, tetapi pronimous, silahkan menjadi murid Anaxagoras dan Thales, yang hanya pandai berteori dan tidak dalam bertindak.(catatan akhir perjalanan kul s2 iain surabaya 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar