Sabtu, 14 Januari 2012

Metodologi Studi Islam Sebagai Pendekatan Memahami Islam; Dalam Konflik Ahmadiyah melalui pemdekatan Epistemologi Islam, Teori Sistem, dan Hermeneutika Negosiatif


M. Fudholi

Kebudayaan masa lalu bukan semata-mata memori manusia, tetapi kehidupan kita yang terpendam, dan mengkaji kebudayaan masa lalu membawa pada pengakuan atas suatu pandangan, suatu penemuan yang kita lihat bukan sebagai kehidupan masa lalu, tetapi untuk kebudayaan total kehidupan kita saat ini[1]

Pendahuluan
Beberapa hari yang (7-02-2011) lalu Indonesia dikejutkan oleh sebuah tragedi anarkis yang dilakukan sekelompok orang Islam dengan mengatasnamakan Jihad agama, pembakaran rumah kelompok Ahmadiyah yang terjadi diserang banten, menyusul kemudian tragedi sara yaitu pembakaran beberapa tempat ibadah umat kristiani di Temanggung (09-02-2011), bersamaan dengan ditabuhnya Gong Perdamaian oleh bapak Presiden di NTT, untuk menindak lanjuti tragedi ini para politi mulai banyak mengambil langkah, salah satunya dengan cara menerbitkan SKB 2011 sebagaimana di kutip Detik.com “Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama akan segera membentuk Undang-undang (UU) Kerukunan Umat Beragama (KUB). Rencana penyusunan UU KUB tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Tahun 2011, selain para politisi Bapak menteri Agama-pun seakan kebakaran jenggot, ini terungkap dari pernyataanya "Saya pernah menyampaikan dua hal, yakni membiarkan Ahmadiyah atau dibubarkan. Tetapi secara pribadi, saya juga pernah mengusulkan 4 alternatif, "ujar Menteri Agama, Suryadharma Ali saat ditanya sikapnya terkait persoalan Ahmadiyah.
Hal itu disampaikan dia dalam rapat dengan DPR beserta Kapolri di Ruang Komisi VIII, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu malam (9/2/2011 Detik.com). Tragedi Ahmadiyah sebenarnya adalah hal biasa sebab kisah anarkisme ini sudah menjadi santapan biasa mengingat beberapa tahun yang lalu tragedi yang sama seringkali terjadi
Pada bulan Juli 2005, terjadi penyerbuan massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Umat Islam (GUI) terhadap kampus Mubarak di Parung, Bogor. Kampus Mubarak adalah sebuah kompleks pusat pendidikan agama Islam sekaligus kantor pusat Jemaat  Ahmadiyah Indonesia (JAI). Pada saat itu sedang berlangsung Jalsah Salanah ke-46 tingkat nasional dari tanggal 8 – 10 Juli 2005. Jalsah Salanah adalah forum keagamaan berisi serangkaian ceramah dan shalat berjamaah.
Adalah M. Amin Djamaluddin, ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang pertama mengendus perhelatan akbar itu. Ia adalah orang yang sejak lama menentang kehadiran Ahmadiyah di Indonesia. Bertahun-tahun Amin mengaku meneliti Tadzkirah buku (kumpulan wahyu dan mimpi) pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, yang diterbitkan setelah Ghulam Ahmad meninggal. Ketekunannya membuahkan buku yang amat provokatif berjudul Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Quran (2002). Ia akhirnya menyimpulkan: Ahmadiyah aliran sesat. Sebelumnya, pada 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa sesat bagi aliran yang mengklaim memiliki sedikitnya 500 ribu pengikut di Tanah Air ini.[2]
Mengetahui akan diselenggarakannya Jalsah Salanah, Amin menggencarkan aksi provokasinya dan meminta kepolisian untuk membubarkan acara tersebut. Pihak JAI juga bersikeras tidak ingin membubarkan diri karena telah mengantongi izin resmi dari pihak Kepolisian setempat. Karena tidak menemukan kata sepakat, maka terjadilah insiden perusakan oleh massa beratribut FPI dan GUI. Tak cuma kampus, rumah-rumah di sekitar kampus milik jemaat juga menjadi sasaran perusakan dan tindakan berbau kriminal. Mengetahui aparat Kepolisian membiarkan tindakan anarkis dari kelompok yang mengatasnamakan umat Islam ini, pihak JAI kemudian mengadukannya ke Komnas HAM dan menunjuk Adnan Buyung Nasution, SH sebagai pengacaranya.
Berbagai kecaman muncul atas peristiwa tersebut, tidak hanya datang dari individu, tetapi juga lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Alih-alih mendapatkan pembelaan kemanusiaan dari MUI sebagai organisasi resmi ulama, MUI justru mengeluarkan fatwa baru untuk menegaskan fatwa tahun 1980 yang menetapkan ajaran Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, serta Ahmadiyah adalah jamaah di luar Islam.
Ihwal perseteruannya dengan MUI, Ahmadiyah berpendapat bahwa fatwa MUI tersebut tidak berdasar. MUI bahkan tak pernah sekalipun menunjukkan bukti 9 buku yang diklaim sebagai dasar pemahaman tentang ajaran Ahmadiyah yang kemudian melahirkan keputusan fatwa sesat.[3]
Ahmadiyah adalah organisasi dan aliran keagamaan yang berasal dari Qadian, India. Aliran ini dicetuskan dan disebarluaskan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku menerima wahyu dari Tuhan dan karena itu dianggap sebagai nabi. Di India dan Pakistan sendiri, Ahmadiyah mendapat penentangan keras dikarenakan ajarannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, terutama mengenai kenabian. Karena itu, kaum ulama sedunia telah memberikan fatwa sesat dan menetapkan Ahmadiyah bukan salah satu bagian atau aliran dalam agama Islam.
Dalam organisasinya, Ahmadiyah menggunakan sistem hirarki kekhalifahan seperti yang pernah dipraktikkan di zaman kejayaan kehalifahan Islam pasca Nabi Muhammad SAW. Karena itu, ketaatan terhadap pemimpin adalah wajib. Kewajiban lain adalah membayar candah atau sumbangan sebesar 1/16, 1/10 hingga 1/3 bergantung pada kemampuan anggota jemaat. Di samping kewajiban tersebut, Ahmadiyah juga menetapkan aturan keharusan menikahi sesama jemaat, dan larangan bermakmum pada imam nonjemaat pada shalat berjamaah. Ahmadiyah juga dikenal sangat agresif menyebarkan agama Islam ke wilayah-wilayah bahkan negara-negara yang mayoritas nonmuslim, seperti benua Afrika, Eropa dan Amerika dengan menawarkan paradigma baru tentang Islam yang anti-kekerasan, cinta kasih, dan penuh kesabaran. Program-program kemanusiaannya bernaung di bawah bendera Humanity First.
Kepatuhan terhadap ajaran agama Islam juga terlihat dari kewajiban shalat tahajud dan membaca Al-Quran secara rutin. Namun, beberapa pemahaman tentang ajaran keislaman menuai kontroversi, seperti tentang pemaknaan nabi terakhir, kematian Nabi Isa AS atau Yesus, kedatangan Imam Mahdi, dan tentang Nabi Adam AS. Ahmadiyah menganggap kenabian tidak terputus pada Nabi Muhammad SAW, namun kenabian setelahnya tidak membawa syariat baru kecuali melanjutkan ajaran Nabi Muhammad SAW. Karena itu, tokoh sentral mereka yakni Mirza Ghulam Ahmad dipercaya sebagai nabi karena telah menerima wahyu dari Tuhan. Pemahaman tentang Nabi Isa AS yang dianggap telah meninggal secara wajar disertai bukti makamnya, sehingga takkan muncul lagi di akhir zaman. Demikian pula dengan Imam Mahdi. Bagi Ahmadi, yang dimaksud Nabi Isa AS dan Imam Mahdi yang dipercaya umat akan muncul di akhir zaman, tak lain adalah Mirza Ghulam Ahmad, nabi mereka. Itulah mengapa, penyebutan namanya selalu ditambahkan gelar AS dan dijuluki Hz. Masih Mau’ud AS.
Kontroversi pemahaman ajaran keislaman inilah yang menjadi pokok konflik ideologis Ahmadiyah dengan MUI dan kelompok-kelompok Islam yang lain. Dari deskripsi inilah pemakalah berusaha untuk menawarkan beberapa solusi dan mencari setiap akar permasalahan dalam kajian keislaman, terutama memahami kembali penafsiran keagamaan yang dilakukan oleh aliran-aliran dalam Islam kelompok, serta membedakan mana yang wilayah Tuhan, wilayah kenabian, dan interpretasi manusia terhadap ajaran Islam.

Tawaran pendekatan Kajian Islam dalam Konflik Ahmadiyah
Dalam memahami kajian keislaman ada beberapa tawaran epistemologi atau pendekatan sebagai sebuah interpretatif agar Islam lebih membumi, tawaran ini muncul dari berbagai tokoh Islam kontemporer yang banyak belajar di dunia barat. Adalah Abid al-Jabiri  yang berusaha menawarkan sebuah solusi atas kemandekan pemikiran Arab dan interpretasi terhadap pemikiran Islam, tiga Epistemologi yang ditawarkan Bayani (Tekstual) Burhani (Rasionalis) dan Irfani (Intuitif), ketika epistemologi ini adalah sebuah paduan solusi yang dianggap memiliki dampak luar biasa terhadap pemahaman seseorang pada kajian agama.
Dalam konflik Ahmadiyah kita dapat melihat bagaimana dominasi Bayani begitu kuat, sehingga untuk mencari solusi diluar teks keagamaan akan sangat sulit, ketika agama hanya dipahami dalam tataran teks saja, maka nilai-nilai kemanusiaan hanya akan menjadi hiasan belaka. Dapat dilihat bagaimana konflik Ahmadiyah terjadi pemahaman Teks begitu dominan sehingga nilai Universal dalam Islam tidak tampak sama sekali. Selain itu Pemahaman tekstual dalam agama akan memberikan pemahaman yang  ngambang karena bagaimanapun juga teks akan selalu disesuaikan dengan konteks, dan setiap teks pada hakikatnya mempunyai pesan yang mendalam sehingga tidak bisa dipahami dalam kajian teks saja, teks mebutuhkan penaralaran yang baik sehingga  bisa seimbang dengan kehidupan manusia dimana teks itu dibaca. Dari sinilah kemudian nalar Burhani dibutuhkan, bagaimana memahami teks sesuai dengan konteks yang terjadi. Pemahaman burhani pada hakikatnya merupakan aplikasi dari “masa Kodifikasi” atau yang sebut oleh jabiri dengan asr al-Tadwin pada masa ini nalar atau berfikir dominan mempunyai kontribusi yang besar yang dapat menentukan sebuah persepsi terhadap kebangkitan dan pemahaman keagamaan.[4]
Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.[5]






Konsep Epistemologi Islam abid al-Jabiri
 













Jabiri juga memberikan contoh pada kehidupan Dakwah Nabi bagaimana Nabi dapat mensosialikan ajaran Islam melalui beberapa Metode dakwah yang menurutnya sebagai prototipe ideal:
1. Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani  yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.
2. Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.
3. Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.[6]
Konflik Ahmadiyah sangat sarat dengan Anarkisme mengatas namakan Islam pembakaran, pemurtadan menjadi hiasan setiap konflik, ketika melihat pada model Dakwah Rasulullah yang meletakan ideologi sebagai sebuah kebebasan maka tidak selayaknya umat Islam memaksakan kehendak agar umat Ahmadiyah melepaskan kepercayaannya, karena pada intinya kebenaran sebuah agama hanya dapat dirasakan oleh hati pemeluknya, dan Islam menganjurkan agar ideologi menjadi permasalahan pribadi.
Selain al-Jabiri terdapat beberapa pemikir seperti Jasser Auda yang berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasakan Maqa}sid al-Shari}ah. Islam  adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Islam juga sebagai agama  konsep yang berusaha memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda mengartikan Maq}asid pada empat arti,  pertama,  Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum. Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mas}a}lih.  Dalam konsep Maqa>}sid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama[7]     
Dalam Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach  Jasser Auda juga berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and preservation menuju pada teori maqa>s}id yang mengacu pada development and rights. Wujudnya dapat dilihat pada tabel perbandingan teori maqa>s}id di bawah ini:








Pergeseran Paradigma Teori Maqa>s}id Klasik menuju Kontemporer
No
Teori Maqa>s}id Klasik
Teori Maqa>s}id Kontemporer
1
Preservation of offspring
Family-oriented theory; care for the family
2
Preservation of mind
Propagation of scientific thinking; travelling to seek knowledge; suppressing the herd mentality; avoiding brain drain.
3
Preservation of honor and Preservation of the soul
Preservation of human dignity; protection of human rights 
4
Preservation of religion
Freedom of faiths; Freedom of belief;
5
Preservation of wealth
Social assistance; economic development; flow of money; wellbeing of society; diminishing the difference between economic levels.

diantara  pergeseran yang paling tampak ketika dipakai dalam konflik Ahmadiyah salah satunya adalah Preservation of Human dignity; protection of Human Rights upaya ini untuk mendukung The Universal Islamic declaration of Human Rights sehingga dapat menunjukan bahwa Islam dapat mengkontribusikan New Positive dimension to Human Rights[8]  
Dari konsep inilah dapat dilihat dalam konflik Ahmadiyah bagaimana Hak Asasi manusia terabaikan demi kepentingan kelompok dan interpretasi yang keliru pada teks Agama, karena pada hakikatnya Islam menjunjung tinggi kebebasan dan HAM. Ketika pemahaman atau hasil ijtihad yang ditawarkan banyak menyimpang dari keadilan dan perlindungan hak-hak kemanusiaan, maka hasil Ijtihad itu perlu untuk dikoreksi ulang.
          Teori maqa>s}id yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama pada abad ke-20. Teori modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity)  di atas dengan beberapa alasan berikut ini: a) scope teori maqa>s}id meliputi seluruh hukum Islam, b) lebih bersifat individual; c) tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom); d) dideduksi dari kajian literature fiqhi>, bukan mengacu pada sumber original/script.[9]
          Untuk memperbaiki kekurangan teori maqa>s}id klasik tersebut, pakar modern memperkenalkan konsep dan klasifikasi baru terkait maqa>s}id dengan memberikan pertimbangan dimensi baru. Pertama, general maqa>s}id. Maqa>s}id ini diobservasi melalui seluruh bagian hukum Islam, seperti necessities (ضَرُÙˆْرِÙŠَّاتْ) maupun needs (Ø­َاجِÙŠَاتْ) sebagaimana yang tergambar di atas, ditambah dengan maqa>s}id seperti keadilan (justice) dan kemudahan (facilitation); Kedua, specific maqa>s}id. Kategori maqa>s}id diobservasi melalui 'bab' tertentu dalam hukum Islam, seperti perlindungan dari unsur monopoli dalam hukum transaksi financial; Ketiga, partial maqa>s}id. Jenis maqa>s}id ketiga ini merupakan maksud (intent) yang berada di balik nas}s} (script) atau hukum (rulings) tertentu. Misalnya: intent untuk memberi keringanan kepada orang yang sedang sakit dan berpuasa agar membatalkan puasanya.[10]









Berikut ini gambaran teori maqa>s}id kontemporer dari 3 dimensi baru[11]

 
















Menurut Jasser Auda, struktur maqa>s}id di atas adalah berdasarkan 'cognitive nature' dari hukum Islam, sehingga seluruhnya terkategorikan valid.[12]
Selain Jasser Auda pemakalah juga berusaha untuk mengulas balik Hermeneutika Khalid Abu al-Fadhl (Sebagai solusi alternatif dalam melihat konflik antara Ahmadiyah dan MUI). yang berusaha mengembalikan otoritas teks dan menghilangkan Otoritarianisme Pembaca teks. Al-Quran adalah kitab suci yang agung namun bagaimanapun agungnya sebuah teks ia tetap belum memiliki arti apapun tanpa adanya intervensi pemahaman dan penafsiran manusia. Oleh karena itu, upaya untuk terus menginterpretasi teks harus dilakukan agar dapat teraplikasi pada setiap kehidupan dengan baik.
Secara sederhana Hermeneutika dapat diartikan sebagai sebuah seni, metodologi, dan  ilmu untuk menafsirkan teks yang memiliki otoritas, khususnya teks keagamaan[13]
Sebagai sebuah metodologi penafsiran, Hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk tunggal, namun terdiri atas berbagai model dan varian. Hermeneutika juga tidak hanya memandang sebuah teks tetapi juga menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon yang meliputi teks itu sendiri.[14]
Metodologi yang ditawarkan oleh Khalid Abu Fadl ini adalah pembacaan kembali serta kontektualisasi atas teks fatwa-fatwa keagamaan, khususnya yang terangkum dalam fiqh. Sehingga teks-teks tersebut mampu melakukan dialektika yang kemudian melahirkan aturan-aturan dan nilai-nilai yang membumi yang bersifat Humanisme, diamping juga bersifat ilahiyah.
Kritik yang dilontarkan oleh Khalid Abu Fadl dilakukan atas sebuah prinsip pemahaman bahwa zaman harus menyesuaikan teks  keagamaan, dan dapat berimplikasi pada kebenaran kontekstual[15]. Contoh ketika konflik Ahmadiyah yang bersifat agama harus dilawan dengan Anarkisme yang melanggar HAM maka hal ini akan semakin menimbulkan konflik.
Menurut Khalid ada keharusan untuk mengkritik teks agar umat Islam tidak terjebak dalam lingkaran Tekstualisme, ia sangat kritis terhadap teks yang awalnya bersifat otoritatif, namun ketika ditransfer ke wilayah praktis, malah cenderung hegemonik dan otoriter. Pemahaman tentang Hermeneutika sebenarnya tidaklah harus melahirkan otoritarianisme.[16] Khalid berusaha menjelaskan bagaimana kinerja dari Hermeneutik dengan mempertanyakan hubungan teks dengan pengarang dan pembaca dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam pada khususnya dan pemikiran dalam studi keislaman pada umumnya.[17] 
Khalid sebenarnya sangat prihatin terhadap kondisis fiqh di Arab Saudi yang mempercayakan Fatwa dan hukum kepada CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion) / –MUI  Indonesia, pen­­— lembaga pengkajian fatwa yang diberi otoritas oleh pemerintah Saudi untuk membuat keputusan hukum. Diantara beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga ini banyak menimbulkan kontroversi seperti pelarangan wanita mengendarai/mengemudikan mobil, wanita harus melakukan shalat dan doa di tempat yang sepi.[18]
Dalam pandangan Khalid Fikh menjadi otoriter ketika dipegang oleh orang-orang yang mengaku sebagai ”Tentara Tuhan” , mereka menggunakan pedoaman atas legalitas teks dan meyakini yang difatwakan adalah kehendak Tuhan. Meski sebenarnya mereka hanya sebagai Reader saja, tapi seolah-olah mereka mendapat mandat dan diberi kuasa penuh, yang semestinya juga dimainkan oleh pengarang (author) dan pembaca (nash). Pengambilan arti sepihak oleh pembaca sehingga disebut dengan interpretive despotism (kesewenang-wenangan penafsiran) inilah yang dimaksud oleh Kahlid sebagai otoritarianisme dalam Fikh.
 Bagi Khalid pada prinsipnya fikh sangat dinamis, tidak statis apalagi rigid. Hanya saja lewat peran State (penguasa) dengan afiliasinya CRLO/ -MUI, pen-, maka sifat hukum menjadi jumud dan absolut. Dalam pandangan Khalid fikh harus bebas  dari peran intervensi negara, sehingga tidak ada lembaga atau orang-orang yang mengaku sebagai “Juru Bicara” atau “Tangan Tuhan” dia berpedoman pada ayat al-Quran yang berbunyi ’wa ma>} ya’lamu junuda Rabbika illa Wua” (tidak ada yang mengetahui tentara Tuhan mu kecuali Dia sendiri).[19]    
Karenanya pendekatan Hermeneutika yang mendalam menjadi sebuah alternatif bagi Khalid sebagai sarjana fikh dalam rangka mencari tipe yang ideal untuk dalam menafsirkan kembali hukum-hukum Tuhan.
Setelah mengulas tentang hermeneutika Ototarian Khalid kemudian beranjak pada Hermeneutika Negosiatif  yang berusaha menerjemahkan relasi yang koheren antara Teks (nash), pengarang (author) dan Pembaca (Reader) dalam diskursus pergumulan penafsiran dan pemikiran Nash. Perlu dijelaskan bahwa semestinya kekuasaan atas teks adalah milik Tuhan, hanya Tuhan (author) saja yang faham atas kehendaknya dalam firman-firmannya. Manusia sebagai reader cukup hanya memposisikan dirinya sebagai penafsir atas teks-teks Tuhan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, maka dengan demikian penafsiran yang paling benar dan relevan mestinya hanya keinginan dan kehendak author, dan bukan ditangan reader.[20]  
Khalid mencoba menemukan “kepentingan” di balik tindakan pemahaman itu sendiri karena dua hal, pertama, belum dipertimbangkan kemungkinan adanya kepentingan penggagas dan pembaca yang disusupkan melalui teks, pembaca lain, dan audiennya. Kedua, munculnya tindakan kesewenang-wenangan pembaca terhadap teks. Ruang ini berusaha digagas oleh Khalid dengan mendasarkan pada asumsi bahwa Hermeneutika tidak hanya bertujuan menemukan makna teks sebagaimana hermeneutika pada umumnya, tetapi juga bertujuan mengungkap kepentingan pembaca yang tersimpan dibalik teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan sewenang-wenang dari pembaca teks tersebut, pembaca lain, dan audiennya.[21]
Lebih spesifik  Khalid mengkritik hermeneutika otoriter dalam fatwa-fatwa keagamaan yang banyak dikeluarkan oleh Komisi Fatwa di Timur Tengah, yang justru malah menghilangkan peran dan eksistensi hukum Islam dalam menjawab problematika zaman. Mereka mengasumsikan diri sebagai ”Jubir” Tuhan yang bertugas untuk menyuarakan dan menyeleksi produk-produk hukum yang lahir dari luar komunitas mereka, dengan memaksakan produk hukum mereka sebagai satu-satunya yang paling Tuhan kehendaki.[22]
Pendekatan Hermeneutika Khalid jelas berbeda dengan pendekatan hermeneutika dalam lingkungan biblical studies. Pendekatan Negosiatif Khalid terletak pada penafsiran “ bias Gender” dan persoalan fatwa-fatwa yang terkait dengan perempuan yang mempunyai dampak luas di masyarakat Islam pada umumnya. Khalid berusaha menjunjung “otoritas teks” dan membatasi “pembaca teks” untuk mencari dan menekankan konsep otoritas dalam hukum Islam, dengan tujuan utamanya menjunjung tinggi nilai keadilan, kesetaraan, moral, dan mengacu pada Maqa>s}id al-S}ari’ah. Selanjutnya konsep ini ditujukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana sebuah tindakan dikatakan bersifat otoritarianisme dan bagaimana pula mengendalikannya. Karena itu Khalid menawarkan lima prinsip moral dalam Hermeneutikanya yaitu: etika, Kejujuran, kesungguhan, Rasionalis, dan pengendalian diri.[23]       
Pemikiran Hermeneutika Khalid ini menjadi sangat penting ketika memahami konflik yang terjadi antara Ahmadiyah vs MUI, konsep Khalid ini mempunyai dua penafsiran Pertama, sebagai kritikan terhadap Ahmadiyah yang mengartikan Ayat al-Quran tentang adanya Nabi setelah Muhammad Rasulullah, yang kemudian mendaulat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, dimana otoritas Teks menjadi milik mereka. Kedua, kritikan terhadap MUI yang menganggap lembaganya sebagai “ Tangan Tuhan”.
Ketika menganggap dirinya sebagai tentara Tuhan, maka Hukum dapat diolah sesuai dengan kepentingan, baik politik atau pribadi, disinilah kemudian intervesnsi dari negara atau kekuasaan akan memperkuat asumsi bahwa lembaga fatwa hukum betul-betul menjadi tangan Tuhan dalam penetapan hukum Islam. 
MUI sebagai sebuah lembaga keagamaan akhir-akhir ini seringkali mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial, seakan mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara MUI dan CRLO. Hal ini dapat dilihat pada fatwa yang dikeluarkan oleh MUI akhir 2010 yang lalu tentang keharaman wanita berboncengan dengan orang yang bukan Muhrim-nya, tanpa melihat faktor-faktor yang melatar belakangi. Hal yang sama dilakukan oleh CRLO bahwa wanita haram mengemudikan Mobil.
Semoga dengan tiga tawaran pendekatan ini dapat memberikan pemahaman yang baik dalam kajian keislaman terutama pada masalah hukum yang rentan dengan berbagai konflik, karena pada dasarnya Islam adalah agama yang Damai  dan sebagai Rahmat bagi semesta.












 Diagram Hermeutika Khalid
 




[1] Northrop frye, Anatomy of criticism (Princeston: Princeston University Press, 1973) hal. 345.
[2] Aris Mustafa, Ngarto Februana, Feby Indirani & Sri Wahyuni. Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat. Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2005, hal 5
[3] Deddy Mulyana,  Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal 17

[4] M. Abid Al-Jabiri,  Takwin al-Aql al-Syiyasi al-Arabi, Beirut al-Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1993. 374
[5] M. Abid Al-Jabiri, Takwin  al-Aql  al-Arabi, Beirut al-Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1993.61
[6] M. Abid Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Syiyasi al-Arabi, Beirut al-Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1993. 373
[7] Jasser Auda, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach,(London,and Washinton: The International Institut of Islamic Thouht, 2008) 5
[8] Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 248.
[9] Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 4-5.
[10] Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 5.
[11] Klasifikasi maqa>s}id dalam berbagai dimensinya ini, dinilai Jasser Auda memiliki kesamaan dengan hirarki kebutuhan manusia yang diajukan oleh ilmuwan abad ke-20, Abraham Maslow. Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 247.

[12] Jasser Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 7.
[13] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar Hermeneutika: Antara Intensionalisme & Gadamererian (Yogyakarta : ar-Ruzzmedia, 2008), 30.
[14] Fahruddin Fais, Hermeneutika Qur;ani (Yogyakarta: Qalam, 2002), 13.
[15]Khalid Abu Fadl, Atas Nama Tuhan; dari fikh otoriter ke fikh Otoritas : terj. R. Cecep Lukman Yasin (jakarta: Serambi ilmu Semesta, 2004) 409
[16] Merupakan tindakan seseorang, atau lembaga yang “menutup rapat” atau membatasi keinginan Tuhan (the will of the divine) atau keinginan terdalam maksud teks dalam suatu batasan ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan0ketentuan tersebut sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindari, final dan merupakan hasil akhir yang tiidak boleh dibantah 
[17] Hujair Sanaky, Gagasan Khalid Abu Fadhl tentang problem otoritarianisme Tafsir Agama Pendekatan Hermeneutika dalam studi Fatwa-fatwa keagamaan, http://www.sanaky.com/materi/Gagasan_khalid.pdf. Diakses tanggal 15 Nopember 2010. 
[18] Khalid Abu Fadhl, Atas Nama Tuhan, 2004, 392.
[19] Khalid Abu Fadhl, Atas nama Tuhan, 2004, 39.
[20] Asnawi Ihsan, otorianisme; catatan kelam peradaban Islam, http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/ otorianisme-catatan-hitam-peradaban-html. Diakses 05 Nopember 2010.  
[21] Aksin Wijaya, Arah baru Studi Ulum al-Quran memburu Pesan Tuhan di Balik fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,2009), 203
[22] Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan, Lihat Khalid Abu Fadlh,  pengantar Atas Nama Tuhan, ix.
[23] Kurdi dkk., Hermeneutika Quran dan Hadits (Yogyakarta: elSaq Press, 2010) 280.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar