Kebudayaan masa lalu
bukan semata-mata memori manusia, tetapi kehidupan kita yang terpendam, dan
mengkaji kebudayaan masa lalu membawa pada pengakuan atas suatu pandangan,
suatu penemuan yang kita lihat bukan sebagai kehidupan masa lalu, tetapi untuk
kebudayaan total kehidupan kita saat ini[1]
Pendahuluan
Beberapa hari yang
(7-02-2011) lalu Indonesia dikejutkan oleh sebuah tragedi anarkis yang
dilakukan sekelompok orang Islam dengan mengatasnamakan Jihad agama, pembakaran
rumah kelompok Ahmadiyah yang terjadi diserang banten, menyusul kemudian
tragedi sara yaitu pembakaran beberapa tempat ibadah umat kristiani di
Temanggung (09-02-2011), bersamaan dengan ditabuhnya Gong Perdamaian oleh bapak
Presiden di NTT, untuk menindak lanjuti tragedi ini para politi mulai banyak
mengambil langkah, salah satunya dengan cara menerbitkan SKB 2011 sebagaimana
di kutip Detik.com “Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama akan
segera membentuk Undang-undang (UU) Kerukunan Umat Beragama (KUB). Rencana
penyusunan UU KUB tersebut sudah masuk dalam program legislasi nasional
(Prolegnas) Tahun 2011, selain para politisi Bapak menteri Agama-pun seakan
kebakaran jenggot, ini terungkap dari pernyataanya "Saya pernah
menyampaikan dua hal, yakni membiarkan Ahmadiyah atau dibubarkan. Tetapi secara
pribadi, saya juga pernah mengusulkan 4 alternatif, "ujar Menteri Agama,
Suryadharma Ali saat ditanya sikapnya terkait persoalan Ahmadiyah.
Hal itu disampaikan dia dalam rapat dengan DPR beserta Kapolri di Ruang Komisi VIII, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu malam (9/2/2011 Detik.com). Tragedi Ahmadiyah sebenarnya adalah hal biasa sebab kisah anarkisme ini sudah menjadi santapan biasa mengingat beberapa tahun yang lalu tragedi yang sama seringkali terjadi
Hal itu disampaikan dia dalam rapat dengan DPR beserta Kapolri di Ruang Komisi VIII, Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu malam (9/2/2011 Detik.com). Tragedi Ahmadiyah sebenarnya adalah hal biasa sebab kisah anarkisme ini sudah menjadi santapan biasa mengingat beberapa tahun yang lalu tragedi yang sama seringkali terjadi
Pada bulan Juli 2005,
terjadi penyerbuan massa beratribut Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Umat
Islam (GUI) terhadap kampus Mubarak di Parung, Bogor. Kampus Mubarak adalah
sebuah kompleks pusat pendidikan agama Islam sekaligus kantor pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Pada saat itu
sedang berlangsung Jalsah Salanah ke-46 tingkat nasional dari tanggal 8 – 10
Juli 2005. Jalsah Salanah adalah forum keagamaan berisi serangkaian ceramah dan
shalat berjamaah.
Adalah M. Amin
Djamaluddin, ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) yang pertama
mengendus perhelatan akbar itu. Ia adalah orang yang sejak lama menentang kehadiran
Ahmadiyah di Indonesia. Bertahun-tahun Amin mengaku meneliti Tadzkirah buku (kumpulan
wahyu dan mimpi) pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad, yang diterbitkan setelah
Ghulam Ahmad meninggal. Ketekunannya membuahkan buku yang amat provokatif
berjudul Ahmadiyah dan Pembajakan Al-Quran (2002). Ia akhirnya
menyimpulkan: Ahmadiyah aliran sesat. Sebelumnya, pada 1980, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa sesat bagi aliran yang mengklaim
memiliki sedikitnya 500 ribu pengikut di Tanah Air ini.[2]
Mengetahui akan
diselenggarakannya Jalsah Salanah, Amin menggencarkan aksi provokasinya dan
meminta kepolisian untuk membubarkan acara tersebut. Pihak JAI juga bersikeras
tidak ingin membubarkan diri karena telah mengantongi izin resmi dari pihak Kepolisian
setempat. Karena tidak menemukan kata sepakat, maka terjadilah insiden
perusakan oleh massa beratribut FPI dan GUI. Tak cuma kampus, rumah-rumah di
sekitar kampus milik jemaat juga menjadi sasaran perusakan dan tindakan berbau
kriminal. Mengetahui aparat Kepolisian membiarkan tindakan anarkis dari
kelompok yang mengatasnamakan umat Islam ini, pihak JAI kemudian mengadukannya
ke Komnas HAM dan menunjuk Adnan Buyung Nasution, SH sebagai pengacaranya.
Berbagai kecaman muncul
atas peristiwa tersebut, tidak hanya datang dari individu, tetapi juga
lembaga-lembaga seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain. Alih-alih mendapatkan
pembelaan kemanusiaan dari MUI sebagai organisasi resmi ulama, MUI justru
mengeluarkan fatwa baru untuk menegaskan fatwa tahun 1980 yang menetapkan
ajaran Ahmadiyah sesat dan menyesatkan, serta Ahmadiyah adalah jamaah di luar
Islam.
Ihwal perseteruannya
dengan MUI, Ahmadiyah berpendapat bahwa fatwa MUI tersebut tidak berdasar. MUI
bahkan tak pernah sekalipun menunjukkan bukti 9 buku yang diklaim sebagai dasar
pemahaman tentang ajaran Ahmadiyah yang kemudian melahirkan keputusan fatwa
sesat.[3]
Ahmadiyah adalah
organisasi dan aliran keagamaan yang berasal dari Qadian, India. Aliran ini
dicetuskan dan disebarluaskan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku menerima
wahyu dari Tuhan dan karena itu dianggap sebagai nabi. Di India dan Pakistan
sendiri, Ahmadiyah mendapat penentangan keras dikarenakan ajarannya yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam, terutama mengenai kenabian. Karena itu,
kaum ulama sedunia telah memberikan fatwa sesat dan menetapkan Ahmadiyah bukan
salah satu bagian atau aliran dalam agama Islam.
Dalam organisasinya,
Ahmadiyah menggunakan sistem hirarki kekhalifahan seperti yang pernah
dipraktikkan di zaman kejayaan kehalifahan Islam pasca Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, ketaatan terhadap pemimpin adalah wajib. Kewajiban lain adalah
membayar candah atau sumbangan sebesar 1/16, 1/10 hingga 1/3 bergantung pada
kemampuan anggota jemaat. Di samping kewajiban tersebut, Ahmadiyah juga menetapkan
aturan keharusan menikahi sesama jemaat, dan larangan bermakmum pada imam
nonjemaat pada shalat berjamaah. Ahmadiyah juga dikenal sangat agresif
menyebarkan agama Islam ke wilayah-wilayah bahkan negara-negara yang mayoritas
nonmuslim, seperti benua Afrika, Eropa dan Amerika dengan menawarkan paradigma
baru tentang Islam yang anti-kekerasan, cinta kasih, dan penuh kesabaran.
Program-program kemanusiaannya bernaung di bawah bendera Humanity First.
Kepatuhan terhadap
ajaran agama Islam juga terlihat dari kewajiban shalat tahajud dan membaca
Al-Quran secara rutin. Namun, beberapa pemahaman tentang ajaran keislaman
menuai kontroversi, seperti tentang pemaknaan nabi terakhir, kematian Nabi Isa
AS atau Yesus, kedatangan Imam Mahdi, dan tentang Nabi Adam AS. Ahmadiyah
menganggap kenabian tidak terputus pada Nabi Muhammad SAW, namun kenabian
setelahnya tidak membawa syariat baru kecuali melanjutkan ajaran Nabi Muhammad
SAW. Karena itu, tokoh sentral mereka yakni Mirza Ghulam Ahmad dipercaya
sebagai nabi karena telah menerima wahyu dari Tuhan. Pemahaman tentang Nabi Isa
AS yang dianggap telah meninggal secara wajar disertai bukti makamnya, sehingga
takkan muncul lagi di akhir zaman. Demikian pula dengan Imam Mahdi. Bagi
Ahmadi, yang dimaksud Nabi Isa AS dan Imam Mahdi yang dipercaya umat akan
muncul di akhir zaman, tak lain adalah Mirza Ghulam Ahmad, nabi mereka. Itulah
mengapa, penyebutan namanya selalu ditambahkan gelar AS dan dijuluki Hz. Masih
Mau’ud AS.
Kontroversi pemahaman
ajaran keislaman inilah yang menjadi pokok konflik ideologis Ahmadiyah dengan
MUI dan kelompok-kelompok Islam yang lain. Dari deskripsi inilah pemakalah
berusaha untuk menawarkan beberapa solusi dan mencari setiap akar permasalahan
dalam kajian keislaman, terutama memahami kembali penafsiran keagamaan yang
dilakukan oleh aliran-aliran dalam Islam kelompok, serta membedakan mana yang
wilayah Tuhan, wilayah kenabian, dan interpretasi manusia terhadap ajaran
Islam.
Tawaran pendekatan
Kajian Islam dalam Konflik Ahmadiyah
Dalam memahami kajian
keislaman ada beberapa tawaran epistemologi atau pendekatan sebagai sebuah
interpretatif agar Islam lebih membumi, tawaran ini muncul dari berbagai tokoh
Islam kontemporer yang banyak belajar di dunia barat. Adalah Abid
al-Jabiri yang berusaha menawarkan
sebuah solusi atas kemandekan pemikiran Arab dan interpretasi terhadap
pemikiran Islam, tiga Epistemologi yang ditawarkan Bayani (Tekstual) Burhani
(Rasionalis) dan Irfani (Intuitif), ketika epistemologi ini adalah sebuah
paduan solusi yang dianggap memiliki dampak luar biasa terhadap pemahaman
seseorang pada kajian agama.
Dalam konflik Ahmadiyah
kita dapat melihat bagaimana dominasi Bayani begitu kuat, sehingga untuk
mencari solusi diluar teks keagamaan akan sangat sulit, ketika agama hanya
dipahami dalam tataran teks saja, maka nilai-nilai kemanusiaan hanya akan
menjadi hiasan belaka. Dapat dilihat bagaimana konflik Ahmadiyah terjadi
pemahaman Teks begitu dominan sehingga nilai Universal dalam Islam tidak tampak
sama sekali. Selain itu Pemahaman tekstual dalam agama akan memberikan
pemahaman yang ngambang karena
bagaimanapun juga teks akan selalu disesuaikan dengan konteks, dan setiap teks
pada hakikatnya mempunyai pesan yang mendalam sehingga tidak bisa dipahami
dalam kajian teks saja, teks mebutuhkan penaralaran yang baik sehingga bisa seimbang dengan kehidupan manusia dimana
teks itu dibaca. Dari sinilah kemudian nalar Burhani dibutuhkan, bagaimana
memahami teks sesuai dengan konteks yang terjadi. Pemahaman burhani pada
hakikatnya merupakan aplikasi dari “masa Kodifikasi” atau yang sebut oleh
jabiri dengan asr al-Tadwin pada masa ini nalar atau berfikir dominan
mempunyai kontribusi yang besar yang dapat menentukan sebuah persepsi terhadap
kebangkitan dan pemahaman keagamaan.[4]
Jabiri mencatat adanya sebuah
problematika struktural mendasar pemikiran yaitu kecenderungan untuk selalu
memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi).
Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis
dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya,
dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari
realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang.
Menurut menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau
warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan
kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama
dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan.
Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik,
sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.[5]
Konsep Epistemologi
Islam abid al-Jabiri
Jabiri juga memberikan
contoh pada kehidupan Dakwah Nabi bagaimana Nabi dapat mensosialikan ajaran
Islam melalui beberapa Metode dakwah yang menurutnya sebagai prototipe ideal:
1. Mengubah masyarakat
klan menjadi masyarakat madani yang
multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi
independen dan lembaga konstitusi.
2. Mengubah ekonomi
al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta
membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat
independensi.
3. Mengubah sistem
ideologi (al-aqidah) yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang
bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan
dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.[6]
Konflik Ahmadiyah
sangat sarat dengan Anarkisme mengatas namakan Islam pembakaran, pemurtadan
menjadi hiasan setiap konflik, ketika melihat pada model Dakwah Rasulullah yang
meletakan ideologi sebagai sebuah kebebasan maka tidak selayaknya umat Islam
memaksakan kehendak agar umat Ahmadiyah melepaskan kepercayaannya, karena pada
intinya kebenaran sebuah agama hanya dapat dirasakan oleh hati pemeluknya, dan
Islam menganjurkan agar ideologi menjadi permasalahan pribadi.
Selain al-Jabiri terdapat
beberapa pemikir seperti Jasser Auda yang berusaha menawarkan konsep fiqh
modern berdasakan Maqa}sid
al-Shari}ah. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan, Islam juga sebagai agama konsep yang berusaha memberikan solusi untuk
kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat
oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam
agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqasid
al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda
mengartikan Maq}asid
pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua,
tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum. Ketiga, kelompok
tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat,
Mas}a}lih. Dalam konsep Maqa>}sid yang
ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling
utama[7]
Dalam Maqa>s}id al-Shari>‘ah
as Philosophy of Islamic Law: A System Approach Jasser Auda juga berusaha mengkonstruk ulang
konsep Maqashid lama yang bersifat protection
and preservation menuju pada teori maqa>s}id yang mengacu pada development
and rights. Wujudnya dapat dilihat pada tabel perbandingan teori maqa>s}id
di bawah ini:
Pergeseran Paradigma Teori Maqa>s}id
Klasik menuju Kontemporer
No
|
Teori Maqa>s}id
Klasik
|
Teori Maqa>s}id
Kontemporer
|
1
|
Preservation of offspring
|
Family-oriented theory; care for the family
|
2
|
Preservation of mind
|
Propagation of scientific thinking; travelling
to seek knowledge; suppressing the herd mentality; avoiding brain drain.
|
3
|
Preservation of honor and Preservation of the
soul
|
Preservation of human dignity; protection of
human rights
|
4
|
Preservation of religion
|
Freedom of faiths; Freedom of belief;
|
5
|
Preservation of wealth
|
Social assistance; economic development; flow of money;
wellbeing of society; diminishing the difference between economic levels.
|
diantara pergeseran yang paling tampak ketika dipakai
dalam konflik Ahmadiyah salah satunya adalah Preservation of Human dignity;
protection of Human Rights upaya ini untuk mendukung The Universal Islamic
declaration of Human Rights sehingga dapat menunjukan bahwa Islam dapat
mengkontribusikan New Positive dimension to Human Rights[8]
Dari konsep inilah
dapat dilihat dalam konflik Ahmadiyah bagaimana Hak Asasi manusia terabaikan
demi kepentingan kelompok dan interpretasi yang keliru pada teks Agama, karena
pada hakikatnya Islam menjunjung tinggi kebebasan dan HAM. Ketika pemahaman
atau hasil ijtihad yang ditawarkan banyak menyimpang dari keadilan dan
perlindungan hak-hak kemanusiaan, maka hasil Ijtihad itu perlu untuk dikoreksi
ulang.
Teori maqa>s}id
yang bersifat hirarkis mengalami perkembangan, terutama pada abad ke-20. Teori
modern mengkritik klasifikasi kebutuhan (necessity) di atas dengan beberapa alasan berikut ini:
a) scope teori maqa>s}id
meliputi seluruh hukum Islam, b) lebih bersifat individual; c) tidak memasukkan
nilai-nilai yang paling universal dan pokok, seperti keadilan dan kebebasan (freedom);
d) dideduksi dari kajian literature fiqhi>, bukan mengacu pada sumber original/script.[9]
Untuk memperbaiki kekurangan teori
maqa>s}id klasik tersebut, pakar modern memperkenalkan konsep dan
klasifikasi baru terkait maqa>s}id dengan memberikan pertimbangan dimensi
baru. Pertama, general maqa>s}id. Maqa>s}id ini diobservasi
melalui seluruh bagian hukum Islam, seperti necessities (ضَرُÙˆْرِÙŠَّاتْ) maupun needs (ØَاجِÙŠَاتْ) sebagaimana yang tergambar di atas, ditambah dengan
maqa>s}id seperti keadilan (justice) dan kemudahan (facilitation); Kedua, specific
maqa>s}id. Kategori maqa>s}id diobservasi melalui 'bab' tertentu
dalam hukum Islam, seperti perlindungan dari unsur monopoli dalam hukum
transaksi financial; Ketiga, partial maqa>s}id. Jenis maqa>s}id
ketiga ini merupakan maksud (intent) yang berada di balik nas}s} (script) atau
hukum (rulings) tertentu. Misalnya: intent untuk memberi keringanan kepada
orang yang sedang sakit dan berpuasa agar membatalkan puasanya.[10]
Berikut
ini gambaran teori maqa>s}id kontemporer dari 3 dimensi baru[11]
Menurut Jasser Auda,
struktur maqa>s}id
di atas adalah berdasarkan 'cognitive
nature' dari hukum Islam, sehingga seluruhnya
terkategorikan valid.[12]
Selain Jasser Auda
pemakalah juga berusaha untuk mengulas balik Hermeneutika Khalid Abu al-Fadhl (Sebagai
solusi alternatif dalam melihat konflik antara Ahmadiyah dan MUI). yang berusaha
mengembalikan otoritas teks dan menghilangkan Otoritarianisme Pembaca teks.
Al-Quran adalah kitab suci yang agung namun bagaimanapun agungnya sebuah teks
ia tetap belum memiliki arti apapun tanpa adanya intervensi pemahaman dan
penafsiran manusia. Oleh karena itu, upaya untuk terus menginterpretasi teks
harus dilakukan agar dapat teraplikasi pada setiap kehidupan dengan baik.
Secara sederhana
Hermeneutika dapat diartikan sebagai sebuah seni, metodologi, dan ilmu untuk menafsirkan teks yang memiliki otoritas,
khususnya teks keagamaan[13]
Sebagai sebuah
metodologi penafsiran, Hermeneutika bukan hanya sebuah bentuk tunggal, namun
terdiri atas berbagai model dan varian. Hermeneutika juga tidak hanya memandang
sebuah teks tetapi juga menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika
berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horizon yang meliputi teks itu
sendiri.[14]
Metodologi yang
ditawarkan oleh Khalid Abu Fadl ini adalah pembacaan kembali serta
kontektualisasi atas teks fatwa-fatwa keagamaan, khususnya yang terangkum dalam
fiqh. Sehingga teks-teks tersebut mampu melakukan dialektika yang kemudian
melahirkan aturan-aturan dan nilai-nilai yang membumi yang bersifat Humanisme,
diamping juga bersifat ilahiyah.
Kritik yang dilontarkan
oleh Khalid Abu Fadl dilakukan atas sebuah prinsip pemahaman bahwa zaman harus
menyesuaikan teks keagamaan, dan dapat
berimplikasi pada kebenaran kontekstual[15].
Contoh ketika konflik Ahmadiyah yang bersifat agama harus dilawan dengan
Anarkisme yang melanggar HAM maka hal ini akan semakin menimbulkan konflik.
Menurut Khalid ada
keharusan untuk mengkritik teks agar umat Islam tidak terjebak dalam lingkaran
Tekstualisme, ia sangat kritis terhadap teks yang awalnya bersifat otoritatif,
namun ketika ditransfer ke wilayah praktis, malah cenderung hegemonik dan
otoriter. Pemahaman tentang Hermeneutika sebenarnya tidaklah harus melahirkan
otoritarianisme.[16] Khalid
berusaha menjelaskan bagaimana kinerja dari Hermeneutik dengan mempertanyakan
hubungan teks dengan pengarang dan pembaca dalam dinamika pergumulan pemikiran
Islam pada khususnya dan pemikiran dalam studi keislaman pada umumnya.[17]
Khalid sebenarnya
sangat prihatin terhadap kondisis fiqh di Arab Saudi yang mempercayakan Fatwa
dan hukum kepada CRLO (Council for Scientific Research and Legal Opinion)
/ –MUI Indonesia, pen— lembaga
pengkajian fatwa yang diberi otoritas oleh pemerintah Saudi untuk membuat
keputusan hukum. Diantara beberapa fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga ini
banyak menimbulkan kontroversi seperti pelarangan wanita
mengendarai/mengemudikan mobil, wanita harus melakukan shalat dan doa di tempat
yang sepi.[18]
Dalam pandangan Khalid
Fikh menjadi otoriter ketika dipegang oleh orang-orang yang mengaku sebagai
”Tentara Tuhan” , mereka menggunakan pedoaman atas legalitas teks dan meyakini
yang difatwakan adalah kehendak Tuhan. Meski sebenarnya mereka hanya sebagai Reader
saja, tapi seolah-olah mereka mendapat mandat dan diberi kuasa penuh, yang
semestinya juga dimainkan oleh pengarang (author) dan pembaca (nash).
Pengambilan arti sepihak oleh pembaca sehingga disebut dengan interpretive
despotism (kesewenang-wenangan penafsiran) inilah yang dimaksud oleh Kahlid
sebagai otoritarianisme dalam Fikh.
Bagi Khalid pada prinsipnya fikh sangat
dinamis, tidak statis apalagi rigid. Hanya saja lewat peran State (penguasa)
dengan afiliasinya CRLO/ -MUI, pen-, maka sifat hukum menjadi jumud dan
absolut. Dalam pandangan Khalid fikh harus bebas dari peran intervensi negara, sehingga tidak
ada lembaga atau orang-orang yang mengaku sebagai “Juru Bicara” atau “Tangan
Tuhan” dia berpedoman pada ayat al-Quran yang berbunyi ’wa ma>}
ya’lamu junuda Rabbika illa Wua” (tidak ada yang
mengetahui tentara Tuhan mu kecuali Dia sendiri).[19]
Karenanya pendekatan
Hermeneutika yang mendalam menjadi sebuah alternatif bagi Khalid sebagai
sarjana fikh dalam rangka mencari tipe yang ideal untuk dalam menafsirkan
kembali hukum-hukum Tuhan.
Setelah mengulas
tentang hermeneutika Ototarian Khalid kemudian beranjak pada Hermeneutika
Negosiatif yang berusaha menerjemahkan
relasi yang koheren antara Teks (nash), pengarang (author) dan Pembaca (Reader)
dalam diskursus pergumulan penafsiran dan pemikiran Nash. Perlu
dijelaskan bahwa semestinya kekuasaan atas teks adalah milik Tuhan, hanya Tuhan
(author) saja yang faham atas kehendaknya dalam firman-firmannya. Manusia
sebagai reader cukup hanya memposisikan dirinya sebagai penafsir atas teks-teks
Tuhan dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, maka dengan demikian
penafsiran yang paling benar dan relevan mestinya hanya keinginan dan kehendak author,
dan bukan ditangan reader.[20]
Khalid mencoba
menemukan “kepentingan” di balik tindakan pemahaman itu sendiri karena dua hal,
pertama, belum dipertimbangkan kemungkinan adanya kepentingan penggagas
dan pembaca yang disusupkan melalui teks, pembaca lain, dan audiennya. Kedua,
munculnya tindakan kesewenang-wenangan pembaca terhadap teks. Ruang ini
berusaha digagas oleh Khalid dengan mendasarkan pada asumsi bahwa Hermeneutika
tidak hanya bertujuan menemukan makna teks sebagaimana hermeneutika pada
umumnya, tetapi juga bertujuan mengungkap kepentingan pembaca yang tersimpan
dibalik teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan sewenang-wenang
dari pembaca teks tersebut, pembaca lain, dan audiennya.[21]
Lebih spesifik Khalid mengkritik hermeneutika otoriter dalam
fatwa-fatwa keagamaan yang banyak dikeluarkan oleh Komisi Fatwa di Timur
Tengah, yang justru malah menghilangkan peran dan eksistensi hukum Islam dalam
menjawab problematika zaman. Mereka mengasumsikan diri sebagai ”Jubir” Tuhan
yang bertugas untuk menyuarakan dan menyeleksi produk-produk hukum yang lahir
dari luar komunitas mereka, dengan memaksakan produk hukum mereka sebagai
satu-satunya yang paling Tuhan kehendaki.[22]
Pendekatan Hermeneutika
Khalid jelas berbeda dengan pendekatan hermeneutika dalam lingkungan biblical
studies. Pendekatan Negosiatif Khalid terletak pada penafsiran “ bias
Gender” dan persoalan fatwa-fatwa yang terkait dengan perempuan yang mempunyai
dampak luas di masyarakat Islam pada umumnya. Khalid berusaha menjunjung
“otoritas teks” dan membatasi “pembaca teks” untuk mencari dan menekankan
konsep otoritas dalam hukum Islam, dengan tujuan utamanya menjunjung tinggi
nilai keadilan, kesetaraan, moral, dan mengacu pada Maqa>s}id al-S}ari’ah.
Selanjutnya konsep ini ditujukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana
sebuah tindakan dikatakan bersifat otoritarianisme dan bagaimana pula
mengendalikannya. Karena itu Khalid menawarkan lima prinsip moral dalam
Hermeneutikanya yaitu: etika, Kejujuran, kesungguhan, Rasionalis, dan
pengendalian diri.[23]
Pemikiran Hermeneutika
Khalid ini menjadi sangat penting ketika memahami konflik yang terjadi antara
Ahmadiyah vs MUI, konsep Khalid ini mempunyai dua penafsiran Pertama, sebagai
kritikan terhadap Ahmadiyah yang mengartikan Ayat al-Quran tentang adanya Nabi
setelah Muhammad Rasulullah, yang kemudian mendaulat Mirza Ghulam Ahmad sebagai
Nabi, dimana otoritas Teks menjadi milik mereka. Kedua, kritikan terhadap MUI
yang menganggap lembaganya sebagai “ Tangan Tuhan”.
Ketika menganggap
dirinya sebagai tentara Tuhan, maka Hukum dapat diolah sesuai dengan
kepentingan, baik politik atau pribadi, disinilah kemudian intervesnsi dari
negara atau kekuasaan akan memperkuat asumsi bahwa lembaga fatwa hukum
betul-betul menjadi tangan Tuhan dalam penetapan hukum Islam.
MUI sebagai sebuah
lembaga keagamaan akhir-akhir ini seringkali mengeluarkan fatwa-fatwa
kontroversial, seakan mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara MUI dan
CRLO. Hal ini dapat dilihat pada fatwa yang dikeluarkan oleh MUI akhir 2010
yang lalu tentang keharaman wanita berboncengan dengan orang yang bukan Muhrim-nya,
tanpa melihat faktor-faktor yang melatar belakangi. Hal yang sama dilakukan
oleh CRLO bahwa wanita haram mengemudikan Mobil.
Semoga dengan tiga
tawaran pendekatan ini dapat memberikan pemahaman yang baik dalam kajian
keislaman terutama pada masalah hukum yang rentan dengan berbagai konflik,
karena pada dasarnya Islam adalah agama yang Damai dan sebagai Rahmat bagi semesta.
Diagram Hermeutika Khalid
[1] Northrop frye, Anatomy of
criticism (Princeston: Princeston University Press, 1973) hal. 345.
[2] Aris Mustafa, Ngarto Februana, Feby
Indirani & Sri Wahyuni. Ahmadiyah: Keyakinan yang Digugat.
Jakarta: Pusat Data dan Analisa TEMPO, 2005, hal 5
[3]
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu
Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, hal 17
[4] M. Abid Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Syiyasi al-Arabi,
Beirut al-Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1993. 374
[5] M. Abid Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, Beirut al-Markaz al-Tsaqafah
al-Arabi, 1993.61
[6] M. Abid Al-Jabiri, Takwin
al-Aql al-Syiyasi al-Arabi, Beirut al-Markaz al-Tsaqafah al-Arabi, 1993.
373
[7] Jasser Auda, Maqasid
al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach,(London,and Washinton:
The International Institut of Islamic Thouht, 2008) 5
[11] Klasifikasi maqa>s}id dalam berbagai dimensinya ini, dinilai Jasser Auda memiliki kesamaan
dengan hirarki kebutuhan manusia yang diajukan oleh ilmuwan abad ke-20, Abraham
Maslow. Jasser
Auda, Maqa>s}id al-Shari>‘ah as Philosophy of
Islamic Law: A System Approach, 247.
[12] Jasser Auda, Maqa>s}id
al-Shari>‘ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, 7.
[13] Mudjia Raharjo, Dasar-Dasar
Hermeneutika: Antara Intensionalisme & Gadamererian (Yogyakarta :
ar-Ruzzmedia, 2008), 30.
[14] Fahruddin Fais, Hermeneutika
Qur;ani (Yogyakarta: Qalam, 2002), 13.
[15]Khalid Abu Fadl, Atas
Nama Tuhan; dari fikh otoriter ke fikh Otoritas : terj. R. Cecep Lukman
Yasin (jakarta: Serambi ilmu Semesta, 2004) 409
[16] Merupakan tindakan
seseorang, atau lembaga yang “menutup rapat” atau membatasi keinginan Tuhan (the
will of the divine) atau keinginan terdalam maksud teks dalam suatu batasan
ketentuan tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan0ketentuan tersebut
sebagai suatu hal yang tidak dapat dihindari, final dan merupakan hasil akhir
yang tiidak boleh dibantah
[17] Hujair Sanaky, Gagasan
Khalid Abu Fadhl tentang problem otoritarianisme Tafsir Agama Pendekatan
Hermeneutika dalam studi Fatwa-fatwa keagamaan, http://www.sanaky.com/materi/Gagasan_khalid.pdf.
Diakses tanggal 15 Nopember 2010.
[18]
Khalid Abu Fadhl, Atas Nama Tuhan, 2004, 392.
[19] Khalid Abu Fadhl, Atas
nama Tuhan, 2004, 39.
[20]
Asnawi Ihsan, otorianisme; catatan kelam peradaban Islam,
http://asnawiihsan.blogspot.com/2007/03/
otorianisme-catatan-hitam-peradaban-html. Diakses 05 Nopember 2010.
[21]
Aksin Wijaya, Arah baru Studi Ulum al-Quran memburu Pesan Tuhan di Balik
fenomena Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009,2009), 203
[22]
Amin Abdullah, Pendekatan Hermeneutika dalam Studi Fatwa-fatwa Keagamaan, Lihat
Khalid Abu Fadlh, pengantar Atas Nama
Tuhan, ix.
[23]
Kurdi dkk., Hermeneutika Quran dan Hadits (Yogyakarta: elSaq Press,
2010) 280.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar