Rabu, 11 Januari 2012

DEMONTRASI UNTUK KEADILAN, NO PROBLEM. Tanwirul Afkar (TA) Ma’had Aly Situbondo

DEMONTRASI UNTUK KEADILAN, NO PROBLEM.  Tanwirul Afkar  (TA) Ma’had Aly Situbondo


Akhir–akhir ini, aksi massa dalam bentuk unjuk rasa, demontrasi dan bahkan kerusuhan semakin sering terjadi. Pada minggu-minggu pelaksanaan pemilu tempo hari, hampir tiap hari media massa memuat berita soal huru-hara ini. tidak terhitung lagi berapa korban – harta, perasaan, dan bahkan nyawa – yang ditelan. Sehingga pihak yang geregetan menyikapi peristiwa – peristiwa ini.
 Menteri agama misalnya, dengan gemas dan agak emosional menyatakan perang terhadap para perusuh yang melakukan aksi-aksi tersebut. “halal, darah dan nyawa perusuh”, ujarnya, seperti ditulis harian surya, 17 Juni 1997. Maka tanggapan dari berbagai pihak atas pernyataan ini segera bermunculan. Basrah, kumpulan ulama’ Madura menuntut Menteri Agama meninjau ulang pernyataannya. Menurut Basrah, terlalu cepat memvonis para pelaku aksi itu sebagai halal darahnya, karena motif dan latar kejadiannya beragam dan nyawa adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh Islam, memeliharanya termasuk ranking kedua pada Al-Dlaruriyaat al-Khamshah.
Lain lagi dengan para kiai dan pengurus pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Pada tanggal 19 Juni 1997, diruang perpustakaan Ma’had aly, dibahas soal pernyataan MENAG ini. kesimpulan yang diambil, senada dengan sikap Basrah, bahwa terlalu dini untuk memvonis pelaku kerusuhan sebagai halal darahnya. Karena tidak jelas juga siapa sebenarnya yang dimaksud dengan perusuh. Boleh jadi, mereka yang melakukan kerusuhan itu adalah anak pion dari sebuah permainan canggih para aktor intelektualnya. Atau, bisa juga mereka melakukan itu untuk menegakkan keadilan dan membereskan penyimpangan-penyimpangan yang berseliweran di hadapan mereka. lebih jauh, forum ini memandang bahwa pernyataan itu perlu dicabut.
Muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya hukum islam melihat aksi-aksi tersebut? Apakah tindak demonstrasi, unjuk rasa atau bahkan kerusuhan dijustifikasi oleh keinginan untuk menegakkan keadilan?.
Kita berangkat dari bagaimana islam memandang negara. Menurut al-Ghazali, Al-Mulk bi al-Diin Yabqa, Wa al-Diin Bi al-Mulk Yaqwa ( Negara akan eksis dengan agama dan agama akan jaya dengan ditopang negara). Sehingga menurut Islam, eksistensi negara mendapat pengabsahan atas gasad sejauh mana ia menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Maka dalam fiqh siyasah, ditemukan bahwa mendirikan agama -baik secara syar’iy maupun aqly- adalah fardu kifayah hukumnya.
Dalam rangka mewujudkan negara sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama itulah, hukum islam tidak mengenal kekuasaan tak terbatas dari pemerintah. Hukum islam memandang bahwa kekuasaan kepala negara harus dibatasi. Sehingga, hukum islam lalu menetapkan kriteria yang sangat ketat untuk seorang kepala negara. Dan sebagai kelanjutannya, dalam pemerintahan, dibuat beberapa prinsip yang membatasi ke-wenangan pemerintah.
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaili, menetapkan beberapa prinsip yang membatasi kekuasaan pemerintah. Yaitu, pertama, pemerintah dituntut untuk melaksanakan dan menerapkan syariat Islam dan menetapkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan syariat. Ia sama sekali tidak memiliki alasan untuk meninggalkan tugas ini. maka ketika abu Bakar dan para khulafaur rasyidin dibai’at menjadi khalifah, beliau berpidato:
“Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah . Jika aku tidak taat kepada Allah, kalian tidak wajib taat kepadaku”. Kedua, pemerintah tidak memeliki ke-wenangan Tasyri’, karena hal itu merupakan ke-wenangan Allah dan rasulnya. Pemerintah hanya boleh melakukan ijtihad dalam usaha menerapkan kehendak al-Qur’an dan al-Sunnah. Ketiga, dalam segala langkahnya, pemerintah harus mengindahkan prinsip-prinsip yang ditetapkan islam, yaitu : musyawarah (syura), berbuat adil (al-Adl), persamaan di depan hukum (al-musawa amama al-qanun), memelihara hak asasi manusia (himayah al-karamah al-insan), menjamin kemerdekaan rakyat dalam berakidah dan berpendapat (hurriyah al-aqidah wa al-fikr wa al-qaul), kontrol rakyat dan pertanggung jawaban pemerintah (ribah al-ummah wa mas’uliyah al-hakim).
Dalam bahasa kebebasan berpendapat, Wahbah melanjutkan bahwa kebebasan berpendapat adalah prinsip yang sangat dikedepankan oleh Islam. prinsip ini menuntut orang untuk dengan tegas menyatakan kebenaran tanpa takut dengan siapa pun. Meskipun itu menyangkut pemerintahan. Maka tatkala Umar berpidato:
“Rakyatku, siapa saja yang melihat ada yang bengkok pada diri saya, hendaknya dia meluruskannya”. Baru tuntas mengucapkan ini, seorang a’raby menimpali, Demi Allah, hai amir al-mukminin, kalau saja aku dapatkan ada yang bengkok pada dirimu, aku akan meluruskannya dengan pedangku ini”. menanggapi orang ini, Umat berkata:
”Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara umat ini, orang yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya”.
Inilah beberapa prinsip yang membatasi kekuasaan pemerintah menurut Islam. selama pemerintah masih berada dalam batas-batas ini, rakyat dituntut untuk sam’atan wa tha’atan terhadap pemerintah. Karena ada dua hak pemerintah, ketika pemerintahannya dianggap absah, yaitu ditaati oleh rakyat dan mendapat dukungannya dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh. Tetapi ketika pemerintah sudah menyimpang dari garis-garis yang telah ditentukan, rakyat punya hak untuk mengontrol, mengoreksi dan bahkan protes kepada pemerintah.
Ada banyak hadits yang mendukung, semisal:
”Agama itu nasihat. Rasul ditanya: untuk siapa ya rasul ?. Untuk Allah, rasul-Nya, para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan”.
Hadits lain :
“Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim”.
Lebih jauh lagi, abdul Qadir al-Audah, dalam al-Tasyri al-Jina’I al-Islami bahkan membolehkan rakyat untuk mendongkel penguasa yang menyeleweng dan tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Tulis beliau:
“Pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, atau keluar dari batas-batas prinsip, dia tidak berhak didengar dan ditaati. Bahkan, dia harus mengundurkan diri untuk (kedudukannya) diberikan kepada yang lebih berkelayakan dan mampu memerintah sesuai aturan yang Allah tetapkan. Jika ia tidak mau undur diri secara suka rela, rakyat berhak memaksanya dan mencari penggantinya secara bebas”.
sampai pada titik ekstrim ini, fiqh masih memberi pengabsahan. Ini semua karena besarnya semangat fiqh untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bernegara. Mewujudkan keadilan semesta, merembuk persoalan bersama secara musyawarah dan mengenyahkan kesewenang-wenangan. Pemerintah melindungi rakyat secara serius dan rakyat tunduk patuh terhadap pemerintah yang mengayomi mereka. sehingga tercipta satu struktur hubungan antara pemerintah dan rakyat yang harmonis dan stabil.
Tetapi jika melihat realitas yang terjadi dewasa ini, kehidupan ke-bangsaan kita, banyak diwarnai kecurigaan, saling mengkambing hitamkan, su’uddzan dan seterusnya. Ini menimbulkan iklim yang tidak sehat. Rakyat menyalahkan pemerintah. Dan kondisi inilah yang disinyalir oleh hadits nabi :
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mau berkomunikasi dengannya dan mereka mau berbicara dengan kalian. Dan sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian benci dan membenci kalian, kalian memaki dan kalian juga dimaki”.
Yang jelas bagaimanapun keadilan adalah prinsip abadi yang harus dipegang oleh pemerintah manapun. Sehingga, jika prinsip ini diabaikan, hukum Islam memandang bahwa rakyat boleh untuk melakukan koreksi kepada pemerintah untuk kembali memperhatikan tuntutan keadilan. dan kalau ini yang mendorong aksi yang akhir-akhir ini marak dilakukan, kita tidak mempunyai alasan untuk mempersalahkannya.
Namun bukan berarti hukum islam merestui tindak dekstruksi dan perusakan. Hukum Islam respek terhadap gerakan massa yang tidak menimbulkan perusakan. Karena apapun yang menimbulkan mudharat tidak dibenarkan, meskipun tujuannya adalah untuk menghilangkan kemudharatan (penyelewengan, ketidakadilan, dan seterusnya). Karena ada kaidah hukum:
(Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan). Sehingga yang ditolerir oleh hukum islam adalah gerakan yang bertujuan untuk menghilangkan kemungkaran atau mengoreksi pemerintah yang keluar dari prinsip-prinsip kepemerintahan menurut islam tanpa menimbulkan perusakan. Intaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar