DEMONTRASI UNTUK KEADILAN, NO PROBLEM. Tanwirul Afkar (TA) Ma’had Aly Situbondo
Akhir–akhir ini, aksi massa dalam bentuk unjuk rasa,
demontrasi dan bahkan kerusuhan semakin sering terjadi. Pada
minggu-minggu pelaksanaan pemilu tempo hari, hampir tiap hari media
massa memuat berita soal huru-hara ini. tidak terhitung lagi berapa
korban – harta, perasaan, dan bahkan nyawa – yang ditelan. Sehingga
pihak yang geregetan menyikapi peristiwa – peristiwa ini.
Menteri
agama misalnya, dengan gemas dan agak emosional menyatakan perang
terhadap para perusuh yang melakukan aksi-aksi tersebut. “halal, darah
dan nyawa perusuh”, ujarnya, seperti ditulis harian surya, 17 Juni 1997.
Maka tanggapan dari berbagai pihak atas pernyataan ini segera
bermunculan. Basrah, kumpulan ulama’ Madura menuntut Menteri Agama
meninjau ulang pernyataannya. Menurut Basrah, terlalu cepat memvonis
para pelaku aksi itu sebagai halal darahnya, karena motif dan latar
kejadiannya beragam dan nyawa adalah sesuatu yang sangat dijaga oleh
Islam, memeliharanya termasuk ranking kedua pada Al-Dlaruriyaat
al-Khamshah.
Lain lagi dengan para kiai dan pengurus pondok
pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Pada tanggal 19 Juni
1997, diruang perpustakaan Ma’had aly, dibahas soal pernyataan MENAG
ini. kesimpulan yang diambil, senada dengan sikap Basrah, bahwa terlalu
dini untuk memvonis pelaku kerusuhan sebagai halal darahnya. Karena
tidak jelas juga siapa sebenarnya yang dimaksud dengan perusuh. Boleh
jadi, mereka yang melakukan kerusuhan itu adalah anak pion dari sebuah
permainan canggih para aktor intelektualnya. Atau, bisa juga mereka
melakukan itu untuk menegakkan keadilan dan membereskan
penyimpangan-penyimpangan yang berseliweran di hadapan mereka. lebih
jauh, forum ini memandang bahwa pernyataan itu perlu dicabut.
Muncul
pertanyaan, bagaimana sebenarnya hukum islam melihat aksi-aksi
tersebut? Apakah tindak demonstrasi, unjuk rasa atau bahkan kerusuhan
dijustifikasi oleh keinginan untuk menegakkan keadilan?.
Kita
berangkat dari bagaimana islam memandang negara. Menurut al-Ghazali,
Al-Mulk bi al-Diin Yabqa, Wa al-Diin Bi al-Mulk Yaqwa ( Negara akan
eksis dengan agama dan agama akan jaya dengan ditopang negara). Sehingga
menurut Islam, eksistensi negara mendapat pengabsahan atas gasad sejauh
mana ia menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Maka dalam
fiqh siyasah, ditemukan bahwa mendirikan agama -baik secara syar’iy
maupun aqly- adalah fardu kifayah hukumnya.
Dalam rangka
mewujudkan negara sebagai alat untuk mewujudkan kemaslahatan bersama
itulah, hukum islam tidak mengenal kekuasaan tak terbatas dari
pemerintah. Hukum islam memandang bahwa kekuasaan kepala negara harus
dibatasi. Sehingga, hukum islam lalu menetapkan kriteria yang sangat
ketat untuk seorang kepala negara. Dan sebagai kelanjutannya, dalam
pemerintahan, dibuat beberapa prinsip yang membatasi ke-wenangan
pemerintah.
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Wahbah
az-Zuhaili, menetapkan beberapa prinsip yang membatasi kekuasaan
pemerintah. Yaitu, pertama, pemerintah dituntut untuk melaksanakan dan
menerapkan syariat Islam dan menetapkan peraturan-peraturan yang sesuai
dengan syariat. Ia sama sekali tidak memiliki alasan untuk meninggalkan
tugas ini. maka ketika abu Bakar dan para khulafaur rasyidin dibai’at
menjadi khalifah, beliau berpidato:
“Taatlah kepadaku selama aku
taat kepada Allah . Jika aku tidak taat kepada Allah, kalian tidak wajib
taat kepadaku”. Kedua, pemerintah tidak memeliki ke-wenangan Tasyri’,
karena hal itu merupakan ke-wenangan Allah dan rasulnya. Pemerintah
hanya boleh melakukan ijtihad dalam usaha menerapkan kehendak al-Qur’an
dan al-Sunnah. Ketiga, dalam segala langkahnya, pemerintah harus
mengindahkan prinsip-prinsip yang ditetapkan islam, yaitu : musyawarah
(syura), berbuat adil (al-Adl), persamaan di depan hukum (al-musawa
amama al-qanun), memelihara hak asasi manusia (himayah al-karamah
al-insan), menjamin kemerdekaan rakyat dalam berakidah dan berpendapat
(hurriyah al-aqidah wa al-fikr wa al-qaul), kontrol rakyat dan
pertanggung jawaban pemerintah (ribah al-ummah wa mas’uliyah al-hakim).
Dalam
bahasa kebebasan berpendapat, Wahbah melanjutkan bahwa kebebasan
berpendapat adalah prinsip yang sangat dikedepankan oleh Islam. prinsip
ini menuntut orang untuk dengan tegas menyatakan kebenaran tanpa takut
dengan siapa pun. Meskipun itu menyangkut pemerintahan. Maka tatkala
Umar berpidato:
“Rakyatku, siapa saja yang melihat ada yang
bengkok pada diri saya, hendaknya dia meluruskannya”. Baru tuntas
mengucapkan ini, seorang a’raby menimpali, Demi Allah, hai amir
al-mukminin, kalau saja aku dapatkan ada yang bengkok pada dirimu, aku
akan meluruskannya dengan pedangku ini”. menanggapi orang ini, Umat
berkata:
”Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di antara umat ini, orang yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya”.
Inilah
beberapa prinsip yang membatasi kekuasaan pemerintah menurut Islam.
selama pemerintah masih berada dalam batas-batas ini, rakyat dituntut
untuk sam’atan wa tha’atan terhadap pemerintah. Karena ada dua hak
pemerintah, ketika pemerintahannya dianggap absah, yaitu ditaati oleh
rakyat dan mendapat dukungannya dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuh.
Tetapi ketika pemerintah sudah menyimpang dari garis-garis yang telah
ditentukan, rakyat punya hak untuk mengontrol, mengoreksi dan bahkan
protes kepada pemerintah.
Ada banyak hadits yang mendukung, semisal:
”Agama itu nasihat. Rasul ditanya: untuk siapa ya rasul ?. Untuk Allah, rasul-Nya, para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan”.
Hadits lain :
“Jihad yang paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa yang lalim”.
Lebih
jauh lagi, abdul Qadir al-Audah, dalam al-Tasyri al-Jina’I al-Islami
bahkan membolehkan rakyat untuk mendongkel penguasa yang menyeleweng dan
tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Tulis beliau:
“Pemerintah
yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, atau keluar dari
batas-batas prinsip, dia tidak berhak didengar dan ditaati. Bahkan, dia
harus mengundurkan diri untuk (kedudukannya) diberikan kepada yang lebih
berkelayakan dan mampu memerintah sesuai aturan yang Allah tetapkan.
Jika ia tidak mau undur diri secara suka rela, rakyat berhak memaksanya
dan mencari penggantinya secara bebas”.
sampai pada titik ekstrim
ini, fiqh masih memberi pengabsahan. Ini semua karena besarnya semangat
fiqh untuk menciptakan keharmonisan dalam kehidupan bernegara.
Mewujudkan keadilan semesta, merembuk persoalan bersama secara
musyawarah dan mengenyahkan kesewenang-wenangan. Pemerintah melindungi
rakyat secara serius dan rakyat tunduk patuh terhadap pemerintah yang
mengayomi mereka. sehingga tercipta satu struktur hubungan antara
pemerintah dan rakyat yang harmonis dan stabil.
Tetapi jika
melihat realitas yang terjadi dewasa ini, kehidupan ke-bangsaan kita,
banyak diwarnai kecurigaan, saling mengkambing hitamkan, su’uddzan dan
seterusnya. Ini menimbulkan iklim yang tidak sehat. Rakyat menyalahkan
pemerintah. Dan kondisi inilah yang disinyalir oleh hadits nabi :
“Sebaik-baiknya
pemimpin adalah yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mau
berkomunikasi dengannya dan mereka mau berbicara dengan kalian. Dan
sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian benci dan membenci kalian,
kalian memaki dan kalian juga dimaki”.
Yang jelas bagaimanapun
keadilan adalah prinsip abadi yang harus dipegang oleh pemerintah
manapun. Sehingga, jika prinsip ini diabaikan, hukum Islam memandang
bahwa rakyat boleh untuk melakukan koreksi kepada pemerintah untuk
kembali memperhatikan tuntutan keadilan. dan kalau ini yang mendorong
aksi yang akhir-akhir ini marak dilakukan, kita tidak mempunyai alasan
untuk mempersalahkannya.
Namun bukan berarti hukum islam merestui
tindak dekstruksi dan perusakan. Hukum Islam respek terhadap gerakan
massa yang tidak menimbulkan perusakan. Karena apapun yang menimbulkan
mudharat tidak dibenarkan, meskipun tujuannya adalah untuk menghilangkan
kemudharatan (penyelewengan, ketidakadilan, dan seterusnya). Karena ada
kaidah hukum:
(Kemudharatan tidak dapat dihilangkan dengan
kemudharatan). Sehingga yang ditolerir oleh hukum islam adalah gerakan
yang bertujuan untuk menghilangkan kemungkaran atau mengoreksi
pemerintah yang keluar dari prinsip-prinsip kepemerintahan menurut islam
tanpa menimbulkan perusakan. Intaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar