PACARAN ISLAMI, APA ADA? Buletin Tanwirul Afkar Ma'had Aly situbondo
Pacaran. Sebuah kata yang semakin mendapat tempat dalam kenyataan
sosial budaya kita pada saat ini. Anak-anak sekolahan, mahasiswa, artis
dan banyak orang muda yang melakukannya. Koran-koran, majalah, radio,
seminar turut memberi andil pemasyarakatannya lewat ulasannya soal yang
satu ini.
Di Jawa Pos misalnya, pada setiap hari
Minggu, kita akan temukan rubrik konsultasi psikologi untuk para ABG
(anak baru gede). Dan tak heran, kalau anak-anak baru gede itu, dengan
polos bertanya, “bagaimana ini bak… pacar saya begini, begitu dan
seterusnya”. Kalau di Barat sana, anak-anak muda lebih bebas lagi,
mereka bisa bertemu, kenalan, saling jatuh cinta, jalan bareng dan
–kalau cocok—mereka bisa tinggal serumah tanpa repot berpikir kapan
harus menikah.
Singkatnya, pacaran sudah menjadi kenyataan
sosiologis dimana saja, di banyak negara. Alasan dan motifnya bisa jadi
macam-macam. Tapi yang jelas, satu anggapan yang seragam bahwa pacaran
adalah ajang untuk melakukan penjajakan, saling mengerti pribadi
masing-masing dan akhirnya ada juga yang melanjutkannya ke jenjang
pernikahan. Meskipun tidak sedikit pernyataan buram yang ditimbulkannya.
Seperti, hamil di luar nikah, “kecelakaan ringan”, kawin lari,
degradasi moral dan lain-lain.
Pertanyaannya adalah, bagagaimana
hukum Islam menyikapi kenyaan ini, apa jawaban hukum Islam terhadap
pacaran?. Bagaimana kalau pacaran adalah bentuk perwujudan cinta kasih
tulus antara lak-laki dan perempuan? Bagaimana kalau pacaran dilakukan
secara serius, dengan motivasi melanjutkannya ke jenjang pernikahan?.
Kita
mulai dari bagaimana Islam memandang persoalan cinta. Cinta menurut
Islam adalah suatu yang asing. Ia (cinta) hak prerogatif Allah. Maka,
cinta adalah di atas kuasa manusia (fauqa musthata’i al-insan). Cinta
yang tulus, biasanya datang tanpa di undang. Dan hanya Allah jua yang
mampu menghapus dan membaliknya menjadi rasa yang lain. Al-Qur’an dan
al-Hadits menunjukkan kebenaran ungkapan ini. (Lihat misalnya, QS.
al-Anfal, 63, al-Nisa’, 228). Dan bahkan orang yang mati karena tak
kuasa memanggul beban cinta termasuk orang-orang yang mati syahid.
Al-Qur’an melukiskan dengan begitu impressif, bagaimana cinta Zulaikha
kepada Yusuf Alaihis Salam. Qad Syaghafahu Hubba, kata al-Qur’an. Imam
al-Alusyi menafsirkan—dalam Ruh al-Ma’ani—Syagaf sebagai rasa cinta yang
menghunjam ke dalam lubuk hati, sehingga sulit terhapuskan.
Sampai
disini, sebenarnya tidak ada masalah, no problem. Orang bebas untuk
mencintai siapa saja, asalkan yang bersemayam di hatinya adalah cinta
suci, jujur yang merupakan anugerah Tuhan. Ia tidak terkena tuntutan
hukum-hukum apa-apa. Masalah baru muncul manakala rasa cinta ini
berpindah dari dunia rasa ke dunia nyata, berpindah dari alam ide ke
alam riil. Dan oleh karena batas antara cinta dan nafsu teramat tipis,
barangkali dalam praktik, sulit untuk membedakan, apakah yang sedang
kita ekspresikan, kita nyatakan adalah cinta atau nafsu. Maka lalu, di
kitab Asrar al-Balaghah, diurutkan peringkat cinta sebagai berikut:
ان
ا ول مرا تب الحب الهوى ثم العلاقة وهي الحب اللازم للقلب ثم الكلف وهو
شدة الحب ثم العشق وهو اثم لما فضل عن المقدر المسمى بالحب ثم الشغف
بالمهملة وهو احتراق القلب مع لذة يجدها ثم الشغف ... وهو ان يبلغ الحب
شغاف القلب ثم الجوى وهو الهوى الباطن ثم التيم وهو ان يستبعده الحب ثم
التبل وهو ان يسقمه الحب ثم التدله وهو ذهاب العقل من الحب ثم الهيم وهو ان
يذهب الرجل عل وجهه لغلة الهوى عليه
Sebagai kelanjutannya,
seringkali anak-anak muda menjadikan cinta sebagai landasan
pengabsahannya untuk naksir temen wanitanya, mengadakan pendekatan,
berpacaran, ngobrol, pergi bareng dan bahkan berindehoi. Yang
memperihatinkan, tidak sedikit orang tua yang cuek bebek dengan
kenyataan ini. Inilah yang dilansir oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh
al-Sunnah:
درج كثير من الناس على التهاون في هذا الشأن فأباح لابنته
أو قريبته أن تخالط خطيبها وتخلو معه دون رقابة وتذهب معه حيث يريد من غير
اشراف. قد نتج عن ذلك تعرضت المرأة لضياع شريفها وفساد عفافها واهدار
كراماتها.
“Lambat laun, banyak ornag mengentengkan
persoalan ini, sehingga mereka membolehkan putrinya, keluarganya untuk
berbaur dengan tunangannya dan berduaan tanpa pengawasan, dan bebas
keluyuran kemana saja tanpa arahan. Ini menyebabkan perempuan kehilangan
kemuliaan, rusak akhlaknya, dan hancur kehormatannya!”. Kritik pedas
Sayyid Sabiq ini ditunjukkan kepada mereka yang sudah sampai pada taraf
tunangan (khithbah). Bagaimana mereka yang hanya pacaran?.
Namun
bukan berarti Islam tutup pintu (sadd al-bab), dalam arti laki-laki
ditutup aksesnya sama sekali untuk berhubungan dengan perempuan yang
belum dinikahinya. Islam tidak menghendaki tindakan ekstrem dalam bentuk
apapun. Maka dalam buku al-Hijab, Abul A’la al-Maududi mengambil jalan
tengah dalam penjelasannya soal sistem sosial dalam Islam. Beliau
menengahi dua aliran besar, sistem sosial Barat dan Timur. Barat
diwakili oleh struktur budaya yang liberal. Karena tuntutan alami
laki-laki dan perempuan diciptakan untuk tertarik dan menyatu, orang
bebas untuk berhubungan dalam bentuk apapun, bahkan kumpul kebo
sekalipun. Timur diwakili oleh budaya para Rahib, Biksu, yang memandang
hubungan seksual sebagai sesuatu yang menjijikkan dan kotor. Sehingga
mereka menjauhi perempuan sejauh-jauhnya. Islam memandang bahwa hubungan
laki-laki perempuan adalah insting alami manusia yang wajar dan normal.
Tetapi, Islam tidak lantas mengumbar kebebasan dalam hubungan itu, ia
membuat aturan-aturan.
Lantas bagaimana kalau motivasi melakukan
pacaran adalah untuk mengenali si perempuan; kecantikannya; bodynya,
sifatnya, kecerdasannya dan latar belakang keluarganya. Apakah karena
semua ini begitu dibutuhkan sebagai landasan awal membangun rumah tangga
yang langgeng, bahagia dan sejahtera membuat pacaran menjadi boleh?.
Tunggu dulu!. Untuk inipun hukum Islam memberi rambu-rambu yang jelas.
Pertama-tama, fiqh memandang respek dan memberikan perhatian serius soal
usaha laki-laki untuk mengerti calon isterinya dan begitu sebaliknya.
Karena pernikahan adalah ikatan kuat (mitsaqan ghalidza) yang akan
dijalani dalam waktu lama, bahkan sampai ajal merenggut. Sehingga proses
awalnya harus dilakukan dengan hati-hati. Agar tidak kecewa dan salah
pilih. Maka ketika sahabat Mughighah bin Sya’bah matur kepad Rasul,
bahwa ia telah meminang seorang perempuan, Rasul bertanya “anadzarta
ilaiha ?”, “sudahkah kau melihatnya?”. “La, tidak !”. Kemudian Rasul
bersabda :
أنظر اليها فانه احرى أن يْؤذم بينكما
Dalam riwayat Jabir disebutkan:
اذا خطب احدكم المرأة فان استطاع ان ينظر منها الى ما يدعو الى نكاحها فليفعل.
“Jika
diantara kalian ada yang meminang perempuan, jikalau ia bisa melihat si
perempuan yang ia butuhkan untuk dinikahinya, maka hendaknya ia
melakukan itu”. Ada juga hadits lain yang mendukung kedua hadits ini”.
Kalau
dengan cara ini, laki-laki belum cukup puas atas pengetahuannya tentang
perempuan yang ditaksirnya, misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang
perangai perempuan tersebut, Sayyid Sabiq memberi jalan keluar:
هذا
بالنسبة للنظر الذي يعرف به الجمال من القبح. واما بقية الصفات الخلقية
فتعرف بالوصف والاستصاف والتحرى ممن خالطوها بالمعاشرة او الجوار او بواسطة
بعض افراد ممن هم موضع ثقته من الاقرباء كالأم والأخت
“Melihat
seperti ini, dapat mengungkapkan kecantikan (si perempuan)”. Adapun
akhlaknya, diketahui dengan mengerti sifat-sifatnya dan meminta
penjelasan terhadap orang yang akrab dengan si perempuan, seperti
tetangga atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat pantas di
percaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari si perempuan tersebut”.
Jika
dengan begini, masih saja ada ganjalan di hati sehingga ia perlu
mengobrol atau pergi bareng dengan perempuan itu untuk penjajakan dan
berbagi rasa, masih dipandang boleh oleh fikih. Dengan syarat pertemuan
tersebut disertai mahram si perempuan, agar ada yang mengawasi dan
mereka berdua tidak terjerumus melakukan hal-hal yang diharamkan. Dalam
al-Hala wa al-Haram fi al-Islam, Yusuf al-Qardlawi menjelaskan:
قال
: بل له –في نطاق الحديث الشريف- أن يصحبها مع أبيها أو احد محارمها-وهي
بزيها الشرعي- الى ما اعتادت ان تذهب اليه من الزيارة والاماكن المباحة
لينظر عقلها وذوقها وملامح شخصيتها فانه داخا في مفهوم البعضية التي تضمنها
قوله عليه السلام (فقدر ان ينظر منها بعض ما يدعه الى زواجها)
“Selanjutnya
mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita
tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang
mahramnya—dengan pakaian menurut syara’—ke tempat yang boleh dikunjungi
untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan keperibadiannya. Semua
ini termasuk dalam kata sebagian yang disebut dalam hadits Nabi di atas
yang mengatakan: “…..kemudian ia dapat melihat sebagian apa yang kiranya
yang dapat menarik dia untuk mengawininya”.
Sampai di sini, fikih
masih toleran. Ini semua menunjukkan hasrat besar fikih untuk
mewujudkan struktur sosial yang mentap dan stabil. Sehingga dari unit
keluarga yang merupakan komunitas terkecil dari sebuah masyarakat, fikih
memberi arahan sedemikian rupa agar misi ini terwujud. Apa jadi kalau
pacaran yang bebas sebebasnya di justifikasi. Bukan kedamaian dan
ketenteraman yang didapatkan, melainkan kerancuan dan kekacauan.
Falyata’ammal!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar