Rabu, 11 Januari 2012

PACARAN ISLAMI, APA ADA? Buletin Tanwirul Afkar Ma'had Aly situbondo

PACARAN ISLAMI, APA ADA?     Buletin Tanwirul Afkar Ma'had Aly situbondo

Pacaran. Sebuah kata yang semakin mendapat tempat dalam kenyataan sosial budaya kita pada saat ini. Anak-anak sekolahan, mahasiswa, artis dan banyak orang muda yang melakukannya. Koran-koran, majalah, radio, seminar turut memberi andil pemasyarakatannya lewat ulasannya soal yang satu ini.

Di Jawa Pos misalnya, pada setiap hari Minggu, kita akan temukan rubrik konsultasi psikologi untuk para ABG (anak baru gede). Dan tak heran, kalau anak-anak baru gede itu, dengan polos bertanya, “bagaimana ini bak… pacar saya begini, begitu dan seterusnya”. Kalau di Barat sana, anak-anak muda lebih bebas lagi, mereka bisa bertemu, kenalan, saling jatuh cinta, jalan bareng dan –kalau cocok—mereka bisa tinggal serumah tanpa repot berpikir kapan harus menikah.
Singkatnya, pacaran sudah menjadi kenyataan sosiologis dimana saja, di banyak negara. Alasan dan motifnya bisa jadi macam-macam. Tapi yang jelas, satu anggapan yang seragam bahwa pacaran adalah ajang untuk melakukan penjajakan, saling mengerti pribadi masing-masing dan akhirnya ada juga yang melanjutkannya ke jenjang pernikahan. Meskipun tidak sedikit pernyataan buram yang ditimbulkannya. Seperti, hamil di luar nikah, “kecelakaan ringan”, kawin lari, degradasi moral dan lain-lain.
Pertanyaannya adalah, bagagaimana hukum Islam menyikapi kenyaan ini, apa jawaban hukum Islam terhadap pacaran?. Bagaimana kalau pacaran adalah bentuk perwujudan cinta kasih tulus antara lak-laki dan perempuan? Bagaimana kalau pacaran dilakukan secara serius, dengan motivasi melanjutkannya ke jenjang pernikahan?.
Kita mulai dari bagaimana Islam memandang persoalan cinta. Cinta menurut Islam adalah suatu yang asing. Ia (cinta) hak prerogatif Allah. Maka, cinta adalah di atas kuasa manusia (fauqa musthata’i al-insan). Cinta yang tulus, biasanya datang tanpa di undang. Dan hanya Allah jua yang mampu menghapus dan membaliknya menjadi rasa yang lain. Al-Qur’an dan al-Hadits menunjukkan kebenaran ungkapan ini. (Lihat misalnya, QS. al-Anfal, 63, al-Nisa’, 228). Dan bahkan orang yang mati karena tak kuasa memanggul beban cinta termasuk orang-orang yang mati syahid. Al-Qur’an melukiskan dengan begitu impressif, bagaimana cinta Zulaikha kepada Yusuf Alaihis Salam. Qad Syaghafahu Hubba, kata al-Qur’an. Imam al-Alusyi menafsirkan—dalam Ruh al-Ma’ani—Syagaf sebagai rasa cinta yang menghunjam ke dalam lubuk hati, sehingga sulit terhapuskan.
Sampai disini, sebenarnya tidak ada masalah, no problem. Orang bebas untuk mencintai siapa saja, asalkan yang bersemayam di hatinya adalah cinta suci, jujur yang merupakan anugerah Tuhan. Ia tidak terkena tuntutan hukum-hukum apa-apa. Masalah baru muncul manakala rasa cinta ini berpindah dari dunia rasa ke dunia nyata, berpindah dari alam ide ke alam riil. Dan oleh karena batas antara cinta dan nafsu teramat tipis, barangkali dalam praktik, sulit untuk membedakan, apakah yang sedang kita ekspresikan, kita nyatakan adalah cinta atau nafsu. Maka lalu, di kitab Asrar al-Balaghah, diurutkan peringkat cinta sebagai berikut:
ان ا ول مرا تب الحب الهوى ثم العلاقة وهي الحب اللازم للقلب ثم الكلف وهو شدة الحب ثم العشق وهو اثم لما فضل عن المقدر المسمى بالحب ثم الشغف بالمهملة وهو احتراق القلب مع لذة يجدها ثم الشغف ... وهو ان يبلغ الحب شغاف القلب ثم الجوى وهو الهوى الباطن ثم التيم وهو ان يستبعده الحب ثم التبل وهو ان يسقمه الحب ثم التدله وهو ذهاب العقل من الحب ثم الهيم وهو ان يذهب الرجل عل وجهه لغلة الهوى عليه
Sebagai kelanjutannya, seringkali anak-anak muda menjadikan cinta sebagai landasan pengabsahannya untuk naksir temen wanitanya, mengadakan pendekatan, berpacaran, ngobrol, pergi bareng dan bahkan berindehoi. Yang memperihatinkan, tidak sedikit orang tua yang cuek bebek dengan kenyataan ini. Inilah yang dilansir oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah:
درج كثير من الناس على التهاون في هذا الشأن فأباح لابنته أو قريبته أن تخالط خطيبها وتخلو معه دون رقابة وتذهب معه حيث يريد من غير اشراف. قد نتج عن ذلك تعرضت المرأة لضياع شريفها وفساد عفافها واهدار كراماتها.

“Lambat laun, banyak ornag mengentengkan persoalan ini, sehingga mereka membolehkan putrinya, keluarganya untuk berbaur dengan tunangannya dan berduaan tanpa pengawasan, dan bebas keluyuran kemana saja tanpa arahan. Ini menyebabkan perempuan kehilangan kemuliaan, rusak akhlaknya, dan hancur kehormatannya!”. Kritik pedas Sayyid Sabiq ini ditunjukkan kepada mereka yang sudah sampai pada taraf tunangan (khithbah). Bagaimana mereka yang hanya pacaran?.
Namun bukan berarti Islam tutup pintu (sadd al-bab), dalam arti laki-laki ditutup aksesnya sama sekali untuk berhubungan dengan perempuan yang belum dinikahinya. Islam tidak menghendaki tindakan ekstrem dalam bentuk apapun. Maka dalam buku al-Hijab, Abul A’la al-Maududi mengambil jalan tengah dalam penjelasannya soal sistem sosial dalam Islam. Beliau menengahi dua aliran besar, sistem sosial Barat dan Timur. Barat diwakili oleh struktur budaya yang liberal. Karena tuntutan alami laki-laki dan perempuan diciptakan untuk tertarik dan menyatu, orang bebas untuk berhubungan dalam bentuk apapun, bahkan kumpul kebo sekalipun. Timur diwakili oleh budaya para Rahib, Biksu, yang memandang hubungan seksual sebagai sesuatu yang menjijikkan dan kotor. Sehingga mereka menjauhi perempuan sejauh-jauhnya. Islam memandang bahwa hubungan laki-laki perempuan adalah insting alami manusia yang wajar dan normal. Tetapi, Islam tidak lantas mengumbar kebebasan dalam hubungan itu, ia membuat aturan-aturan.
Lantas bagaimana kalau motivasi melakukan pacaran adalah untuk mengenali si perempuan; kecantikannya; bodynya, sifatnya, kecerdasannya dan latar belakang keluarganya. Apakah karena semua ini begitu dibutuhkan sebagai landasan awal membangun rumah tangga yang langgeng, bahagia dan sejahtera membuat pacaran menjadi boleh?. Tunggu dulu!. Untuk inipun hukum Islam memberi rambu-rambu yang jelas. Pertama-tama, fiqh memandang respek dan memberikan perhatian serius soal usaha laki-laki untuk mengerti calon isterinya dan begitu sebaliknya. Karena pernikahan adalah ikatan kuat (mitsaqan ghalidza) yang akan dijalani dalam waktu lama, bahkan sampai ajal merenggut. Sehingga proses awalnya harus dilakukan dengan hati-hati. Agar tidak kecewa dan salah pilih. Maka ketika sahabat Mughighah bin Sya’bah matur kepad Rasul, bahwa ia telah meminang seorang perempuan, Rasul bertanya “anadzarta ilaiha ?”, “sudahkah kau melihatnya?”. “La, tidak !”. Kemudian Rasul bersabda :
أنظر اليها فانه احرى أن يْؤذم بينكما
Dalam riwayat Jabir disebutkan:
اذا خطب احدكم المرأة فان استطاع ان ينظر منها الى ما يدعو الى نكاحها فليفعل.
“Jika diantara kalian ada yang meminang perempuan, jikalau ia bisa melihat si perempuan yang ia butuhkan untuk dinikahinya, maka hendaknya ia melakukan itu”. Ada juga hadits lain yang mendukung kedua hadits ini”.
Kalau dengan cara ini, laki-laki belum cukup puas atas pengetahuannya tentang perempuan yang ditaksirnya, misalnya ia ingin tahu lebih jauh tentang perangai perempuan tersebut, Sayyid Sabiq memberi jalan keluar:
هذا بالنسبة للنظر الذي يعرف به الجمال من القبح. واما بقية الصفات الخلقية فتعرف بالوصف والاستصاف والتحرى ممن خالطوها بالمعاشرة او الجوار او بواسطة بعض افراد ممن هم موضع ثقته من الاقرباء كالأم والأخت
“Melihat seperti ini, dapat mengungkapkan kecantikan (si perempuan)”. Adapun akhlaknya, diketahui dengan mengerti sifat-sifatnya dan meminta penjelasan terhadap orang yang akrab dengan si perempuan, seperti tetangga atau dengan meminta penjelasan orang yang sangat pantas di percaya penjelasannya, seperti ibu atau saudari si perempuan tersebut”.
Jika dengan begini, masih saja ada ganjalan di hati sehingga ia perlu mengobrol atau pergi bareng dengan perempuan itu untuk penjajakan dan berbagi rasa, masih dipandang boleh oleh fikih. Dengan syarat pertemuan tersebut disertai mahram si perempuan, agar ada yang mengawasi dan mereka berdua tidak terjerumus melakukan hal-hal yang diharamkan. Dalam al-Hala wa al-Haram fi al-Islam, Yusuf al-Qardlawi menjelaskan:
قال : بل له –في نطاق الحديث الشريف- أن يصحبها مع أبيها أو احد محارمها-وهي بزيها الشرعي- الى ما اعتادت ان تذهب اليه من الزيارة والاماكن المباحة لينظر عقلها وذوقها وملامح شخصيتها فانه داخا في مفهوم البعضية التي تضمنها قوله عليه السلام (فقدر ان ينظر منها بعض ما يدعه الى زواجها)
“Selanjutnya mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya—dengan pakaian menurut syara’—ke tempat yang boleh dikunjungi untuk mengetahui kecerdikannya, perasaannya dan keperibadiannya. Semua ini termasuk dalam kata sebagian yang disebut dalam hadits Nabi di atas yang mengatakan: “…..kemudian ia dapat melihat sebagian apa yang kiranya yang dapat menarik dia untuk mengawininya”.
Sampai di sini, fikih masih toleran. Ini semua menunjukkan hasrat besar fikih untuk mewujudkan struktur sosial yang mentap dan stabil. Sehingga dari unit keluarga yang merupakan komunitas terkecil dari sebuah masyarakat, fikih memberi arahan sedemikian rupa agar misi ini terwujud. Apa jadi kalau pacaran yang bebas sebebasnya di justifikasi. Bukan kedamaian dan ketenteraman yang didapatkan, melainkan kerancuan dan kekacauan. Falyata’ammal!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar