KHAWARIJ
ABSTRAK
Rasulullah
adalah sosok pemimpin yang yang berhasil menyatukan umat Islam dalam
satu kesatuan yang utuh, Rasulullah merupakan pemimpin yang dijadikan
panutan sepanjang masa. Setiap ada masalah pada zaman Rasulullah umat
Islam tidak perlu bingung mencari penyelesaiannya, karena semua
permasalahan dan penyelesaiannya mereka serahkan pada Rasulullah, namun
sepeninggal Rasulullah umat Islam bagaikan kehilangan pegangan yang
selama ini mereka banggakan. Bermula dari sinilah maka banyak timbul
berbagai macam problema di kalangan umat Islam.
Sejak
awal, sumber norma dan nilai Islam adalah al-Qur'an dan as-Sunnah,
ketika Rasulullah masih ada penafsiran al-Qur'an dan as-Sunnah langsung
ditafsiri oleh Rasulullah sehingga tidak menimbulkan masalah di kalangan
umat Islam saat itu. Kemudian sepeninggal Rasulullah dan dalam
perkembangan zaman timbullah pelbagai masalah baru dalam kehidupan
keagamaan yang membawa para ulama kepada pemahaman, pendalaman,
penafsiran, serta perincian mengenai pelbagai aspek keagamaan, baik
dalam lapangan akidah, maupun dalam bidang syari'ah.
Hal-hal inilah yang menjadi sebab lahirnya mazhab-mazhab pada kalangan
umat Islam dalam pelbagai segi masalah keagamaan. Salah satu mazhab atau
aliran yang timbul saat itu adalah aliran Khawarij.
Aliran kalam pertama dalam sejarah Islam pada abad 11
adalah Khawarij. Istilah Khawarij ini dipergunakan untuk menyebut nama
suatu kelompok mayarakat yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan
imam yang sah, baik pada zaman sahabat, terhadap empat khalifah pilihan
atau pada masa tabi'in atau terhadap imam-imam yang sah di sepanjang
masa.
Kemunculan Khawarij ini dilatarbelakangi adanya
pertikaian politik antara Ali dan Muawiyah yang nantinya akan
memunculkan istilah tahkim, dan dari sinilah kelompok yang tadinya
mendukung Ali berbalik menentang Ali dan keluar dari barisan Ali dan
melabeli diri mereka dengan label Khawrij.
I. Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Rasulullah adalah seorang Pemimpin yang
dapat mempersatukan umat Islam dalam kurun waktu yang tidak lama, hal
ini sering kali ditulis dalam sejarah-sejarah Islam. Sepeninggal
Rasulullah, umat Islam merasa kehilangan sebuah tonggak yang selama ini
mereka jadikan panutan dalam segala hal. Banyak sekali kejadian yang
dialami oleh umat Islam sepeninggal Rasulullah. Mulai dari pergantian
Khalifah, dari Khalifah Abu Bakar sampai Khalifah Ali bin Abi Thalib
sampai peristiwa terpecahnya umat Islam menjadi beberapa firqoh-forqoh
dalam Islam, antara lain Khawarij, Murjiah, Syiah, Jabariyah, Qadariyah,
Mu'tazilah, Ahanlus sunah wal jamaah, Ahmadiyah dan Salafiyah.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kemunculan Khawarij sebagai sebuah sekte
atau kelompok agama merupakan salah satu distorsi atau perubahan
politik dan mental yang penting dalam sejarah Islam. Sesungguhnya
munculnya kelompok ini seperti merupakan simbol kecenderungan yang kaku
di dunia Islam di bidang politik dan mental. Sebuah kelompok yang
berupaya keras mendapatkan tempat di bidang politik dengan menerapkan
pandangan-pandangan mereka yang ekstrem, namun akibat ekstremitas inilah
maka kelompok ini gagal mendapatkan tempat terhormat di masyarakat.
Berangkat dari sinilah maka penulis ingin menggali lebih jauh tentang
kaum Khwarij ini dengan harapan dapat memberikan informasi yang mendalam
tentang kaum Khawarij ini.
A. Sejarah Lahirnya Khawarij
Aliran kalam pertama dalam sejarah Islam pada abad ke
1 H adalah Khawarij. Nama itu berasal dari kata Arab yang berarti
"keluar". Kelompok ini disebut khawarij karena keluar dari barisan Ali
bin Ali Thalib sebagai protes terhadap Ali yang menyetujui perdamaian
dengan Mu'awiyah bin Abi Sofyan.Ada juga yang megatakan bahwa nama
Khawarij ini didasarkan atas surah an-Nisa ayat 100:
ومن يهاجر في سبيل الله يجد في الأرض مراغما كثيرا وسعة ومن يخرج من
بيته مهاجرا إلى الله ورسوله ثم يدركه الموت فقد وقع أجره على الله وكان
الله غفورا رحيما
Artinya:
Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini
tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh
telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Berdasarkan ayat ini kaum
Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang keluar dari rumah
semata-mata untuk berjuang di jalan Allah SWT.
Selain
nama Khawarij, ada beberapa nama lagi yang diberikan kepada kelompok
ini, antara lain: al-Muhakkimah, Syurah, Haruriyah dan al-Mariqah. Nama
al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka yang terkenal "laa hukma illaa li allah (tiada hukum kecuali hukum Allah) atau laa hakama illaa allah (tidak
ada pembuat hukum kecuali Allah). Berdasarkan alasan inilah mereka
menolak keputusan Ali. Bagi mereka yang berhak memutuskan perkara
hanyalah Allah SWT bukan arbitrase.
Mereka juga menyebut diri mereka Syurah yang berasal dari bahasa arab yasyri (menjual). Penamaan ini didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 207:
ومن الناس من من يشري نفسه ِبتغاء مرضات الله والله رؤف بالعباد
Artinya:
Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari
keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.
Berdasarkan ayat ini kaum Khawarij menganggap diri mereka adalah
orang-orang yang mengorbankan diri mereka untuk mencari ridha Allah SWT.
Mereka disebut juga kelompok Haruriyah berasal dari kata Harurah, tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian mereka jadikan pusat kegiatan.
Adapun nama al-Mariqah diberikan kepada mereka karena mereka dianggap telah keluar dari agama. Kata ini berasal dari kata maraqa yang berarti "anak panah yang keluar dari busurnya".
Kemunculan aliran Khawarij dilatarbelakangi adanya pertikaian politik
antara Ali dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang pada waktu itu menjadi
Gubernur Syam (Suriah). Mu'awiyah menolak membaiat Ali yang terpilih
sebagai Khalifah, sehingga Ali mengerahkan bala tenteranya untuk
menyerang Mu'awiyah. Mu'awiyah yang mengumpulkan pasukannya untuk
menghadapi Ali. Pertempuran pun terjadi antara kedua belah pihak di
Siffin. Pertempuran di Siffin sudah hampir dimenangkan oleh pasukan Ali.
Dalam situasi demikian itulah muncul politikus ulung yang bernama Amr
bin As, diplomat yang cukup terkenal di semenanjung Arab. Ia pandai
mencari jalan keluar dalam situasi sulit. Ia menyarankan kepada
Mu'awiyah agar pasukannya yang digaris paling depan mengikatkan mushaf
al-Qur'an ke ujung tombak sebagai tanda bahwa perang harus dihentikan
dan diadakan perundingan dengan keputusan berdasarkan hukum al-Qur'an.
Cara ini kemudian dikenal dengan istilah tahkim.[1]
Taktik inilah yang kemudian dilaksanakan oleh pihak Mu'awiyah. Pada
mulanya Ali tidak mau menerima tawaran damai tersebut, karena Ali
menyadari bahwa ini adalah suatu tipu muslihat. Perundingan demikian itu
hanya merupakan permainan politik. Sebagian pengikut Ali terutam para
Qurra' (pembaca) dan Huffad (penghafal) mereka tidak sependapat. Mereka
siap berhenti bertempur. Mereka sudah jemu berperangyang sudah
berlangsung selama tiga bulan itu dan memaksanya untuk menerima gencatan
senjata dengan jalan tahkim. Keputusan Ali dalam menerima
tahkim ini telah menimbulkan perbedaan diantara pengikut Ali, sebagian
dari mereka ingin terus bertempur dan sebagian dari mereka setuju dengan
gencatan senjata, maka pertempuran dihentikan. Ali meminta kepada
Mu'awiyah untuk menjelaskan rencananya itu. Mu'awiyah mengusulkan ada
dua orang yang menjadi penengah mewakili masing-masing pihak. Maka Ali
mencalonkan Abdullah bin Abbas karena dia mampu menghadapi Amr bin As,
namun hal ini ditolak oleh pengikut-pengikutnya yang dari Irak, karena
mereka menganggap Abdullah bin Abbas terlalu keras sehingga
dikhawatirkan tidak akan tercapai perdamaian, juga karena dia masih
kerabat dekat Ali. Mereka menginginkan orang yang lebih lembut agar
dapat mencapai perdamaian. Oleh karenanya pilihan jatuh pada Abdullah
bin Qais yang lebih dikenal dengan Abu Musa al-Asy'ari (laki-laki tua
yang baik hati).[2]
Calon lain yang
disebut-sebut dan mereka tolak adalah Asytar (Malik bin Haris) karena
ambisinya berperang sangat besar, dikhawatirkan ia akan merintangi usaha
perdamaian, begitu juga pencalonan Ahnaf bin Qais, dia adalah salah
seorang pendukung Ali yang kuat dan penting. Dia juga menentang keras
pencalonan Abu al-Asyari.[3]
Perundingan pertama
antara Abu Musa al-Asyari dan Amr bin As dalam bertahkim kepada
al-Qur'an pada 13 Safar 37 H telah tercapai. Enam bulan kemudian
tepatnya bulan Ramadhan 37 H/Februari 658 M mereka bertemu lagi di Azruh
sebelah timur Suria. Dalam pembicaraan itu mereka masih belum mencapai
kata sepakat untuk memilih orang yang paling tepat yang mereka
setujuisebagai Khalifah menggantikan Ali atau Mu'awiyah. Oleh karenanya,
mereka mengambil jalan tengah, menyerahkan pemilihan kepada kaum muslim
dalam syura untuk memnentukan siap yang menjadi pilihan mereka.
Didasari rasa hormat Amr bin As kepada Abu Musa al-Asy'ari, maka Amr bin
As meminta Abu Musa al-Asy'ari untuk menyampaikan keputusannya terlebih
dahulu kepada publik. Abu Musa al-Asy'ari pun maju dan berkata didepan
publik
"Setelah kami mengadakan
pembahasan, kami tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik guna
mengatasi kemelut ini. Selain mengambil langkah ini demi kebaikan kita
semua, yaitu kami sudah sepakat untuk memecat Ali dan Mu'awiyah, dan
selanjutnya kita kembalikan kepada Majelis Syura diantara Kaum Muslimin
sendiri."[4]
Setelah itu Amr bin As maju dan berkata
"Abu
Musa al-Asy'ari telah memecat sahabatnya itu, dan saya ikut memecat
orang yang telah dipecatnya, tetapi saya akan mengukuhkan sahabat saya
Mu'awiyah. Dia adalah wakil Usman bin Affan dan yang berhak menuntut
itu. Dialah yang paling tepat untuk kedudukan itu."[5]
Setelah
melihat apa yang telah dilakukan oleh Amr bin As, Abu Musa al Asy'ari
memprotes tindakan Amr bin As dan dianggap sebagai suatu penipuan. Hal
ini juga semakin menimbulkan perselisihan yang mendalam pada
pengikut-pengikut Ali. Pengikut-pengikut Ali dari kalangan garis keras
menyalahkan Ali menunjuk Abu Musa al-Asy'ari dan sangat menyesalkan
keputusan Imam Ali menerima tahkim. Mereka berpendapat seharusnya Ali
memaksa mereka agar kembali kepada keadilan dan kebenaran, bukan
sebaliknya malah mengikuti perbuatan salah. Mereka mengancam Ali dengan
pembunuhan jika tidak mau melaksanakan kehendak mereka.[6] Kemudian
mereka keluar dari barisan Ali dan mereka memilih dan membaiat Abdullah
bin Wahab ar-Rasibi yang dikenal dengan julukannya Zu as-Safinat menjadi
pemimpin mereka. Ar-Rasibi ini adalah orang yang sangat keras menentang
hasil tahkim dan menuntut agar Ali meninggalkan tahkim dan meneruskan
perang melawan Mu'awiyah. Kelompok inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal terbentuknya kaum Khawarij.
B. Perkembangan Khawarij
Beberapa sejarahwan menilai mulai timbulnya segala permusuhan dan
perpecahan itu sampai perang Siffin dan lahirnya gerakan Khawarij tidak
lepas dari imbas peranan Abdullah bin Saba' yang aktif mengadakan
kegiatan politik. Kegiatan ini kemudian dikenal dengan nama gerakan
Saba'iyah. Menjelang dibaiatnya Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga
dan berlanjut sampai masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib gerakan ini
sangat aktif bekerja. Puncaknya ketika terjadi pembangkangan sekelompok
orang yang kemudian lebih dikenal dengan nama al-Khawarij.[7]
Sebagaimana telah dijelaskan di atas ada campur tangan Abdullah bin
Saba' dalam pembentukan gerakan Khawarij. Tujuannya tak lain adalah
untuk memecah belah umat Islam dengan menyebarkan racun fitnah di
kalangan umat Islam sendiri. Hal ini sudah dapat dibuktikan dengan
semakin banyaknya pengikut Ali yang menjadi pengikut Abdullah bin Wahhab
ar Rasidi, jumlah mereka mencapai 16.000 orang. Kebanyakan mereka
terdiri dari penduduk badwi di desa-desa dan pedalaman. Pada umumnya
kaum Khawarij ini didukung oleh suku-suku nomad (suku yang hidupnya
tidak menetap atau suku pengelana, seperti suku Bakar bin Wail dan Bani
Tamim.E8 Diantara tokoh-tokoh dalam Khawarij yang terkenal adalah Syibs
bin Rib'i at-Tamimi dan dialah yang ditunjuk sebagai panglima.[8]
Kelompok Khawarij ini disebut juga kelompok Haruriyah
berasal dari kata Harurah, tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan
barisan Ali. Tempat ini kemudian mereka jadikan pusat kegiatan. Adapun
nama al-Mariqah diberikan kepada mereka Karena mereka dianggap telah keluar dari agama. Kata ini berasal dari kata maraqa yang berarti anak panah yang keluar dari busurnya. Nama ini diberikan lawan mereka.[9]
Seiring dengan perjalanan waktu, kaum Khawarij di Harurah berhasil
menyusun kekuatan dan memperoleh banyak pengikut. Mereka kemudian
menyatakan pembangkangan terhadap Ali. Mereka menganggap Ali dan
Mu'awiyah serta semua orang yang menyetujui tahkim dianggap
telah menyimpang dari Islam. Karena itu mereka harus ditentang dan
dijatuhkan. Bertemulah pasukan Ali dan Khawarij di suatu tempat yang
bernama Nahrawan dan terjadilah pertempuran antara kedua belah pihak.
Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tentara Ali dan hampir
seluruh kekuatan Khawarij dapat dimusnahkan. Menurut Muhammad Abdul
Karim Syahritsani, tidak sampai sepuluh orang kaum Khawarij yang selamat
dari pertempuran itu, yang lainnya gugur di medan perang termasuk
pemimpin mereka Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi. Akan tetapi kekalahan
total di Nahrawan tidak membuat kaum Khawarij patah semangat. Akhirnya
salah satu dari mereka yang bernama Abdur Rahman bin Muljam berhasil
membunuh Ali pada 17 Ramadhan 40H/24 Januari 661 M.[10]
Sepeninggal Ali, kaum Khawarij melakukan pemberontakan terhadap
penguasa Islam resmi baik pada zaman dinasti Bani Umayah maupun dinasti
Abbasiyah, dengan alasan bahwa para penguasa itu dianggap telah
menyeleweng dari ajaran Islam.
C. Paham Khawarij
Meskipun
pada mulanya muncul karena persoalan politik, dalam perkembangannya
Khawarij lebih banyak bercorak teologis. Menurut keyakinan mereka semua
masalah harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum Allah, mereka
berpendapat:
- Mereka mengakui keabsahan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Adapun Usman, menurut mereka telah menyimpang- pada masa akhir khilafahnya – dari keadilan dan kebenaran, karena itu selayaknya dibunuh. Mereka juga berpendapat bahwa sayyidina Ali telah melakukan dosa besar dengan mentahkimkan selain Allah dan semua orang yang menyetujui tahkim mereka telah melakukan dosa besar.
- Dosa dalam pandangan mereka, sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat, atas dasar inilah mereka mengkafirkan semua sahabat Nabi saw yang disebutkan namanya tadi. Pada mulanya yang mereka anggap kafir adalah orang-orang yang menyetujui tahkim, tetapi kemudian mereka mengembangkan artinya bahwa semua orang yang melakukan dosa besar adalah kafir walaupun ia telah mengucapkan dua kalimat syahadat.
- Khilafah tidak sah kecuali dengan adanya pemilihan bebas antara kaum muslimin dan tidak dengan cara apapun selain itu.
- Mereka sama sekali tidak menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa seorang khalifah haruslah dari suku Quraiys. Mereka mengatakan bahwa setiap orang laki-laki yang saleh, dipilih oleh kaum muslimin, dapat menjadi seorang kkalifah yang sah bagi mereka, terlepas dari kenyataan apakah dia seorang dari suku Quraisy atau bukan.
- Ketaatan kepada khalifah adalah sesuatu yang wajib hukumnya selama ia masih berada di jalan keadilan dan kebaikan. Apabila ia menyimpang, maka wajib memeranginya atau membunuhnya.
- Mereka menerima al-Qur'an sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam. Adapun hadis dan ijma' maka mereka memiliki cara yang berbeda dari cara kaum muslimin lainnya.[11]
- Mereka menganggap bahwa suatu perkawinan tidak sah kecuali dengan kelompoknya sendiri.[12]
D. Sekte Khawarij
Mengenai jumlah sekte Khawarij ulama berbeda pendapat . abu Musa
al-As'ariy menyebut lebih dari 20 sekte. Al-Baqdadi (ahli usul fikih)
berpendapat ada 20 sekte. Sementara itu Syahritsani hanya menyebut 18
sekte. Adapula ulama yang hanya menghitung sekte utama. Misalnya Mustafa
as- Syak'ah (seorang ahli ilmu kalam) menyebut 8 sekte yaitu
al-Muhakkimah, al-Zariqah, an-Najdat, al-Baihasiyah, al-Ajaridah,
as-Sa'alibah, al-Ibadiyah, dan as-Sufriyah. Adapun Muhammad abu Zahrah
(ahli fikih, usul fikih, dan kalam) menerangkan 4 sekte saja, yaitu
an-Najdat, as-Sufriyah, al-Ajaridah, dan al-Ibadiyah. Sementara itu
Harun Nasution (ahli filsafat Islam) dalam buku filsafat Islam ada 6
sekte penting, yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, an-Najdat, al-Ajaridah,
as-Sufriyah, dan al-Ibadiyah.[13]
Paham dan ajaran pokok dari sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut:
- al-Muhakkimah, dipandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut Ali yang kemudian membangkang. Nama al-Muhakkimah berasal dari semboyan mereka la hukma illa li Allah (menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah) mereka menolak tahkim karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah. Selanjutnya dalam paham sekte ini Ali, Mu'awiyah dan seluruh orang yang menyetujui tahkim dituduh telah menjadi kafir karena telah menyimpang dari ajaran Islam. Kemudian mereka juga menganggap kafir orang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh tanpa alasan yang sah dan berzina.Orang Khawarij yang pertama dalam kelompok ini bernama Zul al Khuwairisah dan yang terakhir bernama Zu al-Tsadiyah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak menaati khalifah semenjak awalnya karena itu mereka menciptakan dua macam bid'ah: Pertama, bid'ah yang mereka bikin tentang imamah. Menurut mereka imam boleh saja selain dari orang Quraiys. Setiap orang yang mereka angkat yang mampu berbuat adil dan menjauh dari kejahatan adalah imam yang sah setiap yang tidak menaatinya wajib dibunuh. Apabila imam telah berubah perilakunya dan telah meninggalkan kebenaran wajib diberhentikan atau dibunuh.Kelompok ini termasuk orang yang paling banyak menggunakan kias dan menurut mereka tidak boleh ada dua imam dalam satu zaman. Hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa dapat diangkat menjadi imam lebih dari satu orang, baik dari orang yang merdeka atau budak atau orang biasa atau orang keturunan dari Quraiys. Kedua Ali bin Abi Thalib menurut mereka banyak melakukan kesalahan dengan menerima konsep arbitrasi, menurut mereka arbitrasi adalah hasil keputusan manusia yang tidak menjamin kebenarannya.[14]
- Al-Azariqah, sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan antara Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbahkan kepada peimpin sekte ini, Nafi' bin Azrak al- Hanafi al-Hanzali. Sebagai khalifah Nafi' digelari amirulmu'minin. Menurut al-Baqdadi, pendukungnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Al-Azariqah membawa paham yang lebih ekstrem. Paham mereka antara lain adalah bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Pengikut al-Azariqah yang tidak mau ikut hijrah ke wilayahnya juga dianggap musyrik. Menurut mereka semua orang Islam yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai darul Islam di luar daerah itu adalah darul kufr (daerah yang dikuasai atau dipimpin orang kafir).[15] Mereka menganggap kafir terhadap orang yang tidak mau ikut bertempur dengan mereka sekalipun masih melaksanakan ajaran Islam. Mereka tidak mengakui hukuman rajam bagi pezina, dengan alasan hukuman itu tidak tercantum dalam al-Qur'an. Menurut mereka taqiah tidak diperbolehkan, baik dalam perkataan atau perbuatan.[16]
- An-Najdat, sekte ini adalah kelompok yang dipimpin oleh Najdah bin Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrain. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi' pemimpin al-Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrem. Pendapat Nafi' yang mereka tolak adalah tentang musyriknya pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke dalam wilayah al-Azariqah dan tentang kebolehan membunuh anak-anak atau isteri orang yang mereka anggap musyrik. Pengikut an-Najdat memandang Nafi' telah menjadi kafir, begitu juga orang yang mengakuinya sebagai khalifah. Paham teologi an-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tak sepaham dengan mereka dianggap kafir dan akan kekal dalam neraka, sedangkan pengikut an-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun mereka melakukan dosa besar. Selanjutnya bagi mereka dosa kecil itu dapat meningkat menjadi dosa besar apabila dikerjakan terus-menerus. Paham lain yang dibawa sekte ini adalah taqiyah, yaitu bahwa seorang Islam dapat menyembunyikan identitas keimanannya demi keselamatan dirinya, dalam hal ini ia diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan keyakinannya. Dalam perkembangan selanjutnya sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid at- Tatwil membentuk kelompok oposisi terhadap an-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya an-Najdat pada tahun 69 H/688 M.[17]
- Al-Ajaridah, pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim bin Ajarrad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, pandangan kaum al-Ajaridah jauh lebih moderat. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti seperti yang diajarkan Nafi, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbunuh, dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka al-Qur'an sebagai kitab suci, tidak layak memuat memuat cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surat Yusuf. Oleh karena itu surat Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Qur'an.
- As-Sufriyah, sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Nama as-Sufriyah berasal dari nama pemimpin mereka, Ziad bin Asfar. Pendapatnya yang penting adalah istilah "kufur" atau "kafir" (mengandung dua arti yaitu kufr an-ni'mah,mengingkari nikmat Tuhan dan kufr bi Allah, mengingkari Tuhan). Untuk yang pertama, kafir tidak berarti keluar dari Islam. Tentang taqiyah, mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh dalam bentuk tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir apabila terancam keselamatan atau keamanan dirinya.[18]
- al-Ibadiyah, sekte ini dimunculkan oleh Abdullah bin Ibad al-Murri at- Tamimi tahun 686 M. Doktrin mereka yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin melainkan muwahhid (orang yang kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam) Selanjutnya yang dipandang sebagai dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah yang harus diperangi selain dari itu disebut dar at-Tauhid (daerah yang dikuasai orang Islam), tidak boleh diperangi. Mereka mengharamkan penyerbuan terhadap kaum muslim secara rahasia, tapi menghalalkan penyerbuan terhadap mereka secara terang-terangan.[19] Tentang harta yang boleh dirampas dalam perang, mereka menetapkan hanya kuda dan alat perang. Sekte al-Ibadiyah dianggap golongan yang paling moderat dalam aliran Khawarij.Gerakan ini sampai sekarang masih ada di Afrika Utara, Aljazair, Libia, Zanzibar, dan Oman dalam jumlah sekitar lima ratus ribu orang.[20]
III. Kesimpulan
Munculnya kaum Khawarij merupakan sikap protes mereka terhadap otoritas
agama yang ada pada mereka dan sistem politik yang selama ini berlaku.
Kaum ini memiliki system demokrasi yang diyakini akan kebenarannya,
bagi mereka hukum Allah hanya bisa diwujudkan melalui pemilihan yang
bebas oleh muslimin secara keseluruhan. Mereka sangat menentang
tuntutan, bahwa menurut suatu golongan hanya quraisy saja yang sah
memperoleh hak prioritas menjadi khalifah, atau menurut anggapan Syiah
hanya dari keturunan Ali saja yang berhak menjadi Khalifah. Sebaliknya
menurut Khawarij, setiap orang sekalipun ia seorang budak hitam berhak
dicalonkan dan mencalonkan diri untuk dipilih menjadi khalifah jika
memenuhi syarat sesuai dengan ketakwaan beragama dan akhlak pribadinya.
Teori demokrasi yang mereka kemukakan mengenai kekhalifahan cukup
menarik, tetapi sikap mereka yang terkenal amat keras dan sangat
fanatik, banyak orang enggan mendekati mereka. Golongan inipun
menganggap diri mereka yang benar dan sulit untuk menerima pendapat
orang lain, dan mereka sangat berpegang teguh pada penafsiran al-qur'an
secara harfiah.
[1] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007) halaman 262.
[2] Ibid, halaman 263.
[3] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007) halaman 263.
[4] ibid
[5] ibid
[6] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007) halaman 277.
[7] Ibid, halaman 279.
[8] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007) halaman 281.
[9] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 99.
[10] Ibid
[11] Abu A'la al-Mududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung, PT. Mizan, 1994) halaman 277.
[12] Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 103.
[13] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 99.
[14] Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 104.
[15] W Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Midas Surya Grafindo, 1979) halaman 23.
[16] Muhammad bin Abdul Karim Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, (PT. Bina Ilmu) halaman 109.
[17] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 100.
[18] Lihat Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1993) halaman 100.
[19] Abu A'la al-Mududi, Khilafah dan Kerajaan, (Bandung, PT. Mizan, 1994) halaman 278.
[20] Ali Audah, Ali bin Abi Thalib sampai kepada Hasan dan Husein, (Jakarta: Pustaka Lentera Antar Nusa, 2007) halaman 284.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar