Belakangan ini kata ‘salaf’ semakin populer. Bermunculan pula
kelompok yang mengusung nama salaf, salafi, salafuna, salaf shaleh dan
derivatnya. Beberapa kelompok yang sebenarnya berbeda prinsip saling
mengklaim bahwa dialah yang paling sempurna mengikuti jalan salaf.
Runyamnya jika ternyata kelompok tersebut berbeda dengan generasi
pendahulunya dalam banyak hal. Kenyataan ini tak jarang membuat umat
islam bingung, terutama mereka yang masih awam. Lalu siapa pengikut
salaf sebenarnya? Apakah kelompok yang konsisten menapak jejak salaf
ataukah kelompok yang hanya menggunakan nama salafi?.
Tulisan ini
mencoba menjawab kebingungan di atas dan menguak siapa pengikut salaf
sebenarnya. Istilah salafi berasal dari kata salaf yang berarti
terdahulu. Menurut ahlussunnah yang dimaksud salaf adalah para ulama’
empat madzhab dan ulama sebelumnya yang kapasitas ilmu dan amalnya tidak
diragukan lagi dan mempunyai sanad (mata rantai keilmuan) sampai pada
Nabi SAW. Namun belakangan muncul sekelompok orang yang melabeli diri
dengan
nama salafi dan aktif memakai nama tersebut pada buku-bukunya.
Kelompok
yang berslogan “kembali” pada Al Qur’an dan sunnah tersebut mengaku
merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa Nabi SAW,
tanpa harus melewati para ulama empat madzhab. Bahkan menurut sebagian
mereka, diharamkan mengikuti madzhab tertentu. Sebagaimana diungkapkan
oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu majalah di Arab Saudi,
dia juga menyatakan tidak mengikuti madzhab Imam Ahmad bin
Hanbal.Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan besar di kalangan umat
islamyang berpikir obyektif. Sebab dalam catatan sejarah, ulama-ulama
besar pendahulu mereka adalah penganut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Sebut saja Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil
Hadi, Ibnu Qatadah, kemudian juga menyusul setelahnya Al Zarkasyi,
Mura’i, Ibnu Yusuf, Ibnu Habirah, Al Hajjawiy, Al Mardaway, Al Ba’ly, Al
Buhti dan Ibnu Muflih. Serta yang terakhir Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab beserta anak-anaknya, juga mufti Muhammad bin Ibrahim, dan Ibnu
Hamid. Semoga rahmat Allah atas mereka semua.
Ironis sekali
memang, apakah berarti Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam lainnya tidak
berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah? Sehingga kelompok ini tidak
perlu mengikuti para pendahulunya dalam bermadzhab?. Apabila mereka
sudah mengesampingkan kewajiban bermadzhab dan tidak mengikuti para
salafnya, layakkah mereka menyatakan dirinya salafy?
Aksi Manipulasi Mereka Terhadap Ilmu Pengetahuan
Belum
lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama’ salaf. Sebagai contoh,
kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda, Riyadh, 1409 H,
yang ditahqiq oleh Abdul Qadir Asy Syami. Pada halaman 295, pasal
tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya menjadi pasal tentang
ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di awal dan akhir pasal itu
juga dihapus. Tak cukup itu, mereka juga dengan sengaja menghilangkan
kisah tentang Al Utbiy yang diceritakan Imam Nawawi dalam kitab
tersebut. Untuk diketahui, Al Utbiy (guru Imam Syafi’i) pernah
menyaksikan seorang arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi
SAW.
Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, dalam mimpinya
Nabi menyuruh memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni
Allah berkat ziarah dan tawassulnya. Imam Nawawi juga menceritakan
kisah ini dalam kitab Majmu’ dan Mughni.
Pemalsuan juga mereka
lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas Tafsir Jalalain dengan
membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan pandangannya. Hal itu
mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibn Abidin dalam madzhab
Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang menceritakan para wali,
abdal dan orang-orang sholeh.
Ibnu Taymiyah Vs Wahhaby
Parahnya,
kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak luput dari aksi
mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh Ibnu Taimiyah,
mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk dan tasawwuf.
(Alhamdulilah, penulis memiliki cetakan lama) Bukankah ini semua
perbuatan dzalim? Mereka jelas-jelas melanggar hak cipta karya
intelektual para pengarang dan melecehkan karya-karya monumental yang
sangat bernilai dalam dunia islam. Lebih dari itu, tindakan ini juga
merupakan pengaburan fakta dan ketidakjujuran terhadap dunia ilmu
pengetahuan yang menjunjung tinggi sikap transparansi dan obyektivitas.
Mengikuti salaf?
Berikut
ini beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tasawwuf, maulid, talqin
mayyit, ziarah dan lain-lain yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama
pendahulu wahhabi. Ironisnya, sikap mereka sekarang justru bertolak
belakang dengan pendapat ulama mereka sendiri.
Pertama, ibnu taimiyah dan imam 4 madzab dukung tasawuf.
Dalam
kumpulan fatwa jilid 10 hal 507 Syekh Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam
sufi dan para syekh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin
Muhammad beserta pengikutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta
lainnya, adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani,
kalam-kalamnya secara keseluruhan berisi anjuran untuk mengikuti ajaran
syariat dan menjauhi larangan serta bersabar menerima takdir Allah.
Dalam
“Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata,
“Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu
dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula
tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawwuf adalah akhlak, barangsiapa
melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawwuf.”
Muhammad
bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab Fatawa wa Rosail hal. 31 masalah
kelima. “Ketahuilah -mudah-mudahan Allah memberimu petunjuk –
Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk berupa
ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal shaleh. Orang yang
dinisbatkan kepada agama Islam, sebagian dari mereka ada yang
memfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian lainnya memfokuskan
diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti orang-orang sufi. Maka
sebenarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya dengan agama yang meliputi dua
kategori ini (Fiqh dan tasawwuf)”. Demikianlah penegasan Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab bahwa ajaran tasawuf bersumber dari Nabi SAW.
Kedua, Ibnu taymiyah iktiraf mengenai pembacaan maulid.
Dalam kitab Iqtidha’ Sirathil Mustaqim “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, Ibnu Taimiyah berkata, Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…” Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”
Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan
oleh Ibn Taimiyah sebagai:“Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan
baginda.”
Ketiga, Ibnu taymiyah dan imam madzab iktiraf sampainya hadiah pahala
Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa mengingkari sampainya amalan
orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah.
Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal306 ia menyatakan, “Para imam telah
sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain.
Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah
ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’).
Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.
Lebih
lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan
bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak
menyatakan bahwa seseorang tidak bisa mendapat manfaat dari orang lain,
Namun Allah berfirman, seseorang
hanya berhak atas hasil usahanya
sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum
demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan
kepadanya.
Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si
mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di
kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan
oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain”
Dalam kitab
Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada
orang yang telah meninggal. Bahkan tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim
menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal
tersebut.
Keempat, masalah talqin.
Dalam
kumpulan fatwa juz 24 halaman 299 Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
sebagian sahabat Nabi SAW melaksanakan talqin mayit, seperti Abu Umamah
Albahili, Watsilah bin al-Asqa’ dan lainnya. Sebagian pengikut imam
Ahmad menghukuminya sunnah. Yang benar, talqin hukumnya boleh dan bukan
merupakan sunnah. (Ibnu Taimiyah tidak menyebutnya bid’ah)
Dalam
kitab AhkamTamannil Maut Muhammad bin Abdul Wahhab juga meriwayatkan
hadis tentang talqin dari Imam Thabrani dalam kitab Al Kabir dari Abu
Umamah.
Kelima, tentang ziarah ke makam Nabi SAW.
Dalam
qasidah Nuniyyah (bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke
makam Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama “Diantara
amalan yang paling utama dalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala
melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”.
Sebelumnya ia
mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah
hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu
memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan takdzim, tertunduk diliputi
kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia
menggambarkan pengagungan
tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun
harus berjalan dengan kelopak mata (bait 4048).
Hal ini sangat
kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana khusyu’ dan khidmat di
makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram. Orang-orang bayaran wahhabi
dengan congkaknya membelakangi makam Nabi yang mulia. Mata mereka
memelototi peziarah dan membentak-bentak mereka yang sedang bertawassul
kepada beliau SAW dengan tuduhan syirik dan bid’ah. Tidakkah mereka
menghormati jasad makhluk termulia di semesta ini..? Tidakkah mereka
ingat firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata
kepadanya dengan suara keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu
terhadap yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan
kamu tidak menyadari. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan
suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji
hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar” (QS Al Hujarat, 49: 2-3).
Ke enam , Ibnu taymiyah dukung amalan nisfu syaban
IBNU TAIMIYAH MENGKHUSUSKAN AMALAN SOLAT PADA NISFU SYA’BAN & MEMUJINYA
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Majmuk Fatawa pada jilid 24 mukasurat 131 mengenai amalan Nisfu Sya’ban teksnya:
إذا صلَّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ
Ertinya:
” Apabila seorang itu menunaikan solat pada malam Nisfu Sya’ban secara
individu atau berjemaah secara KHUSUS sepertimana yang dilakukan oleh
sebilangan masyarakat Islam maka ianya adalah BAIK “.
IBNU TAIMIYAH MENGKHUSUSKAN AMALAN SOLAT NISFU SYA’BAN KERANA ADA HADITH MEMULIAKANNYA
Berkata Ibnu Taimiyah pada kitab Majmuk Fatawa jilid 24 juga pada mukasurat seterusnya 132 teksnya:
وأما
ليلة النصف – من شعبان – فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة
من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف
وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على
قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات
Terjemahan kata Ibnu Taimiyah di atas:
”
Berkenaan malam Nisfu Sya’ban maka telah diriwayatkan mengenai kemulian
dan kelebihan Nisfu Sya’ban dengan hadith-hadith dan athar, dinukilkan
dari golongan AL-SALAF (bukan wahhabi) bahawa mereka menunaikan solat
khas pada malan Nisfu Sya’ban, solatnya seseorang pada malam itu secara
berseorangan sebenarnya telahpun dilakukan oleh ulama Al-Salaf dan dalam
perkara tersebut TERDAPAT HUJJAH maka jangan diingkari, manakala solat
secara jemaah (pd mlm nisfu sya’ban) adalah dibina atas hujah kaedah am
pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat” .
IBNU TAIMIYAH MENGALAKKAN KITA MENGIKUT AS-SALAF YANG MENGKHUSUSKAN AMALAN PADA NISFU SYA’BAN
Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada mukasurat 266 teksnya:
ليلة
النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما
يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة
فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من
أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة
فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا
فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من
أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد – ابن حنبل من أئمة السلف
– ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد
روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن
Terjemahan kata Ibnu Taimiyah di atas:
((”
Malam Nisfu Sya’ban. Telah diriwayatkan mengenai kemuliannya dari
hadith-hadith Nabi dan kenyataan para Sahabat yang menjelaskan bahawa
ianya adalah MALAM YANG MULIA dan dikalangan ulama As-Salaf yang MENGKHUSUSKAN MALAM NISFU SYA’BAN DENGAN MELAKUKAN SOLAT KHAS PADANYA dan berpuasa bulan Sya’ban pula ada hadith yang sahih.
Ada dikalangan salaf, sebahagian ahli madinah dan selain mereka
sebahagian dikalangan khalaf yang mengingkarinya kemuliannya dan
menyanggah hadith-hadith yang diwaridkan padanya seperti hadith
‘Sesungguhnya
Allah mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani
kalb’ katanya mereka tiada beza dengan itu dengan selainnya, AKAN TETAPI
DI SISI KEBANYAKAN ULAMA AHLI ILMU ATAU KEBANYAKAN ULAMA MAZHAB KAMI
DAN ULAMA LAIN ADALAH MEMULIAKAN MALAM NISFU SYA’BAN,
DAN DEMIKIAN JUGA ADALAH KENYATAAN IMAM AHMAD BIN HAMBAL DARI ULAMA
AS-SALAF kerana terlalu banyak hadith yang dinyatakan mengenai kemulian
Nisfu Sya’ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan
ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemulian Nisfu Sya’ban dalam banyak
kitab hadith Musnad dan Sunan “)).
Tamat kenyataan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya berjudul Iqtido’ As-sirot Al-Mustaqim pada mukasurat 266.
Ke tujuh, Ibnu Taymiyah Bertobat dari aqidah sesat
Syeikhul
Islam Imam Al-Hafiz As-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqolany yang hebat dalam
ilmu hadith dan merupakan ulama hadith yang siqah dan pakar dalam segala
ilmu hadith dan merupakan pengarang kitab syarah kepada Sohih Bukhari
berjudul Fathul Bari beliau telah menyatakan kisah taubat Ibnu taimiah
ini serta tidak menafikan kesahihannya dan ianya diakui olehnya sendiri
dalam kitab beliau berjudul Ad-Durar Al-Kaminah Fi ‘ayan Al-Miaah
As-Saminah yang disahihkan kewujudan kitabnya oleh ulama-ulama Wahhabi.
Kenyatan bertaubatnya Ibnu Taimiah dari akidah sesat tersebut juga telah
dinyatakan oleh seorang ulama sezaman dengan Ibnu Taimiah iaitu Imam
As-Syeikh Syihabud Din An-Nuwairy wafat 733H. (Imam Ibnu Hajar
Al-Asqolany,kitab : Ad-Durar Al-Kaminah Fi “ayan Al-Miaah As-Saminah
cetakan 1414H Dar Al-Jiel juzuk 1 m/s 148, dan Imam As-Syeikh
Syihabuddin An-Nuwairy wafat 733H :cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah
juzuk 32 m/s 115-116 dalam kitab berjudul Nihayah Al-Arab Fi Funun
Al-Adab )
Ke delapan , Ibnu Taimiyah Memuji Golongan Islam AL-ASYA’IRAH Manakala Semua Wahhabi Pula Mengkafirkan Al-Asya’irah
Berkata Syeikhul IslamWahhabi Ahmad Bin Taimiyah Al-Harrani mengenai golongan Islam iaitu Al-Asya’irah (teksnya):
”
Manakala sesiapa yang melaknat ulama-ulama Al-Asya’irah maka si
pelaknat itu hendaklah dihukum ta’zir dan kembali laknat itu kepada
sesiapa yang melaknat Al-Asyairah juga sesiapa yang melaknat orang yang
bukan ahli untuk dilaknat maka dialah yang perlu dilaknat, ulama adalah
pendukong cabangan agama dan AL-ASYA’IRAH PULA ADALAH PENDUKONG DAN PEJUANG ASAS AGAMA ISLAM“.
Demikan kenyataan Ibnu Taimiyah mengenai Al-Asya’irah.
Teks Ibnu Taimiyah tersebut in arabic dalam kitabnya berjudul Majmuk Fatawa pada juzuk 4 mukasurat12:
وأما
لعن العلماء لأئمة الأشعرية فمن لعنهم عزر. وعادت اللعنة عليه فمن لعن من
ليس أهلاً للعنة وقعت اللعنة عليه. والعلماء أنصار فروع الدين، والأشعرية
أنصار أصول الدين
Ke sembilan: Wahaby mensyariatkan Shalat
Sunnah Tarawih 8 rekaat, padahal tidak ada satupun Imam Madzab Sunni
yang mensyariatkan.
Pendapat jumhur ahlusunnah :
mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir)
berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki:
36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Bahkan Ibnu
taymiyah dan ibnu qayyim pun berpendapat bahwa shalat tarawih 20
rekaat.
Sholat Qiyam Ramadhan (sholat pada malam bulan
Ramadhan) dinamakan Sholat Tarawih kerana sholat ini panjang dan banyak
rakaatnya. Jadi, orang yang mendirikannya perlu berehat. Rehat ini
dilakukan selepas mendirikan setiap 4 rakaat, kemudian mereka
meneruskannya kembali (sehingga 20 rakaat). Sebab itulah ia dipanggil
Sholat Tarawih[4].
Ibn Manzhur menyebutkan di dalam Lisan al-Arab:
“ اَلتَّرَاوِيحُ “ adalah jama’ (plural) “ تَرْوِيحَةٌ “, yang
bermaksud “sekali istirehat”, seperti juga “ تَسْلِيمَةٌ “ yang
bermaksud “sekali salam”. Dan perkataan “Tarawih” yang berlaku pada
bulan Ramadhan dinamakan begitu kerana orang akan beristirehat selepas
mendirikan 4 rakaat[5].
Menurut pendapat jumhur iaitu
mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali: 20 rakaat (selain Sholat Witir)
berdasarkan ijtihad Sayyiduna Umar bin Khattab. Menurut mazhab Maliki:
36 rakaat berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik
dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 rakaat[6]. Walau bagaimana pun,
pendapat yang masyhur ialah mengikut pendapat jumhur.
Ke sepuluh : Ibnu Taymiyah dan Imam 4 madzab fatwakan khamr NAJIS
Data-data
di atas adalah sekelumit dari hasil penelitian obyektif pada
kitab-kitab mereka sendiri, sekedar wacana bagi siapa saja yang ingin
mencari kebenaran. Mudah mudahan dengan mengetahui tulisan-tulisan
pendahulunya, mereka lebih bersikap arif dan tidak arogan dalam menilai
kelompok lain. (Ibnu KhariQ)
Referensi
- Majmu’ fatawa Ibn Taimiyah
- Qasidah Nuniyyah karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah
- Iqtidha’ Shirathil Mustaqim karya Ibn Taimiyah cet. Darul Fikr
- Ar-Ruh karya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, cet I Darul Fikr 2003
- Ahkam Tamannil Maut karya Muhammad bin Abdul Wahhab, cet. Maktabah
Saudiyah Riyadh Nasihat li ikhwanina ulama Najd karya Yusuf Hasyim
Ar-Rifa’i
Diambil dari rubrik Ibrah, Majalah Dakwah Cahaya Nabawiy Edisi 60 Th. IV Rabi’ul Awwal 1429 H / April 2008 M
dengan tambahan dari admin salafy tobat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar