Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang popular..
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat yang majmuk,
khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan
antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak
hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja
misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain
sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa di samping perintah
agama, pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang.
Perwujudan pernikahan seorang Muslim misalnya, dalam batas-batas
tertentu memang melampaui batas agamanya ketika ia hidup dalam
kemajemukan warga dari aspek agama seperti di Indonesia ini. Dalam
kondisi kemajukan seperti itu, seorang Muslim hampir dipastikan sulit
untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda
agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim
dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung
pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain,
persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap
masyarakat yang majemuk.
Sekilas Tentang Imam Thobari dan Tafsirnya
Semasa
hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum
muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis,relijius, ilmu pengetahuan,
pemikiran keagamaan, heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Secara
langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan
ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terusbergulir, tentu
saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin,
sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan.Di bidang
keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri,
setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis,
disamping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami
perkembangan secara metodologis dan substansial, munculnya aliran
tafsir bi al-ma’sur dan bi al-ra’y turut memberikan warnabagi pemikiran
muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius ditubuh
tafsir bi al-maqsur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari
riwayat yang sahih a kurat dan valid hingga riwayat yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan menurut parameter – sanad dan rijal al-hadis-
dalam disiplin;Ulum alHadis.
Disamping itu, orientasi kajian
tafsir yang tidak mono material, tetapi telahberinteraksi dengan
disiplin ilmu yang lainseperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan
filsafat. Pengaruh unsur-unsur di luar Islam turut mewarnai corak
penafsiran,termasuk Israiliyyat. Hilangnya salah satu aliran rasional
keagamaan Mu’tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran
tradisional Asyriyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi
sekte-sekte yang lainturut menyemarakkanbursa pemikiran di panggung
sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di
negeri sendiri,menggugah sensitivitas keilmuannya khususnya bidang
pemikiran Islam (Islamic Thought) dengan jalan melakukanrespons dan
dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja pergulatan mazhab yang
dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di
negeri sendiri dan kota-kota sekitarnyatidakterbantahkan, sampai-sampai
pada hal Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas
sebagai seorang Sunni ektremis Ali - yang pernah hangat diributkan oleh
para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi.Bukti,
bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah
dan tafsir.
Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi
al-maqusur, yang mendasarkan padadominasi riwayat-riwayat
otoritasotoritasawal, tetapi biasanya tidak memeriksa rantai
periwayatannya meskipun dia kerap memberikan kritik sanad dengan
melakukan ta‘dil dan tajrih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa
memberikan paksaan apapun kepada pembaca.32 Dalam kenyataannya
penggunaan ra’yu tak terhindarkan, ketika harus menetapkan pilihan
dalam usaha ketepatan dalam memaknai suatu ayat
PEMBAHASAN
Pernikahan
beda agama dapat ditemui dalam tiga surat, yaitu surat al-Baqarah (2):
221,surat al-Mumtahanah (60): 10; dan surat al-Mâidah (5): 5. Surat
al-Baqarah (2): 221 berbicara tentang ketidakbolehan pria Muslim menikah
dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya ketidakbolehan wanita
Muslimah dinikahkan dengan pria musyrik, sedangkan al-Mumtahanah (60):
10, menegaskan bahwa baik pria Muslim maupun wanita Muslimah tidak
diperkenankan menikah dengan orang kafir. Adapun surat al-Mâidah (5): 5
membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab tetapi tidak
sebaliknya.
Dari tiga surat seperti disebutkan di atas, setidaknya
bisa dipilah menjadi dua, yaitu pertama, bagi wanita Muslimah tidak
boleh menikah, baik dengan pria musyrik maupun dengan ahli kitab. Adapun
kedua, bagi pria Muslim, diberikan pilihan, tidak diperbolehkan
menikahi wanita musyrik, sedangkan menikahi wanita ahli kitab
diperbolehkan. Di sini, wanita non Muslimah dibedakan antara wanita
musyrik dengan ahli kitab.
Pandangan Al-Tabari tentang Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Al-Thabari,
seorang mufassir klasik ini dalam bukunya: Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr
al-Qur'an, ketika membahas surat al-Baqarah (2): 221, menyebutkan ada
tiga pendapat dalam menafsirkan wanita musyrik. Pertama, yang
dimaksudkan wanita musyrik di situ adalah mencakup wanita-wanita musyrik
dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya
dihapus oleh al-Mâidah (5): 5, yang membolehkan pria Muslim menikah
dengan wanita ahli kitab. Kedua, yang dimaksudkan dengan wanita
muysrik dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak
memiliki kitab suci dan menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang
menyatakan bahwa wanita musyrik dalam ayat ini mencakup semua perempuan
yang menganut politheisme dalam segala bentuknya, baik Yahudi, Kristen
maupun Majusi. Dari tiga pendapat di atas, al-Thabari sendiri
berpendapat bahwa pendapat kedua lebih rajah.Dengan kata lain, kata
al-Thabari, wanita dalam al-Baqarah(2): 221 itu harus dibedakan dengan
wanita ahli kitab.
Pendapat al-Thabari di atas sesuai dengan asbâb
al-nuzulnya. Dalam asbâb al-nuzul dari al-Baqarah: 221 ini dikisahkan
bahwa Abdullah bin Rawahah menikah dengan seorang budak perempuan yang
telah dimerdekakannya. Perempuan yang dinikahi Ibn Ruwahah ini
sebelumnya adalah seorang musyrik Arab. Tindakan salah satu sahabat Nabi
ini banyak menjadi pembicaraan di kalangan para sahabat dengan
tanggapan yang minor. Tindakan Abdullah ini memang agak menentang arus
umum pada waktu itu oleh karena banyak pria Muslim (para sahabat) yang
berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah. Namun, al-Qur'an justru
membela tindakan Abdullah ini, lalu turunlah ayat 221 surat al-Baqarah
tersebut.
Memperhatikan asbâb nuzulnya, seperti dijelaskan di
atas, menurut hemat penulis, agaknya ada situasi yang menunjukkan
adanya kekhawatiran Nabi atas realitas sahabat-sahabatnya, dimana masih
banyak yang menikah dengan wanita musyrik. Dari asbâb al-nuzul ini
dapat diketahui bahwa ayat ini agaknya merupakan antisipasi preventif
al-Qur'an setelah melihat realitas para sahabat Nabi.
Berdasarkan
asbâb al-nuzul ayat 221 surat al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman
Nabi yang tidak beragama, yaitu wanita penyembah berhala dan tidak
memiliki kitab suci. Pelarangan ini tampaknya dapat dipahami karena
situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam masih dalam situasi
konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu yang belum
terlalu lama. Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin
kota Madinah. Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus
melakukan intervensi terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi
bagian dari tugas kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi
sekaligus, yaitu sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian
serta kerasulannya untuk membimbing umat Islam dengan cara
mempertahankan keutuhan umat Islam.
Melalui penegasan seperti
dijelaskan secara tekstual dalam surat al-Baqarah: 221 di atas,
pernikahan beda agama tidak begitu menjadi masalah ketika Nabi masih
hidup oleh karena ketaatan kepada Nabi sangat tinggi. Namun, pemahaman
ayat ini menjadi masalah ketika orang Islam telah berinteraksi dengan
berbagai komponen bangsa lain pasca perluasan wilayah yang terjadi di
dunia Islam, lebih-lebih masyarakat dewasa ini sebagai bentuk pergaulan
yang telah mengalami globalisasi, hampir dipastikan sulit untuk
menghindari interaksi dengan orang yang beda agama. Oleh karena itu, ada
pertanyaan, apakah wanita muysrik seperti yang disebut dalam surat
al-Baqarah: 221 itu bisa disamakan dengan wanita non Islam yang hidup
dewasa ini, yang situsasinya berbeda dengan masa Nabi Dalam beberapa
kasus, pernikahan beda agama terjadi karena murni faktor kemanusiaan
dari kedua belah pihak. Di sini, pemahaman ayat menjadi persoalan, dan
dipihak lain, pemegang otoritas penafsiran, dalam hal ini Nabi telah
wafat. Oleh karena itu, pluralitas pemahaman ayat tersebut menjadi sulit
untuk dihindari kemunculannya. Meski demikian, mayoritas ulama tidak
memperkenankan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita musyrikah.
Pernikahan dengan Ahli Kitab
Pembahasan
pernikahan dengan ahli kitab disinggung dalam surat al-Mâidah (5) ayat
5. Ayat ini turun 7 tahun setelah turunnya surat al-Baqarah (2): 221.
Berdasarkan pemahaman tekstual ayat ini, bagi pria Muslim, pernikahan
dengan wanita ahli kitab diperbolehkan. Al-Thabari, mengatakan bahwa
wanita ahli kitab tidak termasuk wanita musyrik sehingga al-Mâidah ayat
5, seperti disinggung di muka tidak bertentangan dengan al-Baqarah:
221.
Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi seperti dijelaskan
dalam ayat di atas, adalah wanita yang menjaga kehormatan dan memiliki
kitab, yaitu Yahudi dan Kristen.
Alasan Larangan Pernikahan Beda Agama
Pada
paparan-paparan seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa
menurut al-Qur'an melarang seorang Muslim, baik pria maupun wanita
menikah dengan orang musyrik, Surat al-Baqarah (2): 221 telah
menyebutkan apa yang biasa dikatakan sebagai alasan (`illah) penetapan
larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karena mengajak ke
neraka.
Alasan kesimpulan ini didasarkan pada `iilah penetapan
pelarangan wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, menurut ayat
itu, karena akan mengajak pasangan hidupnya ke neraka, yang berupa
kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Ajakan mereka ini secara diametral
bertentangan dengan ajakan Allah yang mengajak kepada surga dan
ampunan.
karena orang-orang yang dilarang untuk dinikahi itu dalam
al-Qur'an disebut dengan menggunakan identitas agama. Di samping itu,
ketika menetapkan aturan larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah:
221, kitab suci itu menggiringnya dengan pernyataan yang khas agama:
"mereka mengajak ke neraka", yang kemudian mereka dipahami sebagai
alasan penyebab dan penyerta, seperti telah dikemukakan di muka.
Kesimpulan
Untuk
menutup tulisan yang singkat ini, perlu disampaikan kesimpulan hukum
pernikahan beda agama setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan
al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya
berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang
yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya),
baik bagi pria Muslim maupun wanita Muslim. Analisis-analisis yang
dikemukan untuk memperkuat kesimpulannya, tafsir ini melakukan analisis
secara mendalam atas ayat yang melarang pernikahan beda agama, seperti
telah dipaparkan di muka. Wallahu A`lam bi al-Shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar