Kamis, 12 Januari 2012

Pernikahan dg Ahl Kitab menurut Imam al-Thabari dalam Tafsirnya

Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang popular.. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat yang majmuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Sebagaimana diketahui bahwa di samping perintah agama, pernikahan merupakan bagian dari kemanusiaan seseorang. Perwujudan pernikahan seorang Muslim misalnya, dalam batas-batas tertentu memang melampaui batas agamanya ketika ia hidup dalam kemajemukan warga dari aspek agama seperti di Indonesia ini. Dalam kondisi kemajukan seperti itu, seorang Muslim hampir dipastikan sulit untuk menghindari dari persentuhan dan pergaulan dengan orang yang beda agama. Pada posisi seperti ini ketertarikan pria atau wanita Muslim dengan orang yang beda agama dengannya atau sebaliknya, yang berujung pada pernikahan hampir pasti tidak terelakkan. Dengan kata lain, persoalan pernikahan antar agama hampir pasti terjadi pada setiap masyarakat yang majemuk.

 Sekilas Tentang Imam Thobari dan Tafsirnya
Semasa hidup al-Tabari, akhir abad 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitas etnis,relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung, telah terjadi interaksi kultural dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika masyarakat terusbergulir, tentu saja hal ini mewarnai cara pandang dan cara pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekuensi logis yang tak terhindarkan.Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al-hadis, disamping bidang-bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami perkembangan secara metodologis dan substansial, munculnya aliran tafsir bi al-ma’sur dan bi al-ra’y turut memberikan warnabagi pemikiran muslim. Di sisi yang lain, ada persoalan yang cukup serius ditubuh tafsir bi al-maqsur, yaitu dengan munculnya varian riwayat, dari riwayat yang sahih a kurat dan valid hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut parameter – sanad dan rijal al-hadis- dalam disiplin;Ulum alHadis.
Disamping itu, orientasi kajian tafsir yang tidak mono material, tetapi telahberinteraksi dengan disiplin ilmu yang lainseperti fiqh, kalam, balagah, sejarah dan filsafat. Pengaruh unsur-unsur di luar Islam turut mewarnai corak penafsiran,termasuk Israiliyyat. Hilangnya salah satu aliran rasional keagamaan Mu’tazilah setelah era al-Mutawakkil, dan munculnya aliran tradisional Asyriyah yang belakangan disebut Sunni, belum lagi sekte-sekte yang lainturut menyemarakkanbursa pemikiran di panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dilihat dan dialami al-Tabari di negeri sendiri,menggugah sensitivitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam (Islamic Thought) dengan jalan melakukanrespons dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Tentu saja pergulatan mazhab yang dialami al-Tabari, menyisakan dampak bagi dirinya. Popularitasnya di negeri sendiri dan kota-kota sekitarnyatidakterbantahkan, sampai-sampai pada hal Pada akhir pergulatan pemikirannya, ia lebih dikenal luas sebagai seorang Sunni ektremis Ali - yang pernah hangat diributkan oleh para ulama sezamannya ketika memuncaknya aliran-aliran teologi.Bukti, bahwa dia seorang sunni terlihat dalam karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsir.
Tafsir al-Tabari, dikenal sebagai tafsir bi al-maqusur, yang mendasarkan padadominasi riwayat-riwayat otoritasotoritasawal, tetapi biasanya tidak memeriksa rantai periwayatannya meskipun dia kerap memberikan kritik sanad dengan melakukan ta‘dil dan tajrih tentang hadis-hadis itu sendiri tanpa memberikan paksaan apapun kepada pembaca.32 Dalam kenyataannya penggunaan ra’yu tak terhindarkan, ketika harus menetapkan pilihan dalam usaha ketepatan dalam memaknai suatu ayat

PEMBAHASAN
Pernikahan beda agama dapat ditemui dalam tiga surat, yaitu surat al-Baqarah (2): 221,surat al-Mumtahanah (60): 10; dan surat al-Mâidah (5): 5. Surat al-Baqarah (2): 221 berbicara tentang ketidakbolehan pria Muslim menikah dengan wanita musyrik, begitu juga sebaliknya ketidakbolehan wanita Muslimah dinikahkan dengan pria musyrik, sedangkan al-Mumtahanah (60): 10, menegaskan bahwa baik pria Muslim maupun wanita Muslimah tidak diperkenankan menikah dengan orang kafir. Adapun surat al-Mâidah (5): 5 membolehkan pria Muslim menikahi wanita ahli kitab tetapi tidak sebaliknya.
Dari tiga surat seperti disebutkan di atas, setidaknya bisa dipilah menjadi dua, yaitu pertama, bagi wanita Muslimah tidak boleh menikah, baik dengan pria musyrik maupun dengan ahli kitab. Adapun kedua, bagi pria Muslim, diberikan pilihan, tidak diperbolehkan menikahi wanita musyrik, sedangkan menikahi wanita ahli kitab diperbolehkan. Di sini, wanita non Muslimah dibedakan antara wanita musyrik dengan ahli kitab.

Pandangan Al-Tabari tentang Pernikahan dengan Wanita Musyrik
Al-Thabari, seorang mufassir klasik ini dalam bukunya: Jâmi` al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'an, ketika membahas surat al-Baqarah (2): 221, menyebutkan ada tiga pendapat dalam menafsirkan wanita musyrik. Pertama, yang dimaksudkan wanita musyrik di situ adalah mencakup wanita-wanita musyrik dari bangsa Arab dan bangsa lainnya. Namun kemudian ketentuan hukumnya dihapus oleh al-Mâidah (5): 5, yang membolehkan pria Muslim menikah dengan wanita ahli kitab. Kedua, yang dimaksudkan dengan wanita muysrik dalam ayat itu adalah wanita musyrik dari bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci dan menyembah berhala. Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa wanita musyrik dalam ayat ini mencakup semua perempuan yang menganut politheisme dalam segala bentuknya, baik Yahudi, Kristen maupun Majusi. Dari tiga pendapat di atas, al-Thabari sendiri berpendapat bahwa pendapat kedua lebih rajah.Dengan kata lain, kata al-Thabari, wanita dalam al-Baqarah(2): 221 itu harus dibedakan dengan wanita ahli kitab.
Pendapat al-Thabari di atas sesuai dengan asbâb al-nuzulnya. Dalam asbâb al-nuzul dari al-Baqarah: 221 ini dikisahkan bahwa Abdullah bin Rawahah menikah dengan seorang budak perempuan yang telah dimerdekakannya. Perempuan yang dinikahi Ibn Ruwahah ini sebelumnya adalah seorang musyrik Arab. Tindakan salah satu sahabat Nabi ini banyak menjadi pembicaraan di kalangan para sahabat dengan tanggapan yang minor. Tindakan Abdullah ini memang agak menentang arus umum pada waktu itu oleh karena banyak pria Muslim (para sahabat) yang berbeda dengan apa yang dilakukan Abdullah. Namun, al-Qur'an justru membela tindakan Abdullah ini, lalu turunlah ayat 221 surat al-Baqarah tersebut.
Memperhatikan asbâb nuzulnya, seperti dijelaskan di atas, menurut hemat penulis, agaknya ada situasi yang menunjukkan adanya kekhawatiran Nabi atas realitas sahabat-sahabatnya, dimana masih banyak yang menikah dengan wanita musyrik. Dari asbâb al-nuzul ini dapat diketahui bahwa ayat ini agaknya merupakan antisipasi preventif al-Qur'an setelah melihat realitas para sahabat Nabi.
Berdasarkan asbâb al-nuzul ayat 221 surat al-Baqarah di atas, wanita musyrik yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah wanita musyrik yang hidup pada zaman Nabi yang tidak beragama, yaitu wanita penyembah berhala dan tidak memiliki kitab suci. Pelarangan ini tampaknya dapat dipahami karena situasi waktu itu, khususnya bagi orang Islam masih dalam situasi konsolidasi sebagai komunitas yang baru tumbuh dalam waktu yang belum terlalu lama. Ayat ini turun ketika Nabi belum lama menjadi pemimpin kota Madinah. Tampaknya, Nabi sebagai pemegang otoritas merasa harus melakukan intervensi terhadap persoalan pernikahan orang Islam menjadi bagian dari tugas kekhalifannya. Di sini, Nabi menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai pemimpin masyarakat Madinah dan tugas kenabian serta kerasulannya untuk membimbing umat Islam dengan cara mempertahankan keutuhan umat Islam.
Melalui penegasan seperti dijelaskan secara tekstual dalam surat al-Baqarah: 221 di atas, pernikahan beda agama tidak begitu menjadi masalah ketika Nabi masih hidup oleh karena ketaatan kepada Nabi sangat tinggi. Namun, pemahaman ayat ini menjadi masalah ketika orang Islam telah berinteraksi dengan berbagai komponen bangsa lain pasca perluasan wilayah yang terjadi di dunia Islam, lebih-lebih masyarakat dewasa ini sebagai bentuk pergaulan yang telah mengalami globalisasi, hampir dipastikan sulit untuk menghindari interaksi dengan orang yang beda agama. Oleh karena itu, ada pertanyaan, apakah wanita muysrik seperti yang disebut dalam surat al-Baqarah: 221 itu bisa disamakan dengan wanita non Islam yang hidup dewasa ini, yang situsasinya berbeda dengan masa Nabi Dalam beberapa kasus, pernikahan beda agama terjadi karena murni faktor kemanusiaan dari kedua belah pihak. Di sini, pemahaman ayat menjadi persoalan, dan dipihak lain, pemegang otoritas penafsiran, dalam hal ini Nabi telah wafat. Oleh karena itu, pluralitas pemahaman ayat tersebut menjadi sulit untuk dihindari kemunculannya. Meski demikian, mayoritas ulama tidak memperkenankan seorang lelaki muslim menikah dengan wanita musyrikah.

Pernikahan dengan Ahli Kitab
Pembahasan pernikahan dengan ahli kitab disinggung dalam surat al-Mâidah (5) ayat 5. Ayat ini turun 7 tahun setelah turunnya surat al-Baqarah (2): 221. Berdasarkan pemahaman tekstual ayat ini, bagi pria Muslim, pernikahan dengan wanita ahli kitab diperbolehkan. Al-Thabari, mengatakan bahwa wanita ahli kitab tidak termasuk wanita musyrik sehingga al-Mâidah ayat 5, seperti disinggung di muka tidak bertentangan dengan al-Baqarah: 221.
Wanita ahli kitab yang boleh dinikahi seperti dijelaskan dalam ayat di atas, adalah wanita yang menjaga kehormatan dan memiliki kitab, yaitu Yahudi dan Kristen.

Alasan Larangan Pernikahan Beda Agama
Pada paparan-paparan seperti dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut al-Qur'an melarang seorang Muslim, baik pria maupun wanita menikah dengan orang musyrik, Surat al-Baqarah (2): 221 telah menyebutkan apa yang biasa dikatakan sebagai alasan (`illah) penetapan larangan pernikahan dengan orang musyrik, yaitu karena mengajak ke neraka.
Alasan kesimpulan ini didasarkan pada `iilah penetapan pelarangan wanita dan pria musyrik tidak boleh dinikahi, menurut ayat itu, karena akan mengajak pasangan hidupnya ke neraka, yang berupa kekafiran kepada Allah dan Rasul-Nya. Ajakan mereka ini secara diametral bertentangan dengan ajakan Allah yang mengajak kepada surga dan ampunan.
karena orang-orang yang dilarang untuk dinikahi itu dalam al-Qur'an disebut dengan menggunakan identitas agama. Di samping itu, ketika menetapkan aturan larangan pernikahan dalam surat al-Baqarah: 221, kitab suci itu menggiringnya dengan pernyataan yang khas agama: "mereka mengajak ke neraka", yang kemudian mereka dipahami sebagai alasan penyebab dan penyerta, seperti telah dikemukakan di muka.

Kesimpulan
Untuk menutup tulisan yang singkat ini, perlu disampaikan kesimpulan hukum pernikahan beda agama setelah melakukan kajian ayat 221 al-Baqarah dan al-Mâidah ayat 5 serta melihat konteks keindonesiaan, pada akhirnya berkesimpulan bahwa haram hukumnya pernikahan orang Muslim dengan orang yang beda agama (di samping Yahudi dan Nasrani juga agama lainnya), baik bagi pria Muslim maupun wanita Muslim. Analisis-analisis yang dikemukan untuk memperkuat kesimpulannya, tafsir ini melakukan analisis secara mendalam atas ayat yang melarang pernikahan beda agama, seperti telah dipaparkan di muka. Wallahu A`lam bi al-Shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar