Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para
intelektual muslim liberal itu, yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan
(liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak
–paling tidak—lima abad terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab
utama ketakberdayaan bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme).
Hanya dengan membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap
keberagamaan mereka, kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Pada dasarnya, gerakan kebangkitan Islam yang dimulai sejak
awal abad ke-19 di
hampir seluruh dunia Islam adalah gerakan liberal. “Liberal”
di sini bisa
bermakna ganda. Pada satu sisi, ia berarti liberasi
(pembebasan) kaum muslim
dari kolonialisme dan penjajahan yang pada saat itu memang
menguasai hampir
seluruh dunia Islam. Pada sisi lain, ia berarti liberasi
kaum muslim dari
cara-cara berpikir dan berperilaku keberagamaan yang
menghambat kemajuan.
Periode liberasi atau apa yang oleh Albert Hourani disebut
dengan “liberal age”[1]
sesungguhnya tak hanya terjadi di dunia Arab saja.
Negara-negara muslim
lainnya, termasuk Indonesia, juga ikut meramaikan wacana
liberal ini. Kita
mengenal beberapa tokoh intelektual liberal Tanah Air yang
memiliki concern yang
sama dengan tokoh-tokoh liberal di Timur Tengah, seperti
Muhammad Djamil
Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar (1874-1920), Abdullah
Ahmad (1878-1933),
dan Hadji Agus Salim (1884-1954).[2]
Ada satu benang merah yang bisa ditarik dari para
intelektual muslim liberal itu,
yakni perasaan dan semangat untuk membebaskan (liberating)
umat Islam
dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan sejak –paling
tidak—lima abad
terakhir. Belenggu inilah yang dianggap sebagai sebab utama
ketakberdayaan
bangsa-bangsa muslim di depan bangsa asing (kolonialisme).
Hanya dengan
membangun kembali (rekonstruksi) cara pandang dan sikap
keberagamaan mereka,
kondisi menyedihkan itu dapat diperbaiki.
Kendati berbeda dalam metodologi dan pendekatan, para
intelektual muslim tersebut
memiliki kesamaan dalam menyikapi kondisi kaum muslim.
Yakni, bahwa hanya
pembebasan dirilah (self-liberating) yang dapat mengeluarkan
mereka dari
kondisi itu. Pada level praktis, pembebasan itu adalah
perlawanan terhadap
kolonialisme secara fisik, dan pada level teoritis,
pembebasan itu harus
dimulai dengan membuka pintu ijtihad seluas-luasnya,
memberikan kebebasan
penafsiran terhadap doktrin-doktrin agama, dan mengkaji
ulang tradisi dan
khazanah (turats) keagamaan kaum muslim.
Secara
metodologis, dalam menerapkan gagasan-gagasan liberalnya,
para intelektual
muslim sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan,
ekonomi, dan sosial
mereka. Inilah yang kemudian memunculkan banyaknya
kecenderungan dan aliran
pemikiran Islam. Sesungguhnya, sama seperti di masa silam
ketika pemikiran
Islam terpecah-pecah menjadi aliran-aliran pemikiran,
seperti Mu’tazilah,
Asy’ariyyah, Qadariyah, Jabariyah, Sifatiyah, Syafi’iyyah,
Hanafiyah, dan
lain-lain, di masa modern, sesuai dengan konteks nomenklatur
dan neologi yang
beredar, aliran-aliran pemikiran Islam kemudian terpecah
menjadi Tradisionalis,
Modernis, Neomodernis, Postmodernis, Revivalis,
Neorevivalis, dan nama-nama
lain yang mewakili setiap kecenderungan pemikiran dalam
Islam.
Saya menganggap bahwa istilah-istilah itu hanyalah sekedar
untuk memudahkan kita
memahami fenomena pemikiran Islam yang begitu beragam. Anda
bisa menyebut
Muhammad Abduh, intelektual Mesir, sebagai seorang
“tradisionalis” karena dia
masih berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional agama,
tapi Anda juga bebas
menyebutnya sebagai seorang “modernis,” karena dia memiliki
pandangan keagamaan
yang maju.
Begitu juga, Anda bisa menganggap Muhammad Iqbal,
intelektual Pakistan, sebagai
seorang “revivalis” karena dia yang menggagas konsep “negara
Islam” yang
kemudian diikuti dan dibela mati-matian oleh Abul A’la
al-Maududi, teman dan
juniornya yang kemudian menjadi notorious sebagai seorang
“fundamentalis;” atau menganggapnya sebagai seorang
“tradisionalis” karena
“ketergantungan”-nya yang begitu besar terhadap tradisi
tasawuf dan
spiritualisme; atau juga memasukkannya dalam deretan
intelektual “modernis”
karena gagasan-gagasannya yang sangat cocok dengan semangat
modernitas.
Charles Kurzman berusaha mentransendensikan taksonomi
pemikiran Islam itu dengan
membuat pendekatan berbeda. Jika selama ini pemikiran Islam
dilihat secara katagoris,[3]
dia mencoba melihatnya dari perspektif holistik dengan
mengambil liberalisme
–benang merah gagasan awal kebangkitan Islam—sebagai standar
untuk memahami
gagasan-gagasan pemikiran dan metode-metode yang digunakan
para intelektual
muslim, sejak era kebangkitan hingga sekarang.
Liberalisme yang menjadi raison d’etre kebangkitan Islam
awal abad ke-19 dijadikan
Kurzman sebagai “parameter” atau “timbangan” untuk mengukur
sejauh mana seorang
intelektual muslim memiliki komitmen terhadap raison
tersebut dan
selanjutnya terhadap kebangkitan Islam itu sendiri. Karena
parameter
liberalisme berbeda dari sekadar katagorisasi ide seperti
dilakukan dalam taksonomi-taksonomi
lama, maka sosiolog dari University of North Crolina, AS,
ini, memberikan ruang
yang begitu besar bagi terjadinya amalgamasi, interaksi, dan
interkoneksi
antara satu pemikir dengan pemikir yang lain, atau antara
satu gagasan
pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Bagi para penganut paradigma taksonomi lama, pemberian ruang
yang begitu besar itu
menjadi lahan yang empuk bagi mereka untuk mengkritik
Kurzman. Penulis buku Liberal
Islam ini, menurut mereka, telah semena-mena menyandingkan
tokoh-tokoh yang
selama ini dianggap “tradisional” atau “konservatif” dengan
tokoh-tokoh yang
“progresif” dan “dinamis.” Kurzman sendiri tampaknya tak terlalu
peduli dengan
kritik-kritik semacam ini. Seperti yang dia sampaikan kepada
saya lewat
beberapa e-mailnya, orang bisa saja tak setuju dengan “alat
ukur” baru itu,
karena concern utama dia bukannya apakah seseorang layak
disebut liberal
atau tidak, tapi apakah pemikiran-pemikirannya dapat
mendukung gagasan
liberalisme atau tidak.
Saya memahami ruang luas yang diberikan Kurzman sebagai
sebuah tingkatan-tingkatan
(gradasi) liberalisme dalam Islam. Adalah merupakan common
sense belaka
bahwa setiap orang memiliki tekanan liberalitas yang berbeda
dalam menyuarakan
gagasan-gagasan pemikirannya. Yang terpenting di sini adalah
bahwa
pemikiran-pemikiran mereka dapat memenuhi standar
liberalisme Islam yang oleh
Kurzman diukur berdasarkan enam state of mind, yakni sikap
terhadap
teokrasi, demokrasi, hak-hak perempuan, hak-hak non-muslim,
kebebasan berpikir,
dan progresifitas atau kemajuan.
Berdasarkan kriteria liberalisme itu, siapa saja --terlepas
ia berada di mana dalam
taksonomi lama-- bisa masuk dalam barisan “Islam Liberal,”
selama mereka
memiliki state of mind yang jelas terhadap enam kriteria di
atas. Para
intelektual itu, bisa seorang akademisi (Fazlur Rahman,
Muhammad Arkoun), ulama
(Ali Abd al-Raziq, Mahmud Taleqani, Yusuf Qardhawi), aktivis
(Chandra Muzaffar,
Fatima Mernissi), ahli ekonomi (Jomo K.S, Timur Kuran),
maupun politisi
(Muhammad Natsir, Benazir Bhutto).
Karena itu, saya melihat tidak tepat agaknya
mempertentangkan “Islam Liberal” dengan
taksonomi lama (tradisionalis, modernis, revivalis) atau
yang baru
(neomodernis, posmodernis, atau apapun namanya). Karena
gagasan “Islam Liberal”
itu sesungguhnya merupakan kombinasi dari unsur-unsur
liberal yang ada dalam
kelompok-kelompok pemikiran modern itu.
Konservatisme dan Fundamentalisme
Jika Islam Liberal tak bisa dipertentangkan dengan
kelompok-kelompok dalam
taksonomi (model) lama, maka apakah yang menjadi “musuh”
utama kelompok ini?
Dalam kaitannya dengan pembaruan pemikiran keagamaan, saya
melihat ada dua
“musuh” utama Islam Liberal. Pertama, konservatisme yang
merupakan musuh
historis yang telah ada sejak gerakan liberalisme Islam
pertama kali muncul. Kedua,
fundamentalisme yang muncul akibat pergesekan Islam dan
politik setelah
negara-negara muslim meraih kemerdekaannya.[4]
Konservatisme telah lama dianggap sebagai “ideologi” yang
bertanggung-jawab terhadap
kemunduran dan keterbelakangan kaum muslim.
Pandangan-pandangan konservatif
selalu dianggap berbahaya karena ia bertentangan dengan
semangat pembaruan dan
kemajuan. Sejak gerakan kebangkitan Islam muncul di Mesir
pada awal abad ke-19,
konservatisme menjadi target utama para pembaru muslim.
Tokoh-tokoh seperti
Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi, Muhammad Abduh, dan Ali Abd
al-Raziq, baik secara
radikal maupun perlahan-lahan mengikis ajaran-ajaran
konservatif. Begitu juga,
tokoh-tokoh dari generasi selanjutnya, termasuk generasi
pasca-67,[5]
semacam Hassan Hanafi di Mesir, Tayyib Tizzini di Suriah,
dan Mohammed Abed
al-Jabiri di Maroko, mendeklarasikan perang yang sama
terhadap konservatisme.
Begitu
juga dengan fundamentalisme yang dianggap sebagai “ideologi”
berbahaya bagi
pluralitas dan inklusivitas Islam. Islam Liberal melihat
fundamentalisme
sebagai penyimpangan terhadap ajaran-ajaran Islam, khususnya
tentang kedamaian
(salam) dan keberagaman (syu’ub wa qabail). “Ideologi” ini
menolak pluralitas karena menganggap “kebenaran” hanya satu,
yaitu kebenaran
dirinya sendiri. Dalam bentuknya yang ekstrim,
kelompok-kelompok fundamentalis
tak jarang memaksakan keinginan mereka dengan cara-cara
kekerasan. Tentu saja,
Islam model ini, bagi para pemikir liberal, adalah sebuah
versi Islam yang
salah tafsir.
Kita
bisa melihat sikap-sikap konservatif dan fundamentalis
dengan menggunakan enam
kriteria yang dijadikan parameter oleh Kurzman. Dalam bidang
politik misalnya,
kaum konservatif cenderung tak mau tahu atau tak pernah
tegas dengan pilihan
bentuk negara. Ketidaktegasan atau ketidakmautahuan ini
kembali kepada sikap
keberagamaan mereka yang tidak terbuka dan cenderung
protektif terhadap isu-isu
perubahan. Sementara kaum fundamentalis, dalam persoalan
ini, sering kali bersifat
ahistoris, karena mengambil model negara yang tak pernah
memiliki preseden
dalam sejarah Islam sendiri.
Sementara
bagi para intelektual liberal, persoalan politik adalah
persoalan pendapat (ijtihad)
manusia yang harus sepenuhnya disikapi secara manusiawi.
Mereka menolak gagasan
negara teokrasi atau pemerintahan Tuhan, semata-mata karena
Islam pada dasarnya
tidak menekankan ideologi negara, tapi lebih pada penciptaan
masyarakat yang
adil dan makmur.[6]
Sebagai media (washilah) untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur
tersebut, bentuk negara sepenuhnya diserahkan kepada
manusia, tak jadi soal
apakah bentuknya republik, sosialis, demokratis, atau
sistem-sistem lain yang
memungkinkan tujuan (ghayah) itu tercapai.
Para
intelektual liberal, sejak awal kebangkitan, telah
menuntaskan persoalan ini
dengan menyatakan bahwa bentuk negara adalah sesuatu yang
didiamkan oleh
syariah (silent sharia). Karena didiamkan, maka menjadi hak
dan tugas
manusialah untuk mencarikan bentuknya. Di antara intelektual
yang berbicara
tentang masalah ini adalah Ali Abd al-Raziq[7]
di masa silam atau Nurcholish Madjid[8]
di masa sekarang.
Dalam
persoalan menyangkut hak-hak kaum perempuan, pandangan
konservatisme mendukung
sikap fundamentalisme. Kaum perempuan selalu dipandang
sebagai makhluk nomor
dua yang tak banyak bisa diandalkan. Kalangan konservatif
dan sebagian besar
kaum fundamentalis menganggap perempuan hanya separuh harga
laki-laki, baik
dalam hal ekonomi (warisan), hukum (kesaksian), politik (tak
boleh jadi
pemimpin), dan hak-hak individu (harus selalu lewat
laki-laki). Kendati banyak
sekali ajaran-ajaran Islam yang secara eksplisit maupun
implisit menghormati
kedudukan kaum perempuan, kaum konservatif dan fundamentalis
agaknya lebih suka
meletakkan kaum wanita di belakang kaum laki-laki, baik
dalam pengertiannya
yang harafiah maupun takwiliyah.
Bagi
intelektual liberal, seperti yang bisa dilihat pada
figur-figur semacam Qassim
Amin (Mesir), Fatima Mernissi (Maroko), Amina Wadud Muhsin
(Amerika Serikat),
dan Muhammad Shahrour (Suriah), persoalan hak-hak kaum
perempuan harus dilihat
dari kacamata yang lebih luas dan “obyektif.” Doktrin-doktrin
awal Islam yang
cenderung memojokkan kaum perempuan harus dilihat dalam
konteks dan lokalitas
khusus. Karena itu, penafsiran terhadap syariah (interpreted
sharia)
menjadi penting, demi untuk menyelaraskan prinsip-prinsip
Islam paling mendasar
tentang kaum perempuan dengan konteks sosio-historis
doktrin-doktrin Islam
tentang perempuan.
Persoalan
yang berkaitan dengan hak-hak non-muslim menjadi tolok ukur
lainnya yang
membedakan antara pemikiran liberal dengan pemikiran
konservatif dan
fundamentalis. Jika kaum konservatif dan fundamentalis
melihat persoalan ini
lewat teologi lama dengan meletakkan kaum non-Islam sebagai
kelas dua (dzimmi,
harbi, dll), Islam Liberal melihatnya sebagai bagian dari
komunitas (ummah)
yang berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Agama adalah
sarana bagi
orang-orang beriman untuk memperbaiki kualitas moral mereka,
bukan untuk saling
memusuhi dan meniadakan. Alquran, seperti diyakini
orang-orang liberal, adalah
kitab suci yang sangat menghargai kaum beriman dan
menempatkan mereka di tempat
yang tinggi (lihat dan bandingkan ayat-ayat berikut: 2:62,
3:64, 5:66, 5:69,
49:10-13). Karena itulah, Alquran juga mengajak kaum beriman
untuk mencari
kesamaan-kesamaan (kalimat sawa) di antara mereka sebagai
makhluk Tuhan.
Para
pemikir liberal seperti Farid Esack (Afrika Selatan), Asghar
Ali Engineer
(India), Hassan Hanafi (Mesir), dan Djohan Effendi
(Indonesia), meyakini bahwa
hubungan antar-agama pada dasarnya adalah hubungan dialogis
dan bukan hubungan
konfrontatif. Agama adalah persoalan keyakinan yang tidak
bisa dipaksakan
kepada seseorang. Keimanan adalah masalah “hidayah” yang tak
boleh dipaksakan.
Karena itu, bagi Djohan Effendi, kita dituntut untuk
bersikap toleran, bukan
hanya kepada pemeluk agama lain, tapi juga kepada orang yang
tidak meyakini
agama.[9]
Alasannya sederhana, selain Islam mengajarkan kita bahwa
“hidayah” Tuhan tak
bisa dipaksakan kedatangannya, beragama dengan cara
pemaksaan hanya akan
memunculkan hipokrasi dan kemunafikan, sebuah sikap yang
sangat dikecam Islam.
Dalam
masalah kebebasan berpikir atau kebebasan berpendapat sikap
Islam Liberal jauh
lebih tegas ketimbang sikap kalangan konservatif yang
cenderung inaktif dan
sikap kalangan fundamentalis yang cenderung rejektif. Bagi
intelektual liberal,
seperti Abdul Karim Soroush (Iran), Shabbir Akhtar
(Pakistan), dan Abdullahi
Ahmad an-Naim (Sudan), kebebasan berpendapat adalah bagian
dari wilayah ijtihad
yang selama berabad-abad --oleh ulama konservatif-- ditutup.
Para intelektual
liberal itu meyakini, pintu ijtihad tak pernah ditutup dan
kalaupun pernah
ditutup, maka ia harus dibuka. Syarat-syarat klasik yang
biasanya menjadi
kualifikasi terberat dalam melakukan ijtihad sudah
seharusnya ditinjau ulang.
Karena, syarat-syarat itu, selain tidak masuk akal, hanya
akan membatasi
kemajuan kaum muslim.
Argumen
utama kaum liberal adalah bahwa manusia diciptakan oleh
Allah dalam keadaan
bebas. Dan kebabasan adalah anugerah terpenting yang
diberikan Tuhan kepada
manusia. Kebabasan berpendapat, selain itu, juga merupakan
hak individu yang
tak seorangpun berhak mencegahnya. Bahkan, dalam sebuah ayat
Alquran, Tuhan pun
tak mampu mencegah makhluknya untuk berpendapat (QS. 2:30).
Kebebasan berpikir
adalah bagian dari syarat kemajuan sebuah masyarakat.
Masyarakat yang terkekang
dan tak boleh mengemukakan pendapatnya, adalah masyarakat
mandek yang tak
memiliki masa depan.
Parameter
terakhir yang membedakan antara pemikiran konservatif atau
fundamentalis dengan
pemikiran liberal adalah penyikapan terhadap progresifitas
dan kemajuan. Jika
Islam konservatif bersikap sangat pasif dan bahkan cenderung
defensif terhadap
perubahan, Islam Liberal berusaha untuk selalu melihat
perubahan sebagai bagian
dari dinamika untuk meraih kemajuan dan perbaikan hidup.
Karenanya, alih-alih
berorientasi ke masa silam seperti yang dilakukan oleh kaum
konservatif dan
fundamentalis, Islam Liberal mengarahkan orientasinya ke
masa depan.
Para pemikir liberal semacam Mahmud Mohamed Taha (Sudan),
Fazlur Rahman (Pakistan), dan Mohamed Arkoun (Aljazair) menganggap
progresifitas sebagai bagian tak
terpisah dari Islam. Arkoun bahkan menganggap Islam sebagai
modernitas itu
sendiri. Prinsip progresifitas inilah yang mengilhami Mahmud
Taha untuk
mengambil hanya ayat-ayat Makkiyah (diturunkan di Mekah)
yang universal,
ketimbang ayat-ayat Madaniyah (diturunkan di Madinah) yang
lokal dan temporal.
Ayat-ayat Madaniyah, menurut Mahmud Taha, bisa menghambat
progresifitas kaum
muslim jika tidak dipahami dalam konteks ruang-waktu di mana
ayat-ayat itu
diturunkan.
Penutup. Sebagai sebuah
pemikiran, Islam Liberal sesungguhnya bukanlah fenomena
baru. Ia telah ada
sejak gagasan kebangkitan dan pembaruan pemikiran Islam
muncul pada awal abad
ke-19. Penamaan “Islam Liberal” yang baru beberapa tahun
belakangan populer,
hanyalah merupakan reinkarnasi dari istilah yang pernah
digunakan baik secara
eksplisit maupun implisit oleh penulis-penulis sebelum
Kurzman, seperti Albert
Hourani dan Asaf Ali Asghar Fyzee.[10]
Penggunaan kembali istilah “Islam Liberal” sesungguhnya
merupakan upaya untuk
mengembalikan semangat kebangkitan (nahdhah) pemikiran Islam
yang sejak
satu abad silam telah dibajak oleh konservatisme dan
fundamentalisme agama.
Bagaimanapun,
istilah “Islam Liberal” hanyalah tatakata (nomenklatur)
sekadar untuk
memudahkan kita merujuk sebuah gagasan atau gerakan yang
memiliki cita-cita
untuk membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
kejumudan, satu hal yang
sesungguhnya merupakan raison d’etre kebangkitan Islam sejak
dua ratus
tahun silam.
* Disampaikan dalam seminar sehari Mendialogkan
Post Tradisionalisme Islam dan Islam Liberal dalam Gairah
baru Pemikiran Islam
di Indonesia, di Hotel Wisata, Jakarta. Rabu, 14 November
2001.
[1] Hourani, Albert (1983); Arabic
Thought in the Liberal Age 1798-1939. Cambridge University
Press.
[2] Untuk mengetahui biografi
menarik lebih lanjut tentang tokoh-tokoh ini, lihat Tamar
Djaja, Pustaka
Indonesia: Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air. Bulan
Bintang
Jakarta, 1966.
[3] Lihat misalnya Issa J.
Boullata. Trends and Issues in Contemporary Arab Thought.
SUNY 1990.
hal. x.
[4] Tak bisa dipungkiri, ada
banyak persoalan yang harus disikapi Islam Liberal, dari
masalah ekonomi,
politik, hingga masalah-masalah sosial lainnya. Dengan
menyebut konservatisme
dan fundamentalisme, saya hanya ingin menunjukkan kunci
persoalan yang dihadapi
umat Islam modern, karena dua “ideologi” ini sering dianggap
sebagai sebab
utama yang mempengaruhi sikap keberagamaan –yang selanjutnya
mendorong
sikap-sikap sosial-politik—umat Islam.
[5] Pemikiran Arab modern
secara longgar kerap dibagi menjadi dua fase: masa
kebangkitan dan formasi yang
berakhir hingga tahun 60-an, dan masa revitalisasi dan
pematangan yang bermula
sejak kekalahan bangsa Arab dari Israel pada perang enam
hari tahun (1967)
hingga sekarang.
[6] Charles Kurzman, Wacana
Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global.
Paramadina, 2001, hal. Xliv.
[7] Lihat karya monumentalnya
al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa
al-Hukumah fi al-Islam (Islam
dan dasar-dasar pemerintahan: Kajian tentang khilafah dan
pemerintahan dalam
Islam). Cetakan pertama, Cairo, 1342/1925.
[8] Lihat misalnya
surat-surat Nurcholish Madjid dengan Mohamad Roem yang telah
dibukukan, Tidak
Ada Negara Islam: Surat-Surat Politik Nurcholish
Madjid-Mohamad Roem,
Jakarta Penerbit Djambatan, 1997.
[9] Lihat wawancara
selengkapnya dengan Djohan Effendi “Harus Ada Kebabasan
Untuk Tidak Beragama”
di website Islam Liberal
(http://www.islamlib.com/wawancara/masjohan.html).
[10] A.A.A Fyzee menggunakan
istilah “Islam Liberal” secara eksplisit dalam bukunya A
Modern Approach to
Islam. London: Asia Pub. House, 1963.
20/07/2003 | Kolom | #
KomentarKomentar Masuk (1)
(Tampil maks. 5 komentar terakhir, descending)
Saya tertarik dengan pendapat penulis, saudara Luthfi yang
mengatakan kemunduran umat Islam kerana sikap keberagamaan mereka. Lantas
terpancar lah berapa label yang menyalahkan antara satu sama yang lain.
Sebenarnya ugama yang dibawa oleh nabi junjungan kita
Muhammad Saw hanyalah satu iaitu Islam. Tidak ada Islam Fundamental, Islam
Liberal, Islam Orthodok, Islam Militan, apalagi Islam Teroris.
Apa yang urgens sekarang pada umat Islam ialah mereka harus
ada REVOLUSI MENTAL. Baik bagi individual atau pemimpinnya. Tapi seharusnya ia
harus bergerak dari atas ke bawah. Umat Islam harus menghayati Islam secara
serius kalau ingin setanding kalau tidak lebih daripada bangsa asing.
Melaksanakan ajaran Islam dengan amali bukan hanya dengan cakap-cakap aja.
Pemimpin harus berkongsi pendapat dengan umat dan berani
menerima teguran. Saya yakin dengan ini pintu kemajuan akan terbuka luas.
Sarjana Islam pula jangan asyik tertumpu pada perbicangan
polemik. Ini akan menghambat kebernasan intelektual umat. Kan di dalam Al-Quran
banyak lagi isu-isu penting yang boleh dibincang seperti ekonomi, perobatan dan
lain sebagainya. Saya masih teringat
satu tulisan seorang sarjana Barat (maaf saya lupa namanya), dalam kajiannya:
mengapa umat Islam mundur dan kalah kepada tentara Barat dalam abad abad
terakhir imperium Ottoman ialah karena orang Islam sudah tidak lagi menguasai
ilmu besi.
Wassalam Sa’at b Mohamed Singapore
Tidak ada komentar:
Posting Komentar