RELASI ANTAGONISTIK BARAT DAN ISLAM,
KLASIFIKASI TOKOH DAN MANFAAT KAJIAN ORIENTALIS
RELASI ANTAGONISTIK ORIENTALIS DAN ISLAM
Kajian tentang Timur (orient)
termasuk tentang Islam, yang dilakukan oleh orang Barat telah bermula
sejak beberapa abad yang lalu. Namun gerakan pengkajian ketimuran ini
diberi nama orientalisme baru di abad ke 18. (the oxford English dictionary, oxford, 1933, vol. VII, hal. 200).[1]
Mengapa Barat tertarik mengkaji Timur dan Islam, latar belakang
sejarahnya panjang dan kompleks. Pertama adalah motif keagamaan. Barat
yang disatu sisi mewakili Kristen memandang Islam sebagai agama yang
sejak awal menentang doktrin-doktrinnya. Islam yang isinya
menyempurnakan millah sebelumya tentu banyak melontarkan
koreksi terhadap agama itu. Itulah makanya Islam dianggap “menabur
angin” dan lalu “menuai badai” perseteruan dengan Kristen.
Bahkan lebih ekstrem lagi, perseteruan ada sejak sebelum Islam datang. Thomas Right, penulis buku Early Christianity in Arabi,
mensinyalir perseteruan antara Islam dan Kristen terjadi sejak bala
tentara Kristen pimpinan Raja Abrahah menyerang Ka’bah dua bulan sebelum
Nabi Muhammad SAW lahir. Di situ tentara Abrahah kalah telak dan bahkan
tewas.[2] Kalau saja tentara itu tidak kalah mungkin seluruh jazirah
itu berada di tangan Kristen, dan tanda salib sudah terpampang di
Ka’bah. Muhammad pun mungkin mati sebagai pendeta. Jika Right benar,
berarti orang Kristen sendiri telah lama menentang millah Nabi
Ibrahim, sebab ketika mereka menyerang Ka’bah, mereka bukan sedang
menyerang Islamdibawa Nabi Muhammad SAW, melainkan menyerang Ka’bah yang
mepakan khazanah millah Ibrahim, Bapak Agama Tauhid itu. Jadi motif orientalisme adalah keagamaan dan berkaitan dengan Krristen dan missionarisme.
Kedua, motif politik. Islam bagi barat adalah peradaban dimasa lalu
telah tersebar dan menguasai peradaban dan menguasai peradaban dunia
dengan begitu cepat. Barat adalah sebagai peradaban yang baru bangkit
dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman lansung yang besar bagi
kekuasaan politik dan agama mereka. Barat sadar benar bahwa Islam bukan
sekedar istana-istana megah, bala tentara yang gagah berani atau
bangunan-bangunan monumental, tetapi peradaban yang memiliki khazanah
dan ilmu pengetahuan yang tinggi. Oleh sebab itu mereka perlu merebut
khazanah ini untuk kemajuan mereka dan sekaligus untuk menaklukkan
Islam. Sudah tentu itu semua dilakukakan dengan cara-cara yang tidak fair. Motif politik ini kemudian berkembang menjadi motif bisnis atau perdagangan yang kemudian menjadi kolonialisme.[3]
Ketiga,
agama yang dianut oleh bermacam-macam golongan yang mempunyai ras yang
berbeda pula, sehingga cukup menarik untuk meneliti kehidupan keagamaan,
intelektual sosial dan pola hubungan mereka dengan masyarakat luar baik
yang seagama atau lain agama dengan mereka, sehingga penelitian kaum
orientalis dalam memandang Islam bisa dikatakan ilmiah dan penuh
manfaat, hal ini juga didukung oleh beberaapa pandangan orientalis yang
mengaku Nabi Muhammad salah seorang nabi terdahulu.[4] Sehingga
pandangan minor terhadap orientalis mulai kian memudar.
Kajian orientalis merupakan hasil dari pengalaman panjang manusia Barat
dalam menghadapi Timur, khususnya Islam. Oleh sebab itu ada baiknya
kita telusuri secara singkat fase-fase perkembangan orientalis untuk mengetahui bagaimana dengan motif dan framework yang sama mereka menggunakan teknik dan metode yang berbeda-beda.
A. Kalau diteliti secara serius oreintalisme bisa dibagi empat fase penting :
Fase pertama,
dimulai pada abad keenambelas (abad ke-16) Masehi. Pada fase ini
orientalisme dapat dikatakan sebagai gerakan anti Islam yang dimotori
oleh Yahudi dan Kristen. Selain bangsa Eropa Kristen dalam perang salib
juga memicu semangat anti Islam ini.
Islam itu, bagi
Kristen, merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Bagi orang Eropa
Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Southern dalam bukunya Western Views of Islam in the Middle Ages, menulis bahwa “orang Kristen ingin agar Timur dan Barat bersepakat bahwa Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity)”
(hal. 91-92, 108-109).[5] Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Nabi
Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku
sodomi, dan seabagainya yang kesemuanya itu diambil dari doktrin
keagamaan yang dibawanya.[6]
Fase kedua
orientalis terjadi pada abad ke-17 dan 18 M. Fase kedua ini adalah fase
penting Orientalisme, sebab ia merupakan gerakan bersamaan dengan
modernisasi barat. Barat berkepentingan menimba ilmu bagaimana Islam
bisa menjadi peradaban handal selam 7 abad. Pada periode inilah
raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan
segala macam infomasi tentang ketimuran.
Meskipun
Barat memerlukan Islam, tapi api perseteruan masih tetap membara. Maka
dari itu selain mengumpulkan informasi tentang di Timur mereka juga
menyebarkan informasi negatif tentang timur kepada masyarakat Barat.
Pada periode ini misalnya, banyak diterbitkan buku-buku yang banyak
menghujat Islam daripada memaparkan apa adanya, seperti John Wansbroug
yang mempermaslahkan keautentikan Al-Quran bukan wahyu tuhan tapi buatan
Muhammad.[7]
Tapi pada tahun 1679 Humphrey Preideaux
menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, tapi buku itu berusaha membuktikan
asumsinya bahwa Nabi Muhammad pandai berpura-pura, pandai mengelabuhi
orang, penipu dan cerdik. Buku ini seperti dijadikan referensi standar
orientalis lama selama seabad lebih. Singkat kata, jika pada fase
pertama diwarnai oleh semangat anti Islam, maka periode ini adalah
periode caci-maki orientalis terhadap Islam dalam bentuk tulisan.
Fase ketiga orientalis
adalah abad ke-19 dan seperempat pertama abad ke-20. Fase ini adalah
orientalisme terpenting baik muslim maupun bagi orientalis sendiri.
Sebab pada fase ini adalah Barat telah benar-benar menguasai
negara-negara Islam secara politik, militer, kultural dan ekonomi. Pada
fase ini banyak orientalis yang banyak menyumbangkan karya dalam bidang
studi Islam. Tidak sedikit pula karya-karya berbahasa Arab dan Persia
yang diedit, diterjemahkan dan lalu diterbitkan. Mungkin karena Barat
telah masuk dan memasuki negeri-negeri Islam, mereka mudah mendapatkan
bahan-bahan tentang Islam.[8]
Oleh sebab itu, pada
waktu yang hampir bersamaan lembaga-lembaga studi ke-Islaman dan
ketimuran didirikan dimana-mana. Seperti, The Institute of Islamic
Studies, McGill University, Departement of Toronto dan Islamuic Studies,
Von Grunebaun Centre for Near East Studies, University of California
Los Angels.[9] Tahun 1822 di Paris didirikan Society Asiatic of Paris, Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland didirikan tahun 1823 di Inggris, tahun 1842 di Amerika juga didirikan American Oriental Society, tahun 1916 di University of London, didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental And African Studies). Diantara tokoh orientalis yang terkenal pada periode ini adalah Goldzhiher(1850-1908).[10]
Dengan berdirinya pusat-pusat studi ke-Islaman maka framework kajian
orientalis mengalami pergeseran yang signifikan, dari fase caci-maki
menjadi penilaian yang sistematis dan ilmiah itu tidak berarti tanpa
kesalahan dan bias. Para orientalis di abad pertengahan memang memiliki
informasi yang kurang tentang Nabi Muhammad, sehingga tulisan mereka
bernada negatif. Namun para orientalis di zaman modern dianggap telah
memiliki pengetajuan Islam yang relatif lebih banyak, namun masih saja
ada yang bersikap negatif tapi dengan cara yang lebih akademis, bahkan
dr. Ach. A. Hamid Ghurab, mengatakan orientalis modern telah berubah
seratus persen yaitu mempunyai sifat jujur dan berdasarkan penelitian
objektif, di samping sebagai rekan yang saling menghormati.[11]
Fase Keempat
orientalis ditandai dengan adanya perang dunia ke II khusus di Amerika
Islam dan umat Islam menjadi obyek kajian yang popular. Kajian itu
bukan saja dilakukan untuk kepentingan akademis, tapi juga untuk
kepentingan perancang kebijakan politik dan juga bisnis.
Sekali lagi pada fase ini kajian orientalisme berubah lagi, dari
sentimen keagamaan vulgar menjadi lebih lembut. Cantwell Smith
terang-terangan mengatakan “pencarian ilmu selalu siap mengubah
hypotesisnya. Faktanya memang orang-orang Barat non-Muslim baru saja
mulai memperlembut (ssikapnya terhadap Islam) dan bahkan menarik kata
‘tidak’nya”[12]. Sir Hamilton Gibb secara diplomatis mengatakan, ia
menerima pendapat bahwa wahyu adalah gambaran pengalaman pribadi Nabi
Muhaamad, tapi Islam perlu menafsirkan kembali konsep yang tidak bisa
dipertahankan lagi itu.[13] Perubahan sikapnya begitu kentara, barubah
dari menuduh Nabi sebagai penipu, mereka kemudian mempersoalkan konsep
wahyunya, dan kini mereka mulai mempersoalkan interpretasinya.
Anwar al-Jundi dalam bukunya al-Fikr al-Arabi al-mu’ashir fi ma ma’rakat al-Targhib (al-Risalah),
Kairo, tt 133-137), mengatakan para orientalis itu pertama-tama
menentukan tujuan. Kemudian untuk membuktikan proposisi mereka, mereka
mengumpulkan berbagai data, seperti teks-teks keagamaan, cerita-cerita
fiksi, syair-syair, kisah-kisah dan lain-lain yang otentik ataupun yang
tidak dan kemudian menafsirkan sesuai dengan tujuan mereka itu.
Proposisi ini digunakan untuk membuat teori-teori “baru”.[14]
Framework di atas hanyalah salah satu dari sekian framework kajian
orientalis. Berbeda bidang kajian, berbeda pula frameworknya dan berbeda
periode, berbeda pula teknik dan metode kajiannya. Mulanya mereka
hanyalah suatu circle yang memiliki semangat anti Islam dalam
perkembangan nuansa anti-Islamnya lalu dikurangi dan diganti dengan
pendekatan yang menggunakan logika.
Montgomery Watt
yang dianggap orientalis moderat misalnya, ketika menulis Al-Quran dan
al-Sunnah mencoba meragukan otentitas Islam. Ia mencoba membuktikan
bahwa beberapa bagian al-Quran dan hadis itu dibuat-buat dan tidak
konsisten, dan karma itu tidak bisa dijadikan pandangan hidup Islam. Ia
bahkan mencurigai adanya “ayat-ayat setan” dalam al-Quran.[15]
Jadi, orientalisme yang dikenal saat ini sebagai tradisi ilmiah tentang
Islam, sejatinya adalah berdasarkan pada ‘kacamata’ dan pengalaman
manusia Barat yang dipicu oleh motif dan semangat missionaries. Namun
motifasi ini ditutupi dengan dengan jubah intelektualis dan dedikasi
akademik.[16] Tidak heran jika salah pandang dan tujuannya diwarnai oleh
latar belakang agama dan politik serta world view Barat atau nilai-nilai peradaban Barat, kajian mereka itu cenderung salah, inilah bukti bahwa ilmu memang tidak bebas nilai.
Oleh sebab itu menganggap orientalis di masa kini obyektif dan ilmiah
hanya benar di permukaan, kajian akademis dan ilmiah terhadapnya
membuktikan sebaliknya. Cara pandang mereka terhadap Nabi, al-Quran dan
Islam sebagai agama masih tidak bisa lepas bebas dari pengaruh para
pendahulunya, yang menurut Edward perbuatan mereka sangat keji dan sama
seperti ketika mereka memusuhi Islam pada abad pertengahan dan era
kebangkitan.[17] Para orientalis terdahulu itu diwarnai oleh pengalaman
manusia Barat. Framework kajian filsafat para orientalis, misalnya,
malah tidak pernah bergeming dari asumsi bahwa Islam tidak memiliki
filsafat. Framework kajian filsafat orientalis dalam kajian filsafat
menunjukkan konsistensi framework dan kajian mereka pada hakikatnya
filsafat Islam berasal dari Yunani, sebab ia tidak ada akarnya dalam
tradisi intelektual Islam. Hal ini dapat dicermati dari pernyataan Peter
bahwa filsafat Islam tercermin dari asal-usul nama yang digunakan,
yaitu nama Yunani, lebih jauh ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak ada
filsafat.[18]
Kajian yang sejatinya satu bidang dengan
filsafat adalah teologi atau kalam. Dalam bidang ini para orientalis
sangat intensif mengadakan kajian, sebab bidang ini konon banyak memberi
sumbangan bagi perkembangan teologi Kristen. Meskipun begitu, mereka
tidak mengakui bahakan mengkalaim bahwa teologi Islam adalah lanjutan
atau dipengaruhi oleh perkembangan teologi Kristen. Selain itu tujuan
mereka juga tidak bisa ditutupi sebab dengan menggunakan pendekatan
tersendiri mereka ternyata mengedapankan kelompok-kelompok sempalan yang
tidak populer. Ini tentu bertujuan untuk menyembunyikan teologi yang
sempurna sejak awalnya dan tetap dipahami oleh mayoritas pemeluknya
secara konsisten hingga kini.
Kajian orientalis belum mencakup keseluruhan bidang. Namun perlu disadari bahwa kajian outsider
tentang suatu agama dan peradaban termasuk Islam, ia tetap menyisakan
bias. Al-Tibawi, menyimpulkan bahwa ketika para orientalis ahli polemik
periode awal terlibat dalam pembinaan dan penafsiran yang salah
tentang Islam, tujuan mereka desturtif. Tetapi setelah adanya motif missionaris, mereka
mulai menggunakan pendekatan obyektif. Metodenya merupakan campuran
antara penghinaan dan pengungkapan hal-hal negatif tentang Islam, namun
dengan menggunakan fakta-fakta yang solid tapi tetap dipahami dalam
perspektif Kristen. Metode yang pertama telah ditinggalkan sedangkan
metode yang kedua menjadi lemah atau diberi baju baru. Perkembangan
terakhir yang aneh adalah ketika para orientalis itu kini gencar
menyarankan, mendorong dan bahkan kasarnya memprovokasi agar Islam ada
renofasi.[19]
Kajian dan sekaligus serangan terhadap
Islam dan sejarahnya sangat canggih dan subtil bagi mereka pembawa awam,
alias bukan pakar. Akibatnya para pembawa awam tidak mudah untuk
membongkar implikasi-implikasi negatifnya. Pernyataan mereka itu umumnya
berdasarkan spekulasi, bahkan manipulasi sumber data dan seringkali
bersikap selektif terhadap data-data sejarah dengan tujuan dan
kepentingan tertentu.
Edward Said baik dalam orientalisme (1978) maupun dalam the world, the text and the critic (1983)
yakin bahwa orientalis dan Barat adalah diskriminatif. Batas rasial,
dan kultural dan bahkan saintifik sangat kentara. Antara “kami” dan
“mereka”, minna dan minhum merasuk ke dalam kajian
sejarah, linguistik, teori ras, filsafat, antropolgi dan bahkan biologi
hingga abad ke-19. Jadi sangat pantas stigma “other” itu melekat, maka selain bangsa Eropa tetap asing dan bahkan inferior. Kajian Timur yang berasaskan Barat telah di frame oleh pengalaman imprealisme dan persengketaan kultural (cultural hostility).
Selain dari itu pandangan dan kritik orientalis mendasarkan kajian
mereka sangat secara spesifik. Artinya, jika mereka mengkaji bidang
tertentu, mereka melewatkan bidang kajian yang lain. Orientalis ahli
fiqih melontarkan kritik-kritik yang tidak dikaitkan dengan kalam
misalnya kritik dalam bidang filsafat tidak dikaitkan dengan akidah,
kritik dan kajian al-Quran tanpa disertai tafsir, bahkan tidak aneh jika
para orientalis mengkaji al-Quran dengan metodologi Bibel, mengkaji
politik Islam dalam perspektif politik Barat sekuler dan seterusnya.
Yang pasti, disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam itu tidak dikaji
dengan framework pandangan hidup Islam, tapi Barat.
Meski telah banyak kajian orientalisme, tapi dalam perkembangan
pemikiran akhir-akhir ini, tema orientalisme ini menjadi semakin relevan
untuk diangkat kembali. Sebab kini tren mengadopsipandangan, framework
dan kritik-kritik para orientalis tentang Islam sedang semakin marak
dikalangan sementara cendikiawan muslim. Nampaknya mereka berfikiran
bahwa dengan cara itu mereka bisa mengambil jalan pintas untuk
“reformasi”, “pembaharuan” atau “liberalisasi” pemikiran Islam. Bagi
masyarakat awam atau ulama “tradisional” pemikiran hasil “adopsi” itu
nampak baru, karena tidak pernah ada dalam khazanah intelektual Islam.
Padahal, sifat “baru”nya tidak mempunyai unsure tajdid, karena terlepas
dari pondasi asalnya (wahyu Allah) dan bahkan seringkali bersebrangan.
Para cendikiawan muslin itu mungkin telah gagal menyelami kekayaan
intelektual Islam secara komperhensif, kreatif dan apreseatif sehingga
kehilangan daya kritis mereka terhadap orientalis dan Barat.
2. KLASIFIKASI TOKOH ORIENTALIS DAN DAMPAK POSITIF KARYA MEREKA
Namun tidak dapat dihindari dari sekian banyak kajian orientalis yang penuh interest
itu masih ada yang bisa dimanfaatkan. Buku-buku leksikon, ensiklopedi,
kamus-kamus, koleksi-koleksi manuskrip, sejarah, terjemahan dan takhrij
manuskrip dan sebagainya sangat bermanfaat untuk menambah informasi
kita, sumbangan mereka dalam mengedit manuskrip kuno Islam patut untuk
dihargai. Sikap kita seharusnya, tidak belajar Islam dari orientalis
tapi hanya belajar aspek-aspek Islam tertentu dari mereka, termasuk
metode yang mereka pakai, sebagai bekal keilmuan kita dalam rangka
meningkatkan sumber daya umat Islam.
A. Orientalis Berbahaya dan Karya-Karyanya.
Beberapa tokoh orientalis yang banyak menghujat Islam antaranya :
1.
A. J. Arberry berkebangsaan Inggris terkenal sangat fanatic menentang
Islam dan kaum muslimin, ia adalah salah seorang anggota ensiklopedi
Islam dan seorang dosen Universitas Camridge, karya-karyanya :
- Islam Kini, tahun 1943.
- Pandangan Sejarah Tasawwuf, 1947.
- Terjemah al-Quran, 1950.
2. Alfred Geom, berkebangsaan Inggris, dosen Universitas Inggris dan Amerika, ia seorang missionaris, bukunya Islam.
3. Barron Carra de Vaux, berkebangsaan Prancis, dia punya andil dalam penulisan Ensiklopedi Islam.
4. H.A.R. Gibb, orientalis Inggris dianggap paling besar abad ini, anggota majma’ Lughawi di Mesir dan dosen matakuliah studi Islam dean Arab di Universitas Harvard, karyanya cukup banyak diantaranya :
- Jalan Islam, diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan judul Thariqah Islam.
- Islam dan Masyarakat Arab,
- Madzhab Muhammad
- Al- Ijtihad al- hadithsah fil Islam, 1947.
5. Ignaz Goldzhiher, orientalis Hunggaria, dia menulis tentang al-Quran dan Hadith, termasuk sejarah madzhab-madzhab tafsir al-Quran.
Yang masih banyak lagi kaum orientalis yang sering menyudutkan Islam.
Para orientalis yang jujur.
1. E. Renan penulis Sirah Ibn Hikam
2. Thomas Aryle, memasukkan Nabi dalam kelompok pahlawan, menulis buku Al-Abthal
DAFTAR PUSTAKA
- The Oxford English Dictionary, Oxford 1993, Vol. VII.
- Right, Thomas, Early Christian in Arabia, Oxford University, 1987.
- Bukhari, A. Mannan, Menyikap Tabir Oereintalisme, Amzah, Jakarta, 2006.
- Hamim, Thoha, Islam dan NU di bawah tekanan problematika kontemporer, Diantara, Surabaya, 2004, 271.
- Southern, R. W. Western Views of Islam in The Middle Ages, Harvard Up, 1926.
- Norman Daniel, Islam and the west, London, 1898.
- Hon, Wansbrough, Quranic studies: Its genesis and Historical Interpretatio, Oxford University Press, 1977.
- Goldzhiher, Ignaz, Madzhab Tafsir, Terj. Alaik Salamullah dkk., elSAQ Press, Jogyakarta, Cet-ke 1, 2003.
- Ghurab, Ahcmad Abdul Hamid, Ru’yah Islamiyah Lil Istisyrak, terj, Pandangan Islam Terhadap Orientalisme, Pustaka Al-Kausar, Jakarta 1993.
- On Understanding Islam-selected Studies, the Hague, 1981.
- Gibb, Sir Hamilton, Pre Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 1962.
- al-Jundi, Anwar, al-Fikr al-Arabi al-Mu’ashir fi ma’rakat al-Targhib, al-Risalah, Kairo,tt.
- Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Edenburgh, 1960.
- Dr. Afaf, al-Mustasyriqun wa muskila al-Hadharah, Darul Nadhah al-Arabiyyah, Kairo, 1980.
- Edward said, Oreintalisme, Routledge and kegon poul, London and Herly, 1981.
- Peter F. E, Aristotleand The Arabs: The Aristotelian Tradition in Islam, New York University Press, 1968.
- al-Tibawi, A Crique of their approach to Islam and Arab nasionalism, dalam the Islamic quarterly, London, 1964, vol. VIII.
[1] The Oxford English Dictionary, Oxford 1993, Vol. VII, hal 200.
[2] Thomas Right, EarlyChristian in Arabia, Oxford University, 1987.
[3] A. Mannan Bukhari, Menyikap Tabir Oreintalisme, Amzah, Jakarta, 2006, 104-104.
[4] Thoha Hamim, Islam dan NU di bawah tekanan problematika kontemporeer, Di antara,Surabaya,2004,271.
[5] Southern, R, W. Westrn Views of Islam In the Middle Ages, Harvard Up, 1926, hal 91-92, 108-109
[6] Norman Daniel, Islam and the West, London, 1898.
[7] Hon Wansbroug, Quranic studies: Its genesis and Historical Interpretatio, Oxford University Press, 1977.
[8] A. MAnnan, Me nyikap Tabir Orientalisme, Amzah, Jakarta, 2006, 101-103.
[9] Thoha Hamim, Islam dan NU: di bawah Tekanan Problematika Kontemporer, di antara, Surabaya,2004,271.
[10]
Goldzhiher adalah seorang orientalis yang banyak melakukan kritik
Hadith terhadap periwayatan terutama Hadith yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, dan juga sering melakukan kritik terhadap metode penafsiran
dengan melihat latar belakang para penafsir, Madzhab Tafsir, Terj Alaik
Salamullah, elSAQ Press.
[11] Achmad Abdul Hamid Ghurab, Ru’yah Islamiyah Lil Isttisyrak, terj, Pandangan Islam Terhadap Oreintalisme, Pustaka Al-Kausar, Jakarta 1993, 66
[12] On Understanding Islam-selected Studies, the Hague, 1981, 269).
[13] Sir Hamilton Gibb, Pre-Islamic Monotheism in Arabia, Harvard Theological Review, 55, 1962) lihat juga, Muhammadisme, 1947.
[14] Anwar al-Jundi, al-Fikr al-Arabi al-mu’ashir fi ma’rakat al-Targhib, al-Risalah, Kairo,tt.133-137.
[15] Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Edenburgh, 1960, 103.
[16] Dr. Aafaf, al-Mustasyriqun wa Muskila al-Hadharah, darul Nadhah al-Arabiyyah, Kairo, 1980, hal, 33-34.
[17] Edward Said, Orientalisme, Routledge and kegon poul, London and Herly, 1981, 278.
[18] Peter F. E., A Crique of their approach to Islam and Arab nasionalism, dalam the Islamic quarterly, London, 1964, vol. VIII, no. 1-2, hal. 41.
[19] al- Tibawi,A Crique of their approach to Islam and Arab nasionalism, dalam the IOslamic quarterly,. Londin, 1964, vol. VIII, no. 1-2, hal. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar