Rabu, 11 Januari 2012

SEJARAH TASAWUF

Zuhd merupakan salah satu maqa>m yang sangat penting dalam tas}awu>f. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tas}awu>f yang senantiasa mencantumkan zuhd dalam pembahasan tentang maqa>ma>t, meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghaza>li> menempatkan zuhd dalam sistematika : al-Tauwbah, al-S}abr, al-Faqr, al-Zuhd, al-Tawakkul, al-Mah}abbah, al-Ma’rifah dan al-Rid}a>. Sedangkan al-Tusi menempatkan zuhd dalam sistematika : al-Tawbah, al-Wara>’, al-Zuhd, al-Faqr, al-S}abr, al-Rid}a>, al-Tawakkul, dan al-Ma’rifah.[1] Sedangkan al-Qushayri> menempatkan zuhd dalam urutan maqa>m yang ke enam dari empat puluh sembilan maqa>m yang dibahas: al-Tawbah, al-Mujahadah, al-Uzlah, al-Taqwa, al-Wara>’, al-Zuhd.[2]
Jalan yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari maqa>m satu ke maqa>m yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqa>m.
Para peneliti baik dari kalangan orientalis maupun Isla>m sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang mempengaruhi zuhd. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap zuhd muncul dikarenakan dua faktor utama, yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir.[3]
Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-usul zuhd. Pertama, dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan faham Nirwana-nya bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman.[4]
Sementara itu Abu> A’la> Afi>fi> mencatat empat pendapat para peneliti tentang faktor atau asal–usul zuhd. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh Askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari ajaran Islam. Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur'a>n dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup wara>, taqwa> dan zuhd.[5]
Kedua, reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yang sudah barang tentu membawa konsekuensi–konsekuensi tertentu, seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali> bin Abi> T}alib dengan Mu’a>wiyah, yang bermula dari al-fitnah al-kubra> yang menimpa khali>fah ketiga, Uthman bin Affa>n (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada, mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.[6]
Ketiga, reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani>, pendapat Afi>fi> yang terakhir ini perlu diteliti lebih jauh, zuhd bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqh dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalam Islam, seperti ilmu fiqh dan ilmu kalam dan sebaginya muncul setelah praktek zuhd maupun gerakan zuhd. Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya Mu'tazilah kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyah, lebih akhir lagi ilmu fiqh, yakni setelah tampilnya Ima>m-Ima>m Madzhab, sementara zuhd dan gerakannya telah lama tersebar luas di dunia Islam.[7]
Al-Nashsha>r, mengatakan bahwa zuhd dipengaruhi oleh sekelompok masyarakat yang menganut Risa>lah H}ani>f Ibrahi>m, yang sering mempraktekan hidup zuhd dan memakai baju dari bulu domba, mengharamkan makanan yang halal. Mereka banyak mengetahui tentang nabi Muhammad.[8]
Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, disebutkan bahwa munculnya zuhd yaitu pada abad pertama Hijriyah, sebagai reaksi terhadap pola hidup mewah para khalifah dan keluarganya serta beberapa pejabat pemerintahan, yang merupakan dampak kaum muslim dalam penaklukan Suriyah, Mesir, dan Persia.[9]
Jika sebelumnya kaum muslimin hidup sederhana, corak kehidupan mereka mulai berubah setelah sepeninggal Rasululla>h dan sahabat yang empat. Para Khalifah mulai hidup dengan kemewahan, sehingga jurang pemisah dengan rakyat sangat lebar.[10]
Realitas inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Islam rindu untuk kembali pada kehidupan sederhana yang dicontohkan Rasululla>h. Mereka mulai mengisolasi diri sehingga pada gilirannya mucul orang-orang yang inten dalam bidang tas}awu>f  atau orang-orang yang berusaha menjauhi gemerlap dunia


[1] Abu> Nahsr al T}usi, al-Luma>, 65.

[2] Al-Qushayri>, al-Risa>lah, 115.

[3] Abu> al-Ghafa> al-Taftazani, Madkha>l, 56-57.

[4] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, 56-57.

[5] Abu> al-A’la> Afifi>, dalam kata pengantar edisi bahasa Arab buku Nicholson, fi> al-Tas}awu>f  al-Isla>m wa Tari>khihi> (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa> al-Tarjamah wa> al-Nasr, 1969),123.

[6] Ibrahim Madzku>r, fi> al-Fala>sifah al-Islamiyah Manha>j wa Tadbiq, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), 68 

[7]Abu> al-Ghafa> al-Taftazani>, Madkha>l, 58 dan 250, lihat juga, Amin Syukur, Zuhd di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5-6.

[8] al-Sami>’ al-Nashsha>r, Nash’at al-Fikr al-Falsafi> al-Islamyi> Jilid III (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, 1977), 74.

[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Bakhtiar Baru Van Houve, 2000), 241. 

[10] Ibid., 242.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar