TIPOLOGI DAN WACANA PEMIKIRAN ARAB
KONTEMPORER
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat
SEJARAH pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang
dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya
ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia
dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum. Istilah
"pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja
yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain
untuk "intelektual" dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang
lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher,
thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned man)
yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya.
Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher --karena faktor sejarahnya-- adalah
istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan
seseorang. Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan
kaum terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya,
derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan
kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh
para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang
biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut
berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit dengan massa.
"Filsuf" adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok
pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya
berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam
bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar
(sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan
massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan
tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia
menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali Syari'ati, pemikir
asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa adalah
bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia
adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati menyebutnya
rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa
lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai
"intelektual", karena istilah tersebut biasa merujuk kepada para
pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi kepada massa.
Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-Indonesia (ICMI)
merupakan organisasi yang mengumpulkan para cendekia yang berorientasi kepada
masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut intellectual.
Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir untuk bidangnya, ia
melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan mereka. Dalam
kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti 'Ali Syari'ati adalah
intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani. Tapi para
pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana
ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap sebagai
"thinker", "philosopher" dan "reformer", padahal
ia adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih
filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti
Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars) yang
hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai filsuf, tidak
juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat, karena, seperti
telah saya katakan, istilah "pemikir" itu sendiri ambigious, bisa
diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas keintelektualan yang
berbeda-beda.
Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada dikotomi yang jelas
antara "pemikir elit" (mufakkir nukhbah) dengan "pemikir
massa" (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir nukhbah adalah para
pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing dari massa dan hidup dalam
dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah para pemikir elit.
Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana)
yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik
massa.26 Dalam tulisannya yang lain,27 walau ia mengakui sulitnya membuat
perbedaan antara "pemikir" (mufakkir) dengan "intelektual"
(mutsaqqaf), tak pelak, ia juga membuat perbedaan tersebut. Tak jauh berbeda
dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk di atas, Hanafi menganggap
pemikir sebagai genus, sedangkan intelektual sebagai species. Karena itu,
"seluruh pemikir adalah intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual
adalah pemikir.28
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala cognate-nya yang saya
berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan acuan dan batasan tentang pemikir
dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam galeri pemikiran Arab
kontemporer seperti yang akan diperlihatkan dalam tulisan ini, ada sekelompok
pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-tulisannya, ada yang namanya
lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas
dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan ('ashr al-nahdlah) biasanya selalu
dibedakan antara "modern" dan "kontemporer". Istilah
modern-kontemporer merujuk kepada dua era yang tidak mempunyai penggalan pasti.
Kontemporer, seperti yang pernah dikatakan oleh Qunstantine Zurayq --tokoh
modernis Arab ternama-- adalah lahir dari modernitas (al-'ashriyah walladat
al-hadatsah).29 "Kontemporer" adalah kekinian
atau kini, sementara modern adalah "kini" yang sudah lewat tapi masih
mempunyai citra modern. Karena tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran,
modern yang telah lewat dari kekinian tidak lagi disebut kontemporer. Dalam
hubungannya dengan pemikiran Arab, istilah modern-kontemporer merujuk kepada
pemikiran Arab modern sejak masa kebangkitan, dimulai dengan invasi Napoleon
Bonaparte ke Mesir tahun 1798, kemudian dalam berdirinya negeri-negeri
independen dengan mengatasnamakan nasionalisme, dan sejak runtuhnya
kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul, sampai sekarang. Perbedaan paling jelas
antara yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa yang pertama merujuk
kepada era modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk kepada era
sekarang atau yang berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan
modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri. Batasan
sejarah pemikiran Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang. Sedangkan
batasan pemikiran Arab kontemporer, tidak diketahui secara pasti. Hanya
kebanyakan para pemikir Arab sendiri menganggap waktu kontemporer (mu'ashirah)
bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967, karena kekalahan tersebut
merupakan titik yang menentukan (watershed) dalam sejarah politik dan pemikiran
Arab modern,30 di mana sejak saat itulah --seperti
yang dikatakan Issa J. Boullata-- orang Arab sadar akan dirinya dan kemudian
kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di sana-sini.31
A. Tiga Tipologi Dominan
Tahun 1967 dianggap sebagai "penggalan" (qathi'ah) dari
keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang mengubah cara pandang
bangsa Arab terhadap beberapa problem sosial-budaya yang dihadapinya. Pukulan
telak Israel membuat mereka bertanya-tanya what's wrong dengan sekumpulan
negara besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai
dipaksa kalah oleh Israel --negara kecil dengan tidak lebih dari tiga juta
penduduknya? Inilah awal mula apa yang dinamakan kritik-diri yang kemudian
direfleksikan dalam wacana-wacana keilmiahan, baik dalam fora akademis maupun
literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah
menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah) tersebut. Di antara
sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada
budaya sendiri dan kepada capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang
mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab dalam menghadapi
tantangan modernitas dan tuntutan tradisi?
Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut terus dibicarakan dan
didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam bentuk buku, artikel dan publikasi
lainnya. Dan masalah tersebut kemudian menjadi common denominator untuk setiap
intelektual Arab yang peduli terhadap masalah kearaban dan keislaman. Persoalan
itu sebenarnya bukan tidak pernah dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya
(era modern). Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh
Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana
epistemik32 masalah tersebut baru mendapat sambutan
luas pada dua dekade terakhir. Lebih dari itu semua, masalah tradisi dan
modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek peradaban pemikiran Arab
kontemporer.
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam
diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma idiomatik yang
bervarian, terkadang digunakan al-turats wa al-hadatsah,33 al-turats wa al-hadatsah,34 al-Ashlah wa al-hadatsah,35 al-turats wa al-mu'ashirah,36 dan dalam bentuk yang tidak konsisten
digunakan juga al-qadim wa al jadid.37 Seluruh istilah tersebut berarti
tradisi dan modernitas dengan seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah turats
paling sering digunakan dan paling sering disebut, bahkan istilah itu kini
menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literal,
turats berarti warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu berupa
kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh orang-orang terdahulu
(al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,
dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk
mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-'adah (kebiasaan), 'urf
(adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak
mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turats. Begitu juga dalam literatur
bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang tepat. Menurut Jabiri, kata legacy
dan heritage dalam bahasa Inggris, atau patrimonie dan legs dalam bahasa
Perancis tidak mewakill apa yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turats.38
Al-hadatsah, sebagai istilah yang paling umum digunakan untuk mewakili
kata "modernitas" merujuk kepada era modern yang dilewati bangsa Arab
sejak masa kebangkitan dua abad yang lalu. Tidak seperti turats, hadatsah
merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa
Barat. Muatan dan ciri-cirinya pun olahan Barat. Qustantine Zurayq melihat
modernitas sebagai satu konsep yang memiliki dua aspek utama; pertama
kontinuitas dan perubahan, dan kedua revolusi dan aksi sosial.39 Modernitas oleh bangsa Arab lebih
dilihat sebagai tantangan identitas kultural daripada sebuah konsep budaya yang
harus diterima dengan senang. Ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Hassan Hanafi,
karena bangsa Arab lebih merasa at home dengan turats ketimbang hadatsah,
karena turats telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab (wa'y al-'Arabi) sejak
empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru datang tidak lebih dari dua
ratus tahun lalu.40
Sejauh yang menyangkut pandangan-pandangan para pemikir Arab kontemporer
(pasca'67) tentang tradisi dan modernitas, secara umum ada tiga tipologi
pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer.
Pertama, Tipologi Transformatik. Tipologi ini mewakili para
pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat
Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan
ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak
berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah
tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus
ditinggalkan. Kelompok ini diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari
kalangan Kristen, seperti Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini,
kelompok itu diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada
Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, disamping
pemikir-pemikir liberal lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib
Mahmud, Adil Daher dan Qunstantine Zurayq.
Yang kedua adalah Tipologi Reformistik. Jika pada kelompok
pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini,
proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru
yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih
spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama, para pemikir yang
memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan
perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat
(agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali
secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat
rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih
memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement,41 reiteration42) atas tradisi masa lalu. Menurut yang
terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh
para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan
kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh,
kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti
al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut
dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad
Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah
penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru
untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para
pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan
beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes,
Foucault, Derrida dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed
Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan
Jabiri adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan
Hashim Shaleh. Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai
tujuan dan cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan
masalah mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat
radikal, para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh
harapan penuh kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka tetap relevan
untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar
modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran Ideal-Totalistik. Ciri
utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran
Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek
religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah
menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak
unsur-unsur asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup,
mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi. Menurut kelompok pemikir dari
tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada metode dan teori-teori import dari
Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang
pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya. Para pemikir yang
mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada metode
transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam --menurut
mereka--adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an
dan Hadits. Dalam banyak hal, metode pendekatan mereka kepada turats dapat
disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak
pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains
dan teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada
era kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir
ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M. Ghazali, Sayyid Quthb,
Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang
berorientasi pada gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana pemikiran Arab kontemporer.
Meskipun kategori tipologi semacam ini tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang
clear-cut, tapi secara umum substansi setiap ide para pemikir Arab dapat
dijelaskan melalui salah satu tipologi tersebut. Berikut ini, dengan singkat,
akan digambarkan beberapa pandangan penting para pemikir dari ketiga kelompok
tersebut.
1. Transformatik
Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan transformatik kebanyakan
berorientasi kepada Marxisme. Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada
dimensi ideologi politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut
ini akan kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini
dan Abdullah Laroui43 tentang problem dunia Arab kontemporer.
Agar kelihatan adil, seorang pemikir yang non-Marxis juga akan kita soroti,
yaitu seorang filsuf dan budayawan serba bisa -Adonis.
Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama di universitas Damaskus,
Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya dari universitas Karl Marx, Leipzig,
Jerman. Ia dikenal dengan proyek peradabannya, Masyru Ru'yah Jadidah li al-Fikr
al-Arabi min al-'Ashr al-Jahili hatta al-Marhalah al-Mu'ashirah (Proyek Visi
Baru Pemikiran Arab dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan
ditulisnya dalam dua belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan,
yaitu Min al-Turats ila al-Tsawrah: Hawla Nazhariyyat al-Muqtarahah fi Qadiyah
al-Turats al-Arabi,44 dan Al-Fikr al-Arabi fi Bawakirih wa
Afaqih al-Ula.45 Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya
bisa disejajarkan dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid) dan
Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-'Aql al-'Arabi).
Tampaknya tidak perlu susah-susah menunggu sepuluh jilid yang lain dalam
membaca karya Tayzini ini. Teori, metode dan aplikasi telah dengan sistematis
dan sangat jelas dielaborasi Tayzini dalam Jilid pertamanya. Buku tersebut
direncanakan sebagai pengantar untuk kajian metodis atas warisan budaya Arab
yang biasa disebut turats. Judul yang diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang
pertama tersebut merefleksikan pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus
memberi pesan transformatif dari turats kepada revolusi. Revolusi yang
dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab
lain yang membaca turats secara tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak
historis (ahistoris/la tarikhi) dan tidak turatsi (aheritagial/la turdatsi).46 Turats, menurut Tayzini, harus didekati
secara historis dan harus dilihat dalam konteks hubungan dialektis antara
masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam sebuah masyarakat. Unsur
seperti ini, terutama yang disebutkan terakhir sangat berperan dalam membentuk
turats manusia, yang kemudian --disadari atau tidak-mendapat justifikasi
ontologis. Karenanya, untuk membebaskan turats dari penafsiran-penafsiran
subjektif, ia harus diletakkan dalam kerangka historisisme, "karena
sebenarnya, turats itu sendiri adalah sejarah".47
Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental ketika ia menghubungkan
turats dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu ia namakan teorinya al-jadaliyah
al-tarikhiyah al-turatsiyah (dialektiko histo-turatsi,-sic.), yang bertujuan
menciptakan revolusi turats dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini
menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam kekosongan relasi
sosial (a vacuum of social relations), seperti yang kini melanda bangsa Arab.
Seperti diketahui, bangsa Arab dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara
ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka sangat bergantung kepada kekuatan
kapitalis Barat. Secara ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu
malas atau enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi
itu, bukan hanya antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan
peninggalan turats. Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan
emosional yang erat dengan turats mereka.48
Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda sudut pandang, Abdullah
Laroui membuat sintesa yang hampir mirip dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini
yang di dunia Arab dikenal sebagai 'Abdullah al-Arwi (dalam bahasa Perancis
"al" menjadi "la"), percaya penuh dengan metode
historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels arabes:
traditionalisme ou historicisme,49 dan L'ideologie arabe contemporaine50 adalah kritik historis atas tradisi dan
diskursus intelektual Arab tentang turats. Berbeda dengan Tayzini yang tidak
membedakan antara turats dengan sejarah, Laroui melihat turats sebagai satu
bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah
selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara pandang mereka
terhadap turats. Mereka tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi
mereka ke masa lalu.51
Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum tradisionalis
(salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat
turats secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turats
sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala kondisi. Padahal
jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum
modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang
memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat --budaya orang lain.
Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan
menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut,
menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka
hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan
masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan
orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya --mengambil masa lalu
atau mengambil orang lain-- adalah tindakan yang tidak kreatif.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi dengan
memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia melihat, metode berpikir
historis (historisisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori
dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level
berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan hanya itu, Marxisme
telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan
ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab
kontemporer.52
Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal adalah juga kritik para
intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana memberikan metode dan pendekatan
yang baik dalam menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang diajukan
keduanya bukan tidak mendapat kritik dari kalangan pemikir lain. Di samping
polanya yang sudah usang, metode Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini
dan Laroui, sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi dengan
melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang mempraktekkan sistem itu. Teori
Tayzini dan Laroui tampak tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual
Arab.
Pemikir lainnya dari kecenderungan berpikir transformatik adalah Adonis
Akra. Ia seorang pemikir serba bisa yang "nyentrik"; menulis puisi,
main teater, menulis buku filsafat, seminar ilmiah dan sejumlah kegiatan yang
digelutinya. Nama sebenarnya adalah Ali Ahmad Sa'id, tetapi nama Adonis --nama
salah seorang tokoh legendaris Yunani-- yang dipujanya, lebih melekat pada
dirinya. Di antara kegiatannya yang segudang, ia memimpin dua jurnal terkenal
Syi'r dan Mawaqif. Karya pentingnya adalah Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi
al-Ittiba wa al-Ibda' 'inda al-'Arab (Yang Tetap dan Yang Berubah: Kajian
Tentang Imitasi dan Kreatifitas Bangsa Arab). Ditulis dalam tiga jilid, yang
menurut Boullata "the most daring indictments of Arab culture in modern
times."53 Buku tersebut direncanakan oleh Adonis
sebagai bacaan ulang atas sejarah Arab-Islam, khususnya dalam pencarian makna
keotentikan (al-ashlah). Dengan kritis ia menulis;
Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik?
Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, bagaimana
menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi
yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh
asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara bangsa, agama
dan politik. Lalu, apakah signifikansi modernitas ditengah semuanya ini?"54
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang dicoba jawab oleh Adonis.
Dalam eksplorasinya itu, ia menyimpulkan ada empat karakteristik mentalitas
bangsa Arab. Pertama, pada level ontologis, bangsa Arab berorientasi pada
teologisme (lahutaniyah), yaitu satu kecenderungan yang berlebihan dalam
melihat Tuhan sebagai pusat dari segalanya --sebagai inspirasi ontologis untuk
setiap wujud. Sikap dalam memandang Tuhan ini kemudian direfleksikan dalam
kehidupan realitas bangsa Arab --hubungan masyarakat dengan negara dan negara
dengan setiap individu adalah hubungan teologis. "Sebagaimana manusia
tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan, di dunia nyata ia pun tidak hidup kecuali
oleh agama, komunitas, negara, keluarga, dan seterusnya. Ia tidak bisa hidup
sendiri, karena ia tidak mempunyai kebebasan untuk itu." Kedua, pada level
psikologis, bangsa Arab berorientasi pada masa lalu (madlawiyah). Maksudnya,
bangsa Arab selalu melihat masa lalu sebagai simbol kemajuan, dan berkeyakinan
bahwa jika ingin maju harus beremulasi dengan masa lalu itu. Bagi mereka
hal-hal baru yang tidak jelas adalah spekulatif, maka tidak perlu dikejar.
Ketiga, pada level ekspresi bahasa, nalar bangsa Arab selalu membedakan antara
yang bersifat "ide" dengan "ucapan". Pemisahan semacam ini,
menurut Adonis, hanya akan memasung kreatifitas jiwa, karena ide selalu
dianggap sebagai sesuatu yang permanen sebelum adanya ucapan. Dengan kata lain,
ucapan hanyalah pembungkus simbolis dari sesuatu yang sudah ada. Keempat, pada
level peradaban, bangsa Arab hidup dalam keadaan terasing (ightirab) dan penuh dengan
kontradiksi, terutama dalam menghadapi modernitas. Itu, karena mereka selalu
berpikir dalam paradigma masa lalu dan hidup dalam bayang-bayang turats.55
Kesimpulan yang diberikan oleh Adonis memang cukup radikal. Dalam
pandangannya, bangsa Arab tidak realistis, karena apa yang dipikirkan dan apa
yang dihadapi berlainan. Begitu juga bangsa Arab tidak akan bisa maju karena
mereka berpikir dalam kungkungan logosentris yang dilapisi sekat-sekat
ideologi. Kondisi bangsa Arab, menurut Adonis, tidak akan berubah selama sekat
itu belum disingkirkan. Bagi Adonis, yang dibutuhkan bukan hanya perombakan
(dekonstruksi) nalar Arab. Tapi, lebih dari itu, adalah penghancuran
(destruksi), sehingga transformasi yang diharapkan akan tercapai.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar