Sabtu, 14 Januari 2012

TIPOLOGI DAN WACANA PEMIKIRAN ARAB KONTEMPORER oleh A. Luthfi Assyaukanie


TIPOLOGI DAN WACANA PEMIKIRAN ARAB KONTEMPORER
oleh A. Luthfi Assyaukanie
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Malaysia,
sekarang menjadi Staf Redaksi Majalah Ummat

SEJARAH pemikiran adalah sejarah para pemikir, sejarah kaum elit yang dengan kepandaiannya, mampu mengabstraksikan fenomena sosial dan gejala lainnya ke dalam bahasa intelektual dan ilmiah. Para pemikir atau kaum cendekia dianggap elit karena keterasingan mereka dari dunia umum. Istilah "pemikir" itu sendiri agak kabur, bisa diterapkan kepada siapa saja yang memiliki spesialisasi tertentu. Ia bisa diterapkan sebagai panggilan lain untuk "intelektual" dan scholar (sarjana), atau pada konteks yang lebih keren kepada filsuf. Dalam bahasa Inggris, kata-kata seperti philosopher, thinker, scholar dan intellectual merujuk kepada figur terpelajar (learned man) yang sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas satu dengan yang lainnya. Hanya agaknya disepakati bahwa philosopher --karena faktor sejarahnya-- adalah istilah yang paling signifikan untuk mengekspresikan tingkat kejeniusan seseorang. Karenanya, filsuf adalah orang yang paling elit di antara deretan kaum terpelajar tersebut. Untuk seorang filsuf seperti Ibn Sina misalnya, derajat keelitan seorang filsuf dapat dillhat pada cara mempersepsikan kebenaran. Menurut filsuf Muslim asal Parsi ini, kebenaran yang dicapai oleh para filsuf berbeda dengan kebenaran yang dicapai oleh orang awam atau orang biasa, karena cara dan metode pemahaman yang dipakai oleh kedua kelompok tersebut berbeda. Inilah dikotomi yang paling jelas antara kelompok elit dengan massa.
"Filsuf" adalah istilah klasik untuk menunjukkan kelompok pemikir yang tidak mempunyai massa, tidak terlibat dengan massa dan hanya berbicara dan mendiskusikan masalah-masalah filosofis secara terbatas. Dalam bahasa modernnya, setelah mengalami reduksi tentunya, filsuf adalah scholar (sarjana) yang bergelut dalam bidang pemikiran tertentu dengan tidak melibatkan massa didalamnya. Seorang sarjana yang telah mencapai jenjang pendidikan tertinggi diberi gelar Ph.D. (Doctor of Philosophy), tidak peduli apakah ia menekuni kajian filsafat, sosiologi, politik, ekonomi, sains atau lainnya.
Pembedaan seperti di atas juga dilakukan oleh 'Ali Syari'ati, pemikir asal Iran. Menurutnya, tokoh pintar yang mewakili dan memiliki massa adalah bukan pemikir, bukan filsuf, bukan ideolog, dan bukan pula saintis, tapi ia adalah pemikir tercerahkan. Dalam bahasa Parsi, Syari'ati menyebutnya rushanfekr. Istilah rushanfekr tidak mempunyai padanan yang tepat dalam bahasa lain, tapi mungkin bisa diterjemahkan secara sederhana sebagai "intelektual", karena istilah tersebut biasa merujuk kepada para pemikir atau tokoh terpelajar yang memiliki dan berafiliasi kepada massa. Karena itu tepat sekali jika Ikatan Cendekia Muslim se-Indonesia (ICMI) merupakan organisasi yang mengumpulkan para cendekia yang berorientasi kepada masyarakat. Itu karena cendekia dalam bahasa Inggris disebut intellectual. Seorang intelektual biasanya tidak hanya berpikir untuk bidangnya, ia melibatkan diri dengan masyarakat dan berinteraksi dengan mereka. Dalam kerangka ini, bisa kita katakan bahwa figur seperti 'Ali Syari'ati adalah intelektual, begitu juga Muththahhari, Mawdudi dan al-Afghani. Tapi para pemikir seperti Bassam Tibi, Abdurrahman Badawi dan Majid Fakhri lebih sarjana ketimbang intelektual. Di Barat, Bertrand Russel selalu dianggap sebagai "thinker", "philosopher" dan "reformer", padahal ia adalah intelektual. Namun, nama-nama seperti Kant, Hegel dan Heidegger lebih filsuf ketimbang intelektual. Dalam hubungan ini, para orientalis seperti Brocklemann, Goldziher, Gibb dan Watt adalah sarjana-sarjana (scholars) yang hanya menguasai ilmu tertentu saja. Mereka tidak disebut sebagai filsuf, tidak juga intelektual.
Pembedaan seperti di atas mungkin tidak selalu akurat, karena, seperti telah saya katakan, istilah "pemikir" itu sendiri ambigious, bisa diterapkan di mana-mana, tentu dengan intensitas keintelektualan yang berbeda-beda.
Hassan Hanafi, pemikir asal Mesir, percaya bahwa ada dikotomi yang jelas antara "pemikir elit" (mufakkir nukhbah) dengan "pemikir massa" (mufakkir jamahir). Menurutnya, mufakkir nukhbah adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang eksklusif, dan mereka adalah para pemikir elit. Sementara mufakkir jamahir adalah para pemikir (filsuf, intelektual, sarjana) yang berinteraksi dan terlibat dengan masyarakat, dan mereka adalah milik massa.26 Dalam tulisannya yang lain,27 walau ia mengakui sulitnya membuat perbedaan antara "pemikir" (mufakkir) dengan "intelektual" (mutsaqqaf), tak pelak, ia juga membuat perbedaan tersebut. Tak jauh berbeda dengan batasan-batasan seperti yang saya untuk di atas, Hanafi menganggap pemikir sebagai genus, sedangkan intelektual sebagai species. Karena itu, "seluruh pemikir adalah intelektual, tetapi tidak seluruh intelektual adalah pemikir.28
Ilustrasi singkat tentang pemikir dan segala cognate-nya yang saya berikan di atas, dimaksudkan untuk memberikan acuan dan batasan tentang pemikir dan pemikiran serta aplikasinya dalam tulisan ini. Dalam galeri pemikiran Arab kontemporer seperti yang akan diperlihatkan dalam tulisan ini, ada sekelompok pemikir yang berpengaruh hanya karena tulisan-tulisannya, ada yang namanya lebih terkenal dari pemikirannya, dan ada pemikir yang hanya terkenal sebatas dunia akademis.
Pemikiran Arab pasca kebangkitan ('ashr al-nahdlah) biasanya selalu dibedakan antara "modern" dan "kontemporer". Istilah modern-kontemporer merujuk kepada dua era yang tidak mempunyai penggalan pasti. Kontemporer, seperti yang pernah dikatakan oleh Qunstantine Zurayq --tokoh modernis Arab ternama-- adalah lahir dari modernitas (al-'ashriyah walladat al-hadatsah).29 "Kontemporer" adalah kekinian atau kini, sementara modern adalah "kini" yang sudah lewat tapi masih mempunyai citra modern. Karena tidak ada kepermanenan dalam kekontemporeran, modern yang telah lewat dari kekinian tidak lagi disebut kontemporer. Dalam hubungannya dengan pemikiran Arab, istilah modern-kontemporer merujuk kepada pemikiran Arab modern sejak masa kebangkitan, dimulai dengan invasi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798, kemudian dalam berdirinya negeri-negeri independen dengan mengatasnamakan nasionalisme, dan sejak runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul, sampai sekarang. Perbedaan paling jelas antara yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa yang pertama merujuk kepada era modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk kepada era sekarang atau yang berlaku kini. Oleh karenanya, kontemporer adalah kelanjutan modernitas dan pada saat yang sama adalah modernitas itu sendiri. Batasan sejarah pemikiran Arab modern adalah dari tahun 1798 hingga sekarang. Sedangkan batasan pemikiran Arab kontemporer, tidak diketahui secara pasti. Hanya kebanyakan para pemikir Arab sendiri menganggap waktu kontemporer (mu'ashirah) bermula sejak kekalahan Arab oleh Israel tahun 1967, karena kekalahan tersebut merupakan titik yang menentukan (watershed) dalam sejarah politik dan pemikiran Arab modern,30 di mana sejak saat itulah --seperti yang dikatakan Issa J. Boullata-- orang Arab sadar akan dirinya dan kemudian kritik-diri (naqd dzati) mulai bermunculan di sana-sini.31

A. Tiga Tipologi Dominan
Tahun 1967 dianggap sebagai "penggalan" (qathi'ah) dari keseluruhan wacana Arab modern, karena masa itulah yang mengubah cara pandang bangsa Arab terhadap beberapa problem sosial-budaya yang dihadapinya. Pukulan telak Israel membuat mereka bertanya-tanya what's wrong dengan sekumpulan negara besar yang mempunyai jumlah tentara dan peralatan yang cukup memadai dipaksa kalah oleh Israel --negara kecil dengan tidak lebih dari tiga juta penduduknya? Inilah awal mula apa yang dinamakan kritik-diri yang kemudian direfleksikan dalam wacana-wacana keilmiahan, baik dalam fora akademis maupun literatur-literatur ilmiah lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan oleh para intelektual Arab adalah menjelaskan sebab-sebab kekalahan (tafsir al-azmah) tersebut. Di antara sebab-sebab yang paling signifikan adalah masalah cara pandang orang Arab kepada budaya sendiri dan kepada capaian modernitas. Karena itu, pertanyaan yang mereka ajukan adalah; bagaimana seharusnya sikap bangsa Arab dalam menghadapi tantangan modernitas dan tuntutan tradisi?
Telah lebih dari dua dekade, masalah tersebut terus dibicarakan dan didiskusikan dalam seminar-seminar, dalam bentuk buku, artikel dan publikasi lainnya. Dan masalah tersebut kemudian menjadi common denominator untuk setiap intelektual Arab yang peduli terhadap masalah kearaban dan keislaman. Persoalan itu sebenarnya bukan tidak pernah dibahas oleh pemikir-pemikir Arab sebelumnya (era modern). Secara implisit, topik semacam itu pernah dilontarkan oleh Muhammad 'Abduh dan 'Abd al-Rahman Kawakibi. Namun sebagai satu wacana epistemik32 masalah tersebut baru mendapat sambutan luas pada dua dekade terakhir. Lebih dari itu semua, masalah tradisi dan modernitas telah menjadi agenda penting untuk proyek peradaban pemikiran Arab kontemporer.
Istilah "tradisi dan modernitas" yang digunakan dalam diskursus pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada terma idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al-turats wa al-hadatsah,33 al-turats wa al-hadatsah,34 al-Ashlah wa al-hadatsah,35 al-turats wa al-mu'ashirah,36 dan dalam bentuk yang tidak konsisten digunakan juga al-qadim wa al jadid.37 Seluruh istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas dengan seluas-luas maknanya. Akan tetapi istilah turats paling sering digunakan dan paling sering disebut, bahkan istilah itu kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literal, turats berarti warisan atau peninggalan (heritage, legacy), yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan/diwariskan oleh orang-orang terdahulu (al-qudama). Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer, dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Istilah-istilah seperti al-'adah (kebiasaan), 'urf (adat) dan sunnah (etos Rasul) meskipun mengandung makna tradisi, tetapi tidak mewakili apa yang dimaksud dengan istilah turats. Begitu juga dalam literatur bahasa-bahasa Eropa, tidak ada variabel yang tepat. Menurut Jabiri, kata legacy dan heritage dalam bahasa Inggris, atau patrimonie dan legs dalam bahasa Perancis tidak mewakill apa yang dipikirkan oleh orang Arab tentang turats.38
Al-hadatsah, sebagai istilah yang paling umum digunakan untuk mewakili kata "modernitas" merujuk kepada era modern yang dilewati bangsa Arab sejak masa kebangkitan dua abad yang lalu. Tidak seperti turats, hadatsah merupakan konsep pinjaman yang diambil dan ditransliterasikan dari bahasa Barat. Muatan dan ciri-cirinya pun olahan Barat. Qustantine Zurayq melihat modernitas sebagai satu konsep yang memiliki dua aspek utama; pertama kontinuitas dan perubahan, dan kedua revolusi dan aksi sosial.39 Modernitas oleh bangsa Arab lebih dilihat sebagai tantangan identitas kultural daripada sebuah konsep budaya yang harus diterima dengan senang. Ini, sebagaimana ditafsirkan oleh Hassan Hanafi, karena bangsa Arab lebih merasa at home dengan turats ketimbang hadatsah, karena turats telah menyatu dalam kesadaran bangsa Arab (wa'y al-'Arabi) sejak empat belas abad lalu, sementara hadatsah baru datang tidak lebih dari dua ratus tahun lalu.40
Sejauh yang menyangkut pandangan-pandangan para pemikir Arab kontemporer (pasca'67) tentang tradisi dan modernitas, secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer.
Pertama, Tipologi Transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, disamping pemikir-pemikir liberal lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil Daher dan Qunstantine Zurayq.
Yang kedua adalah Tipologi Reformistik. Jika pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini, proyek yang hendak digarap adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka ia harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement,41 reiteration42) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh, kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh. Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal, para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh kepada turats. Tradisi atau turats menurut mereka tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan dipahami dengan standar modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran Ideal-Totalistik. Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi. Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (al-ashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya. Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam --menurut mereka--adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an dan Hadits. Dalam banyak hal, metode pendekatan mereka kepada turats dapat disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M. Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi pada gerakan Islam politik.
Ketiga tipologi ini telah meramaikan wacana pemikiran Arab kontemporer. Meskipun kategori tipologi semacam ini tidak sepenuhnya mempunyai batasan yang clear-cut, tapi secara umum substansi setiap ide para pemikir Arab dapat dijelaskan melalui salah satu tipologi tersebut. Berikut ini, dengan singkat, akan digambarkan beberapa pandangan penting para pemikir dari ketiga kelompok tersebut.

1. Transformatik
Para pemikir Arab yang mempunyai kecenderungan transformatik kebanyakan berorientasi kepada Marxisme. Afiliasi mereka kepada Marxisme bukan pada dimensi ideologi politik, tetapi lebih pada aspek intelektualnya. Dan berikut ini akan kita simak pandangan-pandangan dua pemikir Marxis Arab, Thayyib Tayzini dan Abdullah Laroui43 tentang problem dunia Arab kontemporer. Agar kelihatan adil, seorang pemikir yang non-Marxis juga akan kita soroti, yaitu seorang filsuf dan budayawan serba bisa -Adonis.
Thayyib Tayzini adalah seorang profesor ternama di universitas Damaskus, Syria. Gelar doktor filsafat diraihnya dari universitas Karl Marx, Leipzig, Jerman. Ia dikenal dengan proyek peradabannya, Masyru Ru'yah Jadidah li al-Fikr al-Arabi min al-'Ashr al-Jahili hatta al-Marhalah al-Mu'ashirah (Proyek Visi Baru Pemikiran Arab dari Era Jahiliyyah Hingga Modern). Proyek ini akan ditulisnya dalam dua belas jilid buku, dua di antaranya telah diterbitkan, yaitu Min al-Turats ila al-Tsawrah: Hawla Nazhariyyat al-Muqtarahah fi Qadiyah al-Turats al-Arabi,44 dan Al-Fikr al-Arabi fi Bawakirih wa Afaqih al-Ula.45 Proyek besar Tayzini ini mungkin hanya bisa disejajarkan dengan proyek Hassan Hanafi (al-Turats wa al-Tajdid) dan Mohammed Abid Jabiri (Naqd al-'Aql al-'Arabi).
Tampaknya tidak perlu susah-susah menunggu sepuluh jilid yang lain dalam membaca karya Tayzini ini. Teori, metode dan aplikasi telah dengan sistematis dan sangat jelas dielaborasi Tayzini dalam Jilid pertamanya. Buku tersebut direncanakan sebagai pengantar untuk kajian metodis atas warisan budaya Arab yang biasa disebut turats. Judul yang diberikan oleh Tayzini untuk bukunya yang pertama tersebut merefleksikan pandangan-pandangan Marxismenya, sekaligus memberi pesan transformatif dari turats kepada revolusi. Revolusi yang dimaksudkan di sini tentulah revolusi ala Marx. Ia mengkritik para pemikir Arab lain yang membaca turats secara tidak proporsional, menurut istilahnya, tidak historis (ahistoris/la tarikhi) dan tidak turatsi (aheritagial/la turdatsi).46 Turats, menurut Tayzini, harus didekati secara historis dan harus dilihat dalam konteks hubungan dialektis antara masalah sosio-ekonomi dengan kondisi politik dalam sebuah masyarakat. Unsur seperti ini, terutama yang disebutkan terakhir sangat berperan dalam membentuk turats manusia, yang kemudian --disadari atau tidak-mendapat justifikasi ontologis. Karenanya, untuk membebaskan turats dari penafsiran-penafsiran subjektif, ia harus diletakkan dalam kerangka historisisme, "karena sebenarnya, turats itu sendiri adalah sejarah".47
Warna Marxisme Tayzini terasa sangat kental ketika ia menghubungkan turats dengan revolusi buruh. Tanpa ragu-ragu ia namakan teorinya al-jadaliyah al-tarikhiyah al-turatsiyah (dialektiko histo-turatsi,-sic.), yang bertujuan menciptakan revolusi turats dalam bentuk sosialisme ilmiah. Teori ini menegaskan bahwa revolusi budaya tidak mungkin terjadi dalam kekosongan relasi sosial (a vacuum of social relations), seperti yang kini melanda bangsa Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab dikuasai oleh kelas borjuis-feodalis yang secara ekonomi tidak mampu berdiri sendiri. Mereka sangat bergantung kepada kekuatan kapitalis Barat. Secara ideologis, hal tersebut menjadikan para borjuis itu malas atau enggan untuk menciptakan revolusi sosial. Inilah kekosongan relasi itu, bukan hanya antara kelas, tetapi juga antara pemilik modal dengan peninggalan turats. Sementara kaum buruh (baca: massa) mempunyai keterkaitan emosional yang erat dengan turats mereka.48
Masih dalam paradigma Marxisme tetapi berbeda sudut pandang, Abdullah Laroui membuat sintesa yang hampir mirip dengan Tayzini. Pemikir Maroko ini yang di dunia Arab dikenal sebagai 'Abdullah al-Arwi (dalam bahasa Perancis "al" menjadi "la"), percaya penuh dengan metode historisisme. Dua buah bukunya la crise des intellectuels arabes: traditionalisme ou historicisme,49 dan L'ideologie arabe contemporaine50 adalah kritik historis atas tradisi dan diskursus intelektual Arab tentang turats. Berbeda dengan Tayzini yang tidak membedakan antara turats dengan sejarah, Laroui melihat turats sebagai satu bentuk tradisionalisme yang harus dilampaui. Masyarakat Arab tidak akan berubah selama golongan penguasa dan intelektualnya belum mengubah cara pandang mereka terhadap turats. Mereka tidak akan maju selama cara berpikir dan orientasi mereka ke masa lalu.51
Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turats secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turats sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat --budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya --mengambil masa lalu atau mengambil orang lain-- adalah tindakan yang tidak kreatif.
Persoalan tersebut, menurut Laroui, hanya dapat diatasi dengan memperkaya diri berpikir kritis dan historis. Ia melihat, metode berpikir historis (historisisme) hanya dapat dijumpai pada Marxisme dengan teori dialektika historisnya. Karena itu, mempelajari Marxisme demi mencapai level berpikir kritis dan historis harus diberi prioritas. Bukan hanya itu, Marxisme telah dengan rapi menghubungkan masalah-masalah tersebut dengan persoalan ekonomi, sosial dan politik. Ini sangat cocok dan sejalan dengan dunia Arab kontemporer.52
Kritik Tayzini dan Laroui dalam beberapa hal adalah juga kritik para intelektual Arab lainnya. Masalahnya bagaimana memberikan metode dan pendekatan yang baik dalam menyampaikan kritik tersebut. Alternatif Marxisme yang diajukan keduanya bukan tidak mendapat kritik dari kalangan pemikir lain. Di samping polanya yang sudah usang, metode Marxisme, dipandang oleh para kritikus Tayzini dan Laroui, sebagai contoh sederhana kegagalan sebuah metode. Apalagi dengan melihat kasus Uni Soviet dan negara-negara yang mempraktekkan sistem itu. Teori Tayzini dan Laroui tampak tidak mempunyai tempat di banyak hati intelektual Arab.
Pemikir lainnya dari kecenderungan berpikir transformatik adalah Adonis Akra. Ia seorang pemikir serba bisa yang "nyentrik"; menulis puisi, main teater, menulis buku filsafat, seminar ilmiah dan sejumlah kegiatan yang digelutinya. Nama sebenarnya adalah Ali Ahmad Sa'id, tetapi nama Adonis --nama salah seorang tokoh legendaris Yunani-- yang dipujanya, lebih melekat pada dirinya. Di antara kegiatannya yang segudang, ia memimpin dua jurnal terkenal Syi'r dan Mawaqif. Karya pentingnya adalah Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba wa al-Ibda' 'inda al-'Arab (Yang Tetap dan Yang Berubah: Kajian Tentang Imitasi dan Kreatifitas Bangsa Arab). Ditulis dalam tiga jilid, yang menurut Boullata "the most daring indictments of Arab culture in modern times."53 Buku tersebut direncanakan oleh Adonis sebagai bacaan ulang atas sejarah Arab-Islam, khususnya dalam pencarian makna keotentikan (al-ashlah). Dengan kritis ia menulis;
Apakah keotentikan itu? Bagaimana kita mendefinisikan sesuatu yang otentik? Bagaimana hubungannya dengan masa lalu, sekarang dan akan datang, bagaimana menafsirkannya? Mengapa bangsa Arab harus mengalami kemunduran dan stagnasi yang begitu pahit? Apakah masalahnya cuma disintegrasi politik atau pengaruh asing? Bagaimana kita menafsirkan dan memahami hubungan antara bangsa, agama dan politik. Lalu, apakah signifikansi modernitas ditengah semuanya ini?"54
Pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang dicoba jawab oleh Adonis. Dalam eksplorasinya itu, ia menyimpulkan ada empat karakteristik mentalitas bangsa Arab. Pertama, pada level ontologis, bangsa Arab berorientasi pada teologisme (lahutaniyah), yaitu satu kecenderungan yang berlebihan dalam melihat Tuhan sebagai pusat dari segalanya --sebagai inspirasi ontologis untuk setiap wujud. Sikap dalam memandang Tuhan ini kemudian direfleksikan dalam kehidupan realitas bangsa Arab --hubungan masyarakat dengan negara dan negara dengan setiap individu adalah hubungan teologis. "Sebagaimana manusia tidak bisa hidup kecuali lewat Tuhan, di dunia nyata ia pun tidak hidup kecuali oleh agama, komunitas, negara, keluarga, dan seterusnya. Ia tidak bisa hidup sendiri, karena ia tidak mempunyai kebebasan untuk itu." Kedua, pada level psikologis, bangsa Arab berorientasi pada masa lalu (madlawiyah). Maksudnya, bangsa Arab selalu melihat masa lalu sebagai simbol kemajuan, dan berkeyakinan bahwa jika ingin maju harus beremulasi dengan masa lalu itu. Bagi mereka hal-hal baru yang tidak jelas adalah spekulatif, maka tidak perlu dikejar. Ketiga, pada level ekspresi bahasa, nalar bangsa Arab selalu membedakan antara yang bersifat "ide" dengan "ucapan". Pemisahan semacam ini, menurut Adonis, hanya akan memasung kreatifitas jiwa, karena ide selalu dianggap sebagai sesuatu yang permanen sebelum adanya ucapan. Dengan kata lain, ucapan hanyalah pembungkus simbolis dari sesuatu yang sudah ada. Keempat, pada level peradaban, bangsa Arab hidup dalam keadaan terasing (ightirab) dan penuh dengan kontradiksi, terutama dalam menghadapi modernitas. Itu, karena mereka selalu berpikir dalam paradigma masa lalu dan hidup dalam bayang-bayang turats.55
Kesimpulan yang diberikan oleh Adonis memang cukup radikal. Dalam pandangannya, bangsa Arab tidak realistis, karena apa yang dipikirkan dan apa yang dihadapi berlainan. Begitu juga bangsa Arab tidak akan bisa maju karena mereka berpikir dalam kungkungan logosentris yang dilapisi sekat-sekat ideologi. Kondisi bangsa Arab, menurut Adonis, tidak akan berubah selama sekat itu belum disingkirkan. Bagi Adonis, yang dibutuhkan bukan hanya perombakan (dekonstruksi) nalar Arab. Tapi, lebih dari itu, adalah penghancuran (destruksi), sehingga transformasi yang diharapkan akan tercapai.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar