Selasa, 31 Januari 2012

IBN ARABI


 
TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>

A.   PENDAHULUAN
Ibnu ‘Ara>bi> oleh ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal itu dikarenakan Ibnu ‘Ara>bi> telah mengompromikan dalam pemikirannya antara tawasuf dengan filsafat. Beliau termasuk ulama sufi yang produktif dan berhasil mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh dalam ajarannya wihda>t al-wuju>d. Ajarannya itu sempat menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar syaikh al-akbar, di samping juga karena beliau telah mengurai secara detail, luas dan mendalam pemikirannya itu dan tidak ditemui sosok demikian pada zamannya.
Ajaran wihda>t al-wuju>d dalam tasawuf Ibnu ‘Ara>bi> merupakan ajaran yang melihat masalh wujud (dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia) sebagai satu kesatuan yang utuh, namun berada dalam dimensinya masing-masing. Tuhan menurutnya meliputi segala yang ada, sehingga yang ada bersifat nisbi dan tidak mutlak sedangkan yang Mengadakan bersifat mutlak dan tidak terbatas. Sebab, yang ada merupakan ‘penampakan’ bagi diri-Nya dan bersumber dari-Nya serta Dialah yang menjadi esensinya.
Terkait dengan alam, Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa alam termasuk salah satu ciptaan-Nya yang paling agung. Alam adalah manifestasi dari asma>’ dan sifa>t Allah. Tujuan penciptaan alam sendiri adalah supaya Allah dapat dikenali melalui asma>’ dan sifa>t-Nya itu. Pendapatnya itu didasarkan pada hadis Qudsi: aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.[1]
Begitulah sekelumit pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> yang membuat namanya menjadi masyhur sepanjang masa. Makalah ini akan membahas tentang sosok Ibnu ‘Ara>bi>, mulai dari sejarah hidupnya, karyanya, pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap perkembangan pemikiran Islam.


B.    RIWAYAT HIDUP DAN KARYA IBNU ‘ARA>BI>
  1. Kelahiran dan Pendidikan
Nama lengkap Ibnu ‘Ara>bi> yaitu Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad al-Haitami al-Tha’i al-Andalusi. Dia lahir di Murcia pada tanggal 17 Ramadan 560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.[2] pada masa pemerintahan Muhammad bin Sa’id bin Mardaniah.[3] Secara ras, dia keturunan suku Arab Tayy.[4] Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, kelahirannya jelas menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.[5]
Dalam sejarah, terdapat banyak gelar yang diberkan kepada Ibnu ‘Ara>bi> yang di antaranya syaikhu al-akbar, khatimu al-anbiya’ al-muhammadiyah, syaikhu al-a’dham, quthbu al-‘arifin, rahibu al-‘alam, dan masih ada gelar lainnya.[6] Orang-orang yang sezaman dengannya memanggil Ibnu ‘Ara>bi> dengan Abu Abdullah, sedangkan para penulis dalam buku-bukunya lebih banyak menyebutnya Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu sekaligus sebagai pembeda dengan Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Ara>bi> yang merupakan Qadi Sevilla, dan Ibnul ‘Ara>bi> tokoh hadis yang juga terkenal.
Pada masa kecilnya, Ibnu ‘Ara>bi> menghabiskan hidupnya dengan keluarga tercinta. Dia berada dalam keluarga yang terhormat, ayahnya[7] adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad Ibn Said Mardanish, penguasa Murcia. Sedangkan pamannya dari pihak ibu adalah penguasa Tlemcem, Algeria. Di samping ayahnya menjabat di pemerintahan, dia juga terkenal dengan kedalaman ilmunya sekaligus kesalehannya. Ibnu ‘Ara>bi> kecil semenjak kecil telah menerima bimbingan keagamaan dari keluarganya secara langsung.
Menginjak usia yang ke 8 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> bersama keluarganya meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, sebuah kota kecil di daerah Sevilla. Di kota kecil inilah dia mendapatkan pendidikan agama islam seperti membaca al-Quran dan mempelajari hukum islam dari Shekh Abu Bakar bin Khalaf.[8] Selanjutnya, ia bersama keluarganya berpindah ke kota Sevilla dimana kota ini ramai dan makmur sekaligus sebagai ibukota kerajaan al-Muwahidun di Spanyol. Selain itu, kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur dimana penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof, teolog, dan para wali berdampingan. Otomatis, Ibnu ‘Ara>bi> tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide brilian para pemikir, ilmu pengetahuan dan filsafat yang sedang berkembang dengan pesat.
Di Sevilla ini, Ibnu ‘Ara>bi> mudah menjalani hidupnya seperti lazimnya anak muda yang baru tumbuh. Walaupun dia tidak mendapatkan pendidikan di tempat resmi, dia mendapat pendidikan privat dari seorang tetangganya yaitu Abu Abdullah Muhammad al-Khayyat; seorang tokoh yang terkenal dengan ilmu al-Quran, yang kemudian pada masa berikutnya menjadi guru sekaligus teman bermainnya selama beberapa tahun.[9] Dalam penjelasan lain, pada waktu itu pula Ibnu ‘Ara>bi> telah belajar hadis, fiqih, dan ilmu agama lainnya kepada muritd Ibnu Hazm, salah seorang Imam madzhab yang cukup terkenal.
Selama menetap di Sevilla, Ibnu ‘Ara>bi> muda sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Spanyol dan Afrika, Utara khususnya. Dalam perjalanan itulah, dia menjadikan sebagai kesempatan untuk menemui para sufi dan pemikir terkemuka. Salah satu kunjungannya yang mengesankan adalah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd (w 595 H/1198 M) di Kordova, tepatnya pada tahun 575 H/1179 M.[10] Ibnu Rusyd sendiri adalah teman ayahanda Ibnu ‘Ara>bi>.
Menginjak umurnya yang ke 16 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan diri untuk menjalani pengasingan diri (khalawat). Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa setelah dia berfoya-foya dengan makanan bersama teman-temannya, dia secara tiba-tiba mendengar seruan ‘Wahai Muhammad, bukan untuk itu engkau diciptakan’. Karena takut dengan mendengar suara tada, kemudian dia lari ke sebuah pemakaman di luar kota Sevilla. Di tempat itu, dia menjumpai lubang seperti gua dan masuk ke dalamnya. Selama empat hari dia tinggal di sana sendirian dan berdzikir dengan khusyu’.[11] Di sinilah tanda-tanda kebatinan Ibnu ‘Ara>bi> mulai tampak.
Beberapa tahun kemudian, dia diberi kepercayaan oleh penguasa al-Muwahhidin (Abu Bakar bin Abd. Al-Mu’min) untuk menjadi sekretaris gubernur. Pernah terlintas dalam benaknya bahwa jabatan itu akan dia fungsikan sebagai media pengabdiannya kepada Negara sebagaimana telah dilakukan oleh ayahnya. Namun selama pengabdiannya justru sebaliknya. Pekerjaan yang semakin banyak dan ruwet justru membuatnya merasa semakin jauh dari Tuhan. Begitu juga, harta dunia yang dimilikinya selalu menjadi ganjalan fikiran dan kegelisahan batinnya. Oleh sebab itulah, pada satu waktu Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan untuk melepaskan rutinitasnya yang ia sendiri menyebutnya sebagai period ke-jahilan. Disebut kejahiran menurutnya karena tidak peduli kepada Tuhan dan lebih tertarik pada kehidupan duniawi.
Pada tahun 590 H/1193 M., ketika pemikiran spiritualitas Ibnu ‘Ara>bi> telah mengkristal, dia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama, dia menuju kota Murur untuk menemui Syekh Abu Muhammad al-Mururi yang dikabarkan sebagai ahli spiritual. Selanjutnya dia meneruskan ke Kordova dan Granada. Setelah merasa puas berkelana di berbagai kota Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) al-Jazair untuk mengunjungi Syekh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf di sana[12] dan merupakan syekh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang yang juga turut berpengaruh pada kehidupan spiritual Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu terbukti dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri khususnya ruh al-qudus dan al-Durrah al-Fakhirah di mana di dalamnya Ibnu ‘Ara>bi> sering menyebut nama Abu Madyan. Walau demikian, dalam sejarah lain disebutkan bahwa Ibnu ‘Ara>bi> secara fisik tidak pernah bertemu dengan Abu Madyan akan tetapi keduanya telah bertemu di alam spiritualnya, bahkan menurutnya telah berkali-kali.[13] Di samping Abu Madyan, dia juga belajar pada murid-muridnya di antaranya al-Maururi, al-Kumi, dan al-Sadrani, Abd. Aziz al-Mahdawi, dan Muhammad Abdullah al-Kinani.
Dari Bugia, Ibnu ‘Ara>bi> meneruskan pernalanannya ke Tunisia. Di kota itu dia mengkaji karya seorang sufi Abu al-Qasim Ibn Qushai, khal’an na’lain. Di kota ini pula, dia mengatakan pernah bertemu dengan nabi Khidir untuk kali pertama. Dalam pertemuannya, dia diberikan wejangan untuk lebih mengedepankan spiritualitas dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Pertemuan kemudian terjadi dua kali lagi pada akhir tahun 1194 M., ketika Ibnu ‘Ara>bi> kembali ke Andalusia. Pertemuannya dengan nabi Khidir berlangsung dalam kondisi yang berbeda. Pertama, berlangsung di daratan tepatnya di jalan kota pada siang hari. Kedua, bertemu di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Ketiga, Khidir menampakkan diri di atas udara.[14] Dari tiga pertemuan tersebut, tampak bahwa ada tahapan ajaran Khidir dalam menuntun Ibnu ‘Ara>bi> ke dalam pengetahuan misteri ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dirinya.
Pasca pertemuannya dengan nabi Khidir, Ibnu ‘Ara>bi> terus berulangkali bertemu dengan para nabi yang juga membimbingnya pada jalan spiritual, termasuk nabi Hud, Isa, Musa hingga nabi Muhammad. Pertemuaannya dengan nabi Muhammad berlangsung beberapa kali dalam situasi yang berbeda pula dan dianggapnya sebagai ajaran penyempurna dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Ketika ayahandanya meninggal dunia, Ibnu Arabai kembali ke Sevilla dan otomatis menjadi tulang punggung keluarganya, utamanya dia harus mengasuh kedua saudara perempuannya. Pada waktu itu pula disebutkan bahwa dia sempat putus asa dan ingin kembali pada kehidupan dunia namun niatan itu tidak terjadi. Setelah pergolakan politik di Sevilla mulai bergolak, pada tahun 594/1198 dia bersama saudaranya pindah menuju Fez[15] dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Di kota inilah kebahagiaan Ibnu ‘Ara>bi> dalam spiritualitasnya dapat dikatakan telah terpenuhi, karena dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh pada Tuhan.
Bukan hanya itu, Ibnu ‘Ara>bi> juga pernah berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan lainnya. Di akhir perjalanannya yang panjang, pada tahun 598 M Ibnu ‘Ara>bi> tiba di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Dia menetap di Makkah selama tiga tahun dan tidak pernah kembali ke Maroko maupun Andalus. Di sana dia mengenal imam masjid Haram yang terkenal dengan nama Abu Khasyah dan menikahi putrinya, Nidzam dan menulis buku khusus yang diberi judul ‘tarjuman al-ashwaq’. Buku itu merupakan kumpulan syair indah bertema cinta dan dibumbui dengan kisah sufistik. Di Makkah pulalah dia dapat melahirkan beberapa karya terkenalnya.
Negara Timur pada saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ayyubiyah keluarga Shalahuddin atau Saladin. Aturan negara tersebut diterapkan hingga Mesir dan Syam serta Hijaz. Ibnu ‘Ara>bi> telah melakukan perjalanan panjang mengunjungi kota-kota di Timur. Tentara Salib masih menempati bagian dari tanah-tanah Muslim di Syam dan masih berada dalam Emirat Antakya dan Tripoli. Hal inilah yang dapat menjelaskan kepada kita tentang pandangan keras Ibnu ‘Ara>bi> terhadap tentara Salib.
 Di Mosul, Ibnu ‘Ara>bi> bertemu Syaikh Ibnu ‘Ara>bi> Sufi Ali bin Jami' dan di hadapannya ia mengenakan baju wol sufi. Di Kairo, ia mencetuskan Pantheisme (wihdat al-wujud). Lalu ia ditolak oleh para ulama fikih dan mereka mempengaruhi khalayak umum. Akan tetapi, pengadilan Ayyubi pemegang kekuasaan Mesir pada saat itu memberikan toleransi kepadanya sehingga tidak memberikan hukuman.
Dari Mosul pindah ke Konya. Di sana, raja Konya memberikan sebuah rumah bernilai 100.000 dirham untuk ditempatinya. Pada suatu hari, seorang pengemis datang mengetuk pintu. Ibnu ‘Ara>bi> berkata: Saya tidak memiliki apa-apa selain rumah ini. Ambillah untukmu.
Hanya berapa waktu lamanya, dia pergi ke Baghdad. Di kota ini sekelompok aliran sufi berkumpul bersamanya. Lalu ia kembali ke Konya dan kemudian ke Malta. Kemudian pergi ke kota Aleppo. Ibnu ‘Ara>bi> tinggal di Aleppo hingga sampai 620 H. Setelah itu ia meninggalkan Aleppo pindah ke Damaskus hingga ia meninggal dunia dan dimakamkan di sana pada 28 Rabi'ul Awal 638 H / 16 Nopember 1240 M.[16]

  1. Karya-karya Ibnu ‘Ara>bi>
Ibnu ‘Ara>bi> di samping dikenal sebagai ulama sufi yang besar, dia juga mashur dengan penuli\\\\\\\\\\\\\\\\\s yang produktif. Hal itu dibuktikan dengan karya-karyanya yang sangat banyak dan multi bidang. Berikut penulis sajikan beberapa kitab yang ditulis oleh beliau:
1.      \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\Futuhat al-Makkiyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Buku ini juga katanya dibimbing langsung oleh malaikat inspiratif, bahkan Tuhan.
2.      Fusus al-Hikam, menurutnya buku ini ditulis dengan bimbingan dari Nabi.
3.      Tarjuman al-Ashwaq
4.      Insha al-Dawair
5.      Uqlat al-mustawfiz
6.      al-Tadbirat al-Ilahiah
7.      Mashahid al-Asrar al-Qudsiyyah
8.      Kitab Al-Isrâ’
9.      Mawaqi al-Nujûm
10.  ‘Anqa` Mughrib
11.  Mishkat al-Anwâr
12.  Hilyat al-Abdal
13.  Rûh al-Quds
14.  Taj al-Rasâil
15.  Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya.
16.  Tanazzulat al-Mawsiliyyah
17.  Kitab al-Jalal wa al-Jamâl
18.  Kitab Kunh ma la budda lil Murid Minhu
Menurut Osman Yahya, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn ‘Arabi, tulisan Ibn ‘Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 dari tulisan itu masih ada tetapi sekitar 450 yang dinilai benar-benar asli.[17]

C.    PEMIKIRAN  IBNU ‘ARA>BI>
Secara tipikal, Ibnu ‘Ara>bi> diklasifikasikan sebagai penganut tasawuf falsafi oleh beberapa tokoh. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ibnu ‘Ara>bi> telah memadukan antara intuisi dan akal dalam mendekatkan diri pada Tuhannya sekaligus dalam mengkaji ayat-ayat Nya yang ada di dunia ini.[18] Namun demikian, tidak berlebihan juga jika kemudian Afifi memandangnya sebagai seorang filosof karena Ibnu ‘Ara>bi> sering berangkat dari pemikiran-pemikiran spekulatif.
Terlepas dari itu, dalam tulisan ini akan dibahas secara fokus pada pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> dari sudut pandang tasawuf. Sebagaimana yang telah mafhum, bahwa Ibnu ‘Ara>bi> merupakan sosok ‘pertama’ yang melahirkan ajaran wahdat al-wujud, penyatuan antara Tuhan, manusia dan alam.
Wahdat al-wujud adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[19] Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’ terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dan yang bathin. Adapun pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud tidak pernah terlontar dari Ibnu ‘Ara>bi> maupun dalam tulisan-tulisannya.[20]
Menurut Ibnu ‘Ara>bi>, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya, wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya (makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat. Paham ini merujuk kepada timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan paham ini dibangun berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagaimana yang diterangkan dalam al-hulul yang berarti suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri manusia terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan. Paham wahdat al-wujud  ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya dimiliki oleh Allah SWT.
Untuk lebih spesifik, berikut penulis paparkan secara rinci terkait dengan pemikirannya tentang Tuhan, alam maupun manusia:
1.      Pemikirannya tentang Ketuhanan
Pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> tentang Tuhan tidak lepas dari istilah wujud. Wujud dalam pandangannya adalah sesuatu yang ada secara mutlak (wujud al-mutlaq) atau realitas puncak dari segala sesuatu (al-wujud al-kulli). pendeknya, istilah wujud Ibnu ‘Ara>bi> hakikatnya berkonotasi pada Tuhan pencipta yang Maha Segalanya. Namun kemudian, karena Ibnu ‘Ara>bi> memiliki pandangan bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dilepaskan maka istilah wujud sendiri diartikan sebagai realitas, baik realitas konkret (yang Mutlak/Tuhan) maupun realitas abstrak; alam dan manusia.
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, Tuhan bukanlah Allah sebagaimana yang dipersepsikan oleh kebanyakan masyarakat bahwa Dia yang memberi pahala, memberi siksa, mengasihi dan menolong. Hal demikian tidak bisa dikonsepsikan sebagai Tuhan karena hanya bagian kecil dari Nya. Tuhan secara hakiki, menurutnya, hanya bisa diketahui oleh orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. Orang yang berada dalam dunia sadar tidak bisa mempersepsikan Tuhan.[21]
Dengan pendapatnya itu bukan lantas Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa orang awam tidak bisa ‘melihat’ Tuhan. Menurutnya, ada tingkatan-tingkatan khusus yaitu ketika Tuhan bertajalli melalui tiga tahap:
a)      Martabah Aha>di>yah (dhati>yah). Dalam tahapan ini wujud Allah merupakan dhat mutlak dan mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Oleh karena itu, Dia tidak dapat difahami atau dikhayalkan.
b)      Martabah Wahi>di>yah, dalam tahapan ini wujud Tuhan berupa wujud potensial yang bersatu dengan sifat dan asma’-Nya. Tahapan ini bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya.
c)      Martabah Tajalli Shuhudi atau faid} al-muqaddas, pada tahapan ini Tuhan bertajalli melalui sifat dan asma’Nya dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual dan dapat difahami oleh semua mahluk-Nya.[22]
2.      Pemikirannya tentang Alam
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, alam adalah ciptaan Tuhan yang sangat agung, karena alam merupakan maz}har atau manifestasi dari sifat dan asma’-Nya. Allah menciptakan alam sebagai tajalli Nya sehingga Dia dapat dikenali lewat asma’ dan sifat-sifat-Nya oleh mahluk. Pendapat Ibnu ‘Ara>bi> itu didasarkan pada hadis Qudsi yang artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk dan melalui Aku merekapun kenal pada-Ku.[23]
Dengan hadis tersebut, jelas bahwa tanpa adanya alam maka asma’ dan sifat Allah akan kehilangan makna dalam arti hanya berada dalam kemujarradannya. Oleh karenanya, Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam kesendirian-Nya sehingga Dia bertajalli pada mahluknya melalui asma’ dan sifat-Nya sehingga Dia memiliki ‘rival’ dalam martabat shuhudiah-Nya.[24]
Terkait dengan alam ini, Ibnu ‘Ara>bi> membaginya menjadi empat macam yaitu: 1) Alam jabarut, dimana alam ini ditempati oleh sabda ilahi dan daya rohani. 2) alam misal, alam ini menjadi tempat himmah dan doa-doa para wali. 3) alam malakut, yaitu dunia para malaikat, dan 4) alam nasut atau alam manusia yang juga merupakan tajalli Tuhan. Namun demikian, menurut Ibnu ‘Ara>bi>, keempat alam tersebut hakikatnya bermuara dari satu esensi yang disebutnya sebagai haqiqah Muhammadiyah atau akal pertama menurut al-Farabi.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah, maka  tajalli asma’ dan sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy, alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh, sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia, sebab manusialah yang dapat menampung sifat-sifat Jamal dan Jalal-Nya.[25]
Dengan demikian, keberadaan alam empirik memberi makna terhadap perwujudan asma’ dan sifat-Nya, sebab tanpa adanya alam yang bersifat empirik maka Dzat yang Mutlak akan tetap tinggal dalam kemujarradannya yang tidak dapat dikenal oleh siapapun, serta akan tetap dalam bentuk citra akali. Di sinilah letak urgensi wujud alam sebagai manifestasi dari kehendak ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak yang terjelma dalam berbagai bentuk emprik yang terbatas. Namun, semua yang tampak dalam wujud empirik tidak lain adalah sifat dan asma’-Nya yang merupakan perwujudan bagi diri-Nya, bukanlah dzat-Nya. Sebab dzat Tuhan tidak ada yang dapat menggambarkan dan membandingkannya. Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan: setiap yang maujud memiliki bentuk sedangkan Dzat Tuhan tidak memiliki bentuk.[26]
3.      Pemikirannya tentang Manusia
Mengenai manusia, Ibnu ‘Ara>bi> berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi tempat  tajalli Allah bukanlah sembarang manusia melainkan insan kamil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu ‘Ara>bi>, nur Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang paling sempurna, ia diciptakan sebelum alam dan manusia diciptakan. Bahkan, melalui nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan alam dan manusia.
Dengan kesempurnaan itulah, manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi oleh Tuhan. Bahkan menurutnya, yang menyandang predikat khalifah di muka bumi hanya manusia tidak mahluk yang lainnya. Allah berfirman: sungguh Aku telah menjadikan khalifah (Manusia) di muka bumi.[27]
4.      Pemikirannya tentang Penciptaan
Pandangan Ibnu ‘Ara>bi> terkait dengan penciptaan tidak lepas dari pemikirannya tentang hakikat wujud yang bertajalli pada realitas alam, sebab realitas alam merupakan penampakan bagi diri-Nya, sekaligus menjadi eksistensi diri Ilahi yang bersifat immanen. Dengan kata lain, bahwa realitas alam selurhnya tidak lepas dari keberadaan yang Maha Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada. Namun demikian tidaklah berarti sebaliknya, dengan tidak adanya alam semesta bukan berarti ketiadaan-Nya, sebab Dia ada dengan Dirinya sendiri. Sedangkan alam semesta menjadi ada sebab tajalli-Nya. Dengan demikian, alam semesta adalah sesuatu yang ada di luar diri-Nya, dengan melalui proses penciptaan sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman-Nya.[28]
Bagi Ibnu ‘Ara>bi>, masalah penciptaan tidak hanya terkait dengan kemahatinggian sang Pencipta sebagai hakikat dari segala sesuatu, akan tetapi terkait dengan sifat imanensi-Nya. Jika hanya dilihat dari ketinggian-Nya maka Dia dibatasi oleh apa yang nampak dan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri; yang Maha d{a>hir. Demikian juga sebaliknya, jika sang Pencipta hanya dilihat dari aspek batiniyahnya berarti pembatasan terhadap Wujud Tuhan yang meliputi segala yang ada. Dia adalah yang Lahir dan yang Batin sekaligus.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah penciptaan alam oleh Tuhan terkait dengan waktu dan masa?, apakah penciptaan berawal dari ketiadaan?, atau dari berawal dari keberadaan dan dan kemudian menjadi sesuatu yang ada dan empirik?. Terkait dengan pertanyaan demikian, Ibnu ‘Ara>bi> menjawab bahwa peciptaan alam tidak terikat pada tempat dan waktu, karena adanya waktu setelah adanya alam itu sendiri. Toh walaupun dikatakan terkait dengan masa, tapi masa itu tidak sama dengan masa yang ada dalam dunia empirik saat ini. Begitu juga dikatakan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (al-‘adam) menuju ada. Terkait hal ini, Ibnu ‘Ara>bi> menyatakan: alhamdu lillahi alladzi awjada al-ashya>’ ‘an ‘adamin wa ‘adamihi.[29]
Yang dimaksud dengan ‘adam dalam pernyataan Ibnu ‘Ara>bi> tersebut adalah ketiadaan wujud di luar diri-Nya, sebab segala yang ada bersumber dari-Nya. Sehingga, ‘adam di sini berarti tidak ada dalam wujud empirik namun ada secara hakikat dan kekal dalam Ilmu Tuhan. Kemudian, melalui kehendak-Nya hakikat tersebut dijadikan sebagai alam yang nyata secara empirik. Intinya, proses penciptaan menurut Ibnu ‘Ara>bi> berawal dari yang ada secara hakikat yang disebutnya sebagai wujud potensial atau al-a’ya>n al-thabitah.
D.   PENGARUH TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>
Di samping Ibnu ‘Ara>bi> menjadi tokoh yang terkenal, juga pemikiran tasawuf Ibn Arabi menarik antusiasme para sufi dan salik di dunia Islam, terutama melalui para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Muhyid al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (w. 730/1330), Syaraf al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah 787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî (w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.[30]
Tidak ketinggalan, di Indonesia juga menjadi lahan empuk bagi tumbuh suburnya pemikiran Ibnu ‘Ara>bi>. Secara historis, pemikirannya melalui para sufi dari Gujarat, India. Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh al-Burhanpûrî (w. 1029) adalah tokoh yang menyebarkan ajaran tasawuf Ibn’Arabî di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syamsu al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang lainnya.[31] Dari penjelasan di muka, jelas bahwa Ibnu ‘Ara>bi> menjadi sosok inspiratif yang memunculkan ide-ide sufistik di belahan dunia,  khususnya Islam. Tidak salah jika kemudian Chittick mengatakan bahwa tampaknya tidak ada seorang tokohpun yang begitu memiliki pengaruh yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan intelektual masyarakatnya dalam kurun waktu sekitar 700 tahun.[32]
E.    KESIMPULAN
Sebagai simpulan dapat diketahui bahwa Ibnu ‘Ara>bi> adalah salah satu sosok sufi atau failasuf yang sangat terkenal dengan pemikiran tasawufnya, khususnya tentang wahdat al-wujud. Di samping itu, beliau adalah sosok yang produktif dalam menelorkan karya-karya. Hal itu terlihat dari banyaknya ide yang dikonkretkan menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh halayak luas. Bukan hanya di tempat kelahirannya, tapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Tulisan-tulisannya juga telah turut serta dalam pengembangan pemikiran islam, utamanya terkait dengan tasawuf.


DAFTAR RUJUKAN

Addas, Claude, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004.
Afifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999.
Arabi, Ibnu, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, 1989.
___________, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005.
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994.
Chittick, Wiliam C., Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000..
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/html.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Siregar, Rivay, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Usman,i A. Rofi’, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998.



[1] Hadis Qudsi ini juga sering dikutip oleh para pemikir misalnya Harun Nasution dalam Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, hal: 58, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998, hal: 61
[2] Ada yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya adalah 1164 M. dalam makalah ini penulis menggunakan tahun 1165 karena beberapa literatur menyebutkan tahun itu sebagai tahun kelahirannya.
[3] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu Arabi, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000, hal: 43.
[4] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995, hal: 02.
[5] Dalam berbagai tulisannya, Ibnu Arabi menceritakan ayah, ibu dan dua saudara perempuannya tapi tidak pernah ditemui ceritanya tentang saudara laki-lakinya. Begitu juga ketika ayahandanya menjelang detik akhir hidupnya semua anggota keluarga berkumpul dan lelaki satu-satunya hanya Ibnu Arabi.
[6] Lihat selengkapnya di Ibnu Arabi, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005, hal: 35.
[7] Penulis mendapatkan keterangan dari internet bahwa yahnya bernama Ali bin Muhammad. Sedangkan ibuny belum penulis temukan riwayatnya.
[8] A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu…..hal: 01
[9] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud….hal: 51
[10] Keterangan lebih lanjut terkait dengan pertemuan dan percakapan Ibnu Arabi dengan Ibnu Rusyd dapat dilihat di Claude Addas, Mencari Belerang Merah; Kisah Hidup Ibnu Arabi, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004, hal: 59-60
[11] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan….hal: 67
[12] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998, hal: 30
[13] Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994, hal: 148-149
[14] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman…hal: 118
[15] Kota FEZ merupakan kota warisan terkemuka dari dinasti idrisiyah islam (788-974 M) di maroko bagian utara. Fez merupakan ibukota pertama dan pusat spiritual islam yang di dirikan oleh idris ibn abdullah. Sedangkan  Idris ibn abdullah adalah keturunan Nabi saw yang lari ke maroko untuk menghidari penganiayaan Abbasiyah.
[16] Addas dalam bukunya menyebutkan bahwa Ibnu Arabi meninggal dunia pada tanggal 22 Rabiul Awal 638. Mencari Belerang Merah….hal: 409
[17] Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Ahmad Zainudin ‘Tasawuf Ibnu Arabi’ di  http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-engaruhnya/
[18] Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999, hal: 55
[19] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006, hal: 247
[20] Ada yang mengatakan bahwa yang mengistilahkan wihdat al-wujud pada pemikiran Ibnu Arabi adalah Ibnu Taymiyah.
[21] CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal: 109
[22] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, hal: 74-75.
[23]  Hadis ini dikenal dengan hadis ‘khazanah tersembunyi’ dan banyak dikutip oleh para tokoh, seperti Harun Nasution dalam filsafat dan Mistisme dalam Islam, Sachiko Murata dalam The Tao of Islam dan yang lainnya.
[24] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal: 277
[25] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…hal: 74-75
[26] Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, hal: 433
[27] Surat al-Baqarah: 30
[28] Lihat surat al-Hijr ayat 21, al-An’am ayat 102, dan ayat-ayat lain yang terkait dengan penciptaan.
[29] Futuhat al-Makkiyah, Jil I, hal: 5
[30] Penulis kutidari tulisan Amuli ‘Ibnu Arabi, Kehidupan, Karya dan Pengaruhnya’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ setelah mendapat izin dari penulisnya. Menurutnya, tulisan itu dipresentasikan dalam acara seminar Tasawuf di Solo Jawa Tengah.
[31] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999, hal: 201
[32] Wiliam C. Chittick, Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001, hal: 04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar