Rabu, 11 Januari 2012

LOGIKA AL-GHAZALI

LOGIKA AL-GHAZALI
A. Pendahuluan
      Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali. Dilahirkan di Thus pada tahun 450 H (1056 M), sebuah daerah yang merupakan bagian dari kota Khurasan, Iran.[1] Berbicara tentang logika yang memang secara formal lahir di Yunani kuno (greek), Al Ghazali meyakini bahwa al Qur’an sebagai sebuah wahyu juga mengajarkan logika. Ia pun meyakini bahwa Al-quran memiliki neraca penalaran yang benar, yang darinya dapat ditemukan kebenaran aksiomatik. Lebih lanjut Al Ghazali mengatakan bahwa metode penalaran ini pula yang diajarkan oleh Allah kepada para utusannya dan digunakan untuk menghadapi kaum yang menentang ajaran-ajaran yang dibawanya. Bahwa Alquran oleh Al Ghazali diyakini memiliki neraca sendiri untuk memperoleh kebenaran diambil dari firman Allah”
وزنوا بالقسطاس المستقيم[2] 
Dan timbanglah dengan neraca yang benar”
      Al Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud neraca disini bukanlah neraca dalam arti lahiriah seperti yang kita kenal pada umumnya. Akan tetapi lebih mengarah pada arti bathiniah. Dalam arti “bentuk penalaran yang benar”. Berangkat dari ayat inilah kemudian Al Ghazali menggali ayat-ayat Al-quran yang mendukung pendapatnya. Ia menyebutkan bahwa secara umum prinsip-prinsip penalaran didalam Al-quran ada 3, hanya saja salah satu dari neraca tersebut dibagi lagi menjadi 3 bagian. Jadi, jumlah keseluruhannya adalah 5. Kemudian beliau mengklasisfikasikan lima neraca tersebut dengan memberikan nama sekaligus prinsip-prinsip umumnya. Bentuk penalaran Al quran yang ditawarkan oleh Al Ghazali secara keseluruhan sejalan dengan prinsip-prinsip salah satu penalaran deduktif atau lebih tepatnya silogisme (penyimpulan tak lansung). Disebut demikian karena untuk menghasilkan kesimpulannya ia menggunakan perantaran proposisi kedua dan term penghubung[3]. Jujur saja, pemakalah kesulitan untuk mencari padanan kata dari masing-masing nama neraca tersebut diatas dalam istilah logika kontemporer. Maka, pada makalah ini nama-nama tersebut akan dipakai sesuai dengan aslinya. Yang terpenting disini adalah prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam setiap neracanya
B. Pembahasan
      Dalam pembahasan ini, pemakalah akan coba mengeksposisikan masing-masing neraca yang coba ditawarkan oleh Al ghazali.
1.  MIZAN AL TA’ADUL
    Sebagaimana dikatakan, bahwa mizan al ta’adul terbagi menjadi tiga bagian. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing neraca yang telah kami sebutkan.
a. Mizan Al akbar
Pada mizan al-akbar ini, berlaku prinsip”menentukan sesuatu yang lebih umum berarti menentukan sesuatu yang lebih khusus secara niscaya”[4]. Menurut Al Gahazali, neraca inilah yang digunakan oleh Ibrahim untuk membantah argumentasi Namrud ketika ia mengklaim bahwa dirinya adalah Tuhan yang mampu menghidupkan dan mematikan. Akan tetapi kuasa untuk melakukan hal itu berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh Ibrahim. Untuk membantah ketuhanan Namrud, Ibrahim kemudian mengajukan proposisi yang berbeda. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat, lalu terdiamlah orang-orang kafir”[5]. Dalam ayat ini terdapat 2 premis (mayor dan minor):
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah Tuhan (premis mayor)
Tuhan Ibrahim mampu menerbitkan matahari (premis minor)
Tuhan Ibrahim adalah Tuhan (kesimpulan)
Premis mayor bersifat umum, sedangkan premis minor bersifat khusus. Bila Tuhan Ibrahim (Allah) mampu menerbitkan matahari sedangkan yang mampu menerbitkan matahari hanyalah Tuhan, maka Tuhan Ibrahim adalah Tuhan yang sebenarnya. Bukan Namrud. Karena pada kenyataannya, ia tidak mampu melakukannya. Dalam mizan al akbar ini juga berlaku prinsip ”menentukan sifat(ciri) khusus pada sesuatu berarti menentukan sesuatu itu”.[6] Misalnya, pada permasalahan fiqh ada ayat yang menyebutkan bahwa setiap yang memabukkan itu hukumnya haram. Nabiz (sejenis minuman keras dari anggur), juga memabukkan. Karena sifat yang dimiliki nabiz ini adalah memabukkan maka niscaya hukumnya juga haram
b. Mizan Al Ausath
Pada mizan ini, Al ghazali meletakkan prinsip ”jika A menegasikan sifat yang menjadi ketetapan bagi B, maka A bukanlah B. Begitu pula sebaliknya”.[7] Penalaran bentuk ini menurut beliau banyak ditemukan di dalam Al-quran. Diantaranya ialah yang digunakan  Ibrahim dalam proses perjalanannya mencari Tuhan yang hakiki. Ketika Ibrahim melihat bulan yang terbenam dan sebelumya ia menganggap itu adalah Tuhan, kemudian ia berkata: “ Saya tidak suka kepada yang tenggelam”[8]. Bila ditulis dengan bentuk penulisan silogisme maka:
Tuhan tidak terbenam (premis mayor)
Bulan itu terbenam (premis minor)
Maka bulan bukanlah Tuhan (kesimpulan)
Al Ghazali menambahkan bahwa bukti tentang bulan itu terbenam dapat diraih dengan penginderaan. Namun argumentasi bahwa Tuhan tidak terbenam didapatkan dari premis lain yaitu: Semua yang hadis (diciptakan) itu mengalami perubahan.Tuhan tidaklah hadits (diciptakan). Maka Tuhan tidak mengalami perubahan. Terbenam adalah satu bentuk dari perubahan itu.
c. Mizan Al Asghar
Pada neraca ini berlaku prinsip” bila dua sifat bersatu (melekat) pada sesuatu yang satu, maka kedua sifat tersebut tentu saling mensifati satu sama lainnya”.[9] Penalaran ini digunakan oleh nabi Muhammad untuk mendebat orang-orang kafir yang tidak mempercayai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah: “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata:”Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”. Katakanlah ”siapa yang menurunkan kitab (taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”.[10] Sebagaimana pada neraca sebelumnya, Al ghazali mengeluarkan premis dasar pada ayat ini.
Musa adalah manusia (premis mayor)
Sebagian wahyu diturunkan kepada Musa (premis minor)
Sebagian wahyu diturunkan kepada manusia (kesimpulan)

Dari kesimpulan yang dihasilkan dari dua premis tersebut, maka tertolaklah persepsi orang-orang kafir bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia.
2. MIZAN AL TALAZUM
Mizan al talazum ini adalah neraca ke empat yang dihasilkan Al Ghazali berdasarkan penggaliannya terhadap ayat-ayat Alquran. Pada neraca ini berlaku prinsip ”jika ia meniscayakan bagi sesuatu, maka ia akan selalu ada pada sesuatu itu. Tidak adanya hal yang meniscayakan berarti tidak adanya sesuatu yang diniscayakan. Begitu pula, adanya sesuatu yang diniscayakan berarti adanya sesuatu yang meniscayakan”.[11] Bentuk penalaran ini disimpulkan dari beberapa ayat Al-quran, diantaranya: “Seandainya di langit dan di bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka niscaya keduanya itu telah rusak binasa”.[12]jelasnya:
Jika semesta memiliki dua Tuhan, niscaya ia binasa (premis mayor)
Semesta tidak binasa (premis minor)
Maka semesta tidak memiliki dua Tuhan (kesimpulan)
Lebih gamblangnya mari kita aplikasikan prinsip ini pada kasus yang lain. Misalnya, jika shalat yang dilaksanakan oleh A itu sah berarti ia dalam keadaan suci (keadaan suci adalah hal yang menjadi keniscayaan jika sesuatu yang diniscayakan juga ada. Yakni sahnya shalat). Jika A tidak dalam keadaan suci (hilangnya hal yang meniscayakan), maka sudah barang tentu shalatnya tidaklah sah (hilang pula hal yang diniscayakan). Namun perlu diperhatikan, bahwa keadaan yang suci tidak meniscayakan sahnya shalat, bisa saja shalatnya batal dikarenakan sebab yang lain. Begitu pula jika salatnya A tidak sah ini tidak berarti karena ia tidak dalam keadaan suci, bisa saja disebabkan oleh hilangnya syarat yang lain. Dari sini kemudian Al Ghazali menambahkan bahwa ”adanya hal yang meniscayakan belum tentu menunjukan adanya sesuatu yang diniscayakan dan dan tidak adanya sesuatu yang diniscayakan tidak menunjukkan tiadanya hal yang meniscayakan.[13]
3. MIZAN AL TA’ANUD
     Neraca ini diidentifikasi dari firman Allah: “ Katakanlah: “ siapakah yang memberi rizeki  dari langit dan dari bumi?” katakanlah: ”Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.”[14]
Menurut hemat Al ghazali, sebenarnya ayat ini sama sekali tidak menyamakan posisi antara golongan yang beriman dengan golongan musyrik, atau bahkan meragukan kedudukan keduanya sekalipun. Karena semua orang beriman sepakat bahwa Allah lah yang menganugerahkan rizeki dalam berbagai bentuknya. Sedangkan orang-orang musyrik tidak pernah mau mengakui hal ini. Jadi, jelaslah sudah bahwa sebenarnya yang sesat adalah orang-musyrik, bukan golongan beriman. Prinsip yang mendasarinya ialah “ jika sesuatu itu hanya terbatas pada dua hal saja, maka menetapkan salah satu diantaranya berarti mengasikan yang lain secara niscaya. Begitu pula sebaliknya”.[15]Dengan catatan, sifatnya terbatasi.  Aplikasinya:
Kita atau kalian pasti berada dalam kesesatan atau kebenaran (premis mayor)
Kita berada dalam kebenaran (premis minor)
Maka kalian berada dalam kesesatan (kesimpulan)
E. PENUTUP
Usaha yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam upaya merumuskan prinsip-prinsip penalaran berdasarkan galian kritisnya terhadap Al-Qur’an patut di banggakan. Dalam kapasitasnya Sebagai seorang teolog sekaligus filosof muslim yang meyakini dan hendak membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah mater scientarium (mawazin kull al ulum), beliau cukup berhasil. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan menentukan kriteria-kriteria tertentu untuk mengklaim bahwa usaha Al Ghazali adalah islamisasi an sich, yang hanya mencoba untuk mencari justifikasi teks atas perkembangan sains yang memang secara formal lahir dari rahim peradaban yunani kuno(greek). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar