LOGIKA AL-GHAZALI
A. Pendahuluan
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Ibn
Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali. Dilahirkan di Thus pada tahun 450 H (1056
M), sebuah daerah yang merupakan bagian dari kota Khurasan, Iran.[1]
Berbicara tentang logika yang memang secara formal lahir di Yunani kuno
(greek), Al Ghazali meyakini bahwa al Qur’an sebagai sebuah wahyu juga
mengajarkan logika. Ia pun meyakini bahwa Al-quran memiliki neraca
penalaran yang benar, yang darinya dapat ditemukan kebenaran aksiomatik.
Lebih lanjut Al Ghazali mengatakan bahwa metode penalaran ini pula yang
diajarkan oleh Allah kepada para utusannya dan digunakan untuk
menghadapi kaum yang menentang ajaran-ajaran yang dibawanya. Bahwa
Alquran oleh Al Ghazali diyakini memiliki neraca sendiri untuk
memperoleh kebenaran diambil dari firman Allah”
وزنوا بالقسطاس المستقيم[2]
“Dan timbanglah dengan neraca yang benar”
Al Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud neraca disini bukanlah
neraca dalam arti lahiriah seperti yang kita kenal pada umumnya. Akan
tetapi lebih mengarah pada arti bathiniah. Dalam arti “bentuk penalaran
yang benar”. Berangkat dari ayat inilah kemudian Al Ghazali menggali
ayat-ayat Al-quran yang mendukung pendapatnya. Ia menyebutkan bahwa
secara umum prinsip-prinsip penalaran didalam Al-quran ada 3, hanya saja
salah satu dari neraca tersebut dibagi lagi menjadi 3 bagian. Jadi,
jumlah keseluruhannya adalah 5. Kemudian beliau mengklasisfikasikan lima
neraca tersebut dengan memberikan nama sekaligus prinsip-prinsip
umumnya. Bentuk penalaran Al quran yang ditawarkan oleh Al Ghazali
secara keseluruhan sejalan dengan prinsip-prinsip salah satu penalaran
deduktif atau lebih tepatnya silogisme (penyimpulan tak lansung).
Disebut demikian karena untuk menghasilkan kesimpulannya ia menggunakan
perantaran proposisi kedua dan term penghubung[3]. Jujur saja, pemakalah
kesulitan untuk mencari padanan kata dari masing-masing nama neraca
tersebut diatas dalam istilah logika kontemporer. Maka, pada makalah ini
nama-nama tersebut akan dipakai sesuai dengan aslinya. Yang terpenting
disini adalah prinsip-prinsip umum yang digunakan dalam setiap neracanya
B. Pembahasan
Dalam pembahasan ini, pemakalah akan coba mengeksposisikan masing-masing neraca yang coba ditawarkan oleh Al ghazali.
1. MIZAN AL TA’ADUL
Sebagaimana dikatakan, bahwa mizan al ta’adul terbagi menjadi tiga
bagian. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing neraca yang telah
kami sebutkan.
a. Mizan Al akbar
Pada mizan al-akbar ini, berlaku prinsip”menentukan sesuatu yang lebih umum berarti menentukan sesuatu yang lebih khusus secara niscaya”[4].
Menurut Al Gahazali, neraca inilah yang digunakan oleh Ibrahim untuk
membantah argumentasi Namrud ketika ia mengklaim bahwa dirinya adalah
Tuhan yang mampu menghidupkan dan mematikan. Akan tetapi kuasa untuk
melakukan hal itu berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh Ibrahim.
Untuk membantah ketuhanan Namrud, Ibrahim kemudian mengajukan proposisi
yang berbeda. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat, lalu terdiamlah orang-orang kafir”[5]. Dalam ayat ini terdapat 2 premis (mayor dan minor):
Setiap yang mampu menerbitkan matahari adalah Tuhan (premis mayor)
Tuhan Ibrahim mampu menerbitkan matahari (premis minor)
Tuhan Ibrahim adalah Tuhan (kesimpulan)
Premis
mayor bersifat umum, sedangkan premis minor bersifat khusus. Bila Tuhan
Ibrahim (Allah) mampu menerbitkan matahari sedangkan yang mampu
menerbitkan matahari hanyalah Tuhan, maka Tuhan Ibrahim adalah Tuhan
yang sebenarnya. Bukan Namrud. Karena pada kenyataannya, ia tidak mampu
melakukannya. Dalam mizan al akbar ini juga berlaku prinsip ”menentukan sifat(ciri) khusus pada sesuatu berarti menentukan sesuatu itu”.[6]
Misalnya, pada permasalahan fiqh ada ayat yang menyebutkan bahwa setiap
yang memabukkan itu hukumnya haram. Nabiz (sejenis minuman keras dari
anggur), juga memabukkan. Karena sifat yang dimiliki nabiz ini adalah
memabukkan maka niscaya hukumnya juga haram
b. Mizan Al Ausath
Pada mizan ini, Al ghazali meletakkan prinsip ”jika A menegasikan sifat yang menjadi ketetapan bagi B, maka A bukanlah B. Begitu pula sebaliknya”.[7]
Penalaran bentuk ini menurut beliau banyak ditemukan di dalam Al-quran.
Diantaranya ialah yang digunakan Ibrahim dalam proses perjalanannya
mencari Tuhan yang hakiki. Ketika Ibrahim melihat bulan yang terbenam
dan sebelumya ia menganggap itu adalah Tuhan, kemudian ia berkata: “
Saya tidak suka kepada yang tenggelam”[8]. Bila ditulis dengan bentuk
penulisan silogisme maka:
Tuhan tidak terbenam (premis mayor)
Bulan itu terbenam (premis minor)
Maka bulan bukanlah Tuhan (kesimpulan)
Al
Ghazali menambahkan bahwa bukti tentang bulan itu terbenam dapat diraih
dengan penginderaan. Namun argumentasi bahwa Tuhan tidak terbenam
didapatkan dari premis lain yaitu: Semua yang hadis (diciptakan) itu mengalami perubahan.Tuhan tidaklah hadits (diciptakan). Maka Tuhan tidak mengalami perubahan. Terbenam adalah satu bentuk dari perubahan itu.
c. Mizan Al Asghar
Pada neraca ini berlaku prinsip” bila dua sifat bersatu (melekat) pada sesuatu yang satu, maka kedua sifat tersebut tentu saling mensifati satu sama lainnya”.[9]
Penalaran ini digunakan oleh nabi Muhammad untuk mendebat orang-orang
kafir yang tidak mempercayai wahyu yang diturunkan Allah kepadanya.
Sebagaimana firman Allah: “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan
dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata:”Allah tidak
menurunkan sesuatupun kepada manusia”. Katakanlah ”siapa yang menurunkan
kitab (taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi
manusia”.[10] Sebagaimana pada neraca sebelumnya, Al ghazali mengeluarkan premis dasar pada ayat ini.
Musa adalah manusia (premis mayor)
Sebagian wahyu diturunkan kepada Musa (premis minor)
Sebagian wahyu diturunkan kepada manusia (kesimpulan)
Dari
kesimpulan yang dihasilkan dari dua premis tersebut, maka tertolaklah
persepsi orang-orang kafir bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun
kepada manusia.
2. MIZAN AL TALAZUM
Mizan
al talazum ini adalah neraca ke empat yang dihasilkan Al Ghazali
berdasarkan penggaliannya terhadap ayat-ayat Alquran. Pada neraca ini
berlaku prinsip ”jika ia meniscayakan bagi sesuatu, maka ia akan
selalu ada pada sesuatu itu. Tidak adanya hal yang meniscayakan berarti
tidak adanya sesuatu yang diniscayakan. Begitu pula, adanya sesuatu
yang diniscayakan berarti adanya sesuatu yang meniscayakan”.[11] Bentuk penalaran ini disimpulkan dari beberapa ayat Al-quran, diantaranya: “Seandainya di langit dan di bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka niscaya keduanya itu telah rusak binasa”.[12]jelasnya:
Jika semesta memiliki dua Tuhan, niscaya ia binasa (premis mayor)
Semesta tidak binasa (premis minor)
Maka semesta tidak memiliki dua Tuhan (kesimpulan)
Lebih
gamblangnya mari kita aplikasikan prinsip ini pada kasus yang lain.
Misalnya, jika shalat yang dilaksanakan oleh A itu sah berarti ia dalam
keadaan suci (keadaan suci adalah hal yang menjadi keniscayaan jika sesuatu yang diniscayakan juga ada. Yakni sahnya shalat). Jika A tidak dalam keadaan suci (hilangnya hal yang meniscayakan), maka sudah barang tentu shalatnya tidaklah sah (hilang pula hal yang diniscayakan).
Namun perlu diperhatikan, bahwa keadaan yang suci tidak meniscayakan
sahnya shalat, bisa saja shalatnya batal dikarenakan sebab yang lain.
Begitu pula jika salatnya A tidak sah ini tidak berarti karena ia tidak
dalam keadaan suci, bisa saja disebabkan oleh hilangnya syarat yang
lain. Dari sini kemudian Al Ghazali menambahkan bahwa ”adanya hal
yang meniscayakan belum tentu menunjukan adanya sesuatu yang
diniscayakan dan dan tidak adanya sesuatu yang diniscayakan tidak
menunjukkan tiadanya hal yang meniscayakan.[13]
3. MIZAN AL TA’ANUD
Neraca ini diidentifikasi dari firman Allah:
“ Katakanlah: “ siapakah yang memberi rizeki dari langit dan dari
bumi?” katakanlah: ”Allah”, dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang
musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang
nyata.”[14]
Menurut hemat Al ghazali,
sebenarnya ayat ini sama sekali tidak menyamakan posisi antara golongan
yang beriman dengan golongan musyrik, atau bahkan meragukan kedudukan
keduanya sekalipun. Karena semua orang beriman sepakat bahwa Allah lah
yang menganugerahkan rizeki dalam berbagai bentuknya. Sedangkan
orang-orang musyrik tidak pernah mau mengakui hal ini. Jadi, jelaslah
sudah bahwa sebenarnya yang sesat adalah orang-musyrik, bukan golongan
beriman. Prinsip yang mendasarinya ialah “ jika sesuatu itu hanya
terbatas pada dua hal saja, maka menetapkan salah satu diantaranya
berarti mengasikan yang lain secara niscaya. Begitu pula sebaliknya”.[15]Dengan catatan, sifatnya terbatasi. Aplikasinya:
Kita atau kalian pasti berada dalam kesesatan atau kebenaran (premis mayor)
Kita berada dalam kebenaran (premis minor)
Maka kalian berada dalam kesesatan (kesimpulan)
E. PENUTUP
Usaha
yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam upaya merumuskan prinsip-prinsip
penalaran berdasarkan galian kritisnya terhadap Al-Qur’an patut di
banggakan. Dalam kapasitasnya Sebagai seorang teolog sekaligus filosof
muslim yang meyakini dan hendak membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah mater
scientarium (mawazin kull al ulum), beliau cukup berhasil. Perlu
dilakukan kajian yang lebih mendalam dan menentukan kriteria-kriteria
tertentu untuk mengklaim bahwa usaha Al Ghazali adalah islamisasi an
sich, yang hanya mencoba untuk mencari justifikasi teks atas
perkembangan sains yang memang secara formal lahir dari rahim peradaban
yunani kuno(greek).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar