16
Nopember 2007
Transformasi
NU Dan Sosialisasi Ajaran Islam
Moh. Fudholi Koordinator
kajian Islam dan Filsafat (Kaifa) Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Alumni Pesantren
IAIN Sunan Ampel Surabaya
Banyak
perubahan penting yang mesti dicacat dalam sejarah NU. Seperti saat
ini NU berusaha menampilkan wajah baru Islam yang relatif “terbuka dan
plural”, bertujuan agar NU sekarang tidak dipandang lagi sebagai organisasi
yang berwatak primordial dan hanya mementingkan kepentingan golongan.
Dan nampaknya NU cenderung lebih akomodatif terhadap semua golongan.
Hal ini tidak terlepas dari perubahan-perubahan yan gradual yang
terjadi dalam tubuh NU. Jika dulu NU dianggap sangat tradisional, sedikit
demi sedikit anggapan dan status itu mulai hilang. Juga, jika dulu
NU banyak menumpuk intelektual, pada perkembangannya NU berhasil mengembangkan
wawasan ke-NU-annya dalam kontek Negara dan bangsa.
Adalah
KH Ahmad Siddiq,sejak Kittah NU yang diputuskan dalam Muktmar NU ke-27
pada 1984 mengembangkan gagasan persaudaraan Islam dalam diri NU. Di
samping telah mengkompromikan asas tunggal Pncasila dengan Islam, kiai
kharismatik asal jember ini juga merancang satu konsep dasar persaudaraan(
ukhuwah) kaitannya dengan wawasan kebangsaan. Konsep ini kemudian
di diejawantahkan ke dalam persaudaraan antar manusia, persaudaraan
sebangsa dan setanah air, dan persaudaraan intern umat Islam.
Dari ketiga konsep tadi KH. Ahmad Siddiq, mengharapkan warga NU mampu
berinteraksi aktif antarsesama elemen masyarakat secara plural. Baik
dalam tataran regional, nasional dan internasional.
Identitas
mengambarka warga NU yang menjadi sebuawh komonitas Ummatan Wasathon
dan Khoira Ummah, kelompok yang tidak ekstrem,meminjam istilah Abid
al-Jabiri Islam kiri dan kanan,sebagaimana diidam-idamkan al-Qur’an.
Tapi nampaknya teori tidak selamanya cocok dengan kenyataan.
Selama
berabad-abad lamanya umat Islam tercoreng karena menampakan raut muka
kebencian yang teramat dalam terhadap golongan lain. Akibatnya Islam
menjadi agama yang tertutup dan tidak mau kompromi dengan aliran-aliran
atau sekte yang lain. Hal inilah yang menyebabkan kemerosotan
Islam selama berabad-abad terakhir. Ditambah
lagi dengan beban teologis warisan ulama dahulu, bahwa Islam adalah
agama “perang”, Islam identik dengan pedang yang haus akan kekerasan
(baca. FPI), cacatan ini tentunya juga ikut menodai sejarah hitam
uamat Islam, paling tidak ikut memperkokoh opini dan justifikasi yang
berkembang bahwa misi Islam bukanlah perdamaian, sebagaimana barat memahami
Islam sebagai agam afundamental atau sarang teroris.
Di
sinilah kemudian muncul keraguan akan kebenaran Islam sebagai sebuah agama
yang mencintai perdamaian, Islam yang mengayomi dan melindungi. Ketidak
percayaaan inilah yang banyak menimbulkan perpecahan dikalangan umat
Islam, yang kemudian membuat aliran-aliran baru dengan klaim kebenaran,
bahwa inilah Islam yang paling benar, Islam yang hakiki dan lain
semacamnya.
Islam
Agama Damai
Dalam
tataran normatif Islam, dan juga agama lain selalu mengajarkan perdamaian,
kerukunan dan kasih sayang. Dengan demikian bias dikatakan bahwa
misi semua agama adalah perdamian. Misi ini semestinya dipandang sebagai
nilai-nilai universal yang tak pernah hilang sepanjang masa, karena
nilai inilah yang menjadi tolok ukur benar tidaknya ajaran suatu agama. Namun,misi
awal ini sering kali terjebak ke dalam interpretasi “oknum” yang
bahkan sering salah memahaminya. Kita bias melihat bahwa fanatic telah
mengubah agama menjadi sesuatu yang sangat menakutkan miminjam istilah
Max agama adalah candu masyarakat, sehingga agama dipandang tidak
bisa menyelesaikan problem rumah tangganya (antar aliran) apalagi persoalan
eksternalnya (moralitas dan peradaban manusia yang hilang).
Persoalan
antar Sunni dan Syi’ah (intern Islam), Palestina Vs Israel(antar
agama) belum bisa terselesaikan sampai saat ini, yang muncul malah
sekte-sekte aliran sempalan dari agama itu, sebagai pelampiasan yang
terjadi akibat tidak bisa memahami ajaran suatu agama, yang baru-baru
ini terjadi pengakuan Lia Aminuddin sebagai Jibril, malaikat yang
bertugas memberi wahyu, belum hilang dari ingatan kita muncul Ahmad Musaddeq
yang mengaku sebagai nabi. A
liran-aliran ini timbul akibat kurangnya
sosialisasi ajaran agama, ketidak pahaman mereka terhadap agama
adalah modal utama untuk menafsirkan agama fersi mereka ditopang dengan
dana yang banyak maka jadilah sekte ini agama baru.
Lantas apa pekerjaan
MUI sebenarya? Sebagai sebuah lenbaga yang ditunjuk untuk mengurusi
agama, selama MUI hanya duduk berpangku tangan tanpa mempunyai agenda
dakwah yang jelas mereka baru akan turun kalau ada yang dianggap menyimpang
dari ajaran agama, padahal seharusya siraman rohani pada orang-orang
yang agamanya minim sangat diperlukan yang hal ini adalah tugas
MUI untuk mengadakan sosialisasi ajaran Islam?.
Kurangnya
pengetahuan tentang agama inilah yang membuat sebagian orang setuju
bahwa agama adalan candu masyarakat, agama sudah tidak dibutuhkan lagi
apalagi harus diyakini dan diikuti. Melihat
hal ini, sudah semestinya ruh agama dalam hal ini Islam dikembalikan
pada misi awal sebagai pembawa kedamaian dan penyelamat umat
dari krisis moralitas yang sudah sedemikian akutnya yang menjangkit peradaban
manusia.
Sebagai agama yang Rahmatan Lilalamin, pertama Islam mencakup
seluruh makhluk mesti ternaungi nilai pendamaian, Kedua, Islam tidak
semena-mena memaksakan agamanya, terhadap siapapun juga, hal ini seharusnya
menjadi acuan kalau seseorang ingin keluar dari Islam biarkan saja
kalaupun butuh nasehat, maka nasehati seperlunya tidak seharusnya memaksakan
kehendak agar kembali ke Islam dengan memanfaatkan kekuasaan pemerintah
yang apabila tidak kembali, kedalam Islam, maka akan dipenjara.
Islam
tidak mengenal kekerasan dan pemaksaan, kekerasan dalam Islam, tak lain
adalah bentuk kekhilafan umat Islam dalam memahami ajaran Islam, atau
boleh jadi karena factor politik yang menggunakan symbol Islam.
Eksistensi
Islam Dalam Relasi Antaragama Dalam
islam seperti yraian di atas dikenal adanya konsep persaudaraan yaitu,
persaudaraan intern Islam yang bersifat lokal misal antar NU-Muhammadiyah,
dan Sunni-Syi’ah sedangkan yang kedua terbuka dan lintas
sektoral. Yaitu persaudaraan kemanusiaan dan persaudaraan sebangsa
setanah air.
Dari
ketiga konsep diatas, dua di antaranya bersifat sensitif, karena hubungannya
selalu bersinggungan dengan komonitas yang plural dan diluar umat
Islam, disinilah Islam dituntut Elastis dalam memainkan peranannya.Rasulullah
pernah mempraktekan hal ini ketika beliau hidup dalam komunitas
Yahudi dan Nasrani di Madinah. Perilaku Rasulullah menjustifikasi
semua bentuk persaudaraan sebagai contoh, ketika delegasi najran
yang beragama yahudi pada rasul di Madinah, mereka kemudian masuk masjid
, lalu mereka beribadah di masjid tersebut. Para sahabat ingin menegur,
tapi Rasul melarang para sahabat dan menyuruh membiarkan
delegasi
tersebut untuk beribadah.
Demikian
juga Rasulullah tidak pandang bulu pada siapa beliau bersedekah,
baik itu orang Islam atau non muslim,ini bias dilihat ketika beliau
memberikan bantuan pada penduduk kafir Makkah ketika sedang terjadi
penceklik. Sejarah
juga mencatat keluwesan Rasul dalam menerima perjanjian hudaibiyah,
beliau menerima seluruh syarat yang diajukan oleh orang Quraisy,
walaupun dianggap merugikan umat Islam. Diantaranya beliau rela menghapus
basmalah dan diganti dengan bismikallahummah dan menghapus Muhammad
Rasulullah dan daganti dengan Muhammad Ibn Abdullah. Di sini terlihat,
betapa bijak Rasulullah dalam mendahulukan kepentingan bersama
dari
pada kepentingan diri sendiri. Dari
deskripsi diatas betapa pentingnya memelihara persaudaraan dengan siapapun
juga tanpa harus memandang status social, karena bagaimanapun juga
semua manusia adalah sama, dan kehidupan ini akan terus berlangsung apabila
sifat saling menghormati dan menghargai dimiliki oleh setiap manusia.
Inilah persoalannya, dalam tataran praktis kita masih belum bisa
untuk melaksanakan hal ini, egoisme yang tertanam dalam diri kita begitu
kuatnya mengakar sehingga untuk dicabutpun rasanya sangat sulit,apalagi
harus menghilangkanya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar