a. Aliran Madinah
Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para Zahi>d. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’a>n dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasululla>h sebagai panutan ke-zuhd-annya.
Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu> Ubaidah al-jarrah
(w.18 H.), Abu> Dhar al-Ghiffa>ri> (w. 22H.), Salma>n
al-Fari>si> (w. 32 H.), Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 33 H.),
Hud}aifah bin Yama>n (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’i>n diantaranya adalah Sa’id bin al-Musayya>b (w. 91 H.) dan Sali>m bin Abdulla>h (w. 106 H.).[1]
Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimi>n (salaf), dan berpegang teguh pada zuhd
serta kerendahan hati Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu
terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa
dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat
tekanan dari Bani> Umayyah. Dengan begitu, zuhd aliran ini tetap bercorak murni Isla>m dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
b. Aliran Bas}rah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, Tas}awu>f, dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme", bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhd
yang menonjol, salah satunya di Bas}rah dan yang lainnya di Kufah.
Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bas}rah berasal dari
Bani> Tami>m. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan
tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil.[2] Merekapun terkenal
menyukai hal-hal logis dalam gramatika dan logika, hal-hal nyata dalam
puisi dan kritis dalam hal al-Hadi>th. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran-aliran Mu’tazilah dan Qada>riyah. Tokoh mereka dalam zuhd
adalah H}asan al-Bas}hri, Malik bin Dina>r, Fad}l al-Raqqa>shi,
Rabbah bin 'Amru al-Qishi>, S}alih al-Murni> atau Abdul Wahi>d
bin Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan.[3]
Ciri yang menonjol dari para Za>hid Bas}rah ialah zuhd
dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibn Taimiyah
berkata : “Para sufi pertama muncul dari Basrah, yang pertama mendirikan
khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abd. Al-Wahid bin Zaid, salah
seorang teman H}asan al-Bas}hri. Para sufi di Bas}rah terkenal
berlebih-lebihan dalam hal zuhd, ibadah, rasa takut mereka dan
lain-lainnya, lebih dari apa yang terjadi di kota-kota lain”.[4] Menurut
Ibn Taymiyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka
dengan para Zahid Kufah.
c. Aliran Kufah
Aliran
Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yama>n. Aliran ini
bercorak idealistis, menyukai hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image
dalam puisi, dan harfiah dalam hal Hadith. Dalam aqi>dah mereka cenderung pada aliran Shi’ah dan Raja’iyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Shi’ah pertama kali muncul di Kufah.[5]
Para tokoh zahid
Kufah pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ bin Kha>thim (w. 67
H.) pada masa pemerintahan Mu'a>wiyah, Sa’id bin Juba>ir (w. 95
H.), T}awus bin Kisa>n (w. 106 H.), Sufya>n al-Thawri> (w. 161
H.).
d. Aliran Mesir
Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhd
lain, yang dilupakan para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak
salafi> seperti halnya aliran Madi>nah. Aliran tersebut adalah
aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Isla>m terhadap
Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya 'Amru
bin al-'As}, 'Abdulla>h bin 'Amru bin al-'As} yang terkenal ke-zuhd-annya, al-Zubair bin Awwa>m dan Miqda>d bin al-Aswa>d.[6]
Tokoh-tokoh Zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Sali>m bin ’Ata>r al-Tajibi>. Al-Kindi> dalam karyanya, al-Wula>n wa> al-Qi>d}ah
meriwayatkan Sali>m bin ‘Ata>r al-Tajibi>, sebagai orang yang
terkenal yang tekun beribadah dan membaca al-Qur’a>n serta s}alat
malam, sebagaimana pribadi-pribadi yang disebut dalam.[7] Firman Allah :”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”.
(QS. al-Dariyyat, 51:17). Dia pernah menjabat sebagai Hakim di Mesir,
dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abd. Rahman
bin Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai Hakim agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh Za>hid yang paling menonjol pada abad II Hijriyah adalah al-Laith bin Sa’ad (w. 175 H.).Ke-zuhd-an
dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan,
sebagaimana dikutip Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi>, dia seorang Zahid yang hartawan dan dermawan.[8]
Dari uraian tentang zuhd
dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Basrah, Kufah, dan
Mesir, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa zuhd pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
Pertama : Zuhd
ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala
akhirat dan memelihara diri dari adhab neraka. Ide ini berakar dari
ajaran-ajaran al-Qur’a>n dan al-Sunnah, yang terkena dampak berbagai
kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika
itu.
Kedua: Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun prinsip–prinsip teoritis zuhd. Zuhd ini mengarah pada tujuan moral atau akhlaq.
Ketiga: Motivasi zuhd
ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal
keagamaan secara sungguh–sungguh. Sementara pada akhir abad kedua
Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyah, muncul motivasi cinta kepada
Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adab-Nya.
Keempat: Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian Za>hid
khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyah ditandai kedalaman
membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tas}awu>f
atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah.
Al-Taftaza>ni> lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, Qa>ri>’ dan Na>sik (bukan sufi).[9]
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran tas}awu>f bermula dari gerakan zuhd dalam Islam. Istilah tas}awu>f
baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu> Hashi>m
al-Sufi> (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufi> di belakang
namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tas}awu>f yang sebelumnya tidak dikenal. Jika pada akhir abad II ajaran sufi, berupa ke-zuhd-an, maka pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (Fana>’ fi> Mah}bub), bersatu dalam kecintaan (Ittiha>d fi> Mah}bub), bertemu dengan Tuhan (liqa>’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘Ai>n al Jama>’).[10] Sejak itulah muncul karya-karya tentang tas}awu>f
oleh para sufi pada masa itu seperti al-Muha>sibi> (w. 243 H.),
al-Hakim al-Tirmidi> (w. 285 H.), dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297
H.). Oleh karena itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad
penyusunan epistemologi ilmu tas}awu>f.
[1] Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi> al-Taftazani>, Madkha>l,
[2] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme, Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari 2008), 3.
[3] Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi> al-Taftazani>, Madkha>l, 72-75.
[4] Ibn Taimiyyah,al-S}ufiyah wa> al-Fuqara>’ (Kairo : Matba’ah al-Mana>r 1348 H.), 3-4.
[5] http://ms.wikipedia.org/wiki/Sufisme, Kategori Islam, (diperbaharui 02:08, 15 Januari 2008), 3-4.
[6] Ibid
[7] Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi>, Madkha>l, 76.
[8] Ibid., 78-80.
[9] Abu> al-Ghafa> al-Ghanimi> al-Taftazani, Madkha>l, 81
[10] Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan tasawuf, (Solo : Ramadlani, 1984 ), 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar