TASAWUF IBNU ‘ARA>BI>
A. PENDAHULUAN
Ibnu ‘Ara>bi> oleh
ulama dan pemikir diklasifikasikan sebagai sufi yang failasuf. Hal itu
dikarenakan Ibnu ‘Ara>bi> telah mengompromikan dalam pemikirannya antara
tawasuf dengan filsafat. Beliau termasuk ulama sufi yang produktif dan berhasil
mengkaji masalah wujud yang kemudian dipadukan menjadi satu kesatuan yang utuh
dalam ajarannya wihda>t al-wuju>d. Ajarannya itu sempat
menggemparkan dunia tasawuf sehingga kepadanya diberikan gelar syaikh al-akbar,
di samping juga karena beliau telah mengurai secara detail, luas dan mendalam
pemikirannya itu dan tidak ditemui sosok demikian pada zamannya.
Ajaran wihda>t al-wuju>d
dalam tasawuf Ibnu ‘Ara>bi> merupakan ajaran yang melihat masalh
wujud (dalam hal ini Tuhan, alam dan manusia) sebagai satu kesatuan yang utuh,
namun berada dalam dimensinya masing-masing. Tuhan menurutnya meliputi segala
yang ada, sehingga yang ada bersifat nisbi dan tidak mutlak sedangkan yang
Mengadakan bersifat mutlak dan tidak terbatas. Sebab, yang ada merupakan
‘penampakan’ bagi diri-Nya dan bersumber dari-Nya serta Dialah yang menjadi
esensinya.
Terkait dengan alam, Ibnu ‘Ara>bi>
mengatakan bahwa alam termasuk salah satu ciptaan-Nya yang paling agung. Alam
adalah manifestasi dari asma>’ dan sifa>t Allah. Tujuan
penciptaan alam sendiri adalah supaya Allah dapat dikenali melalui asma>’
dan sifa>t-Nya itu. Pendapatnya itu didasarkan pada hadis Qudsi: aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka
Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka kenal pada-Ku.[1]
Begitulah sekelumit
pemikiran Ibnu ‘Ara>bi> yang membuat namanya menjadi masyhur sepanjang
masa. Makalah ini akan membahas tentang sosok Ibnu ‘Ara>bi>, mulai dari
sejarah hidupnya, karyanya, pemikirannya serta pengaruh pemikirannya terhadap
perkembangan pemikiran Islam.
B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA
IBNU ‘ARA>BI>
- Kelahiran dan Pendidikan
Nama
lengkap Ibnu ‘Ara>bi> yaitu Abu Bakar Muhyiddin Muhammad Ali bin Muhammad
al-Haitami al-Tha’i al-Andalusi. Dia lahir di Murcia pada tanggal 17 Ramadan
560 H atau bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.[2]
pada masa pemerintahan Muhammad bin Sa’id bin Mardaniah.[3]
Secara ras, dia keturunan suku Arab Tayy.[4]
Sebagai anak pertama dan satu-satunya lelaki dalam keluarganya, kelahirannya
jelas menjadi kebahagiaan bagi keluarganya.[5]
Dalam
sejarah, terdapat banyak gelar yang diberkan kepada Ibnu ‘Ara>bi> yang di
antaranya syaikhu al-akbar, khatimu al-anbiya’ al-muhammadiyah, syaikhu
al-a’dham, quthbu al-‘arifin, rahibu al-‘alam, dan masih ada gelar lainnya.[6]
Orang-orang yang sezaman dengannya memanggil Ibnu ‘Ara>bi> dengan Abu
Abdullah, sedangkan para penulis dalam buku-bukunya lebih banyak menyebutnya
Ibnu ‘Ara>bi>. Hal itu sekaligus sebagai pembeda dengan Abu Bakar
Muhammad Ibnu ‘Ara>bi> yang merupakan Qadi Sevilla, dan Ibnul ‘Ara>bi>
tokoh hadis yang juga terkenal.
Pada masa
kecilnya, Ibnu ‘Ara>bi> menghabiskan hidupnya dengan keluarga tercinta.
Dia berada dalam keluarga yang terhormat, ayahnya[7]
adalah seorang pegawai pemerintah pada masa Muhammad Ibn Said Mardanish,
penguasa Murcia. Sedangkan pamannya dari pihak ibu adalah penguasa Tlemcem,
Algeria. Di samping ayahnya menjabat di pemerintahan, dia juga terkenal dengan
kedalaman ilmunya sekaligus kesalehannya. Ibnu ‘Ara>bi> kecil semenjak
kecil telah menerima bimbingan keagamaan dari keluarganya secara langsung.
Menginjak
usia yang ke 8 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> bersama keluarganya meninggalkan kota
kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, sebuah kota kecil di daerah Sevilla. Di
kota kecil inilah dia mendapatkan pendidikan agama islam seperti membaca
al-Quran dan mempelajari hukum islam dari Shekh Abu Bakar bin Khalaf.[8]
Selanjutnya, ia bersama keluarganya berpindah ke kota Sevilla dimana kota ini
ramai dan makmur sekaligus sebagai ibukota kerajaan al-Muwahidun di Spanyol.
Selain itu, kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur dimana
penyanyi dan penyair bergaul dengan filosof, teolog, dan para wali berdampingan.
Otomatis, Ibnu ‘Ara>bi> tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan ide-ide
brilian para pemikir, ilmu pengetahuan dan filsafat yang sedang berkembang
dengan pesat.
Di
Sevilla ini, Ibnu ‘Ara>bi> mudah menjalani hidupnya seperti lazimnya anak
muda yang baru tumbuh. Walaupun dia tidak mendapatkan pendidikan di tempat
resmi, dia mendapat pendidikan privat dari seorang tetangganya yaitu Abu
Abdullah Muhammad al-Khayyat; seorang tokoh yang terkenal dengan ilmu al-Quran,
yang kemudian pada masa berikutnya menjadi guru sekaligus teman bermainnya
selama beberapa tahun.[9]
Dalam penjelasan lain, pada waktu itu pula Ibnu ‘Ara>bi> telah belajar hadis,
fiqih, dan ilmu agama lainnya kepada muritd Ibnu Hazm, salah seorang Imam madzhab
yang cukup terkenal.
Selama
menetap di Sevilla, Ibnu ‘Ara>bi> muda sering melakukan perjalanan ke
berbagai daerah di Spanyol dan Afrika, Utara khususnya. Dalam perjalanan
itulah, dia menjadikan sebagai kesempatan untuk menemui para sufi dan pemikir
terkemuka. Salah satu kunjungannya yang mengesankan adalah pertemuannya dengan
Ibnu Rusyd (w 595 H/1198 M) di Kordova, tepatnya pada tahun 575 H/1179 M.[10]
Ibnu Rusyd sendiri adalah teman ayahanda Ibnu ‘Ara>bi>.
Menginjak
umurnya yang ke 16 tahun, Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan diri untuk menjalani
pengasingan diri (khalawat). Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa setelah
dia berfoya-foya dengan makanan bersama teman-temannya, dia secara tiba-tiba
mendengar seruan ‘Wahai Muhammad, bukan untuk itu engkau diciptakan’. Karena
takut dengan mendengar suara tada, kemudian dia lari ke sebuah pemakaman di
luar kota Sevilla. Di tempat itu, dia menjumpai lubang seperti gua dan masuk ke
dalamnya. Selama empat hari dia tinggal di sana sendirian dan berdzikir dengan
khusyu’.[11]
Di sinilah tanda-tanda kebatinan Ibnu ‘Ara>bi> mulai tampak.
Beberapa
tahun kemudian, dia diberi kepercayaan oleh penguasa al-Muwahhidin (Abu Bakar
bin Abd. Al-Mu’min) untuk menjadi sekretaris gubernur. Pernah terlintas dalam
benaknya bahwa jabatan itu akan dia fungsikan sebagai media pengabdiannya
kepada Negara sebagaimana telah dilakukan oleh ayahnya. Namun selama
pengabdiannya justru sebaliknya. Pekerjaan yang semakin banyak dan ruwet justru
membuatnya merasa semakin jauh dari Tuhan. Begitu juga, harta dunia yang
dimilikinya selalu menjadi ganjalan fikiran dan kegelisahan batinnya. Oleh
sebab itulah, pada satu waktu Ibnu ‘Ara>bi> memutuskan untuk melepaskan
rutinitasnya yang ia sendiri menyebutnya sebagai period ke-jahilan.
Disebut kejahiran menurutnya karena tidak peduli kepada Tuhan dan lebih
tertarik pada kehidupan duniawi.
Pada
tahun 590 H/1193 M., ketika pemikiran spiritualitas Ibnu ‘Ara>bi> telah
mengkristal, dia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama, dia menuju kota
Murur untuk menemui Syekh Abu Muhammad al-Mururi yang dikabarkan sebagai ahli
spiritual. Selanjutnya dia meneruskan ke Kordova dan Granada. Setelah merasa
puas berkelana di berbagai kota Andalusia, ia ingin menyeberangi laut dan
menuju daratan lain. Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) al-Jazair untuk
mengunjungi Syekh Abu Madyan, seorang pendiri aliran tasawuf di sana[12]
dan merupakan syekh paling terkemuka pada zamannya. Abu Madyan adalah seorang
yang juga turut berpengaruh pada kehidupan spiritual Ibnu ‘Ara>bi>. Hal
itu terbukti dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri khususnya ruh al-qudus
dan al-Durrah al-Fakhirah di mana di dalamnya Ibnu ‘Ara>bi>
sering menyebut nama Abu Madyan. Walau demikian, dalam sejarah lain disebutkan
bahwa Ibnu ‘Ara>bi> secara fisik tidak pernah bertemu dengan Abu Madyan
akan tetapi keduanya telah bertemu di alam spiritualnya, bahkan menurutnya telah
berkali-kali.[13]
Di samping Abu Madyan, dia juga belajar pada murid-muridnya di antaranya al-Maururi,
al-Kumi, dan al-Sadrani, Abd. Aziz al-Mahdawi, dan Muhammad Abdullah al-Kinani.
Dari
Bugia, Ibnu ‘Ara>bi> meneruskan pernalanannya ke Tunisia. Di kota itu dia
mengkaji karya seorang sufi Abu al-Qasim Ibn Qushai, khal’an na’lain. Di
kota ini pula, dia mengatakan pernah bertemu dengan nabi Khidir untuk kali
pertama. Dalam pertemuannya, dia diberikan wejangan untuk lebih mengedepankan
spiritualitas dalam mendekatkan diri kepada Tuhannya. Pertemuan kemudian
terjadi dua kali lagi pada akhir tahun 1194 M., ketika Ibnu ‘Ara>bi>
kembali ke Andalusia. Pertemuannya dengan nabi Khidir berlangsung dalam kondisi
yang berbeda. Pertama, berlangsung di daratan tepatnya di jalan kota pada siang
hari. Kedua, bertemu di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan
purnama. Ketiga, Khidir menampakkan diri di atas udara.[14]
Dari tiga pertemuan tersebut, tampak bahwa ada tahapan ajaran Khidir dalam
menuntun Ibnu ‘Ara>bi> ke dalam pengetahuan misteri ilahi dan
mendorongnya untuk merenungkan kualitas dirinya.
Pasca
pertemuannya dengan nabi Khidir, Ibnu ‘Ara>bi> terus berulangkali bertemu
dengan para nabi yang juga membimbingnya pada jalan spiritual, termasuk nabi
Hud, Isa, Musa hingga nabi Muhammad. Pertemuaannya dengan nabi Muhammad
berlangsung beberapa kali dalam situasi yang berbeda pula dan dianggapnya
sebagai ajaran penyempurna dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.
Ketika
ayahandanya meninggal dunia, Ibnu Arabai kembali ke Sevilla dan otomatis
menjadi tulang punggung keluarganya, utamanya dia harus mengasuh kedua saudara
perempuannya. Pada waktu itu pula disebutkan bahwa dia sempat putus asa dan
ingin kembali pada kehidupan dunia namun niatan itu tidak terjadi. Setelah
pergolakan politik di Sevilla mulai bergolak, pada tahun 594/1198 dia bersama
saudaranya pindah menuju Fez[15]
dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Di kota inilah kebahagiaan Ibnu
‘Ara>bi> dalam spiritualitasnya dapat dikatakan telah terpenuhi, karena
dia bisa mengabdikan dirinya secara penuh pada Tuhan.
Bukan
hanya itu, Ibnu ‘Ara>bi> juga pernah berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir
dan lainnya. Di akhir perjalanannya yang panjang, pada tahun 598 M Ibnu
‘Ara>bi> tiba di Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Dia menetap di
Makkah selama tiga tahun dan tidak pernah kembali ke Maroko maupun Andalus. Di
sana dia mengenal imam masjid Haram yang terkenal dengan nama Abu Khasyah dan
menikahi putrinya, Nidzam dan menulis buku khusus yang diberi judul ‘tarjuman
al-ashwaq’. Buku itu merupakan kumpulan syair indah bertema cinta dan
dibumbui dengan kisah sufistik. Di Makkah pulalah dia dapat melahirkan beberapa
karya terkenalnya.
Negara
Timur pada saat itu berada di bawah kekuasaan dinasti Ayyubiyah keluarga
Shalahuddin atau Saladin. Aturan negara tersebut diterapkan hingga Mesir dan
Syam serta Hijaz. Ibnu ‘Ara>bi> telah melakukan perjalanan panjang
mengunjungi kota-kota di Timur. Tentara Salib masih menempati bagian dari
tanah-tanah Muslim di Syam dan masih berada dalam Emirat Antakya dan Tripoli.
Hal inilah yang dapat menjelaskan kepada kita tentang pandangan keras Ibnu
‘Ara>bi> terhadap tentara Salib.
Di
Mosul, Ibnu ‘Ara>bi> bertemu Syaikh Ibnu ‘Ara>bi> Sufi Ali bin
Jami' dan di hadapannya ia mengenakan baju wol sufi. Di Kairo, ia mencetuskan
Pantheisme (wihdat al-wujud). Lalu ia ditolak oleh para ulama fikih dan
mereka mempengaruhi khalayak umum. Akan tetapi, pengadilan Ayyubi pemegang
kekuasaan Mesir pada saat itu memberikan toleransi kepadanya sehingga tidak
memberikan hukuman.
Dari
Mosul pindah ke Konya. Di sana, raja Konya memberikan sebuah rumah bernilai
100.000 dirham untuk ditempatinya. Pada suatu hari, seorang pengemis datang
mengetuk pintu. Ibnu ‘Ara>bi> berkata: Saya tidak memiliki apa-apa selain
rumah ini. Ambillah untukmu.
Hanya
berapa waktu lamanya, dia pergi ke Baghdad. Di kota ini sekelompok aliran sufi
berkumpul bersamanya. Lalu ia kembali ke Konya dan kemudian ke Malta. Kemudian
pergi ke kota Aleppo. Ibnu ‘Ara>bi> tinggal di Aleppo hingga sampai 620
H. Setelah itu ia meninggalkan Aleppo pindah ke Damaskus hingga ia meninggal
dunia dan dimakamkan di sana pada 28 Rabi'ul Awal 638 H / 16 Nopember 1240 M.[16]
- Karya-karya Ibnu ‘Ara>bi>
Ibnu
‘Ara>bi> di samping dikenal sebagai ulama sufi yang besar, dia juga
mashur dengan penuli\\\\\\\\\\\\\\\\\s yang produktif. Hal itu dibuktikan
dengan karya-karyanya yang sangat banyak dan multi bidang. Berikut penulis
sajikan beberapa kitab yang ditulis oleh beliau:
1. \\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\Futuhat
al-Makkiyah. Kitab ini mempunyai 560 bab yang membicarakan
prinsip-prinsip metafisik dan berbagai ilmu sakral dan juga tercatat di
dalamnya pengalaman-pengalaman spiritual Ibn ‘Arabi. Buku ini juga katanya
dibimbing langsung oleh malaikat inspiratif, bahkan Tuhan.
2. Fusus al-Hikam, menurutnya buku ini ditulis dengan bimbingan dari
Nabi.
3. Tarjuman al-Ashwaq
4. Insha al-Dawair
5. Uqlat al-mustawfiz
6. al-Tadbirat al-Ilahiah
7. Mashahid al-Asrar al-Qudsiyyah
8. Kitab Al-Isrâ’
9. Mawaqi al-Nujûm
10. ‘Anqa` Mughrib
11. Mishkat al-Anwâr
12. Hilyat al-Abdal
13. Rûh al-Quds
14. Taj al-Rasâil
15. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya.
16. Tanazzulat al-Mawsiliyyah
17. Kitab al-Jalal wa al-Jamâl
18. Kitab Kunh ma la budda lil Murid Minhu
Menurut
Osman Yahya, seorang intelektual Arab yang banyak mengkaji Ibn ‘Arabi, tulisan
Ibn ‘Arabi terhitung sebanyak 850 yang dinisbahkan kepadanya, 700 dari tulisan
itu masih ada tetapi sekitar 450 yang dinilai benar-benar asli.[17]
C. PEMIKIRAN IBNU ‘ARA>BI>
Secara
tipikal, Ibnu ‘Ara>bi> diklasifikasikan sebagai penganut tasawuf falsafi
oleh beberapa tokoh. Hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa Ibnu
‘Ara>bi> telah memadukan antara intuisi dan akal dalam mendekatkan diri
pada Tuhannya sekaligus dalam mengkaji ayat-ayat Nya yang ada di dunia
ini.[18]
Namun demikian, tidak berlebihan juga jika kemudian Afifi memandangnya sebagai
seorang filosof karena Ibnu ‘Ara>bi> sering berangkat dari
pemikiran-pemikiran spekulatif.
Terlepas
dari itu, dalam tulisan ini akan dibahas secara fokus pada pemikiran Ibnu
‘Ara>bi> dari sudut pandang tasawuf. Sebagaimana yang telah mafhum, bahwa
Ibnu ‘Ara>bi> merupakan sosok ‘pertama’ yang melahirkan ajaran wahdat
al-wujud, penyatuan antara Tuhan, manusia dan alam.
Wahdat
al-wujud adalah istilah
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat
artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[19]
Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata
wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’
terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang dzatnya tidak dapat dibagi
lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk),
antara yang lahir dan yang bathin. Adapun pemahaman yang digunakan oleh para
sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki
satu kesatuan wujud. Istilah wahdat al-wujud tidak pernah terlontar dari
Ibnu ‘Ara>bi> maupun dalam tulisan-tulisannya.[20]
Menurut Ibnu
‘Ara>bi>, wujud yang ada semua ini hanyalah satu dan pada hakikatnya,
wujud makhluk adalah wujud khalik juga, tidak ada perbedaan antara keduanya
(makhluk dan khalik) jika dilihat dari segi hakikat. Paham ini merujuk kepada
timbulnya paham yang menyatakan bahwa antar makhluk (manusia) dan al-haqq (Tuhan)
sebenarnya satu kesatuan dari wujud Tuhan. Dan yang sebenarnya ada adalah wujud
Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayangan dari khaliq. Landasan
paham ini dibangun berdasarkan pemikiran bahwa Allah SWT sebagaimana yang
diterangkan dalam al-hulul yang berarti suatu paham yang menyatakan bahwa Tuhan
dapat mengambil tempat pada diri manusia. Bahwasannya di dalam alam dan diri
manusia terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari sinilah timbul paham kesatuan.
Paham wahdat al-wujud ini juga mengatakan bahwa yang ada di dalam
alam ini pada dasarnya satu, yaitu satu keberadaan yang hakiki yang hanya
dimiliki oleh Allah SWT.
Untuk
lebih spesifik, berikut penulis paparkan secara rinci terkait dengan
pemikirannya tentang Tuhan, alam maupun manusia:
1. Pemikirannya tentang Ketuhanan
Pemikiran
Ibnu ‘Ara>bi> tentang Tuhan tidak lepas dari istilah wujud. Wujud
dalam pandangannya adalah sesuatu yang ada secara mutlak (wujud al-mutlaq)
atau realitas puncak dari segala sesuatu (al-wujud al-kulli). pendeknya,
istilah wujud Ibnu ‘Ara>bi> hakikatnya berkonotasi pada Tuhan
pencipta yang Maha Segalanya. Namun kemudian, karena Ibnu ‘Ara>bi>
memiliki pandangan bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dilepaskan maka istilah wujud sendiri diartikan sebagai
realitas, baik realitas konkret (yang Mutlak/Tuhan) maupun realitas abstrak;
alam dan manusia.
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, Tuhan bukanlah Allah sebagaimana yang dipersepsikan oleh
kebanyakan masyarakat bahwa Dia yang memberi pahala, memberi siksa, mengasihi
dan menolong. Hal demikian tidak bisa dikonsepsikan sebagai Tuhan karena hanya
bagian kecil dari Nya. Tuhan secara hakiki, menurutnya, hanya bisa diketahui
oleh orang yang berada dalam puncak spiritualitasnya. Orang yang berada dalam
dunia sadar tidak bisa mempersepsikan Tuhan.[21]
Dengan
pendapatnya itu bukan lantas Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan bahwa orang awam
tidak bisa ‘melihat’ Tuhan. Menurutnya, ada tingkatan-tingkatan khusus yaitu
ketika Tuhan bertajalli melalui tiga tahap:
a) Martabah
Aha>di>yah (dhati>yah).
Dalam tahapan ini wujud Allah merupakan dhat mutlak dan mujarrad, tidak
bernama dan tidak bersifat. Oleh karena itu, Dia tidak dapat difahami atau
dikhayalkan.
b) Martabah
Wahi>di>yah, dalam
tahapan ini wujud Tuhan berupa wujud potensial yang bersatu dengan sifat dan
asma’-Nya. Tahapan ini bisa diketahui oleh orang-orang yang berada dalam puncak
spiritualitasnya.
c) Martabah Tajalli
Shuhudi atau faid}
al-muqaddas, pada tahapan ini Tuhan bertajalli melalui sifat dan asma’Nya
dalam kenyataan empirik atau kenyataan aktual dan dapat difahami oleh semua
mahluk-Nya.[22]
2. Pemikirannya tentang Alam
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, alam adalah ciptaan Tuhan yang sangat agung, karena alam
merupakan maz}har atau manifestasi dari sifat dan asma’-Nya. Allah
menciptakan alam sebagai tajalli Nya sehingga Dia dapat dikenali lewat asma’
dan sifat-sifat-Nya oleh mahluk. Pendapat Ibnu ‘Ara>bi> itu didasarkan
pada hadis Qudsi yang artinya: Aku pada mulanya adalah harta yang
tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan mahluk dan melalui Aku
merekapun kenal pada-Ku.[23]
Dengan
hadis tersebut, jelas bahwa tanpa adanya alam maka asma’ dan sifat Allah akan
kehilangan makna dalam arti hanya berada dalam kemujarradannya. Oleh karenanya,
Annemarie Schimmel melanjutkan bahwa Tuhan yang Mutlak rindu dalam
kesendirian-Nya sehingga Dia bertajalli pada mahluknya melalui asma’ dan
sifat-Nya sehingga Dia memiliki ‘rival’ dalam martabat shuhudiah-Nya.[24]
Terkait
dengan alam ini, Ibnu ‘Ara>bi> membaginya menjadi empat macam yaitu: 1)
Alam jabarut, dimana alam ini ditempati oleh sabda ilahi dan daya
rohani. 2) alam misal, alam ini menjadi tempat himmah dan doa-doa para
wali. 3) alam malakut, yaitu dunia para malaikat, dan 4) alam nasut atau
alam manusia yang juga merupakan tajalli Tuhan. Namun demikian, menurut Ibnu
‘Ara>bi>, keempat alam tersebut hakikatnya bermuara dari satu esensi yang
disebutnya sebagai haqiqah Muhammadiyah atau akal pertama menurut
al-Farabi.
Seperti
sudah dikemukakan sebelumnya, terciptanya alam ini didorong oleh kehendak Ilahi
yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak melalui berbagai bentuk empirik yang
terbatas, atau karena kerinduan-Nya dalam kesendirian-Nya, meminjam kata-kata
Annemarie Schimmel. Akan tetapi karena alam empirik ini berada dalam wujud yang
terpecah-pecah, maka tajalli asma’ dan
sifat-sifat Allah itu tidak dapat tertampung seluruhnya. Menurut Ahmad Daudy,
alam ini ibarat cermin yang belum diasah dan merupakan badan tanpa roh,
sehingga Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya dalam wujud yang sempurna dan
menyeluruh. Karena itu diperlukan cermin lain yang dapat menampung citra Allah
itu secara sempurna, dan cermin itu tiada lain adalah manusia, sebab manusialah
yang dapat menampung sifat-sifat Jamal dan Jalal-Nya.[25]
Dengan demikian,
keberadaan alam empirik memberi makna terhadap perwujudan asma’ dan sifat-Nya,
sebab tanpa adanya alam yang bersifat empirik maka Dzat yang Mutlak akan tetap
tinggal dalam kemujarradannya yang tidak dapat dikenal oleh siapapun, serta
akan tetap dalam bentuk citra akali. Di sinilah letak urgensi wujud alam
sebagai manifestasi dari kehendak ilahi yang ingin melihat diri-Nya yang Mutlak
yang terjelma dalam berbagai bentuk emprik yang terbatas. Namun, semua yang
tampak dalam wujud empirik tidak lain adalah sifat dan asma’-Nya yang merupakan
perwujudan bagi diri-Nya, bukanlah dzat-Nya. Sebab dzat Tuhan tidak ada yang
dapat menggambarkan dan membandingkannya. Ibnu ‘Ara>bi> mengatakan: setiap
yang maujud memiliki bentuk sedangkan Dzat Tuhan tidak memiliki bentuk.[26]
3. Pemikirannya tentang
Manusia
Mengenai
manusia, Ibnu ‘Ara>bi> berpendapat bahwa manusia yang dapat menjadi
tempat tajalli Allah bukanlah sembarang
manusia melainkan insan kamil (Manusia Sempurna), yaitu manusia yang
telah mencapai tingkatan tertinggi dalam martabat kemanusiaannya, yang dalam
dirinya terdapat Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad. Menurut Ibnu
‘Ara>bi>, nur Muhammad merupakan tajalli Tuhan yang paling
sempurna, ia diciptakan sebelum alam dan manusia diciptakan. Bahkan, melalui
nur Muhammad itulah Tuhan menciptakan alam dan manusia.
Dengan
kesempurnaan itulah, manusia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi oleh
Tuhan. Bahkan menurutnya, yang menyandang predikat khalifah di muka bumi hanya
manusia tidak mahluk yang lainnya. Allah berfirman: sungguh Aku telah
menjadikan khalifah (Manusia) di muka bumi.[27]
4. Pemikirannya tentang
Penciptaan
Pandangan
Ibnu ‘Ara>bi> terkait dengan penciptaan tidak lepas dari pemikirannya
tentang hakikat wujud yang bertajalli pada realitas alam, sebab realitas alam
merupakan penampakan bagi diri-Nya, sekaligus menjadi eksistensi diri Ilahi
yang bersifat immanen. Dengan kata lain, bahwa realitas alam selurhnya tidak
lepas dari keberadaan yang Maha Mutlak sebagai sumber dari segala yang ada.
Namun demikian tidaklah berarti sebaliknya, dengan tidak adanya alam semesta
bukan berarti ketiadaan-Nya, sebab Dia ada dengan Dirinya sendiri. Sedangkan
alam semesta menjadi ada sebab tajalli-Nya. Dengan demikian, alam semesta
adalah sesuatu yang ada di luar diri-Nya, dengan melalui proses penciptaan
sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman-Nya.[28]
Bagi Ibnu
‘Ara>bi>, masalah penciptaan tidak hanya terkait dengan kemahatinggian
sang Pencipta sebagai hakikat dari segala sesuatu, akan tetapi terkait dengan
sifat imanensi-Nya. Jika hanya dilihat dari ketinggian-Nya maka Dia dibatasi
oleh apa yang nampak dan bertentangan dengan sifat-Nya sendiri; yang Maha
d{a>hir. Demikian juga sebaliknya, jika sang Pencipta hanya dilihat dari
aspek batiniyahnya berarti pembatasan terhadap Wujud Tuhan yang meliputi segala
yang ada. Dia adalah yang Lahir dan yang Batin sekaligus.
Pertanyaan
yang muncul kemudian, apakah penciptaan alam oleh Tuhan terkait dengan waktu
dan masa?, apakah penciptaan berawal dari ketiadaan?, atau dari berawal dari
keberadaan dan dan kemudian menjadi sesuatu yang ada dan empirik?. Terkait
dengan pertanyaan demikian, Ibnu ‘Ara>bi> menjawab bahwa peciptaan alam
tidak terikat pada tempat dan waktu, karena adanya waktu setelah adanya alam
itu sendiri. Toh walaupun dikatakan terkait dengan masa, tapi masa itu
tidak sama dengan masa yang ada dalam dunia empirik saat ini. Begitu juga
dikatakan bahwa alam diciptakan dari ketiadaan (al-‘adam) menuju ada. Terkait
hal ini, Ibnu ‘Ara>bi> menyatakan: alhamdu lillahi alladzi awjada
al-ashya>’ ‘an ‘adamin wa ‘adamihi.[29]
Yang
dimaksud dengan ‘adam dalam pernyataan Ibnu ‘Ara>bi> tersebut adalah
ketiadaan wujud di luar diri-Nya, sebab segala yang ada bersumber dari-Nya.
Sehingga, ‘adam di sini berarti tidak ada dalam wujud empirik namun ada secara
hakikat dan kekal dalam Ilmu Tuhan. Kemudian, melalui kehendak-Nya hakikat
tersebut dijadikan sebagai alam yang nyata secara empirik. Intinya, proses
penciptaan menurut Ibnu ‘Ara>bi> berawal dari yang ada secara hakikat
yang disebutnya sebagai wujud potensial atau al-a’ya>n al-thabitah.
D. PENGARUH TASAWUF IBNU
‘ARA>BI>
Di samping Ibnu
‘Ara>bi> menjadi tokoh yang terkenal, juga pemikiran tasawuf Ibn Arabi
menarik antusiasme para sufi dan salik di dunia Islam, terutama melalui para
muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Murid dan pengikutnya
telah memberikan analisis, penafsiran, dan ulasan atas karya-karyanya. Di
antara murid-muridnya adalah Shadr al-Dîn al-Qunawi (w. 763/1274), Muhyid
al-Dîn al-Jandi (w. 690/1291), ‘Abd al-Razzâq al-Qâsyânî (w. 730/1330), Syaraf
al-Dîn Dawûd al-Qaysharî (w. 751/ 1350), Sayyid Haydar Amulî (w. setelah
787/1385), ‘Abd al-Karîm al-Jîlî (w. 826/1421), ‘Abd al-Rahmân al-Jâmî
(w. 898/1492), ‘Abd al-Wahhâb al-Sya`rânî (w. 973/1565), ‘Abd al-Ghanî
al-Nâbulusî (w. 1114/1731) dan lain-lainnya.[30]
Tidak
ketinggalan, di Indonesia juga menjadi lahan empuk bagi tumbuh suburnya
pemikiran Ibnu ‘Ara>bi>. Secara historis, pemikirannya melalui para sufi
dari Gujarat, India. Yunasril Ali mengatakan, Muhammad ibn Fadl Allâh
al-Burhanpûrî (w. 1029) adalah tokoh yang menyebarkan ajaran tasawuf Ibn’Arabî
di Asia Selatan. Di sini, tasawuf Ibn al-‘Arabî diulas dan diperkenalkan oleh
sejumlah ulama sufi seperti Hamzah Fansûri, Syamsu al-Dîn al-Sumatrânî, ‘Abd
al-Shamad al-Fâlimbânî, Dawûd al-Fathânî, Muhammad Nafîs al-Banjârî, dan yang
lainnya.[31]
Dari penjelasan di muka, jelas bahwa Ibnu ‘Ara>bi> menjadi sosok
inspiratif yang memunculkan ide-ide sufistik di belahan dunia, khususnya Islam. Tidak salah jika kemudian
Chittick mengatakan bahwa tampaknya tidak ada seorang tokohpun yang begitu
memiliki pengaruh yang begitu luas dan dalam terhadap kehidupan intelektual
masyarakatnya dalam kurun waktu sekitar 700 tahun.[32]
E. KESIMPULAN
Sebagai simpulan
dapat diketahui bahwa Ibnu ‘Ara>bi> adalah salah satu sosok sufi atau
failasuf yang sangat terkenal dengan pemikiran tasawufnya, khususnya tentang wahdat
al-wujud. Di samping itu, beliau adalah sosok yang produktif dalam
menelorkan karya-karya. Hal itu terlihat dari banyaknya ide yang dikonkretkan
menjadi sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh halayak luas. Bukan hanya di
tempat kelahirannya, tapi juga merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Tulisan-tulisannya juga telah turut serta dalam pengembangan
pemikiran islam, utamanya terkait dengan tasawuf.
DAFTAR RUJUKAN
Addas, Claude, Mencari Belerang Merah;
Kisah Hidup Ibnu ‘Ara>bi>, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004.
Afifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu
‘Ara>bi>, (terj. Sjahrir dan Nandi. R), Jakarta: GMP, 1995.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi:
Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi, Jakarta: Paramadina, 1999.
Arabi, Ibnu, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut:
Daru al-Shadr, 1989.
___________, Risalah Kemesraan,
(terj. Hodri Arief), Jakarta: Serambi, 2005.
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan
dari Ruh al-Qudus, terj. Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994.
Chittick, Wiliam C., Pengetahuan
Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Daudy, Ahmad, Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 2002.
Hirtenstein, Stephen, Dari Keragaman ke
Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Ibnu ‘Ara>bi>, (terj.
Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000..
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/
http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-pengaruhnya/html.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam, Bandung:
Mizan, 1998.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme
dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo,
2006.
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dalam Islam, terj. Hasan Basri, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik
dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Siregar, Rivay, Tasawuf: dari Sufisme
Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Usman,i A. Rofi’, Tokoh-tokoh Muslim
Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka Media, 1998.
[1]
Hadis Qudsi ini juga sering dikutip oleh para pemikir misalnya Harun Nasution
dalam Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999,
hal: 58, Sachiko Murata, The Tao of Islam, Bandung: Mizan, 1998, hal: 61
[2]
Ada yang menyebutkan bahwa tahun kelahirannya adalah 1164 M. dalam makalah ini
penulis menggunakan tahun 1165 karena beberapa literatur menyebutkan tahun itu
sebagai tahun kelahirannya.
[3]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan
Spiritual Ibnu Arabi, (terj. Tri Wibowo), Jakarta: Mutiara Kencana, 2000,
hal: 43.
[4]
A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu Arabi, (terj. Sjahrir dan Nandi. R),
Jakarta: GMP, 1995, hal: 02.
[5]
Dalam berbagai tulisannya, Ibnu Arabi menceritakan ayah, ibu dan dua saudara
perempuannya tapi tidak pernah ditemui ceritanya tentang saudara laki-lakinya.
Begitu juga ketika ayahandanya menjelang detik akhir hidupnya semua anggota
keluarga berkumpul dan lelaki satu-satunya hanya Ibnu Arabi.
[6]
Lihat selengkapnya di Ibnu Arabi, Risalah Kemesraan, (terj. Hodri
Arief), Jakarta: Serambi, 2005, hal: 35.
[7]
Penulis mendapatkan keterangan dari internet bahwa yahnya bernama Ali bin
Muhammad. Sedangkan ibuny belum penulis temukan riwayatnya.
[8]
A. E. Afifi, Filsafat Mistis Ibnu…..hal: 01
[9]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud….hal: 51
[10]
Keterangan lebih lanjut terkait dengan pertemuan dan percakapan Ibnu Arabi
dengan Ibnu Rusyd dapat dilihat di Claude Addas, Mencari Belerang Merah;
Kisah Hidup Ibnu Arabi, (terj. Zainul), Jakarta: Serambi, 2004, hal: 59-60
[11]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan….hal: 67
[12]
A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman, Bandung: Pustaka
Media, 1998, hal: 30
[13]
Austin, Sufi-Sufi Andalusia, diterjemahkan dari Ruh al-Qudus, terj.
Nasrullah, Bandung: Mizan, 1994, hal: 148-149
[14]
Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman…hal: 118
[15]
Kota FEZ merupakan kota warisan terkemuka
dari dinasti idrisiyah islam (788-974 M) di maroko bagian utara. Fez merupakan
ibukota pertama dan pusat spiritual islam yang di dirikan oleh idris ibn
abdullah. Sedangkan Idris ibn abdullah
adalah keturunan Nabi saw yang lari ke maroko untuk menghidari penganiayaan
Abbasiyah.
[16]
Addas dalam bukunya menyebutkan bahwa Ibnu Arabi meninggal dunia pada tanggal
22 Rabiul Awal 638. Mencari Belerang Merah….hal: 409
[17]
Pernyataan tersebut penulis kutip dari tulisan Ahmad Zainudin ‘Tasawuf Ibnu
Arabi’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/bab-ii-ibn-%E2%80%98arabi-kehidupan-karya-dan-engaruhnya/
[18]
Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta:
Rajawali Press, 1999, hal: 55
[19]
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Grafindo, 2006, hal: 247
[20]
Ada yang mengatakan bahwa yang mengistilahkan wihdat al-wujud pada
pemikiran Ibnu Arabi adalah Ibnu Taymiyah.
[21]
CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basri,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hal: 109
[22]
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Nurudin al-Raniry, Jakarta:
Bulan Bintang, 2002, hal: 74-75.
[23] Hadis ini dikenal dengan hadis ‘khazanah
tersembunyi’ dan banyak dikutip oleh para tokoh, seperti Harun Nasution dalam filsafat
dan Mistisme dalam Islam, Sachiko Murata dalam The Tao of Islam dan
yang lainnya.
[24]
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Supardi Djoko
Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, hal: 277
[25]
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia…hal: 74-75
[26]
Ibnu Arabi, Futuhat al-Makkiyah, Jil II, Bairut: Daru al-Shadr, hal: 433
[27]
Surat al-Baqarah: 30
[28]
Lihat surat al-Hijr ayat 21, al-An’am ayat 102, dan ayat-ayat lain yang terkait
dengan penciptaan.
[29]
Futuhat al-Makkiyah, Jil I, hal: 5
[30]
Penulis kutidari tulisan Amuli ‘Ibnu Arabi, Kehidupan, Karya dan
Pengaruhnya’ di http://amuli.wordpress.com/2008/04/08/ setelah mendapat
izin dari penulisnya. Menurutnya, tulisan itu dipresentasikan dalam acara
seminar Tasawuf di Solo Jawa Tengah.
[31]
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabi,
Jakarta: Paramadina, 1999, hal: 201
[32] Wiliam
C. Chittick, Pengetahuan Spiritual Ibnu Arabi, terj. Yogyakarta: Qalam,
2001, hal: 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar